Senin, 10 Januari 2011

SEJARAH HUKUM PERDATA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Sejarah Singkat Terbentuknya H.I.R.
Semula Herzeine Indonesisch Reglement (H.I.R) adalah Inlandsh Reglement (I.R) yang berarti Reglment Bumi Putera. Perancang I.R adalah Mr. H.I Wichers sebagai Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Agung Tentara pada tahun1846 di Batavia. Beliau diberi tugas oleh Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen untuk merencanakan sebuah reglement tentang administrasi, polisi, acara perdata dan acara pidana bagi golongan Bumi Putera. Bagi Bumi Putera pada waktu itu berlaku Stastsblad No. 20/1819 perihal hukum acara perdata.
Hasil kerja Mr. H.I Wichers mendapat tanggapan dari para Hakim Agung yang beragam, yaitu sebagian mendukung dan sebagian mengusulkan untuk ditambah dengan lembaga pengggabungan penjamin seperti yang terdapat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (R.V). Apa yang diusulkan ini diterima kemudian ditambah suatu ketentuan penutup yang bersifat umum yang dikenal dengan pasal 393 H.I.R terbuat dalam bab ke lima belas yang mengatur tentang perihal berbagai aturan-aturan.
Di dalam perkara perdata digunakan H.I.R, akan tetapi apabila benar-benar dirasakan perlu dipergunakan peraturan lain yang lebih sesuai yang mirip dengan peraturan R.V.
Rancangan tentang H.I.R yang dibuat oleh Mr. H.I. Wichers diterima oleh Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen. Kemudian diumumkan pada tanggal 5 April 1848, melalui Staatsblads No.16 tahun 1848 dengan sebutan Reglement op de itoefening van de polite, de burgerlijke en de strafvordering onder de Indonesiers en de vreems Reglement yang disingkat I.R yang mulai berlaku sejak 1 Mei 1848. Pada tanggal 29 September 1849 I.R disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja No.93 yang kemudian diumumkan sesuai dengan Staasblads No.63 tahun 1849.
I.R telah mengalami bebberapa kkali perubahan, diantaranya tahun 1941 khusus di bidang acara pidana (mengenai pembentukan aparatur Lembaga Kejaksaan sebagai Penuntut Umum berada di bawah Jaksa Tinggi dan Jaksa Agung), tidak untuk hukum acara perdata. Sebagai akibat dari perubahan ini, maka I.R selanjutnya disebut Herzeine Indonesisch Reglement atau disingkat H.I.R. Setelah Indonesia merdeka H.I.R disebut pula sebagai Reglement Indonesia Baru atau disingkat R.I.B.

1.2 Sifat Hukum Acara Perdata
Dalam Hukum Acara Perdata, terdapat sifat yang disebut sifat inisiatif, yaitu ada atau tidak adanya sesuatu perkara harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa bahwa haknya atau hak mereka dilanggar. Oleh karena itu, di dalam hukum acara perdata, inisiatif ada pada penggugat yang mempunyai pengaruh besar terhadap jalannya perkara.
Hal di atas berbeda dengan sifat hukum acara pidana yang pada umumnya tidak menggabungkan adanya perkara dari perkara inisiatif orang yang dirugikan. Contoh untuk pelaksanaan hukum acara pidana, jika terjadi tabrakan, tanpa suatu pengaduan, maka pihak yang berwajib terus bertindak, polisi datang, pemeriksaan dilakukan, terdakwa dihadapkan kemuka pengadilan. Pengecualian terhadap azas ini, yaitu pada delik aduan, sedangkan contoh untuk pelaksanaan hukum acara perdata, jika ada orang yang dihina, maka terlebih dahulu ditunggu adanya pengaduan dari yang bersangkutan. Apabila yang dihina tidak mengadu, tidak ada suatu pengaduan kepada pihak yang berwajib, maka tidak akan ada perkara penghinaan yang diajukan ke depan sidang pengadilan.
Berikut ini pengertian dari penggugat dan tergugat. Penggugat adalah seorang yang merasa haknya dilanggar dan menarik orang yang dirasa melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara di hadapan pengadilan. Sementara, tergugat adalah orang yang ditarik kemuka pengadilan karena melanggar hak seseorang atau beberapa orang. Jika penggugat da tergugat banyak, maka mereka disebut sebagai penggugat I dan seterusnya, demikian pula dengan tergugat I dan seterusnya.

1.3 Hukum Acara Perdata Positif
Hukum Acara Perdata Nasional sebagai Hukum Acara Perdata Positif saat ini ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP). Aturan dalam KUHAP sudah dimuat dalam perundang-undangan nasional dan sebagian termuat dalam Het Herziene Indonesisch Reglement atau H.I.R, khusus untuk pulau Jawa dan Madura, sedangkan Rechtsreglement Buitengewesten disingkat R.Bg. berlaku untuk kepulauan lainnya di Indonesia. Selain itu, terdapat Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia disingkat B.W.
Disamping itu, hukum acara perdata terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 – L.N. No.74 T.L.N 2767 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No.13 tahun 1965 – L.N. No.70 – T.LN. 2767 tahun 1965 tentang Undang-Undang Perkawinan. Selain itu, ada Undang-Undang No.1 tahun 1974 dan P.P. NNo.9 tahun 1975 mengenai peraturan pelaksana perkawinan.
Khusus perihal Banding untuk wilayah Jawa dan Madura berlaku Undang-Undang No.20 tahun 1947, sedangkan untuk Kasasi berlaku Undang-Undang No.13 tahun 1965. Pembahasan Hukum Acara Perdata Positif selanjutnya didasarkan pada pembahasan H.I.R.

1.4 Azas-azas dan ciri-ciri H.I.R
Adapun azas-azas H.I.R sebagai KUHAP di Indonesia, sebagai berikut:
1) H.I.R dilahirkan pada zaman penjajahan, tata hukum dan administrasi negara diperuntukkan kepada kesejahteraan penjajah;
2) I.R dahulu dimaksudkan supaya disesuaikan dengan keadaan masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sudah lebih dari seratus tahun yang lalu;
3) Dualisme yang ditinggalkan oleh penjajah secara sistematis telah menghilangkan tujuan menyeragamkan hukum disegala bidang, sedangkan susunan badan-badan pengadilan sudah ada sejak lama diseragamkan;
4) Sifat hukum acara dalam H.I.R masih juga dipertahankan, misalnya bentuk pengajuan gugatan sebagai suatu permohonan kepada Hakim yang dianggap tetap sesuai dengan alam pikiran bangsa Indonesia bahwa sifat mengajukan perkara adalah mohon keadilan kepada kekuasaan negara dan sebagainya.
Sementara, ciri-ciri dari H.I.R antara lain:
1) Pengajuan gugatan dilakukan dalam bentuk surat permohonan dengan adanya kemungkinan untuk mengajukan gugat itu secara lisan;
2) Tidak ada kewajiban untuk menguasakan kepada seorang juru kuasa yang ahli dalam hukum;
3) Adanya kewajiban bagi Hakim untuk mencapai suatu perdamaian sebelum memulai memeriksa perkaranya;
4) Hakim mendengarkan langsung para pihak sendiri;
5) Keaktipan Hakim sebelum dan sepanjang pemeriksaan di muka sidang pengadilan.

Tidak ada komentar: