Sabtu, 31 Oktober 2009

LANDASAN PSIKOLOGI PENGEMBANGAN KURIKULUM

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN KOGNITIF JEAN PIAGET DAN PSIKOLOGI BELAJAR GESTALT SEBAGAI SALAH SATU LANDASAN DALAM MENGEMBANGKAN KURIKULUM YANG IDEA

Oleh : Husnil Kirom


Pendahuluan
Dalam proses pengembangan sebuah kurikulum banyak hal yang perlu diperhatikan, diantaranya landasan dalam pengembangannya. Landasan pengembangan kurikulum diantaranya, landasan fisiologis, landasan psikologis, landasan sosial dan budaya, maupun landasan filosofis pengembangan kurikulum. Dari sekian landasan tadi, saya mencoba mengembangkan dan memaparkan landasan psikologis dalam pengembangan suatu kurikulum.
Kurikulum sebagai suatu program dan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, mempunyai hubungan dengan proses perubahan perilaku peserta didik. Dalam hal ini kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang berfungsi sebagai alat untuk mengubah perilaku peserta didik (peserta didik) ke arah yang diharapkan oleh pendidikan. Oleh sebab itu, proses pengembangan kurikulum perlu memperhatikan asumsi–asumsi yang bersumber dalam bidang kajian psikologi.
Landasan psikologis pengembangan kurikulum menuntut kurikulum untuk memperhatikan dan mempertimbangkan aspek peserta didik dalam pelaksanaan kurikulum sehingga nantinya pada saat pelaksanaan kurikulum apa yang menjadi tujuan kurikulum akan tercapai secara optimal. Sehingga unsur psikologis dalam pengembangan kurikulum mutlak perlu diperhatikan.
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam.
Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan teknologi..Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas keempat landasan tersebut.
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif mencakup perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional.Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti : politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsure-unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan.
Pembatasan masalah dalam makalah ini adalah bagaimanakah unsur psikologis mempengaruhi proses pengembangan kurikulum dan Mengapa psikologi perkembangan kognitif Jean Piaget dan psikologi belajar Gestalt perlu diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum yang ideal?
Sehingga tujuan dari pembuatan makalah yaitu untuk mengetahui psikologi perkembangan kognitif Jean Piaget dan psikologi belajar Gestalt sebagai salah satu landasan dalam mengembangkan kurikulum yang ideal dapat tercapai. Adapun untuk lebih jelas lagi diuraikan dalam pembahasan.



Pembahasan
Landasan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum
Psikologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan lingkungan. Psikologi juga diartikan sebagai suatu ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku, ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa. Anak adalah individu yang sedang berada dalam proses perkembangan (fisik, intelektual, sosial emosional, moral, dan sebagainya). Tugas utama seorang guru sebagai pendidik adalah membantu untuk mengoptimalkan perkembangan peserta didiknya berdasarkan tugas–tugas perkembangannya.
Dengan menerapkan landasan psikologi dalam proses pengembangan kurikulum diharapkan dapat diupayakan pendidikan yang dilaksanakan relevan dengan hakikat peserta didik, baik penyesuaian dari segi materi/bahan yang harus diberikan/dipelajari peserta didik, maupun dari segi penyampaian dan proses belajar serta penyesuaian dari unsur–unsur upaya pendidikan lainnya.
Pada dasarnya terdapat dua cabang ilmu psikologi yang berkaitan erat dalam proses pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Karakteristik perilaku tiap individu pada tiap tingkat perkembangan merupakan kajian yang terdapat dalam cabang psikologi perkembangan. Oleh sebab itu, dalam pengembangan kurikulum yang senantiasa berhubungan dengan program pendidikan untuk kepentingan peserta didik, maka landasan psikologi mutlak harus dijadikan dasar dalam proses pengembangan kurikulum. Perkembangan yang dialami oleh peserta didik pada umumnya diperoleh melalui proses belajar. Guru sebagai pendidik harus mengupayakan cara atau metode yang lebih baik untuk melaksanakan proses pembelajaran guna mendapatkan hasil yang optimal, dalam hal ini proses pembelajaran mutlak diperlukan pemikiran yang mendalam dengan memperhatikan psikologi belajar.
Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam hal penentuan isi kurikulum yang diberikan atau dipelajari peserta didik, baik tingkat kedalaman dan keluasan materi, tingkat kesulitan dan kelayakannya serta manfaatnya yang disesuaikan dengan tahap dan tugas perkembangan peserta didik. Sementara psikologi belajar memberikan sumbangan terhadap pengembangan kurikulum terutama berkenaan dengan bagaimana kurikulum itu diberikan kepada peserta didik dan bagaimana peserta didik harus mempelajarinya, berarti berkenaan dengan strategi pelaksanaan kurikulum.
Perkembangan anak, baik fisik, emosional, sosial dan mental intelektual merupakan faktor yang penting dalam pengembangan kurikulum. Hal ini berdasarkan berbagai hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa :
a. Anak berkembang melalui tahap-tahap tertentu, yaitu masa bayi, kanak-kanak permulaan, kanak-kanak lanjutan, remaja, dewasa, dan tua. Pada tiap tahap anak menunjukkan sifat dan kebutuhan tertentu.
b. Kecepatan perkembangan itu tidak merata. Ada saat-saat cepat atau akkselerasi, masa tenang, serta masa lambat dalam perkembangannya. Terdapat hubungan antara perkembangan aspek satu dengan yang lain. Perkembangan fisik yang cepat mempengaruhi aspek sosial dan emosional anak itu sendiri.
c. Ada perbedaan pola perkembangan antara anak-anak. Ada anak yang pada awalnya lamban belajar atau tidak dapat mengikuti pelajaran, akan tetapi pada usia yang lebih lanjut seakan-akan menunjukkan prestasi yang luar biasa. Memaksa anak mempelajari sesuatu sebelum saat kematangan hanya akan menimbulkan frustasi saja.
d. Adanya pola umum dalam perkembangan anak memungkinkan pengembangan kurikulum untuk memperkirakan bahan apa yang akan sesuai kepada kelompok umur tertentu.
Mengenai perkembangan anak dipersoalkan, apakah perbedaan pada anak disebabkan oleh faktor genetis atau pembawaan dan faktor lingkungan. Pengetahuan tentang perkembangan anak masih kurang jelas ppenerapannya dalam kurikulum walaupun sudah menjadi pokok pertimbangan. Salah satu penyebabnya bahwa penelitian sering hanya meliputi salah satu aspek, misalnya aspek jasmani, intelegensi, dan sebagainya. Kesulitan bagi pengembang kurikulum ialah melihat perkembangan anak sebagai keseluruhan yang bulat.
Tiap anak berbeda dengan anak lain. Untuk mendapat gambaran yang jelas tentang perbedaan itu dalam pengajaran, perlu diperhatikan hal-hal berikut :
1) walaupun tiap anak unik, persamaan antara manusia lebih besar daripada perbedaannya;
2) namun demikian perbedaan itu lebih besar daripada uang diduga si pendidik;
3) perbedaan itu sebagian besar bersifat kuantitatif bukan kaulitatif, misalnya semua anak mempunyai intelegensi akan tetapi tarafnya berbeda-beda;
4) kesanggupan yang luar biasa pada umumnya bukanlah akibat kompensasi, yakni ditimbulkan oleh kekurangan di bidang lain;
5) perbedaan individual tidak hanya dalam bidang integensi, akan tetapi juga dalam bidang emosional, sosial, fisik, sikap dan lain-lainyang harus dipertimbangkan dalam pendidikan; dan
6) sifat-sifat seseorang harus ditinjau dalam rangka keseluruhan pribadinya.
Menyesuaikan kurikulum dan ppengajaran dengan perbedaan individual adalah usaha yang memerlukan pemikiran, kreativitas, pengertian,serta hasrat untuk memberikan yang sebaik-baiknya kepada tiap anak. Selain itu, perlu usaha mengenal anak secara individual.
(a) Kebutuhan Anak
Kurikulum harus mempertimbangkan kebutuhan anak. Ada kurikulum yang secara ekstrem mendasarkan kurikulum semata-mata pada kebutuhan anak yang disebut child-centered curriculum. Ditinjau dari segi psikologis-didaktis banyak kebaikannya. Pelajaran didasarkan atas minat anak dan turut serta merencanakan apa yang ingin dipelajarinya.
(b) Kebutuhan Jasmaniah
Setiap anak ingin bergerak dan menggunakan badannya. Anak-anak suka berlari, melompat, memanjat, dan melakukan aktivitas jasmaniah. Kebutuhan ini dipenuhi dengan memberikan pendidikan jasmani. Disamping pendidikan jasmani harus diusahakan adanya keseimbangan antara bekerja dengan istirahat dan lain sebagainya.
(c) Kebutuhan Pribadi
Anak-anak mempunyai dorongan untuk memuaskan keinginan untuk mengetahui sesuatu, untuk menyatakan pikiran dan perasaannya dengan jalan bahasa, pekerjaan, lukisan, seni suara atau gerak. Mereka ingin menguasai suatu keterampilan, merasai kepuasan atas hasil atau sukses yang mereka capai. Saat ini sekolah berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu dengan memberi kebebasan bergerak, bekerja, mengadakan percobaan-percobaan dan melakukan tugas-tugas lainnya.
(d) Kebutuhan Sosial
Membimbing anak agar menjadi makhluk sosial adalah suatu fungsi sekolah yang penting. Pada kurikulum modern memberi kesempatan kepada siswa lebih banyak kebebasan bekerjasama dalam kelompok untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Para siswa diajak berunding untuk menentukan apa yang akan dipelajari dan bagaimana langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut? Dalam hal ini pendapat setiap anak dihargai dan dipertimbangkan.

1. Psikologi Perkembangan Kognitif Jean Piaget
Jean Piaget adalah seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan. Menurut Piaget, kecerdasan seseorang berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata atau skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan. Saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental.
Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme bukan ke dalam teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan). Teori Perkembangan Kognitif ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan.
Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia, yakni:
1. Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
a) Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
b) Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
c) Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
d) Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
e) Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
2. Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
1) Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran Pra Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek.
2) Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah yang bentuknya berbeda-beda.
3) Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
3. Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
1) Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
(a) Pengurutan yaitu kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
(b) Klasifikasi yaitu kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
(c) Decentering yaitu anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
(d) Reversibility yaitu anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
(e) Konservasi yaitu memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
(f) Penghilangan sifat egosentrisme yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah. Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan.

4. Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
1) Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia.
2) Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada ”gradasi abu-abu” di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas, menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial.
3) Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.

Jean Piaget menguraikan pentingnya berbagai faktor internal seseorang, seperti tingkat kematangan berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, konsep diri, dan keyakinan dalam proses belajar. Selain itu, berbagai faktor internal tersebut mengindikasikan kehidupan psikologis seseorang serta bagaimana di mengembangkan struktur dan strategi kognitif dan emosinya. Sebagai contoh, perkembangan kognitif manusia sesuai urutan atau sequence tertentu. Kemampuan berpikir pada satu tahapan yang lebih tinggi merupakan perkembangan dari tahapan-tahapan sebelumnya. Pada tahapan yang lebih tinggi seseorang lebih mampu berpikir terorganisasi dan abstrak. Piaget menyebutnya sebagai kemampuan untuk mengembangkan skema berpikir atau building blocks of thinking.
Menurut Piaget proses berpikir melibatkan dua jenis proses yang saling berhubungan yaitu organizing dan adapting. Mengorganisasikan pengetahuan yang dilakukan oleh seseorang adalah membedakan informasi penting dari yang tidak penting atau konsep utama dengan jabarannya serta melihat saling keterkaitan antara satu konsep dengan konsep yang lain. Disamping itu juga seseorang akan melakukan proses adaptasi ketika belajar yaitu melalui asimilasi dengan mengaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Lalu, proses akomodasi terhadap pengetahuan baru dengan sedikit banyak mengubah struktur kognitif yang telah dimiliki.
Landasan psikologis dalam pendidikan secara umum mencakup tentang perkembangan dan kesiapan belajar anak didik. Hal ini telah melahirkan konsep pendidikan sendiri, salah satunya ialah teori konstruktivistik yang mengilhami teori perkembangan kognitif anak dari Jean Piaget. Teori perkembangan kognitif sendiri berorientasi pada perlakuan individual didasarkan pada tingkat perkembangan anak, motivasi belajarnya bersifat instrinsik melalui pengetahuan yang telah dimiliki, menggunakan kurikulum dan metodologi yang mengembangkan keterampilan dasar berpikir juga bahan ajarnya, memusatkan diri pada pengembangan kemampuan secara keseluruhan, bentuk pengelolaannya berpusat pada anak dan guru hanya sebagai pembimbing, program pembelajaran disusun dlam bentuk pengetahuan yang terpadu dan hierarkis serta partisifasi siswa sangat dituntut untuk pengembangan kemampuan belajar dan berpikir sambil menemukan sendiri.
Selanjutnya, mengutip dari apa yang diutarakan oleh Jean Piaget dalam Hergenhahn (2008:324-325) bahwa pengalaman pendidikan harus dibangun di seputar struktur kognitif pembelajar. Anak-anak berusia sama dan dari kultur yang sama cenderung memiliki struktur kognitif yang sama tetapi adalah mungkin bagi mereka untuk struktur kognitif yang berbeda dan karenanya membutuhkan jenis materi belajar yang berbeda pula. Masih menurut Piaget bahwa proses perkembangan seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan dan berlangsung terus menerus. Melalui berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga dalam pandangan Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan pengetahuan itu.
Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan, informasi yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau mengganti skema yang sebelumnya ada. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki skema tentang sejenis binatang, misalnya burung. Bila pengalaman awal anak berkaitan dengan burung kenari, anak kemungkinan beranggapan bahwa semua burung adalah kecil, berwarna kuning, dan mencicit. Suatu saat, mungkin anak melihat seekor burung unta. Anak akan perlu memodifikasi skema yang ia miliki sebelumnya tentang burung untuk memasukkan jenis burung baru.
Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label ”burung” adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak. Di satu sisi, materi pendidikan yang tidak bisa diasimilasikan ke struktur kognitif anak tidak akan bermakna bagi si anak. Jika, di sisi lain materi bisa diasimilasi secara komplet, tidak akan ada proses belajar yang terjadi. Agar belajar terjadi, materi perlu sebagian sudah diketahui dan sebelum belum. Bagian yang sudah diketahui dan bagian yang belum diketahui akan menimbulkan modifikasi dalam struktur kognitif anak. Modifikasi ini disebut akomodasi yang dapat disamakan dengan belajar.
Jadi, menurut Piaget pendidikan yang optimal membutuhkan pengalaman yang menantang bagi si pembelajar sehingga proses asimilasi dan akomodasi dapat menghasilkan pertumbuhan intelektual. Untuk menciptakan jenis pengalaman ini, guru harus tahu level fungsi struktur kognitif siswa. Kesimpulannya dengan menyadari bahwa kemampuan untuk mengasimilasi akan bervariasi dari satu anak ke anak yang lain dan materi pendidikan harus disesuaikan dengan struktur kognitif siswa.
Anak dilahirkan dengan beberapa skemata sensorimotor yang memberi kerangka bagi interaksi awal mereka dengan lingkungannya. Pengalaman awal si anak akan ditentukan oleh skemata sensorimotor ini. Dengan kata lain, hanya kejadian yang dapat diasimilasikan ke skemata itulah yang dapat direspons oleh si anak dan karenanya kejadian itu akan menentukan batasan pengalaman anak. Tetapi melalui pengalaman, skemata awal ini dimodifikasi. Setiap pengalaman mengandung elemen unik yang harus diakomodasi oleh struktur kognitif anak. Melalui interaksi dengan lingkungan, struktur kognitif akan berubah dan memungkinkan perkembangan pengalaman terus menerus.
Istilah intelegensi atau kecerdasan dipakai oleh Piaget untuk mendeskripsikan semua aktivitas adaptif. Perilaku anak yang memegang mainan adalah sama cerdasnya dengan perilaku anak yang lebih tua dalam memecahkan masalah. Perbedaannya adalah dalam struktur kognitif yang tersedia bagi setiap anak. Tindakan yang cerdas selalu cebderung menciptakan keseimbangan antara orgnanisme dengan lingkungannya dalam situasi saat itu. Dorongan ke arah keseimbangan ini dinamakan ekuilibrasi.
Meskipun perkembangan intelektual adalah berkelanjutan selama masa kanak-kanak, Piaget memilih untuk menyusun tahap perkembangan intelektual. Piaget mendeskripsikan empat tahap utama, yaitu sensorimotor, pra-operasional, operasi konkret, operasi formal. Teori Piaget memberi efek signifikan pada praktik pendidikan. Banyaknya pendidik berusaha untuk merumuskan kebijakan spesifik berdasarkan teori Piaget. Kontribusinya adalah telah mengidentifikasi dua tipe belajar. Dimana keduanya adalah asimilasi dan akomodasi diartikan sebagai proses belajar, keduanya melibatkan akuisisi dan penyimpanan informasi
Anak sejak dilahirkan sudah memperlihatkan keunikan–keunikan yang berbeda satu sama lainnya, seperti pernyataan dirinya dalam bentuk tangisan dan gerakan–gerakan tubuhnya. Hal ini menggambarkan bahwa sejak lahir anak telah memiliki potensi untuk berkembang. Di dalam psikologi perkembangan terdapat banyak pandangan ahli berkenaan dengan perkembangan individu pada tiap–tiap fase perkembangan.
Pandangan tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan dan persamaannya. Implikasi dari hal tersebut terhadap pengembangan kurikulum, yaitu tiap-tiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhannya. Selain itu, disediakan pembelajaran yang bersifat umum (program inti) yang harus dipelajari peserta didik di sekolah. Disediakan pula pembelajaran pilihan sesuai minat dan bakat anak. Kurikulum selain menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan juga menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik. Selanjutnya, kurikulum memuat tujuan yang mengandung pengetahuan, nilai dan sikap, serta ketrampilan yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan bathin.
Implikasi lain dari pengetahuan tentang anak sebagai peserta didik terhadap proses pembelajaran (actual curriculum) dapat diuraikan sebagai berikut:
1) tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat pada perubahan tingkah laku anak didik;
2) bahan/materi pembelajaran yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan, minat dan perhatian anak, bahan tersebut mudah diterima oleh anak;
3) strategi pembelajaran yang digunakan harus sesuai dengan tahap perkembangan anak;
4) media yang digunakan selalu menarik perhatian dan minat anak didik; dan
5) sistem evaluasi berpadu dalam satu kesatuan yang menyeluruh dan berkesinambungan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan dilaksanakan secara terus-menerus.

2. Psikologi Belajar Gestalt
Salah satu penganut aliran Gestalt adalah Wolfgang Kohler. Karya paling signifikan tentang belajar muncul antara 1913 dan 1917 di University of Berlin Anthropoid Station di Tenerife. Psikologi Gestalt terutama tentang teoritis medan magnet yang tertarik pada fenomena perseptual, tidak mengejutkan jika mereka memandang belajar sebagai problem khusus dalam persepsi.
Belajar menurut Gestalis adalah fenomena kognitif. Organisme mulai melihat solusi setelah memikirkan masalah. Pendidik memikirkan semua unsur yang dibutuhkan untuk memecahkan problem dan menempatkannya bersama secacara kognitif dalam satu cara dan kemudian cara lainnya sampai masalah terpecahkan. Belajar merupakan proses diskontinyu. Dalam rangka menguji kebenaran gagasan tentang belajar ini, Kohler menggunakan sejumlah eksperimen kreatif.
Gestaltis berpendapat bahwa problem yang tak selesai akan menimbulkan ambbiguitas atau kestidakseimbangan organisasional dalam pikiran siswa. Siswa yang berhadapan dengan masalah akan berusaha mencari informasi baru atau menata ulang informasi lama sammpai mereka mendapatkan wawasan mendalam tentang solusinya. Kontribusi yang penting dari psikologi Gestalt adalah kritiknya terhadap pendekatan modekular atau atomistik dari behaviorisme S-R. Ditunjukkan bahwa baik itu persepsi maupun belajar dicirikan oleh proses kognitif yang mengorganisasikan pengalaman psikologis. Fokus psikologi Gestalt pada belajar berwawasan juga memberikan pandangan alternatif untuk mengkonseptualisasikan penguatan. Dengan memperhatikan pada kepuasan yang datang dari penemuan atau pemecahan masalah.
Selanjutnya, psikologi belajar merupakan suatu cabang ilmu yang mengkaji bagaimana individu belajar. Belajar dapat diartikan sebagai perubahan perilaku yang terjadi melalui pengalaman. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia belajar berasal dari kata ajar yang berarti suatu petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui atau diturut. Segala perubahan perilaku yang trejadi karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar. Perubahan yang terjadi secara insting atau terjadi karena secara kebetulan bukan termasuk belajar.
Kunci dalam psikologi belajar Gestalt ialah insight. Belajar ialah mengembangkan insight pada anak dengan melihat hubungan antara unsur-unsur situasi problematis dengan demikian melihat makna baru dalam situasi itu. Belajar bukan sesuatu yang pasif, dalam belajar siswa mempunyai tujuan, mengadakan eksplorasi, menggunakan imajinasi dan bersifat kreatif.
Prinsip-prinsip belajar menurut Gestalt, yaitu :
1. Belajar itu berdasarkan keseluruhan
2. Anak yang belajar merupakan keseluruhan
3. Belajar berkat insight
4. Belajar berdasarkan pengalaman
5. Belajar ialah suatu proses perkembangan
6. Belajar ialah proses yang kontinu
7. Belajar lebih berhasil bila dibandingkan dengan minat keinginan dan tujuan anak.
Teori Gestalt atau field theory mempunyai tujuan yang luas, yakni bukan hanya memberikan pengetahuan tapi juga proses menghadapi dan memecahkan masalah, pengembangan pribadi, dan sikap terhadap dunia. Dalam menentukan bahan pelajaran dopertimbangkan minat dan perkembangan anak, lingkungan masyarakat anak dan bahan dari dari berbagai mata pelajaran. Kurikulum meliputi perkembangan sosial, emosional, dan intelektual. Organisasi bahan pelajaran dan metode mengajar mengutamakan hubungan dan integrasi serta pemahaman. Fakta-fakta atau informasi spesifik diperlukan untuk memperoleh pemahaman itu. Berbeda dengan teori asosiasi, yang banyak memberi peranan “pasif” kepada anak, teori Gestalt ini memandang belajar sebagai proses yang memerlukan aktivitas anak. Karena itu digunakan metode problem-solving dan inquiry-approach. Anak sendiri harus menemukan jawaban masalah, dengan bimbingan serta bantuan guru sejauh diperlukan.
John Dewey yang juga termasuk penganut teori Gestalt, organismik atau teori lapangan kognitif, memandang berpikir sebagai proses reflektif yang pada dasarnya tak berbeda dengan berpikir ilmiah. Dalam cara berpikir ini digabungkan proses induktif, pengumpulan data, dan proses deduktif, mencari, menganalisis, dan menguji hipotesis. Bedanya dengan proses ilmiah ialah, bahwa dalam pemikiran reflektif tidak digunakan laboratorium sehingga dapat digunakan dalam pemecahan segala macam masalah termasukmaslah sosial. Langkah-langkah dalam pemecahan masalah menurut Dewey telah cukup terkenal yaitu, mengenal dan meruumuaskan masalah, merumuskan hipotesis, menyelidiki implikasi hipotesis dengan mengumpulkan data atau pengetahuan, mentes hipotesis dengan menguji implikasi atau konsekuensi hipotesis berdasarrkan data atau pengalaman, mengambil kesimpulan.
Psikologi belajar yang berkembang sampai saat ini, pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi tiga kelas, antara lain :
a. Teori disiplin mental (faculty theory)
Menurut teori ini anak sejak dilahirkan memiliki potensi atau daya tertentu (faculties) yang masing–masing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir, daya mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan sejenisnya. Potensi–potensi tersebut dapat dilatih agar dapat berfungsi secara optimal,daya berpikir anak sering dilatih dengan pembelajaran berhitung misalnya, daya mengingat dilatih dengan menghapal sesuatu. Daya yang telah terlatih dipindahkan ke dalam pembentukan lain. Pemindahan (transfer) ini mutlak dilakukan melalui latihan (drill), karena itu pengertian pembelajaran dalam konteks ini melatih anak didik dalam daya-daya itu, cara pembelajaran pada umumnya melalui hafalan dan latihan-latihan.
b. Behaviorisme
Dalam aliran behaviorisme ini, terdapat 3 rumpun teori yang mencakup teori koneksionisme atau asosiasi, teori kondisioning, dan teori operant conditioning (reinforcement). Behaviorisme muncul dari adanya pandangan bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat. Behaviorisme menganggap bahwa perkembangan individu tidak muncul dari hal yang bersifat mental, perkembangan hanya menyangkut hal yang bersifat nyata yang dapat dilihat dan diamati.
Teori ini kehidupan tunduk pada hukum S-R (stimulus-respon) atau aksi-reaksi. Menurut teori ini, pada dasarnya belajar merupakan hubungan respon–stimulus. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus-respon seoptimal mungkin. Tokoh utama teori ini, yaitu Edward L. Thorndike yang memunculkan tiga teori belajar yakni, law of readiness, law of exercise, dan law of effect.
Menurut hukum kesiapan (readiness) hubungan antara stimulus dengan respon akan terbentuk bila ada kesiapan pada system syaraf individu. Hukum latihan/pengulangan (exercise/repetition) stimulus dan respon akan terbentuk apabila sering dilatih atau diulang–ulang. Hukum akibat (effect) menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respon akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan.
c. Kognitifisme
Menurut teori ini keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai makhluk yang melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon. Stimulus yang hadir diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu melakukan interaksi dengannya terus-menerus sehingga terjadi suatu proses pembelajaran. Dalam hal ini guru lebih berperan sebagai pembimbing bukan sumber informasi sebagaimana diungkapkan dalam pandangan koneksionisme, peserta didik lebih berperan dalam hal proses pembelajaran, belajar berlangsung berdasarkan pengalaman yaitu kegiatan interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Belajar menurut teori ini bukanlah sebatas menghapal tetapi memecahkan masalah, dan metode belajar yang dipakai adalah metode ilmiah dengan cara anak didik dihadapkan pada suatu permasalahan yang cara penyelesaiannya diserahkan kepada masing-masing anak didik yang pada akhirnya peserta didik dibimbing untuk mengambil suatu kesimpulan bersama dari apa yang telah dipelajari.
Prinsip-prinsip maupun penerapan dari organismic/cognitive gestalt field, antara lain :
1) Belajar berdasarkan keseluruhan
Prinsip ini mempunyai pandangan sebagaimana proses pembelajaran terpadu. Pelajaran yang yang diberikan kepada peserta didik bersumber pada suatu masalah atau pkok yang luas yang harus dipecahkan oleh peserta didik, peserta didik mengolah bahan pembelajaran dengan reaksi seluruh pelajaran oleh keseluruhan jiwanya.
2) Belajar adalah pembentukan kepribadian
Anak dipandang sebagai makhluk keseluruhan, anak diimbing untuk mendapat pengetahuan, sikap, dan ketrampilan secara berimbang. Ia dibina untuk menjadi manusia seutuhnya yang memiliki keseimbangan lahir dan batin antara pengetahuan dengan sikapnya. Seluruh kepribadiannya diharapkan utuh melalui program pembelajaran yang terpadu.
3) Belajar berkat pemahaman
Belajar merupakan proses pemahaman. Pemahaman mengandung makna penguasaan pengetahuan, dapat menyelaraskan sikap dan ketrampilannya. Ketrampilan menghubungkan bagian-bagian pengetahuan untuk diperoleh sesuatu kesimpulan merupakan wujud pemahaman.
4) Belajar berdasarkan pengalaman
Proses belajar adalah bekerja, mereaksi, memahami, dan mengalami. Dalam proses pembelajaran peserta didik harus aktif dengan pengolahan bahan pembelajaran melalui diskusi, Tanya jawab, kerja kelompok, demonstrasi, survey lapangan, dan sejenisnya.
5) Belajar adalah proses berkelanjutan
Belajar adalah proses sepanjang masa. Manusia tidak pernah berhenti untuk belajar, hal ini dilakukan karena faktor kebutuhan. Dalam pelaksanaannnya dianjurkan dalam pengembangannya kurikulum tidak hanya terpaku pada proses pembelajaran yang ada tetapi mengembangkan proses pembelajaran yang bersifat ekstra untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Keberhasilan belajar tidak hanya ditentukan oleh kemampuan anak didik tetapi menyangkut minat, perhatian, dan kebutuhannya. Dalam kaitan ini motivasi sangat menentukan dan diperlukan.
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologi yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi“.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang lima tipe kompetensi, yaitu :
1) Motif
Adalah sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
2) Bawaan
Adalah karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
3) Konsep diri
Adalah tingkah laku, nilai atau image seseorang;
4) Pengetahuan
Adalah informasi khusus yang dimiliki seseorang; dan
5) Keterampilan
Adalah kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5) pertumbuhan dan perkembangan kognitif.
Nana Syaodih Sukmadinata mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu psikologi perkembangan dan\psikologi belajar.
Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.

Kesimpulan
Pengembangan kurikulum yang ada di Indonesia, saat ini telah banyak mengalami perubahan. Banyak hal yang dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum di suatu negara termasuk Indonesia. Diantara landasan pengembangan kurikulum yang perlu dipertimbangkan yaitu landasan psikologi dalam pengembangan kurikulum.
Dalam pengembangan kurikulum aspek psikologi patut dipertimbangkan, pada proses pelaksanaan kurikulum faktor psikologi dari pebelajar perlu diperhatikan. Psikologi yang dimaksud di sini, terdapat dua aspek psikologi antara lain psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
Psikologi perkembangan kognitif menurut Jean Piaget memandang aspek kesiapan peserta didik dalam proses pelaksanaan kurikulum, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum perlu memandang dan memperhatikan faktor psikologi perkembangan dari tiap-tiap peserta didik.
Psikologi belajar menurut Gestalt merupakan bagian dari psikologi, yang mengkaji bagaimana seseorang melakukan kegiatan belajar, cara dia menerima suatu rangsang/informasi sehingga terjadi suatu proses belajar. Terdapat tiga bagian dari psikologi belajar, antara lain teori disiplin mental atau faculty theory, behaviorisme, dan cognitive gestalt field.
Nana Syaodih Sukmadinata mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu psikologi perkembangan dan\psikologi belajar.
Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.


DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Bahan Kajian ; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.

________. 2003. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif ; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.

________. 2003. Penilaian Kelas ; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Puskur Balitbang.

Hamalik, Oemar. 2006. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Hamalik, Oemar. 2006. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara.

Hergenhahn, B.R. dan Olson, H. Matthew. 2008. Theories of Learning (Teori Belajar). Jakarta : Kencana.
Idi, Abdullah. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.

Idi, Abdullah. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Jakarta : Gaya Media.

Ladjid, Hafni. 2005. Pengembangan Kurikulum Menuju Kurikulum Berbasis Kompetensi. Padang : Ciputat Press Group.

Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Yang Disempurnakan ; Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Bandung : Remaja Rosdakarya.
_________. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi ; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : Remaja Rosdakarya.

_________. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Nasution, S. 1995. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta : Bumi Aksara.

Nasution, S. 1999. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta : Bumi Aksara.

Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2007.

Pratt, David. 1980. Curriculum Design and Development. New York : Harcourt Brace Jovanovich. Inc.

Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua. Jakarta : Kencana.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2009. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Suryosubroto, B. 2005. Tatalaksana Kurikulum. Jakarta : Rineka Cipta.

Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran.2002. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.

Winataputra, Udin. S. dkk. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Universitas Terbuka.