Senin, 04 Mei 2009

MAKALAH TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

A. Pendahuluan
1. Teori
Kerlinger dalam Sugiyono (2008:79-80) mengemukakan bahwa teori adalah seperangkat konstruk/konsep, definisi, dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik melalui spesifikasi hubungan antar variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena
Sementara, menurut Wiliam Wiersma dalam Sugiyono (2008:80) teori merupakan generalisasi atau kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena secara sistematik.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori adalah kumpulan fakta yang menjadi data lalu dikembangkan menjadi sebuah konsep yang digeneralisasi dan dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu hal.

2. Belajar
Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks (Dimyati dan Mudjiono, 2002:7). Dalam American Heritage Dictionary mendefinisikan belajar sebagai to gain knowledge, comprehension, or mastery through experience or study (untuk mendapatkan pengetahuan, pemahaman, atau penguasaan melalui pengalaman atau studi). Sementara Skinner berpendapat bahwa belajar adalah suatu perilaku. Gagne berpendapat Belajar adalah kegiatan yang kompleks. Piaget berpendapat belajar adalah pengetahuan yang dibentuk individu. Rogers berpendapat belajar adalah peristiwa mengalami.
Menurut Gregory A. Kimble dalam Hergenhahn dan Matthew (2008:8) belajar adalah perubahan perilaku atau potensi perilaku yang relatif permanen yang berasal dari pengalaman dan tidak bisa dinisbahkan ke temporary body states (keadaan tubuh temporer) seperti keadaan yang disebabkan oleh sakit, keletihan atau obat-obatan.
Dari definisi di atas ada beberapa hal yang berkenaan dengan belajar, yaitu:
(1) belajar diukur berdasarkan perubahan dalam perilaku
(2) perubahan behavioral ini lebih bersifat relatif permanen
(3) perubahan perilaku itu tidak selalu terjadi secara langsung setelah proses belajar selesai
(4) perubahan perilaku (potensi behavioral) berasal dari pengalaman atau praktik dan latihan
(5) pengalaman atau praktik harus diperkuat secara maksimal
Selain itu, Hamalik (2007:27) mengemukakan ada beberapa definisi lain tentang belajar, sebagai berikut:
a. Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman atau learning is defined as the modification or strengthening of behavior through experinencing.
Artinya belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan serta bukan hanya mengingat tetapi mengalami.
b. Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan.
Artinya tujuan belajar adalah adanya perubahan tingkah laku berupa interaksi antara individu dengan lingkungannya.
William Burton dalam Hamalik (2007:31) menyimpulkan tentang prinsip-prinsip belajar, yaitu:
a. proses belajar ialah pengalaman, berbuat, mereaksi, dan melampaui,
b. proses belajar dipengaruhi oleh hereditas dan lingkungan,
c. pengalaman belajar secara maksimum bermakna bagi kehidupan murid,
d. hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai, pengertian, sikap, apresiasi, kemampuan dan keterampilan, serta
e. hasil belajar yang telah dicapai bersifat kompleks dan dapat berubah.
Prinsip-prinsip belajar yang lain menurut Dimyati dan Mudjiono (2002:42-49) antara lain:
a. perhatian dan motivasi
b. keaktifan
c. keterlibatan langsung
d. pengulangan
e. tantangan
f. balikan dan penguatan
g. perbedaan individual
Masih menurut Hamalik (2007:32-33) belajar yang efektif sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini:
a. faktor kegiatan
b. faktor pelaksanaan
c. faktor lingkungan
d. faktor asosiasi
e. faktor kesiaan belajar
f. faktor minat dan usaha
g. faktor fisiologis
h. faktor intelegensi
Robert M. Gagne dalam Uno (2006:8) belajar mempunyai delapan tipe yang bertingkat atau hierarkis, antara lain:
a. belajar isyarat
b. belajar stimulus respon
c. belajar rangkaian
d. belajar asosiasi verbal
e. belajar diskriminasi
f. belajar konsep
g. belajar aturan
h. belajar pemecahan masalah
Tujuan pembelajaran merupakan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan pembelajaran. Sebab segala kegiatan pembelajaran bermuara pada tercapainya tujuan tersebut.

3. Pembelajaran
Dalam pembelajaran tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Menurut Djahiri dalam Kunandar (2007:287) dalam proses pembelajaran prinsip utamanya adalah adanya proses keterlibatan seluruh atau sebagian besar potensi diri, baik fisik dan non fisik siswa serta kebermaknaannya bagi diri dan kehidupan saat ini dan masa yang akan datang.
Kemudian, dalam proses pembelajaran unsur proses belajar memegang peranan yang penting. Menurut Degeng dalam Uno (2006:2) pembelajaran adalah upaya unutk membelajarkan siswa yaitu kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan. Selain itu, pembelajaran yang direncanakan memerlukan berbagai teori untuk merancang agar kegiatan yang telah disusun benar-benar dapat memenuhi harapan dan tujuan pembelajaran.
Ada pendapat lain mengenai pembelajaran menurut Reigeluth dalam Uno (2006:3) sebagai suatu disiplin ilmu menaruh perhatian pada perbaikan kualitas pembelajaran dengan menggunakan teori pembelajaran deskriptif. Banyak sekali pengertian mengajar menurut para ahli ditinjau dari sudut pandang masing-masing.
1) Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik di sekolah
2) Mengajar adalah mewariskan kebudayaan kepada generasi muda melalui lembaga pendidikan sekolah
3) Mengajar adalah usaha mengorganisasi lingkungan sehingga menciptakan kondisi belajar bagi siswa
4) Mengajar adalah kegiatan mempersiapkan siswa untuk menjadi warganegara yang baik
5) Mengajar adalah proses membimbing kegiatan belajar siswa
6) Mengajar adalah proses membantu siswa menghadapi kehidupan masyarakat sehari-hari
Selanjutnya, beberapa pengertian tentang pembelajaran antara lain:
1) Pembelajaran adalah sama dengan kegiatan mengajar
2) Pembelajaran adalah interaksi belajar dan mengajar
3) Pembelajaran adalah suatu sistem yang saling berinteraksi
4) Pembelajaran adalah identik dengan pendidikan
Komponen-komponen pembelajaran meliputi:
a. tujuan pendidikan dan pembelajaran,
b. peserta didik atau siswa,
c. tenaga kependidikan,
d. perencanaan pembelajaran,
e. strategi pembelajaran,
f. media pembelajaran, dan
g. evaluasi pembelajaran.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik.

4. Teori Belajar dan Pembelajaran
Teori belajar merupakan teori atau kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena secara sistematik khususnya tentang belajar. Belajar terjadi dalam interaksi dengan lingkungan. Namun, tidak sembarangan berada di tengah-tengah lingkungan menjamin adanya proses belajar. Oleh karena itu, dalam belajar memerlukan keaktifan sendiri, melibatkan segala pemikiran, kemauan, dan perasaan.
Teori pembelajaran menurut Reigeluth dalam Uno (2006:3) adalah sebagai suatu disiplin ilmu menaruh perhatian pada perbaikan kualitas pembelajaran dengan menggunakan teori pembelajaran deskriptif.
Beberapa teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya teori belajar behavioristik dianut oleh Skinner, teori belajar humanistik dianut oleh Maslow, teori belajar kognitivistik dianut oleh Covington, teori belajar asosiatif dianut oleh Ivan P. Pavlov, teori belajar konstruktivistik dianut oleh Jean Piaget, dan teori belajar post modernistik dianut oleh Paulo Freire.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori belajar dan pembelajaran adalah sebuah landasan pemikiran untuk menjelaskan tentang cara-cara belajar dan bagaimana pembelajaran dilaksanakan.
Sementara itu, untuk memahami lebih mendalam mengenai teori belajar dan strategi pembelajaran yang baik dan efektif untuk diterapkan guru di kelas, maka dalam makalah ini hanya akan dibahas salah satu teori belajar yaitu teori belajar konstruktivistik. Secara menyeluruh dan sistematis akan diuraikan teori belajar konstruktivistik (pengertian umum, menurut ahli Jean Piaget dan Vygotsky), model dan strategi pembelajaran konstruktivistik, serta penerapan pembelajaran konstruktivistik dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran PKn Kelas VII Semester Dua).
B. Teori Belajar Konstruktivistik
1. Pengertian Konstruktivistik
Perspektif konstruktivisme berakar dari filsafat tertentu tentang manusia dan pengetahuan. Perhatian penting dari konstruktivisme adalah makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu serta berpengetahuan. Pada dasarnya perspektif ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut yang memungkinkan adanya penafsiran jamak atau multiple persectives bukan hanya satu penafsiran saja. Hal ini berarti bahwa pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain. Dengan demikian menurut Bruning dkk dalam Winataputra (2008:65) peranan dan kontribusi siswa terhadap makna, pemahaman dan proses belajar melalui kegiatan individual dan sosial menjadi sangat penting.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran dari berbagai ahli pendidikan seperti Jean Piaget, Vygotsky dan John Dewey terjalin menjadi perspektif konstruktivisme yang mempunyai beragam perwujudan dalam proses pembelajaran. Dapat dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada satu-satunya pemahaman tentang teori belajar konstruktivistik. Namun, yang ada hanya berbagai pendekatan konstruktivistik yang diterapkan dalam berbagai ilmu dan mempunyai penekanan yang berbeda-beda.
Sementara pengertian konstruktivisme dalam Depdiknas (2003:10-11) disebutkan bahwa:
“Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan Contextual Teaching and Learning bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas atau sempit dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata”.

Jadi, konstruktivistik merupakan prinsip Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning dimana siswa dalam pembelajaran tidak hanya menerima pengetahuan, tetapi ikut aktif dalam membangun sendiri pengetahuan tersebut melalui pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari.
2. Teori Belajar Konstruktivistik Menurut Jean Piaget dan Vygotsky
1) Teori Belajar Konstruktivistik Menurut Jean Piaget
Jean Piaget adalah seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan. Menurut Piaget, kecerdasan seseorang berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata atau skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan. Saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental.
Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme bukan ke dalam teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan). Teori Perkembangan Kognitif ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan.
Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia, yakni:
1. Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
a) Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
b) Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
c) Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
d) Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
e) Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
2. Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
• Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran Pra Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek.
• Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah yang bentuknya berbeda-beda.
• Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
3. Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
• Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
(a) Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
(b) Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
(c) Decentering—anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
(d) Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
(e) Konservasi—memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
(f) Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan.
4. Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
• Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia.
• Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada ”gradasi abu-abu” di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
Berikutnya, teori perkembangan kognitif anak terbagi menjadi dua sudut pandang menurut para ahli, yaitu:
a. Theory Neurosains
Teori ini memiliki implikasi langsung pada dunia pendidikan. Teori ini menyatakan bahwa anak belajar secara aktif lebih baik daripada secara pasif. Tokohnya Lev Vygotsky.
b. Theory of Mind
Teori perkembangan kognitif ini percaya bahwa anak memiliki teori maupun skema mengenai dunianya yang menjadi dasar kognisinya. Tokohnya adalah Andrew N. Meltzoff.

Jean Piaget menguraikan pentingnya berbagai faktor internal seseorang, seperti tingkat kematangan berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, konsep diri, dan keyakinan dalam proses belajar. Selain itu, berbagai faktor internal tersebut mengindikasikan kehidupan psikologis seseorang serta bagaimana di mengembangkan struktur dan strategi kognitif dan emosinya.
Sebagai contoh, perkembangan kognitif manusia sesuai urutan atau sequence tertentu. Kemampuan berpikir pada satu tahapan yang lebih tinggi merupakan perkembangan dari tahapan-tahapan sebelumnya. Pada tahapan yang lebih tinggi seseorang lebih mampu berpikir terorganisasi dan abstrak. Piaget menyebutnya sebagai kemampuan untuk mengembangkan skema berpikir atau building blocks of thinking.
Menurut Piaget proses berpikir melibatkan dua jenis proses yang saling berhubungan yaitu organizing dan adapting. Mengorganisasikan pengetahuan yang dilakukan oleh seseorang adalah membedakan informasi penting dari yang tidak penting atau konsep utama dengan jabarannya serta melihat saling keterkaitan antara satu konsep dengan konsep yang lain. Disamping itu juga seseorang akan melakukan proses adaptasi ketika belajar yaitu melalui asimilasi dengan mengaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Lalu, proses akomodasi terhadap pengetahuan baru dengan sedikit banyak mengubah struktur kognitif yang telah dimiliki.
Landasan psikologis dalam pendidikan secara umum mencakup tentang perkembangan dan kesiapan belajar anak didik. Hal ini telah melahirkan konsep pendidikan sendiri, salah satunya ialah teori konstruktivistik yang mengilhami teori perkembangan kognitif anak dari Jean Piaget. Teori perkembangan kognitif sendiri berorientasi pada perlakuan individual didasarkan pada tingkat perkembangan anak, motivasi belajarnya bersifat instrinsik melalui pengetahuan yang telah dimiliki, menggunakan kurikulum dan metodologi yang mengembangkan keterampilan dasar berpikir juga bahan ajarnya, memusatkan diri pada pengembangan kemampuan secara keseluruhan, bentuk pengelolaannya berpusat pada anak dan guru hanya sebagai pembimbing, program pembelajaran disusun dlam bentuk pengetahuan yang terpadu dan hierarkis serta partisifasi siswa sangat dituntut untuk pengembangan kemampuan belajar dan berpikir sambil menemukan sendiri.
Selanjutnya, mengutip dari apa yang diutarakan oleh Jean Piaget dalam Hergenhahn (2008:324-325) bahwa pengalaman pendidikan harus dibangun di seputar struktur kognitif pembelajar. Anak-anak berusia sama dan dari kultur yang sama cenderung memiliki struktur kognitif yang sama tetapi adalah mungkin bagi mereka untuk struktur kognitif yang berbeda dan karenanya membutuhkan jenis materi belajar yang berbeda pula. Masih menurut Piaget bahwa proses perkembangan seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan dan berlangsung terus menerus. Melalui berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga dalam pandangan Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan pengetahuan itu.
Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan, informasi yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau mengganti skema yang sebelumnya ada. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki skema tentang sejenis binatang, misalnya burung. Bila pengalaman awal anak berkaitan dengan burung kenari, anak kemungkinan beranggapan bahwa semua burung adalah kecil, berwarna kuning, dan mencicit. Suatu saat, mungkin anak melihat seekor burung unta. Anak akan perlu memodifikasi skema yang ia miliki sebelumnya tentang burung untuk memasukkan jenis burung baru.
Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label ”burung” adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak. Di satu sisi, materi pendidikan yang tidak bisa diasimilasikan ke struktur kognitif anak tidak akan bermakna bagi si anak. Jika, di sisi lain materi bisa diasimilasi secara komplet, tidak akan ada proses belajar yang terjadi. Agar belajar terjadi, materi perlu sebagian sudah diketahui dan sebelum belum. Bagian yang sudah diketahui dan bagian yang belum diketahui akan menimbulkan modifikasi dalam struktur kognitif anak. Modifikasi ini disebut akomodasi yang dapat disamakan dengan belajar.
Jadi, menurut Piaget pendidikan yang optimal membutuhkan pengalaman yang menantang bagi si pembelajar sehingga proses asimilasi dan akomodasi dapat menghasilkan pertumbuhan intelektual. Untuk menciptakan jenis pengalaman ini, guru harus tahu level fungsi struktur kognitif siswa. Kesimpulannya dengan menyadari bahwa kemampuan untuk mengasimilasi akan bervariasi dari satu anak ke anak yang lain dan materi pendidikan harus disesuaikan dengan struktur kognitif siswa.
Anak dilahirkan dengan beberapa skemata sensorimotor yang memberi kerangka bagi interaksi awal mereka dengan lingkungannya. Pengalaman awal si anak akan ditentukan oleh skemata sensorimotor ini. Dengan kata lain, hanya kejadian yang dapat diasimilasikan ke skemata itulah yang dapat direspons oleh si anak dan karenanya kejadian itu akan menentukan batasan pengalaman anak. Tetapi melalui pengalaman, skemata awal ini dimodifikasi. Setiap pengalaman mengandung elemen unik yang harus diakomodasi oleh struktur kognitif anak. Melalui interaksi dengan lingkungan, struktur kognitif akan berubah dan memungkinkan perkembangan pengalaman terus menerus.
Istilah intelegensi atau kecerdasan dipakai oleh Piaget untuk mendeskripsikan semua aktivitas adaptif. Perilaku anak yang memegang mainan adalah sama cerdasnya dengan perilaku anak yang lebih tua dalam memecahkan masalah. Perbedaannya adalah dalam struktur kognitif yang tersedia bagi setiap anak. Tindakan yang cerdas selalu cebderung menciptakan keseimbangan antara orgnanisme dengan lingkungannya dalam situasi saat itu. Dorongan ke arah keseimbangan ini dinamakan ekuilibrasi. Berbeda dengan teoritis belajar lain yang telah dipelajari, Piaget tidak mudah dikategorikan sebagai teortisi penguatan atau teoritisi kontiguitas.
Meskipun perkembangan intelektual adalah berkelanjutan selama masa kanak-kanak, Piaget memilih untuk menyusun tahap perkembangan intelektual. Piaget mendeskripsikan empat tahap utama, yaitu sensorimotor, pra-operasional, operasi konkret, operasi formal. Teori Piaget memberi efek signifikan pada praktik pendidikan. Banyaknya pendidik berusaha untuk merumuskan kebijakan spesifik berdasarkan teori Piaget. Kontribusinya adalah telah mengidentifikasi dua tipe belajar. Dimana keduanya adalah asimilasi dan akomodasi diartikan sebagai proses belajar, keduanya melibatkan akuisisi dan penyimpanan informasi.
Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Dalam contoh di atas, melihat burung unta dan mengubah skemanya tentang burung sebelum memberinya label burung adalah contoh mengakomodasi binatang itu pada skema si anak.
Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang itu selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian.
Dengan demikian, kognisi seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari luar secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya. Isu utama dalam perkembangan kognitif serupa dengan isu perkembangan psikologi secara umum. Secara relatif kecerdasan seorang anak tetap stabil pada suatu derajat kecerdasan, namun terdapat perbedaan kemampuan kecerdasan seorang anak usia 3 tahun dibandingkan usia 15 tahun.

2) Teori Belajar Konstruktivistik Menurut Vygotsky
Tokoh lain yang menganut teori belajar konstruktivis ini adalah Vygotsky sarjana Psikologi dari Rusia. Vygotsky lahir di Orsha pada tahun 1896. Dia merupakan lulusan dari Universitas Negeri Moskow tahun 1917.
Dia berminat di bidang psikologi perkembangan terutama perkembangan anak dan pendidikan yang sangat beragam. Dia mengamati bagaimana mengembangkan fungsi mental yang lebih tinggi dalam sejarah budaya kelompok tertentu serta individu melalui interaksi sosial dengan orang-orang penting dalam kehidupan anak, khususnya orang tua dan orang dewasa lainnya.
Melalui interaksi ini, seorang anak yang datang untuk mempelajari kebiasaan pikiran budaya, termasuk pola bicara, bahasa tertulis, dan pengetahuan lainnya secara simbolis melalui anak yang sering disebut sebagai budaya mediasi. Khusus pengetahuan yang diperoleh oleh anak-anak melalui interaksi juga diwakili bersama pengetahuan budaya. Proses ini dikenal sebagai internalisasi. Kontribusi yang paling penting adalah mengenai hubungan antar bahasa dan pemikiran.
Dia berpendapat bahwa pengetahuan dibangun secara sosial. Dalam hal ini siswa yang terlibat dalam suatu interaksi sosial akan memberikan kontribusi dan membangun bersama makna suatu pengetahuan. Dengan demikian proses yang terjadi akan beragam sesuai dengan konteks kulturalnya.
Proses dan konteks kultural yang beragam juga menghasilkan belajar yang beragam pula. Sebagai contoh, dapat diamati bagaimana anak-anak mempelajari suatu konsep melalui modus tertentu.

3. Karakteristik Pembelajaran Konstruktivistik
Konstruktivisme merupakan payung beragam pandangan dan pendekatan tentang belajar dan pembelajaran. Konstruktivis memiliki beberapa karakteristik yang membedakan dengan pendekatan pembelajaran lainnya. Beberapa karakteristik dari konstruktivis dalam pembelajaran sebagai berikut:
(1) mengembangkan strategi alternatif untuk memperoleh dan menganalisis informasi
(2) dimungkinkannya perspektif jamak atau multiple perspective dalam proses belajar
(3) peran siswa utama dalam proses belajar, baik dalam mengatur atau mengendalikan proses berpikirnya sendiri maupun ketika berinteraksi dengan lingkungannya
(4) penggunaan scaffolding dalam pembelajaran
(5) peranan pendidik lebih sebagai tutor, fasilitato dan mentor untuk mendukung kelancaran dan keberhasilan proses belajar siswa
(6) pentingnya kegiatan belajar dan evaluasi belajar yang otentik
4. Model Pembelajaran Konstruktivistik
Dalam praktek seringkali tidak selaras antara tujuan pembelajaran dengan model pembelajaran yang digunakan. Meskipun secara sadar guru menganggap penting tujuan pembelajaran yang berupa kemampuan berpikir analitis-kritis atau sikap pribadi yang toleran menghargai keragaman pendapat. Tetapi model pembelajaran yang digunakan tanpa disadari guru dapat menekankan pertumbuhan sikap analitis-kritis siwa, misalnya sikap yang otoriter.
Demikian pula halnya dengan prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme. Pembelajaran seperti apa yang dapat mendukung proses belajar siswa untuk dapat mengkonstruksi pemahaman dan pengetahuan melalui penalaran individual dan disksi dengan teman, guru serta lingkungannya. Dalam hal ini guru perlu kreatif untuk dapat menciptakan berbagai proses pembelajaran yang dimaksud. Tentunya dilandasi dengan pemahaman yang memadai tentang pembelajaran yang baik dan konstruktivistik.
Ada beberapa model pembelajaran yang sesuai dengan teori belajar konstruktivisme, yaitu:
a) Model Discovery Learning
Pembelajaran menemukan atau discovery learning adalah pembelajaran yang menitikberatkan pada kemampuan siswa menemukan sendiri inti dari suatu materi pelajaran dengan kerja kelompok, penugasan dan mencari berbagai informasi lain. Dalam pembelajaran ini guru dapat merancang langkah-langkah sebagai berikut:
a. menemukan hasil belajar siswa dan merancang tugas
b. merancang tahapan atau langkah-langkah sebagai pedoman kegiatan siswa
c. memastikan siswa telah memahami konsep dan prinsip yang relevan
d. menugaskan siswa dalam kerja kelompok atau individual
e. memberi kesempatan siswa melaporkan temuannya sendiri
f. mendorong siswa mengidentifikasi bagaimana dapat menerapkan temuan itu dalam konteks yang lain
g. memberi balikan dan pengayaan sebagaimana diperlukan
Agar proses pembelajaran menjadi efektif guru perlu mempunyai sikap berikut:
a. pada awal proses pembelajaran siap menjawab pertanyaan siswa dan membantu memulai kegiatan siswa
b. mendorong siswa untuk membuat keputusan sendiri
c. mendorong siswa membuat pertanyaan, misalnya apa yang akan terjadi
d. mendorong siswa menggunakan metode atau cara belajarnya sendiri
e. memfasilitasi diskusi dan bersikap netral serta tidak menyalahkan
f. memasukkan unsur yang tidak diperkirakan sebelumnya

b) Model Cooperative Learning
Salah satu model dalam teori belajar konstruktivisme ini adalah model pembelajaran kelompok khususnya pembelajaran kooperatif atau cooperatif learning. Model pembelajaran ini menjadi perhatian dan dianjurkan para ahli pendidikan untuk digunakan.
Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan atau tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, suku yang berbeda atau heterogen. Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif sebagai berikut:
a. penjelasan materi
b. belajar dalam kelompok
c. penilaian
d. pengakuan tim
Sistem penilaian dilakukan terhadap kelompok. Setiap kelompok akan memperoleh penghargaan apabila mampu menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan. Dengan demikian setiap anggota kelompok akan mempunyai ketergantungan positif. Ketergantungan semacam itulah yang selanjutnya akan memunculkan tanggung jawab individu terhadap kelompok atau keterampilan interpersonal dari setiap anggota kelompok.
Peserta didik perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada peserta didik. Peserta didik harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivis ini adalah peserta didik harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi yang kompleks ke situasi lain dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman yang dialami sendiri oleh siswa. Pengalaman tersebut dibangun dan dikembangkan kembali.

5. Pembelajaran Konstruktivistik dalam Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Prinsip Konstruktivistik memperlihatkan bahwa pembelajaran merupakan proses aktif dalam membuat sebuah pengalaman menjadi masuk akal dan proses ini sangat dipengaruhi oleh apa yang diketahui orang sebelumnya. Inti dari konstruktivisme bahwa suatu pengetahuan yang baru akan selalu didasarkan pada pengetahuan sebelumnya di dalam kerangka kognitif siswa.
Menurut Mulyasa (2003:240) prinsip-prinsip belajar mengajar konstruktivisme, sebagai berikut:
a) Murid harus selalu aktif dalam pembelajaran
b) Proses aktif adalah proses membuat segala sesuatu masuk akal
c) Interpretasi dipengaruhi pengetahuan sebelumnya
d) Interpretasi dibantu oleh metode instruksi
e) Tanya jawab didorong oleh kegiatan inkuiri
f) Kegiatan belajar mengajar tidak hanya pengalihan pengetahuan, tapi pengalihan keterampilan dan kemampuan
Adapun implementasi atau prosedur konstruktivisme di kelas menurut Yager dalam Nurhadi (2003:40-41) antara lain:
a) Carilah dan gunakanlah pertanyaan dan gagasan siswa untuk menuntun pelajaran keseluruhan unit pelajaran
b) Biarkan siswa mengemukakan gagasan-gagasan mereka dahulu
c) Kembangkan kepemimpinan, kerjasama, pencarian informasi dan aktifitas siswa sebagai hasil dari proses belajar
d) Gunakan pemikiran, pengalaman dan minat siswa untuk mengarahkan proses pembelajaran
e) Kembangkan penggunaan alternatif sumber informasi baik dalam bentuk bahan tertulis maupun bahan-bahan para pakar
f) Usahakan agar siswa mengemukakan sebab-sebab terjadinya suatu peristiwa dan situasi serta doronglah siswa agar memprediksi akibatnya
g) Carilah gagasan-gagasan siswa sebelum guru menyajikan pendapatnya sebelum belajar dari buku teks
h) Buatlah agar siswa tertantang dengan konsepsi dan gagasan sendiri
i) Sediakan waktu cukup untuk merefleksi dan menganalisis, menghormati dan menggunakan semua gagasan yang ditengahkan
j) Doronglah siswa untuk melakukan analisis sendiri, mengumpulkan bukti nyata untuk mendukung gagasan-gagasan yang dipelajarinya
k) Gunakanlah masalah yang diidentifikasi oleh siswa sesuai minatnya
l) Gunakan sumber-sumber lokal (manusia dan benda) sumber informasi
m) Libatlah siswa dalam mencari informasi yang dapat diterapkan dalam memecahkan masalah yang ada dalam kehidupan nyata dan sebagainya

a) Pendekatan Kontekstual (Contexstual Teaching and Learning)
Latar belakang
1) Latar belakang filosofis
CTL banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget. Pandangan filsafat ini tentang hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar. Dikatakan bahwa belajar bukan sekedar menghafal, tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukan hasil pemberian dari guru melainkan hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan oleh setiap individu.
Menurut Jean Piaget bahwa sejak kecil setiap anak sudah memiliki struktur kognitif yang dinamakan skema yang terbentuk karena pengalaman. Proses penyempurnaan skema dilakukan melalui proses asimilasi yaitu proses penyempurnaan skema dan akomodasi yaitu proses mengubah skema sudah ada sehingga terbentuk skema baru.
Pandangan Piaget tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu terbentuk dalam struktur kognitif anak, sangat berpengaruh terhadap model pembelajaran diantaranya pembelajaran kontekstual. Berdasarkan pembelajaran ini, pengetahuan terbentuk dan bermakna manakala ditemukan dan dibangun sendiri oleh siswa sendiri.
2) Latar belakang psikologis
Sesuai dengan filsafat yang mendasari bahwa pengetahuan terbentuk karena peran aktif subjek, maka dipandang dari sudut psikologis, CTL berpijak pada aliran sikologis kognitif. Menurut aliran ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu akan lingkungan.
Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan stimulus dan respon, tetapi belajar melibatkan proses mental yang tidak tampak, seperti emosi, minat, motivasi, kemampuan dan pengalaman. Jadi latar belakang psikologis yang mendasari CTL, antara lain belajar bukanlah menghafal, belajar bukanlah mengumpulkan fakta lepas, belajar adalah proses pemecahan, belajar adalah proses pemahaman sendiri yang berkembang, serta menangkap pengetahuan dari kenyataan.
Asas-Asas
CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki tujuh asas atau komponen. Asas-asas ini melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL, berikut:
1) Konstruktivisme
2) Inkuiri
3) Bertanya
4) Masyarakat belajar
5) Pemodelan
6) Refleksi
7) Penilaian nyata
Pola dan Tahapan Pembelajaran
Untuk mencapai kompetensi yang sama dengan menggunakan CTL guru melakukan langkah-langkah pembelajaran, seperti di bawah ini:
1. Pendahuluan
(1) guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari proses pembelajaran dan pentingnya materi pembelajaran yang akan dipelajari
(2) guru menjelaskan prosedur pembelajaran CTL, meliputi:
• siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah kelompok
• tiap kelompok ditugaskan melakukan observasi
• melalui observasi siswa ditugaskan untuk mencatat berbagai hal yang ditemukan
(3) guru melakukan tanya jawab sekitar tugas yang harus dikerjakan oleh setiap siswa
2. Inti
Di lapangan
(1) Siswa melakukan observasi sesuai dengan pembagian kelompok
(2) Siswa mencari jawaban dari tugas yang telah diberikan
Di dalam kelas
(1) Siswa mendiskusikan hasil temuan melalui observasi sesuai dengan kelompoknya masing-masing
(2) Siswa melaporkan hasil diskusi kelompok
(3) Setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh kelompok yang lain
3. Penutup
(1) dengan bantuan guru siswa meyimpulkan hasil observasi yang didapat dengan indikator hasil belajar yang harus dicapai
(2) guru menugaskan siswa untuk membuat catatan sesuai dengan tugasnya masing-masing

b) Matapelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Matapelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah nama dari suatu matapelajaran yang terdapat dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dikemukakan oleh Puskur dalam Depdiknas (2003:2) bahwa Kewarganegaraan (Citizenship) merupakan mataelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia dan suku bangsa untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, teramil dan berkarakter yang diamanatkan Pancasila dan UUD 1945.
Materi pelajaran ini berusaha membina perkembangan peserta didik untuk menjadi warganegara yang mengetahui dan memahami situasi dan kondisi bangsa dan negaranya. Selanjutnya, dapat bertanggung jawab terhadap diri pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara bahkan sebagai anggota masyarakat dunia.
Jadi, matapelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu matapelajaran dalam KTSP sebagai penyempurnaan matapelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebelumnya.

c) Tujuan Matapelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Dalam Depdiknas (2003:5) dituliskan bahwa matapelajaran PKn mempunyai tujuan untuk memberikan kompetensi kepada peserta didik dalam hal:
a. berpikir secara kritis, rasional dan efektif dalam menanggapi isu kewarganegaraan,
b. beraprtisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab serta bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
c. berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter masyarakat Indonesia agar hidup bersama dengan bangsa lain.

d) Cara Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Menggunakan
Model Konstruktivistik
Pembelajaran konstruktivistik adalah suatu pembelajaran dengan konsep belajar berdasarkan prinsip pendekatan kontekstual dimana siswa membangun sendiri pengetahuannya melalui pengalaman nyata. Pengetahuan baru selalu didasarkan pada pengetahuan sebelumnya yang telah mereka dapat dalam kehidupan sehari-hari.
Penerapan pembelajaran konstruktivisme dapat dilakukan dengan cara berikut:
a. Pemanasan
Dilakukan dengan mengadakan apersepsi yakni tanya jawab tentang pengetahuan dan pengalaman siswa. Tahap ini berlangsung selama 5 sampai 10 menit, yakni:
a) pelajaran dimulai dengan hal-hal yang diketahui dan dipahami peserta didik
b) motivasi peserta didik dengan bahan ajar yang menarik dan berguna bagi mereka
c) peserta didik didorong agar tertarik untuk mengetahui hal-hal yang baru
b. Eksplorasi
Bertujuan untuk memperoleh atau mencari informasi baru. Tahap ini berlangsung selama 25 sampai 30 menit, yakni:
a) materi atau keterampilan baru diperkenalkan
b) kaitkan materi dengan pengetahuan yang sudah ada pada peserta didik
c. Konsolidasi
Dilakukan untuk mengadakan negosiasi dalam mencapai pengetahuan baru. Tahap ini berlangsung selama 35 sampai 40 menit. Konsolidasi ppembelajaran ini berupa:
a) libatkan peserta didik secara aktif dalam menafsirkan dan memahami materi baru
b) libatkan peserta didik secara aktif dalam problem solving
c) letakkan penekanan pada kaitan struktural
d. Pembentukan Sikap dan Tingkah Laku
Dalam pembelajaran konstruktivisme ini pengetahuan diproses menjadi nilai, sikap dan perilaku. Tahap ini berlangsung selama 10 menit. Dapat dilakukan dengan cara:
a) peserta didik didorong untuk menerapkan konsep/pengertian yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari
b) peserta didik membangun sikap dan perilaku baru dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pengertian yang dipelajari
e. Penilaian
Bertujuan untuk mengukur pemahaman dan kemampuan siswa dalam menyerap materi yang sudah diajarkan. Tahap ini berlangsung selama 10 menit yakni kembangkan cara-cara untuk menilai hasil pembelajaran siswa.
Dari keterangan di atas, maka hal-hal yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas sebagai berikut:
(1) pelajaran dimulai dengan hal-hal yang diketahui dan dipahami siswa,
(2) mengaitkan pengetahuan baru yang akan disampaikan kepada siswa dengan pengetahun awal yang sudah dimiliki oleh siswa,
(3) melibatkan siswa secara aktif dalam menemukan dan menerapkan idenya,
(4) mengupayakan pembelajaran yang efektif dalam mengkonstruksi pengetahuan melalui diskusi dan tanya jawab,
(5) siswa memperoleh pengetahuan baru setelah berbagi ide dan informasi dengan teman sekelas dan guru.
Selanjutnya, tahapan pembelajaran konstruktivisme dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dapat dilihat dalam bagan berikut:
Alokasi Waktu

5-10 %

25-30 %

35-40 %

10 %

10 %

(Mulyasa, 2003:242).
Keterangan:
1) Pemanasan atau apersepsi
Pada tahap ini guru memotivasi siswa dengan tanya jawab tentang hal-hal yang sudah diketahui mereka dan dikaitkan dengan materi pelajaran yang akan disampaikan.
2) Eksplorasi
Pada tahap ini guru memperkenalkan materi pelajaran baru yang akan dipelajari siswa dan mendorong mereka untuk dapat mengaitkan pengetahuan yang sudah mereka miliki dengan materi yang akan dipelajari serta memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengungkapkan konsep-konsep materi yang sudah diketahui.
3) Konsolidasi
Pada tahap ini guru membentuk kelompok belajar yang terdiri dari 5-6 siswa. Kemudian secara berkelompok siswa berdiskusi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam Lembar Kerja Siswa.
4) Pembentukan Sikap dan Tingkah Laku
Pada tahap ini guru memimpin diskusi kelas dan hasil diskusi dipresentasikan oleh salah satu kelompok dan kelompk yang lain ikut berpartisifasi dalam tanya jawab. Selanjutya, guru dan siswa menyimpulkan hasil diskusi serta mendorong mereka untuk menerapkan konsep dan nilai yang telah dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
5) Penilaian
Tahap terakhir adalah penilaian. Guru melalukan penilaian untuk menjajaki pemahaman siswa tentang materi pelajaran dengan mengajukan pertanyaan secara lisan kepada masing-masing siswa secara acak.

e) Perangkat Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Sekolah Menengah Pertama Kelas VII Semester Dua
Belajar merupakan pemaknaan pengetahuan bukan perolehan pengetahuan, dan mengajar diartikan sebagai kegiatan atau proses menggali makna bukan memindahkan pengetahuan kepada orang yang belajar (Nurhadi, 2004:9). Menurut prinsip konstruktivisme, belajar merupakan proses aktif siswa mengkonstruksi arti, wacana, dialog, pengalaman fisik dan lain-lain. Belajar merupakan proses asimilasi dan menghubungkan pengalaman atau informasi yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki siswa, sehingga pengetahuan berkembang. Sementara, hasil belajar siswa diukur dengan penjajakan terhadap kemampuan siswa mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya.
Dalam Pannen (2001:17) pengaruh prinsip konstruktivisme terhadap hasil belajar siswa adalah:
a. Belajar berarti membentuk makna yang diciptakan dari apa yang mereka lihat, dengar, rasa dan alami.
b. Konstruksi berarti suatu proses yang terus menerus, setipa kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan baru siswa akan selalu mengadakan rekonstruksi.
c. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta lebih dari itu, yakni suatu proses pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru.
d. Hasil belajar dipengaruhi pengalaman siswa (dunia fisik dan lingkungan).
Jadi, hasil belajar siswa tergantung pada apa yang telah diketahui siswa berupa konsep, tujuan dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajarinya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pembelajaran konstruktivisme terhadap hasil belajar siswa khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di kelas VII.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(Kompetensi Dasar 2)

Nama Sekolah : SMP Negeri 2 Indralaya Utara
Mata Pelajaran : Pendidikan Kewarganegaraan
Kelas/Semester : VII/2
Standar Kompetensi : 3. Menampilkan sikap positif terhadap perlindungan dan
penegakan Hak Azasi Manusia.
Kompetensi Dasar : 3.2. Mendiskripsikan kasus pelanggaran dan upaya
penegakan Hak Asasi Manusia
Alokasi Waktu : 4 x 40 menit (2 x pertemuan)

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah selesai proses pembelajaran, siswa dapat:
• Memberikan contoh pelanggaran HAM
• Menganalisis pelanggaran HAM di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat
• Mengalisis kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia
• Mengemukakan cara-cara penanganan pelanggaran HAM

B. Materi Pembelajaran
• Contoh-contoh pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM dapat terwujud malalui berbagai tindak kekerasan, penindasan, kekejaman, dan berbagai konflik. Berikut ini contoh pelanggaran HAM yaitu peristiwa penculikan aktivis : Pius Lustrilanang Ketua Aliansi untuk Demokrasi Rakyat (ALDERA), memberi kesaksiannya di depan Komnas HAM pada 27 April 1998 mengenai siksaan yang dialaminya.
• Pelanggaran HAM di lingkungan keluarga
Misalnya, kekerasan dalam rumah tangga meliputi penyiksaan terhadap istri dan anak yang mengakibatkan luka fisik maupun batin, membeda-bedakan status anak (sulung/bungsu), tidak adanya giliran untuk membersihkan rumah.
• Kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia
Beberapa kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia yaitu:
1. Pelanggaran HAM di Tanjung Priok tahun 1984
2. Terbunuhnya buruh pabrik Marsinah di surabaya tahun 1995
3. Pelanggaran HAM di Timtim pasca jajak pendapat tahun 1999
4. Konflik di Aceh, Maluku, Sampit, Papua, dan lain-lain.
• Cara-cara penanganan pelanggaran HAM
Peranan negara dalam melindungi HAM tidak boleh ditawar-tawar, artinya negara wajib melindungi warga negaranya dari segala penindasan dan perampasan HAM. Dalam pelaksanaannya, tindakan ini dapat dilakukan oleh lembaga negara yang berwenang untuk itu, seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Komnas HAM ataupun oleh lembaga di masyarakat, seperti LBH, YLBHI, PBHI, dan sebagainya.

C. Metode Pembelajaran
• Ceramah bervariasi, tanya jawab, diskusi (model cooperative learning), penugasan dan sebagainya

D. Langkah-langkah kegiatan Pembelajaran
Pertemuan 1
 Pendahuluan (10 menit)
a) Apersepsi
 Kesiapan kelas dalam pembelajaran (absensi, kebersihan, dsb)
 Menanyakan dengan siswa tentang contoh pelanggaran HAM
b) Motivasi
 Memberi contoh-contoh gambar yang berhubungan dengan pelanggaran HAM
 Menggambarkan informasi kompetensi yang ingin dicapai

 Kegiatan Inti (60 menit)
a. Menjelaskan contoh pelanggaran HAM dalam berbagai lingkup kehidupan
b. Membagi siswa menjadi 6 kelompok
c. Siswa mencermati gambar-gambar yang disajikan guru
d. Siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru sesuai dengan gambar
e. Siswa menyimak penjelasan mengenai konsep-konsep inti yang berkaitan dengan sumber

 Kegiatan Penutup (10 menit)
a. Guru bersama siswa menyimpulkan materi untuk pemahaman siswa
b. Post test dan tindak lanjut dengan memberi tugas rumah

Pertemuan 2
 Pendahuluan (10 menit)
a) Apersepsi
Menanyakan kepada siswa tentang kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Indonesia
b) Motivasi
 Penjajakan kesiapan belajar siswa dengan memberikan pertanyaan tentang materi yang akan diajarkan
 Mendemonstrasikan kasus pelanggaran HAM di Aceh
 Menggambarkan informasi kompetensi yang ingin dicapai

 Kegiatan Inti (60 menit)
a. Penjelasan konsep secara umum mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia dan cara-cara penanganan pelanggaran HAM
b. Memberi pertanyaan kepada siswa dan siswa menunjuk tangan menjawab

 Kegiatan Penutup (10 menit)
a. Guru bersama siswa menyimpulkan materi untuk pemahaman siswa
b. Post test dan tindak lanjut dengan memberi pengayaan

E. Sumber Belajar
• Cahyaningsih, Sri Tutik. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP dan MTS Kelas VII. Semarang : esis Erlangga.
• Priyanto, AT Sugeng. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP Kelas VII ( Buku Sekolah Elektronik). Jakarta : Erlangga.
• Buku teks PKn kelas VII Ganeca Exact Bandung
• Buku teks PKn kelas VII Yudhistira Jakarta
• Artikel/Berita media massa cetak dan elektronik
• Permodelan dan gambar-gambar yang relevan dengan materi

F. Penilaian
Penilaian dilakukan sebelum, selama dan sesudah proses pembelajaran. Penilaian tertulis dilakukan dengan tes tertulis dengan bentuk tes uraian. Adapun soal-soal tes uraian sebagai berikut:
1. Tuliskan jenis pelanggaran HAM di Indonesia?
2. Berikan dua contoh kasus-kasus HAM di Indonesia?
3. Jelaskan wewenang pengendalian HAM!
4. Jelaskan cara-cara penanganan pelanggaran HAM di Indonesia!
5. Tuliskan beberapa kewajiban yang harus dilakukan dalam upaya penegakan HAM di lingkungan kita?

Palemraya, 1 Maret 2009
Mengetahui,
Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran PKn


Ansori, S.Pd. Husnil Kirom, S.Pd
NIP 131684125 NIP
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa teori adalah kumpulan fakta yang menjadi data lalu dikembangkan menjadi sebuah konsep yang digeneralisasi dan dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu hal. Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku atau kegiatan yang kompleks individu melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang relatif permanen. Sedangkan, pembelajaran merupakan proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik.
Beberapa teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya teori belajar behavioristik dianut oleh Skinner, teori belajar humanistik dianut oleh Maslow, teori belajar kognitivistik dianut oleh Covington, teori belajar asosiatif dianut oleh Ivan P. Pavlov, teori belajar konstruktivistik dianut oleh Jean Piaget, dan teori belajar post modernistik dianut oleh Paulo Freire. Teori-teori belajar inilah yang dijadikan acuan dalam pembelajaran di kelas.
Teori belajar dan pembelajaran adalah sebuah landasan pemikiran untuk menjelaskan tentang cara-cara belajar dan bagaimana pembelajaran dilaksanakan. Salah satu diantaranya adalah teori belajar konstruktivistik yang berakar dari filsafat tentang manusia dan pengetahuan. Perhatian penting dari konstruktivisme adalah makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu serta berpengetahuan. Asumsi konstruktivistik adalah pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut yang memungkinkan adanya penafsiran jamak bukan hanya satu penafsiran saja. Artinya pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain. Tokoh pendidikan pendukung teori konstruktivistik ini antara lain Jean Piaget, Vygotsky dan John Dewey.
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir dan filosofi pendekatan Contextual Teaching and Learning bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas atau sempit dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Ada beberapa model pembelajaran yang sesuai dengan teori belajar konstruktivistik yaitu Model Discovery Learning dan Model Cooperative Learning. Kedua model ini dapat diterapkan dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Makalah ini membahas tentang penerapan model pembelajaran kooperatif dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran untuk mata pelajaran PKn kelas VII semester dua. Ternyata model ini dapat diterapkan dengan baik dan mampu meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa.

Daftar Pustaka
Cahyaningsih, Sri Tutik. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP dan MTS Kelas VII. Semarang : esis Erlangga.
Depdiknas. 2003. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung : Fokusmedia.
Depdiknas. 2005. Standar Nasional Pendidikan. Jakarta : Sinar Grafika.
Dhieni, Nurbiana dkk. 2005 Metode Pengembangan Bahasa. Jakarta : Universitas Terbuka.
Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar. 2007. Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara.
Hergenhann, B.R. dan Matthew H. Olson. Theories of Learning (Teori Belajar), Edisi Ketujuh. Jakarta : Kencana.
Kunandar. 2007. Guru Profesional; Imlementasi KTSP dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta : Rajawali Press.
Mulyasa, E. Menjadi Guru Profesional; Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. 2006. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Priyanto, AT Sugeng. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP Kelas VII ( Buku Sekolah Elektronik). Jakarta : Erlangga.
Sanjaya, WINA. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana.
Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua. Jakarta : Kencana.
Tim Abdi Guru. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP Kelas VII. Jakarta : Erlangga.
Uno, Hamzah B. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara.
Winataputra, Udin. S. dkk. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : UT.

Tidak ada komentar: