Senin, 14 Maret 2011

TAHAPAN PEMERIKSAAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA

3.1 Penyelidikan dan Penyidikan
Apabila hukum acara idana ini dilihat dari sudut pemeriksaan maka hal ini dapat dirinci ke dalam dua bagian, yaitu pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan yang dilakukan pertama kali oleh polisi, baik kapasitasnya sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik, apabila ada dugaan bahwa hukum pidana material telah dilanggar. Sedangkan pemeriksaan di sidang pengadilan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan apakah dugaan bahwa seseorang yang telah melakukan tindak pidana itu dapat dipidana atau tidak.
Berikut ini akan dibicarakan tentang pemeriksaan pendahuluan yang melalui proses penyelidikan dan penyidikan.
1. Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yg diatur dalam KUHAP pasal 1 butir 5.
Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia adalah penyelidik (pasal 4 KUHAP).
Dalam kaitannya dengan usaha untuk mengungkap sebuah peristiwa untuk dapat dikatakan sebagai peristiwa pidana atau sebaliknya guna kepentingan penyidikan, penyelidik karena kewajibannya dan atas perintah penyidik mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Menurut pasal 5 KUHAP menegaskan, penyelidik mempunyai kewenangan sebagai berikut:
a. Karena kewajibannya mempunyai kewenangan:
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana
2) Mencari keterangan dan barang bukti
3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri
4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.
2) Pemeriksaan dan penyitaan surat
3) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
4) Membawa dan menghadapkan seorang kepada penyidik
c. Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut dalam huruf a dan b kepada pihak penyidik.

2. Penyidikan
Sebagaimana telah disinggung pada uraian sebelumnya, penyidikan adalah merupakan tindak lanjut dari tindakan penyelidikan.
Undang-undang memberikan pengertian tentang penyidikan adalah sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang (KUHAP), untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka (pasal 1 angka 2 KUHAP). Sebagai titik senteral dalam tindakan penyelidik ini adalah mencari dan menemukan bukti-bukti guna membuat terang suatu tindakan pidana.
Secara redaksional di dalam KUHAP, penyidik adalah:
“Pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan (pasal 1 angka 1 KUHAP), sementara di dalam pasal yang lain memberikan pengertian bahwa penyidik adalah: a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia, b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang (pasal 6 ayat (1) KUHAP).
Berbeda dengan penyelidik, penyidik sebagaimana tersebut dalam pasal 6 ayat (1) KUHAP harus mempunyai kepangkatan tertentu, yang ketentuannya diatur oleh peraturan pemerintah (pasal 6 ayat (2) KUHAP).
Di dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983 menyebutkan:
1) Penyidik adalah:
a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Ajun Inspektur Polisi Dua.
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tk I (Gol II/b) atau yang disamakan dengan itu.
2) Dalam hal disuatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Kepala Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara rendah yaitu dibawah Ajun Inspektur Polisi Dua, karena jabatannya adalah penyidik.
Kemudian berdasarkan pasal 7 KUHAP diterangkan bahwa:
1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditemukan kejadian
c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlakukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyelidikan.
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya di dalam koordinasi penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a.

Selanjutnya yang dimaksud dengan penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b, penjelasan pasal 7 ayat (2) KUHAP memberikan penegasan bahwa yang dimaksud dengna penyidik pegawai negeri sipil tertentu, misalnya: pejabat bea cukai, pejabat imigrasi, dan pejabat kehutanan.
Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik polri mengacu pada pasal 7 ayat (1) KUHAP, sementera untuk penyidik pegawai negeri sipil mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman No. M.PW.07.03 tahun 1984, tanggal 27 September 1984 tentang kewenangan penyidik pegawai negeri sipil.
Hanya satu hal yang perlu dicatat dalam keputusan Menteri Kehakiman tersebut adalah bahwa penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang melakukan penangkapan, penahanan, dan dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh penyidik polri.
Disamping penyidik polri, dan penyidik pegawai negeri sipil terdapat juga dua macam penyidik lagi yaitu penyidik Jaksa dan penyidik Perwira Angkatan Laut. Khusus penyidik Perwira Angkatan Laut mempunyai wewenang terhadap Zone Ekonomi Eksklusif sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (1) UU No. 9 tahun 1985 dan pasal 14 UU No. 5 tahun 1983 . Pasal 14 UU No. 5 tahun 1983 menyebutkan:
1. Aparat penegak hukum di bidang Zona Ekonomi Eksklusif adalah Perwira Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima ABRI/TNI.
2. Penuntut Umum adalah Jaksa pada pengadilan negeri
3. Yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi dimana dilakukan penahanan terhadap kapal atau orang-orang.

3. Penyidik Pembantu
Di dalam pasal 10 KUHAP menyatakan bahwa:
(1). Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini.
(2). Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Berkenaan dengan pasal 10 ayat (2) KUHAP, maka di dalam pasal 3 peraturan pemerintah No. 27 tahun 1983 menegaskan:
(1) Penyidik pembantu adalah:
a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Brigader Dua Polisi.
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Gol II/a) atau yang disamakan dengan itu.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul Kepala atau Pimpinan kesatuan masing-masing.
(3) Wewenang kepangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilimpahkan kepada pejabat kepolisian negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewenangan penyidik pembantu, diatur dalam pasal 11 KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik pembantu mempunyai keweangan seperti tersebut dalam pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan penyidik.
Kewenangan pembantu adalah sebagai berikut:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempatkan kejadian
c. Menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka
d. Melakukan penangkapan, penggeledahan dan penyitaan
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
f. Mengambil sidik jari dan memotret tersangka
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlakukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara
i. Mengadakan penghentian penyelidikan
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab
Selanjutnya yang dimaksud dengan “tindakan lain”, adalah tindakan penyidik untuk kepentingan penyidik dengan syarat:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang seharusnya dilakukan tindakan jabatan
c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya.
d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa
e. Menghormati hak asasi manusia
(pasal 5 ayat (1) angka 4 KUHAP)


3.2 Diketahuinya Tindak Pidana
Tindak Pidana dapat diketahui dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Karena adanya Pengaduan
Adapun yang dimaksud dengan pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya (pasal 1 angka 25 KUHAP)
Pengaduan hanya diperuntukkan bagi:
a. Untuk tindak pidana aduan
b. Merupakan syarat adanya penuntutan
c. Pengaduan dapat dicabut kembali
2. Karena adanya Pelaporan
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan Undang-Undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana (pasal 1 angka 24 KUHAP).
Berbeda dengan pengaduan, maka laporan diperuntukkan bagi:
a. Diperuntukkan bagi tindak pidana biasa
b. Setiap orang berhak atau berkewajiban untuk memberitahukannya
c. Laporan tidak merupakan syarat untuk dapat dilakukannya penuntutan artinya bahwa menutu pertimbangan penyelidik/penyidik tidak semua laporan akan diproses yang sudah barang tentu berdasarkan pertimbangan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.
3. Karena Tersangka Tertangkap Tangan.
Yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah:
a. Tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana
b. Atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan
c. Atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya
d. Atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu (pasal 1 angka 19 KUHAP)
Khusus tertangkap tangan dalam Undang-undang memberikan kewenangan bukan hanya kepada penyidik untuk melakukan tindakan hukum akan tetapi pihak-pihak di luar itu boleh melakukannya, dengan mengacu pada pasal 111 ayat (1) dan (2) KUHAP, pasal 35 dan 40 KUHAP.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan dalam tertangkap tangan, maka:
a. Penangkapan dapat dilakukan oleh setiap orang
b. Pengangkapan dapat dilakukan tanpa menggunakan surat perintah penangkapan
c. Penyidik dapat memasuki ruang dimana sedang berlangsung sidang MPR, DPR pusat/daerah.
d. Penyidik dapat memasuki ruang dimana sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan.
e. Penyidik dapat memasuki sidang pengadilan
f. Tanpa surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri Penyidik dapat melakukan terhadap barang atau benda atau surat yang dikirm atau diterima oleh tersangka yang diduga atau patut diduga ada hubungannya dengan tindak pidana.
4. Karena Diketahuinya Sendiri Oleh Penyidik
Meskipun Undang-undang tidak menyebutkan apa yang mesti dilakukan oleh penyidik bila mengetahui adanya tindak pidana, akan tetapi pengertian “diketahuinya sendiri oleh penyidik” dapat disamakan dengan “tertangkap tangan”, sehingga karena dan demi hukum penyidik berwenang melakukan tindakan hukum sebagaimana tertuang dalam pasal 111 ayat (1) dan (2) KUHAP, pasal 35 dan 40 KUHAP.
5. Bantuan Hukum
Tersangka atau terdakwa selama menjalani proses pemeriksaan perkara pidana berhak mendapat bantuan hukum yaitu Penasihat Hukum. Apa yang harus dilakukan penasihat hukum dalam kapasitasnya menjadi pihak yang memberikan bantuan hukum pada tersangka atau terdakwa.
Kewenangan penasihat hukum diatur dalam KUHAP yaitu pasal 69, 70, 71, 72, 73, dan 74.
a. Pasal 69 KUHAP:
Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang.
b. Pasal 70 KUHAP:
1. Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya
2. Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum tersebut menyalahgunakan haknya dengan pembicaraan dengan tersangka maka sesuai dengan tingkat pemeriksaan, penyidik, penuntut umum, atau petugas lembaga pemasyarakatan memberikan peringatan kepada penasihat hukum.
3. Apabila peringatan itu tidak diindahkan, maka hubungan tersebut diawasi oleh pejabat yang tersebut pada ayat (2).
4. Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan, maka sehubungan tersebut disaksikan oleh pejabat tersebut pada ayat (2) dan apabila setelah itu tetap dilanggar, maka hubungan selanjutnya dilarang.

c. Pasal 71 KUHAP:
1. Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam hubungannya dengan tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan tanpa mendengar isi pembicaraan.
2. Dalam kejahatan terhadap keamanan negara, pejabat tersebut pada ayat (1) dapat mendengar isi pembicaraan.
d. Pasal 72 KUHAP:
Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya.
e. Pasal 73 KUHAP:
Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap kali dikehendaki olehnya.
f. Pasal 74 KUHAP:
Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka sebagaimana tersebut pada pasal 70 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan pasal 71 dilarang, setelah perkara dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan negeri untuk disidangkan, yang tembusan syaratnya disampaikan kepada tersangka atau penasihat hukumnya serta pihak lain dalam proses.


3.3 Sistem Pemeriksaan
Setelah berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka kedudukan tersangka atau terdakwa tidak diperlakukan lagi hanya semata-mata sebagai objek pemeriksaan.
Di dalam pengetahuan Hukum Acara Pidana yang merupakan hukum formal atau disebut juga hukum yang berkaitan dengan proses sebuah pemeriksaan, dikenal jenis pemeriksaan, yaitu:
1. Sistim Pemeriksaan Accusatoir
Di dalam sistim ini berusaha menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai subjek pemeriksaan, sehingga konsekwensinya antara pemeriksa maupun yang diperiksa mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum.
Di dalam KUHAP pencerminan dan sistim ini dapat kita temukan dalam pasal-pasal: 112, 113, 114, 115, 117, dan 118.
a. Pasal 112 KUHAP:
1. Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut
2. Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawanya.
b. Pasal 113 KUHAP:
Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya.
c. Pasal 114 KUHAP:
Dalam hal orang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepada orang tersebut tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 KUHAP>
d. Pasal 115 KUHAP:
1. Dalam hal penyidik sedang melakukan pemriksaan terhadap tersangka, penasihat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan.
2. Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara penasihat hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka

e. Pasal 117 KUHAP:
1. Keterangan tersangka atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dalam bentuk apapun.
2. Dalam hal tersangka memberikan keterangan tentang apa yang sebenarnya ia telah lakukan sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka tersendiri.
f. Pasal 118 KUHAP:
1. Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oeh penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.
2. Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tanda tangannya, penyidik mencatat hal ini dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya.

2. Sistim Pemeriksaan Ingusatoir
Dalam sistim ini tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan menempati posisi sebagai objek pemeriksaan, sehingga untuk mendapatkan data dalam rangka mencari pelaku tindak pidana yang sesungguhnya cenderung menggunakan cara yang bertentangan dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.


3.4 Penangkapan dan Penahanan
Penangkapan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan.
Sedangkan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim
Jadi penangkapan dan penahan adalah merupakan tindakan yang membatasi dan mengambil kebebasan bergerak seseorang.
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dibawah ini:
1. Penangkapan
Menurut KUHAP, penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (pasal 17 KUHAP)
Sedangkan yang dimaksud dengan “bukti permulaan” yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana dan bahwa tersangka sebagai pelakunya.
Menurut pasal tersebut diatas, menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Tugas penangkapan dilaksanakan olehpetugas Polri dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Tembusan surat perintah penangkapannya harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan tak perlu memakai surat perintah (pasal 18 KUHAP).
Menurut pasal 19 KUHAP, penangkapan ini hanya dapat dilakukan untuk paling lama satu hari (24 jam) dan terhadap pelaku pelanggaran tidak dapat dikenakan penangkapan, kecuali dalam hal ini telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.

2. Penahanan
Pada uraian terdahulu, bahwa penangkapan dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. Oleh karena itu selebihnya dari waktu tersebut adalah termasuk penahanan.
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang (pasal 1 angka 21 KUHAP)
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka ada tiga hal pokok yang menjadi inti dari penahanan tersebut yaitu:
a. Syarat-syarat penahanan
Menurut pasal 21 KUHAP syarat-syarat penahanan adalah:
1. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana lagi.
2. Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat penahanan.
3. Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.
4. Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan mampu pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih
b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam 282 ayat (3), pasal 296, pasal 335 ayat (1), pasal 378, pasal 379a, pasal 480, pasal 453, pasal 455, pasal 459 dan pasal 506 KUHAP.

b. Jenis-jenis Penahanan
Menurut Pasal 22 KUHAP, jenis-jenis penahanan adalah:
1. Jenis penahanan dapat berupa:
a. Penahanan rumah tahanan negara
b. Penahanan rumah
c. Penahanan kota
2. Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
3. Penahanan Kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan.
4. Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
5. Untuk penahanan kota pengurangan-pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan.
Contohnya: Ali menjalani penahanan kota selama 50 hari, kemudian dipidana selama 3 bulan. Maka perhitungannya adalah 1/5 x 50 hari = 10 hari. Jadi Ali harus menjalani human 3 bulan – 10 hari = 2 bulan 20 hari.

c. Yang berhak melakukan penahanan dan lamanya penahanan.
Menurut pasal 1 angka 21 KUHAP, maka yang berhak melakukan penahanan adalah penyidik, penuntut umum dan hakim. Selanjutnya mengenai lamanya penahanan diatur dalam pasal-pasal 24, 25, 26, 27, dan 28 KUHAP.

1. Pasal 24 KUHAP:
a.Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
b. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari.
c. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhirnya waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
d. Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.

2. Pasal 25 KUHAP:
a. Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
b. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari.
c. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum terakhirnya waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi
d. Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.

3. Pasal 26 KUHAP:
a. Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.
b. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
c. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhirnya waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
d. Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputuskan, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

4. Pasal 27 KUHAP:
a. Hakim pengadilan tinggi yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 87, guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.
b. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
c. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
d. Setelah waktu sembilah puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputuskan, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

5. Pasal 28 KUHAP:
a. Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 88, guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama lima puluh hari
b. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua mahkamah agung untuk paling lama enam puluh hari.
c. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat 92) tidak menutup kemungkinan dikeluarkan terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentiingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
d. Setelah waktu seratus sepuluh hari walaupun perkara tersebut belum diputuskan, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

6. Pasal 29 KUHAP:
a. Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada pasal 24, 25, 26, 27, dan 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena:
a) Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
b) Perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih.
b. Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari.
c. Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan dalam tingkat:
a) Penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri,
b) Pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oleh ketua pengadilan tinggi,
c) Pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung
d) Pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
4. Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab.
5. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhirnya waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.
6. Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputuskan, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
7. Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat:
a. Penyelidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi,
b. Pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung.

Berdasarkan pasal 24, 25, 26, 27, 28, dan 29 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa yang berhak melakukan penahanan serta lamanya kewenangan untuk menahan adalah sebagai berikut:
a. Penyidik (Polri)
Lamanya penahanan………………………………… 20 hari
Dapat diperpanjang oleh penuntut umum…………... 40 hari
Jumlah 60 hari
b. Penuntut Umum (Jaksa)
Lamanya penahanan………………………………… 20 hari
Dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri… 30 hari
Jumlah 50 hari
c. Hakim Pengadilan Negeri
Lamanya penahanan……………………………….. 30 hari
Dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri… 60 hari
Jumlah 90 hari
d. Hakim Pengadilan Tinggi
Lamanya penahanan……………………………….. 30 hari
Dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi… 60 hari
Jumlah 90 hari
e. Mahkamah Agung
Lamanya Penahanan………………………………… 50 hari
Dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung…. 60 hari
Jumlah 110 hari

f. Dalam hal terdakwa diancam dengan hukuman 9 tahun atau terdakwa mengalami gangguan fisik dan mental, maka penahanan dapat diperpanjang 30 hari dan 30 hari lagi.
g. Pejabat yang berhak mengadakan perpanjangan penahanan adalah:
1. Pada tingkat penyidikan dan penuntutan oleh ketua pengadilan negeri,
2. pada tingkat pemeriksaan di pengadilan negeri oleh ketua pengadilan negeri
3. Pada tingkat banding oleh ketua pengadilan tinggi
4. Pada tingkat kasasi oleh ketua Mahkamah Agung


3.5 Penangguhan Penanganan
Untuk menjaga supaya tersangka atau terdakwa yang ditahan, tidak dirugikan kepentingannya karena tindakan penahanan itu yang mungkin akan berlangsung untuk beberapa waktu, diadakan kemungkinan untuk tersangka atau terdakwa mengajukan permohonan agar penahanannya itu ditangguhkan.
Menurut pasal 31 KUHAP yang berhak menentukan apakah suatu penahanan perlu ditangguhkan atau tidak adalah penyidik atau penuntut umum atau hakim sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Sebab pejabat-pejabat inilah yang mengetahui betul alasan pertimbangan untuk penangguhan tersebut, yaitu apabila tersangka atau terdakwa tidak akan mempersulit atau merugikan pemeriksaan perkara, dengan menghilangkan bukti, atau melarikan diri, atau akan mengulangi kejahatan lagi. Hal ini dapat dilihat pada pemeriksaan perkara dan pribadi dari tersangka atau terdakwa.
Penentuan penangguhan penahanan (schorsing) dapat diberikan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan. Yang dimaksud dengan syarat-syarat yang ditentukan disini adalah wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota. Karena jabatan, penyidik, penuntut umum, hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan apabila terdakwa/tersangka melanggar syarat-syarat yang ditentukan.
Perlu dikemukan disini bahwa mana penangguhan penahanan itu, tidak termasuk masa status tahanan. Ini berarti bahwa selama tersangka atau terdakwa berada diluar tahanan, tidak dapat diperhitungkan sebagai masa tahanan sehingga tidak dapat dipotongkan dengan pidana yang dijatuhkan oleh hakim. Apabila tersangka atau terdakwa telah diberikan penangguhan penahanan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka penangguhannnya dapat dicabut (pasal 31 ayat (2) KUHAP.

KEBUDAYAAN DAERAH DI INDONESIA

Republik Indonesia sebagai negara kesatuan mempunyai banyak pulau-pulau dan terdiri dari berpuluh-puluh suku bangsa bahkan dalam satu pulau bisa terdri dari beberapa suku bangsa, misalnya pulau Jawa terdiri dari suku Jawa, Sunda dan Betawi. Bahkan dalam satu suku bangsa secara lebih khusus terdiri dari sub-sub suku bangsa, misalnya suku Batak di Sumatera terdiri dari suku-suku bangsa Karo, Simalungun, Pakpak, Toba, Angkola dan Mandailing.
Dengan banyaknya suku-suku bangsa ini sudah tentu masing-masing memiliki kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, rasa dan karya dari suku-suku bangsa tersebut. Dengan demikian bangsa Indonesia selain memiliki berbagai suku bangsa juga memiliki keanekaragaman budaya.
Berikut ini akan dijelaskan kebudayaan sesuai dengan daerah tempat tinggal suku-suku bangsa Indonesia, antara lain:
1. Kebudayaan di Pulau Sumatera
2. Kebudayaan di Pulau Jawa
3. Kebudayaan di Pulau Bali
4. Kebudayaan di Pulau Kalimantan
5. Kebudayaan di Pulau Sulawesi
6. Kebudayaan di Pulau Irian Jaya

PERUBAHAN KEBUDAYAAN NASIONAL

Sejalan dengan adanya perubahan-perubahan dalam masyarakat, kebudayaan pun mengalami perubahan karena kebudayaan merupakan hasil kesatuan sosial yang hidup dalam masyarakat, digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota masyarakat pula. Oleh karena itu jika masyarakat berubah, dengan sendirinya kebudayaan pun akan ikut berubah. Perubahan-perubahan tersebut meliputi seluruh unsur kebudayaan yang secara umum terdapat 7 unsur kebudayaan.

3.1 Sistem Religi
Dalam berhubungan dengan Sang Pencipta, nenek moyang kita sudah berusaha mengenalnya. Dengan demikian lahirlah kepercayaan yang dikenal dengan animisme (percaya bahwa benda mempunyai kekuatan gaib) dan dinamisme (setiap benda mempunyai jiwa). Dalam perkembangan selanjutnya, mereka merasa berhutang budi kepada nenek moyangnya, maka lahirlah suatu kepercayaan memuha roh nenek moyang. Setelah agama-agama yang datang dari Asia (Buddha, Hindu, Islam, Kristen Protestan, dan Katolik), maka bangsa Indonesia memeluk agama-agama tersebut. Agama Kristen (Protestan maupun Katolik) datang ke Indonesia mula-mula dibawa oleh orang Barat, namun agama tersebut berasal dari Asia Barat (Betlehem = Batirullahmi).

3.2 Bahasa
Bahasa Indonesia sejak Sumpah Pemuda dijadikan bahasa nasional mengalami perubahan dan perkembangan. Perubahan dan perkembangan tersebut misalnya dalam hal kosakata, ejaan yang disempurnakan, penggunaan istilah-istilah. Contoh kata “mantan” dahulu menggunakan kata “bekas”. Kata “sarat” dahulu dengan kata “penuh”. Kata “oknum” dahulu tidak berkonotasi buruk, sekarang menjadi buruk dan sebagainya.

3.3 Sistem Pengetahuan
Pengetahuan manusia dari zaman dahulu dibandingkan dengan zaman sekarang, perkembangannya betul-betul menakjubkan, terutama dalam bidang teknologi komunikasi, angkutan, persenjataan dan lain sebagainya. Sebagai contoh, alat hitung atau komputer. Dalam sipoa (dari Cina) sekarang menggunakan kalkulator, mesin hitung, atau komputer. Dalam komunikasi zaman dahulu menggunakan kentongan atau alat tabuh, sekarang menggunakan telepon, telegram radio atau televisi. Alat angkut pun demikian pula, dahulu dengan gerobak dorong oleh manusia, kemudian ditarik oleh hewan, sekarang menggunakan mesin.

3.4 Sistem Mata Pencaharian
Sejak manusia hidup di dunia ini, dalam mempertahankan dan melestarikan hidupnya, mereka berupaya mengumpulkan makanan (food gathering). Dalam perkembangan selanjutnya mereka menemukan cara untuk mengolah tanah (food producing). Pertanian yang dilaksanakan secara tradisional, menggunakan alat-alat bermesin (traktor) dan lain-lainnya. Dalam memberantas hama tanaman, pada zaman tradisional menggunakan tangan manusia. Sekarang menggunakan alat semprot yang berguna untuk menyuburkan obat hama atau pupuk hijau. Namun, sekarang menggunakan pupuk buatan pabrik, misalnya UREA, KCL, ZA, bahkan dalam perkembangannya selanjutnya dikembangkan UREA dalam bentuk tablet. Cara pemupukan tanaman diberi pajak diberi pupuk secara berimbang.

3.5 Sistem Organisasi Sosial
Dari waktu ke waktu sistem organisasi sosial mengalami perubahan. Berbagai macam cara dikembangkan oleh manusia untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan sosial. Perubahan itu meliputi sistem kekerabatan, sistem organisasi sosial politik, hukum, dan perkawinan. Sebagai contohnya:
1) Sistem kekerabatan
Di dalam masyarakat tradisional, sistem kekerabatan dilestarikan melalui organisasi “trah” yang cenderung saling kenal mengenal di antara sesama anggota trah. Oleh karena masuknya teknologi dan ilmu pengetahuan Barat, maka hubungan kekerabatan tersebut menjadi menipis, sehingga lebih tepat menjurus ke sifat individualistis.
2) Sistem organisasi sosial
Dalam pemilu 1955 jumlah organisasi politik di Indonesia sebanyak 28 parpol dengan asas yang berbeda-beda. Pada tahun 1971 pemilu diikuti oleh 10 OPP, yaitu Partai Politik dan Golongan Karya, dengan asas yang masih berbeda-beda. Mulai tahun 1977 pemilu diikuti oleh tiga OPP, yaitu dua Parpol (PDI dan PPP) dan satu Golongan Karya. Sejak tahun 1983 semua partai politik dan Golongan Karya sepakat melaksanakan asas tunggal, yaitu asas Pancasila.
3) Hukum
Hukuman pada zaman feodal (zaman raja-raja) sangat dipengaruhi oleh penguasa (raja). Pada zaman modern hukum ditegakkan sebagaimana mestinya, yaitu di tangan hakim. Penguasa pemerintah (Presiden) hanya dapat memberi grasi, amnesti dan abolisi.
4) Perkawinan
Pada zaman dahulu (masa penjajahan Belanda) teman hidup seorang wanita (gadis) ditentukan oleh orang tua. Namun, pada zaman sekarang, wanita mempunyai hak memilih teman hidupnya, atas dasar saling mencintai.

3.6 Sistem Teknologi
Salah satu unsur budaya universal adalah teknologi yang sangat cepat mengalami perubahan. Dalam kehidupan sehari-hari perubahan tersebut dapat kita saksikan dengan jelas. Peralatan teknologi yang lama dan kurang efisien. Kurang praktis, diganti dengan teknologi yang canggih. Sebagai contohnya:
1) Gerobak sebagai alat angkut pada zaman dahulu, yang ditarik oleh binatang, diubah menjadi kendaraan bermotor (truk, mobil angkut, kereta api barang).
2) Alat angkut di air, mula-mula hanya berupa rangkaian bambu, atau papan, yang kemudian didayung oleh tenaga manusia, angin, sekarang menggunakan tenaga mesin.
3) Alat komunikasi pada zaman dahulu dilaksanakan oleh manusia sendiri (kurir). Namun setelah ditemukannya teknolofi yang canggih, kurir menjadi tergeser. Komunikasi sekarang dilaksanakan dengan radio, telepon, telegraf dan televisi.

3.7 Sistem Kesenian
Pada dasarnya manusia lebih menyukai hal-hal yang bersifat baru. Begitu juga dalam sistem kesenian, mengalami perubahan, baik yang bercorak religius maupun yang bersifat umum. Sebagai contohnya:
1) Pada zaman dahulu alat kesenian yang terutama adalah gendang dan seruling, seperti yang dapat kita lihat dalam relief Candi Borobudur maupun Prambanan. Setelah agama Budha dan Hidung datang alat-alat musik tersebut tetap dipelihara, bahkan dilengkapi dengan bunyi-bunyian yang lain (gamelan). Setelah datang pengaruh Islam (Persia) maka alat-alat musik tersebut dikembangkan menjadi rebana, samroh, bahkan sekarang menjadi musik dangdut.
2) Seni lukis, pada zaman kerajaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk memerintahkan melukis calon permaisuri yang berasal dari Pajajaran (Dyah Pitaloka). Pada zaman Islam, ada larangan melukis makhluk hidup, terutama manusia. Namun, hasrat seni tidak bisa dibendung. Maka, lahirlah lukisan binatang yang distilir dengan daun-daunan (lukisan kera di Masjid Mantingan). Kebiasaan ini mulai ditinggalkan sejak Indonesia mendapat pengaruh Eropa (lukisan harimau yang menyelamatkan diri dari hutan yang terbakar, karya Raden Saleh dari Surakarta).

Rabu, 26 Januari 2011

LABORATORIUM IPS

Laboratorium IPS adalah wahana peningkatan mutu pembelajaran dalam mempersiapkan tenaga kependidikan IPS yang memiliki kompetensi dan profesional di bidang IPS. Laboratorium IPS dikembangkan berdasarkan kebutuhan dalam mendukung kompetensi dan profesional di bidang IPS. Laboratorium IPS dapat berupa laboratorium yang berada di dalam institusi IPS, seperti ruang, sumber belajar dengan segala sarana dan prasarana, identifikasi, penilaian/assessement, dan pemberian bantuan kepada praktisi, maupun laboratorium yang berada di luar institusi IPS, yaitu berupa institusi yang memberikan layanan pada pihak pengguna jasa dan menjadi mitra Jurusan Program Studi IPS (Diknas, 2004).
Dalam kurikulum sekolah, studi sekolah merupakan kajian sistematis dan terkoordinasi yang bersumber pada disiplin ilmu-ilmu sosial, antara lain Geografi, Sejarah, Ekonomi, Antrolopogi, Politik, Hukum, Sosiologi, Agama. Di dalamnya selayaknya pula berisikan Humaniora, Matematika, dan lingkungan alami yang relevan (NCSS).
Sehubungan dengan hal tersebut, sasaran IPS lebih diarahkan pada arti praktis dalam mencari alternatif pemecahan masalah yang dibahas, maka dengan pembelajaran IPS ini diharapkan dapat membantu guru dalam mengembangkan kemampuannya untuk membuat keputusan yang rasional dan berdasarkan informasi yang cukup sebagai warga masyarakat yang baik dalam keanekaragaman budaya serta masyarakat demokratis dalam dunia yang bebas. Oleh karena itu, guru yang belajar tentang IPS, perlu mengetahui kondisi masyarakat nyata di lapangan. Kemudian menganalisis hasil lapangan di ruangan (laboratorium) untuk perkembangan berikutnya. Dengan demikian guru IPS dapat belajar IPS secara nyata, tidak hanya secara teoritis.
Dan seterusnya ...

Senin, 10 Januari 2011

SEJARAH HUKUM PERDATA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Sejarah Singkat Terbentuknya H.I.R.
Semula Herzeine Indonesisch Reglement (H.I.R) adalah Inlandsh Reglement (I.R) yang berarti Reglment Bumi Putera. Perancang I.R adalah Mr. H.I Wichers sebagai Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Agung Tentara pada tahun1846 di Batavia. Beliau diberi tugas oleh Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen untuk merencanakan sebuah reglement tentang administrasi, polisi, acara perdata dan acara pidana bagi golongan Bumi Putera. Bagi Bumi Putera pada waktu itu berlaku Stastsblad No. 20/1819 perihal hukum acara perdata.
Hasil kerja Mr. H.I Wichers mendapat tanggapan dari para Hakim Agung yang beragam, yaitu sebagian mendukung dan sebagian mengusulkan untuk ditambah dengan lembaga pengggabungan penjamin seperti yang terdapat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (R.V). Apa yang diusulkan ini diterima kemudian ditambah suatu ketentuan penutup yang bersifat umum yang dikenal dengan pasal 393 H.I.R terbuat dalam bab ke lima belas yang mengatur tentang perihal berbagai aturan-aturan.
Di dalam perkara perdata digunakan H.I.R, akan tetapi apabila benar-benar dirasakan perlu dipergunakan peraturan lain yang lebih sesuai yang mirip dengan peraturan R.V.
Rancangan tentang H.I.R yang dibuat oleh Mr. H.I. Wichers diterima oleh Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen. Kemudian diumumkan pada tanggal 5 April 1848, melalui Staatsblads No.16 tahun 1848 dengan sebutan Reglement op de itoefening van de polite, de burgerlijke en de strafvordering onder de Indonesiers en de vreems Reglement yang disingkat I.R yang mulai berlaku sejak 1 Mei 1848. Pada tanggal 29 September 1849 I.R disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja No.93 yang kemudian diumumkan sesuai dengan Staasblads No.63 tahun 1849.
I.R telah mengalami bebberapa kkali perubahan, diantaranya tahun 1941 khusus di bidang acara pidana (mengenai pembentukan aparatur Lembaga Kejaksaan sebagai Penuntut Umum berada di bawah Jaksa Tinggi dan Jaksa Agung), tidak untuk hukum acara perdata. Sebagai akibat dari perubahan ini, maka I.R selanjutnya disebut Herzeine Indonesisch Reglement atau disingkat H.I.R. Setelah Indonesia merdeka H.I.R disebut pula sebagai Reglement Indonesia Baru atau disingkat R.I.B.

1.2 Sifat Hukum Acara Perdata
Dalam Hukum Acara Perdata, terdapat sifat yang disebut sifat inisiatif, yaitu ada atau tidak adanya sesuatu perkara harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa bahwa haknya atau hak mereka dilanggar. Oleh karena itu, di dalam hukum acara perdata, inisiatif ada pada penggugat yang mempunyai pengaruh besar terhadap jalannya perkara.
Hal di atas berbeda dengan sifat hukum acara pidana yang pada umumnya tidak menggabungkan adanya perkara dari perkara inisiatif orang yang dirugikan. Contoh untuk pelaksanaan hukum acara pidana, jika terjadi tabrakan, tanpa suatu pengaduan, maka pihak yang berwajib terus bertindak, polisi datang, pemeriksaan dilakukan, terdakwa dihadapkan kemuka pengadilan. Pengecualian terhadap azas ini, yaitu pada delik aduan, sedangkan contoh untuk pelaksanaan hukum acara perdata, jika ada orang yang dihina, maka terlebih dahulu ditunggu adanya pengaduan dari yang bersangkutan. Apabila yang dihina tidak mengadu, tidak ada suatu pengaduan kepada pihak yang berwajib, maka tidak akan ada perkara penghinaan yang diajukan ke depan sidang pengadilan.
Berikut ini pengertian dari penggugat dan tergugat. Penggugat adalah seorang yang merasa haknya dilanggar dan menarik orang yang dirasa melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara di hadapan pengadilan. Sementara, tergugat adalah orang yang ditarik kemuka pengadilan karena melanggar hak seseorang atau beberapa orang. Jika penggugat da tergugat banyak, maka mereka disebut sebagai penggugat I dan seterusnya, demikian pula dengan tergugat I dan seterusnya.

1.3 Hukum Acara Perdata Positif
Hukum Acara Perdata Nasional sebagai Hukum Acara Perdata Positif saat ini ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP). Aturan dalam KUHAP sudah dimuat dalam perundang-undangan nasional dan sebagian termuat dalam Het Herziene Indonesisch Reglement atau H.I.R, khusus untuk pulau Jawa dan Madura, sedangkan Rechtsreglement Buitengewesten disingkat R.Bg. berlaku untuk kepulauan lainnya di Indonesia. Selain itu, terdapat Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia disingkat B.W.
Disamping itu, hukum acara perdata terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 – L.N. No.74 T.L.N 2767 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No.13 tahun 1965 – L.N. No.70 – T.LN. 2767 tahun 1965 tentang Undang-Undang Perkawinan. Selain itu, ada Undang-Undang No.1 tahun 1974 dan P.P. NNo.9 tahun 1975 mengenai peraturan pelaksana perkawinan.
Khusus perihal Banding untuk wilayah Jawa dan Madura berlaku Undang-Undang No.20 tahun 1947, sedangkan untuk Kasasi berlaku Undang-Undang No.13 tahun 1965. Pembahasan Hukum Acara Perdata Positif selanjutnya didasarkan pada pembahasan H.I.R.

1.4 Azas-azas dan ciri-ciri H.I.R
Adapun azas-azas H.I.R sebagai KUHAP di Indonesia, sebagai berikut:
1) H.I.R dilahirkan pada zaman penjajahan, tata hukum dan administrasi negara diperuntukkan kepada kesejahteraan penjajah;
2) I.R dahulu dimaksudkan supaya disesuaikan dengan keadaan masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sudah lebih dari seratus tahun yang lalu;
3) Dualisme yang ditinggalkan oleh penjajah secara sistematis telah menghilangkan tujuan menyeragamkan hukum disegala bidang, sedangkan susunan badan-badan pengadilan sudah ada sejak lama diseragamkan;
4) Sifat hukum acara dalam H.I.R masih juga dipertahankan, misalnya bentuk pengajuan gugatan sebagai suatu permohonan kepada Hakim yang dianggap tetap sesuai dengan alam pikiran bangsa Indonesia bahwa sifat mengajukan perkara adalah mohon keadilan kepada kekuasaan negara dan sebagainya.
Sementara, ciri-ciri dari H.I.R antara lain:
1) Pengajuan gugatan dilakukan dalam bentuk surat permohonan dengan adanya kemungkinan untuk mengajukan gugat itu secara lisan;
2) Tidak ada kewajiban untuk menguasakan kepada seorang juru kuasa yang ahli dalam hukum;
3) Adanya kewajiban bagi Hakim untuk mencapai suatu perdamaian sebelum memulai memeriksa perkaranya;
4) Hakim mendengarkan langsung para pihak sendiri;
5) Keaktipan Hakim sebelum dan sepanjang pemeriksaan di muka sidang pengadilan.

HUKUM ACARA PERDATA

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Sejarah Singkat Terbentuknya H.I.R.
1.2 Sifat Hukum Acara Perdata
1.3 Hukum Acara Perdata Positif
1.4 Azas-azas H.I.R.

BAB II PENGAJUAN GUGATAN
2.1 Pengertian Permohonan dan Gugatan
2.2 Perihal Kekuasaan Mutlak dan Kekuasaan Relatif
2.3 Perihal Gugat Lisan dan Tertulis
2.4 Perihal Pihak-pihak yang Berperkara,
Perwakilan Orang, Badan Hukum dan Negara

BAB III TINDAKAN-TINDAKAN MENDAHULUI PEMERIKSAAN
DI MUKA PENGADILAN
3.1 Pencatatan Perkara
3.2 Penetapan Persekot Biaya Perkara
3.3 Penetapan Hari Sidang
3.4 Panggilan Pihak-pihak yang Berperkara
3.5 Perihal Sita Jaminan

BAB IV PEMERIKSAAN DI PENGADILAN
4.1 Masalah Perubahan, Penambahan, Pengurangan,
dan Pencabutan Gugatan
4.2 Perihal Putusan Gugur
4.3 Putusan Diluar Hadir Tergugat
4.4 Perdamaian
4.5 Jawaban Tergugat
4.6 Replik dan Duplik

BAB V PERIHAL PEMBUKTIAN
5.1 Arti Pembuktian
5.2 Alat-alat Bukti

BAB VI PUTUSAN HAKIM
6.1 Putusan Hakim atau Putusan Pengadilan
6.2 Susunan dan Isi Putusan
6.3 Macam-macam Putusan Hakim
6.4 Kekuatan Putusan Hakim

BAB VII UPAYA HUKUM
7.1 Upaya Hukum Biasa
7.2 Upaya Hukum Luar Biasa

BAB VIII EKSEKUSI
8.1 Azas-azas Eksekusi
8.2 Tata Cara Eksekusi


DAFTAR PUSTAKA
SILABUS
SATUAN ACARA PERKULIAHAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN