Sabtu, 10 Januari 2009

KUMPULAN MAKALAH SEMESTER GANJIL 2008/2009

MATAKULIAH LANDASAN DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN

FAKTOR-FAKTOR PENENTU MUTU PENDIDIKAN INDONESIA

Oleh : Husnil Kirom (Mahasiswa TP PPs Unsri 2008)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Pendidikan sangat penting, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas, mampu bersaing, serta memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik. Untuk itu pendidikan di Indonesia harus mengacu pada pilar-pilar pendidikan dunia yang ditetapkan oleh UNESCO. Setidaknya ada empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan dan perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal khususnya di Indonesia menurut UNESCO dalam Syafruddin (2002), yaitu: (1) learning to know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu), (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
Banyak permasalahan dan tantangan yang berkaitan dengan pendidikan di Indonesia di era globalisasi saat ini. Salah satu permasalahan pendidikan mendasar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Sebagai contoh masih banyak peserta didik yang gagal sekolah, lamanya menyelesaikan studi, susahnya mencari pekerjaan, banyak pengangguran dan rendahnya gaji para lulusan sekolah merupakan indikator betapa rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.
Membicarakan mengenai mutu pendidikan bukanlah hal yang mudah. Mutu atau kualitas pendidikan berkenaan dengan penilaian terhadap sejauhmana suatu produk memenuhi kriteria, standar atau rujukan tertentu. Dalam dunia pendidikan, standar ini dapat dirumuskan melalui hasil belajar pada matapelajaran skolastik yang dapat diukur secara kuantitatif dan pengamatan yang bersifat kualitatif.
Rumusan mutu pendidikan bersifat dinamis dan dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Kesepakatan tentang konsep mutu atau kualitas biasanya dikembalikan pada rumusan acuan atau rujukan yang ada, seperti kebijakan, proses belajar mengajar, kurikulum, sarana dan prasarana serta tenaga kependidikan. Dalam konteks sistem pendidikan nasional, mutu pendidikan tercermin pada sejauhmana tujuan pendidikan nasional dapat tercapai. Sementara dalam dunia pendidikan banyak permasalahan mengenai mutu, seperti mutu lulusan, mutu pengajaran, mutu bimbingan dan latihan dari guru serta mutu profesionalisme dan kinerja guru. Mutu-mutu tersebut terkait dengan mutu manajerial para pemimpin pendidikan, keterbatasan dana, sarana dan prasarana serta dukungan dari pihak terkait dengan pendidikan. Semua kelemahan mutu dari komponen-komponen pendidikan tersebut berujung pada rendahnya mutu lulusan.
Untuk mengatasi banyaknya permasalahan dan tantangan terkait dengan pendidikan tersebut, maka mutu pendidikan harus ditingkatkan. Meningkat atau tidaknya mutu pendidikan di Indonesia sangat ditentukan oleh sumber daya manusia yang berkualitas serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Adapun peletak dasar sumber daya manusia berkualitas adalah sekolah. Sekolah memberikan fundamen terhadap pembinaan dan pelatihan. Selanjutnya, pembinaan dan pelatihan yang diberikan dalam jabatan akan berhasil apabila dasar pengetahuan dan keterampilan yang diberikan di sekolah cukup kokoh.
Sekolah menengah jenjang SMA/MA merupakan satuan-satuan pendidikan yaitu jenjang pendidikan menengah umum yang berfungsi mempersiapkan lulusannya dalam mencapai beberapa sasaran. Beberapa sasaran yang ingin dicapai tersebut adalah melanjutkan studi, pengembangan kepribadian siswa, pengembangan siswa sebagai warganegara. Sebagai program pendidikan umum SMA/MA dituntut mempersiapkan lulusannya untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan tinggi, yakni perguruan tinggi. Para siswa dibekali pengetahuan dan kecakapan akademis.
Mengacu pada temuan permasalahan tersebut di atas, makalah ini akan menggambarkan mutu atau kualitas pendidikan di Indonesia secara umum. Sementara batasan masalahnya pada peningkatan mutu atau kualitas pendidikan, khusus di Sekolah Menengah Atas. Untuk lebih jelas lagi mengenai peningkatan mutu pendidikan Sekolah Menengah Atas ini akan diuraikan dalam bab pembahasan.

1.2 Rumusan Masalah
Dalam kaitan dengan strategi yang ditempuh oleh sistem pendidikan nasional, peningkatan mutu pendidikan sangat terkait dengan relevansi pendidikan dan penilaian berdasarkan kondisi aktual mutu pendidikan tersebut. Mutu pendidikan tidak saja ditentukan oleh sekolah sebagai lembaga pembelajaran, tetapi disesuaikan juga dengan pandangan dan harapan masyarakat. Untuk menjawab tantangan ini, sekolah diharapkan senantiasa meningkatkan mutu lulusannya sesuai dengan perkembangan, kebutuhan dan tuntutan zaman. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah apasajakah faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan di sekolah menengah atas?

1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan di Sekolah Menengah Atas.

1.4 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1.4.1 Dosen
1. Menjadi referensi tambahan mengenai mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia
2. Menguraikan dan membahas dengan rinci berbagai permasalahan pendidikan dan faktor-faktor peningkatan mutu pendidikan di sekolah menengah
3. Sebagai bahan masukan dalam pembelajaran matakuliah Landasan dan Problematika Pendidikan

1.4.2 Mahasiswa
1. Menjadi brainstorming dalam membahas permasalahan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia
2. Bahan tambahan mengenai peningkatan mutu pendidikan di sekolah menengah
3. Dijadikan perbandingan mutu dan kualitas pendidikan di Indoensia

1.4.3 Penulis
1. Memberikan gambaran umum tentang permasalahan pendidikan di Indonesia dalam matakuliah Landasan dan Problematika Pendidikan
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan di khususnya sekolah menengah
3. Menambah pengetahuan dan wawasan akan materi yang berkenaan dengan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia.

















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Mutu Pendidikan
2.1.1 Definisi mutu
Dalam pengertian umum mutu adalah mengandung makna derajat keunggulan suatu produk atau hasil kerja, baik berupa barang maupun jasa. Program mutu sebenarnya berasal dari dunia bisnis yang diartikan sebagai gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang dan jasa yang menunjukan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Selain itu, pendapat David L.Goetsch dan Stanley Davis (1990) bahwa mutu adalah suatu kondisi dinamis yang berkaitan dengan produk, pelayanan, orang, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi apa yang diharapkan.
Membahas mutu sangat identik dengan kualitas, sebab asal kata mutu dari bahasa asing quality yang diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai mutu atau kualitas. Untuk itu penggunaan istilah mutu dalam makalah ini sama artinya dengan kualitas. Hanya saja mutu dalam pendidikan ini lebih luas pengertiann dan cakupannya dibandingkan dengan kualitas itu sendiri.
Sementara dalam dunia pendidikan pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan, sedangkan pengertian kualitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) adalah tingkat, tingkatan, pencapaian sesuatu. Kualitas merupakan suatu kosakata di dalam kehidupan modern. Lebih lanjut menurut Danim (2006) dikatakan bahwa dalam konteks pendidikan pengertian mutu mengacu pada masukan, proses, luaran dan dampaknya.

2.1.2 Gambaran umum mutu pendidikan
Pendidikan merupakan suatu proses yang bertujuan. Setiap proses yang bertujuan tentunya mempunyai ukuran atau ardstick sudah sampai dimana perjalanan kita di dalam mencapai tujuan tersebut. Berbeda dengan tujuan fisik seperti jarak suatu tempat atau target produksi, tujuan pendidikan merupakan suatu yang intangible dan terus menerus berubah dan meningkat. Tujuan pendidikan selalu bersifat sementara. Hal ini berarti tujuan pendidikan setiap saat perlu direvisi dan disesuaikan dengan tuntutan perubahan. Dalam konteks pendidikan nasional Indonesia diperlukan standar yang perlu dicapai dalam kurun waktu tertentu dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan, khususnya meningkatkan mutu pendidikan.
Banyak permasalahan mengenai mutu, seperti mutu lulusan, mutu pengajaran, mutu bimbingan dan latihan dari guru serta mutu profesionalisme dan kinerja guru. Mutu-mutu tersebut terkait dengan mutu manajerial para pemimpin pendidikan, keterbatasan dana, sarana dan prasarana, fasilitas pendidikan, media, sumber belajar, alat dan bahan latihan, iklim sekolah, lingkungan pendidikan serta dukungan dari pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan.
Bagaimanakah profil pendidikan nasional di Indonesia dewasa ini? Di dalam berbagai survei dan penelitian menunjukkan bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia tergolong rendah. Profil pendidikan di Indonesia ternyata sangat kompleks. Berbeda dengan pendidikan di negara yang homogen, sangat beragam oleh karena perbedaan mencolok antar daerah, khususnya antara pulau Jawa dengan pulau lain.
Gambaran mengenai ranking pendidikan tinggi maupun pendidikan dasar dan menengah pada tataran internasional menunjukkan rendahnya mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia sekarang ini. Oleh sebab itu, pemerintah berupaya untuk menaikkan mutu atau kualitas pendidikan nasional salah satunya dengan mengadakan Ujian Nasional. Sementara indikator mutu harus diukur secara kuantitatif berdasarkan prestasi akademis yang diperoleh siswa dan sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Selanjutnya, mutu pendidikan Indonesia dianggap oleh banyak kalangan masih rendah. Hal ini bisa dilihat dari beberapa indikator. Pertama, lulusan dari sekolah atau perguruan tinggi yang belum siap Memasuki dunia kerja karena minimnya kompetensi yang dimiliki. Kedua, peringkat Human Development Index Indonesia yang masih rendah (tahun 2004 peringkat 111 dari 117 negara dan tahun 2005 peringkat 110 di bawah Vietnam dengan peringkat 108). Ketiga, laporan International Educational Achievement (IFA) bahwa kemampuan membaca siswa SD Indonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang disurvei.
Keempat, mutu aka¬demik antarbangsa melalui Programme for International Student Assessment (PISA) 2003 menunjukkan bahwa dari 41 negara yang disurvei untuk bidang IPA, Indonesia menempati peringkat ke-38, sementara untuk bidang Matematika dan kemampuan membaca menempati peringkat ke-39. Jika dibandingkan dengan Korea Selatan, peringkatnya sangat jauh, untuk bidang IPA me¬nempati peringkat ke-8, membaca peringkat ke-7 dan Matematika peringkat ke-3. Kelima, laporan World Competitiveness Yearbook tahun 2000, daya saing SDM Indonesia berada pada posisi 46 dari.47 negara yang disurvei.
Keenam, posisi Perguruan Tinggi Indonesia yang dianggap favorit, seperti Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada hanya berada pada posisi ke-61 dan 68 dari 77 perguruan tinggi di Asia (Asiaweeh, 2000). Ketujuh, ketertinggalan bangsa Indonesia dalam bidang IPTEK dibanding¬kan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Indikator rendahnya kualitas pendidikan Indonesia di atas lebih memerhatinkan lagi dengan data Kementerian Pemuda dan Olahraga yang menyatakan bahwa sebanyak 37,06 persen pemuda Indonesia hanya lulus Sekolah Dasar. Dari 217 juta penduduk Indonesia jumlah pemuda diperkirakan 97 juta orang. Diasumsikan pemuda adalah mereka yang berusia 15-35 tahun. Dengan kondisi tersebut sulit mengharapkan mereka menjadi agen perubahan sosial, sebagaimana yang diharapkan masyarakat luas (Media Indonesia, 2005).
Lebih lanjut diketahui bahwa kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia UNESCO kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia.
Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia diperparah lagi dengan maraknya jual beli gelar yang menghasilkan gelar clan ijazah palsu. Yang lebih ironis lagi penjual dan pembeli gelar palsu dilakukan oleh orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan dan orang-orang yang selama ini dianggap sebagai tokoh masyarakat. Gelar tersebut diperoleh tanpa melalui proses pendidikan yang sebenarnya. Di satu sisi, orang dengan susah payah berusaha mendapatkan gelar, di sisi lain gelar itu diobral. Sungguh suatu ketidakadilan yang sangat nyata.

2.1.3 Perspektif Mutu Pendidikan
Kualitas pendidikan dapat kita ukur dari berbagai segi yakni segi ekonomis, segi sosial politis, segi sosial budaya, dari perspektif pendidikan itu sendiri dan dari perspektif proses globalisasi.
1) Perspektif Ekonomi
Kualitas pendidikan dihubungkan dengan prinsif efisiensi. Pendidikan yang berkualitas hanyalah pendidikan yang dialksanakan berdasarkan prinsif efisiensi. Pendidikan dianggap sebagai suatu bentuk investasi modal dan oleh sebab itu perlu dikelola secara efisien. Tokoh yang pertama kali mengenalkan tentang pentingnya efisiensi ini adalah Frederick Winslow Taylor (1991) dengan menerbitkan buku The Principels of Scientific Management.
2) Perspektif Sosial Politik
Dilihat dari segi sosial politik, manajerialisme merupakan suatu bahaya trust di dalam masyarakat. Francis Fukuyama dalam bukunya Trust;The Social Virtues and the Creation of Presperity (1995) menunjukkan bahaya-bahaya yang dikandung dari kehidupan modern yang tidak memupuk trust di dalm masyarakat.
3) Perspektif Sosial Budaya
Dilihat dari segi sosial budaya, konsep kualitas pendidian seperti di atas menggerogoti terbentuknya nation-state yang meminta kohesi sosial yang tinggi.
4) Perspektif Proses Globalisasi
Dilihat dari perspektif globalisasi, kehiduan ditandai oleh sifat yang kompetitif. Sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan global menjadi kompetisi sebagai sarana untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan kualitas pendidikan.
Dari uraian di atas kelihatan dengan jelas betapa masalah kualitas pendidikan berkaitan erat dengan tujuan pendidikan. Apakah tujuan pendidikan ditekankan kepada kebutuhan ekonomi, sosial politik, sosial budaya ataukah diarahkan kepada kebutuhan peserta didik seutuhnya.

2.1.3 Perkembangan mutu pendidikan di Indonesia
Uraian selanjutnya mengenai bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia dalam berbagai era perkembangan. Dari refleksi atas perkembangan kaulitas pendidikan tersebut dapat dijadikan bahan dalam merumuskan kualitas pendidikan yang diinginkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia di era reformasi saat ini.
Perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia telah berlangsung dalam empat era yaitu (1) Era kolonial, (2) Era Orde Lama, (3) Era Orde Baru (4) Era Reformasi. Adapun masing-masing era akan dijelaskan satu persatu berikut ini.
(1) Era Kolonial
Siapakah yang meragukan mutu dan kualitas pendidikan dalam masa kolonial? Pada zaman kolonial pendidikan hanya diberikan kepada para penguasa serta kaum feodal. Pendidikan rakyat cukup diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar penguasa kolonial. Pendidikan diberikan hanya terbatas kepada rakyat di sekolah-sekolah kelas dua atau ongko loro tidak diragukan mutunya.
Sungguhpun standar yang dipakai untuk mengukur kualitas rakyat pada waktu itu diragukan karena sebagian besar rakyat tidak memperoleh pendidikan, namun demikian apa yang diperoleh pendidikan seperti pendidikan rakyat tiga tahun, pendidikan rakyat lima tahun, telah menghasilkan pemimpin masyarakat bahkan menghasilkan pemimpin-pemimpin gerakan nasional. Pendidikan kolonial untuk golongan bangsawan serta penguasa tidak diragukan lagi mutunya. Para pemimpin nasional kita kebanyakan memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah kolonial bahkan beberapa mahasiswa yang dapat melanjutkan di Universitas terkenal di Eropa.
Dalam sejarah pendidikan kita dapat katakana bahwa intelegensi bangsa Indonesia tidak kalah dengan kaum penjajah. Masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kekurangan kesempatan yang sama yang diberikan kepada semua anak bangsa. Dalam Undang Undang Dasar 1945 pemerintah akan menyusun suatu sistem pendidikaan nasional untuk rakyat, untuk semua bangsa.
(2) Era Orde Lama
Masa revolusi pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Pada masa revolusi sangat terasa serba terbatas, tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang Undang Pendidikan No. 4/1950 junto no. 12/ 1954. Kita dapat membangun sistem pendidikan yang tidak kalah mutunya. Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas. Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi masa pancaroba seperti rongrongan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sayang sekali pada akhir era ini pendidikan kemudian dimasuki oleh politik praktis atau mulai dijadikan kendaraan politik. Pada masa itu dimulai pendidikan indoktrinasi yaitu menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan Orde Lama.
Pada Orde Lama sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan sistem kolonial yang serba ketat tetapi tetap jujur dan mempertahankan kualitas. Hal ini didukung karena jumlah sekolah belum begitu banyak dan guru-guru yang ditempa pada zaman kolonial. Pada zaman itu siswa dan guru dituntut disiplin tinggi. Guru belum berorientasi kepada yang material tetapi kepada yang ideal. Citra guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang diciptakaan era Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan pada Orde Lama.
Kebijakan yang diambil pada Orde Lama dalam bidang pendidikan tinggi yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Pada waktu itu pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di Pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB, UGM, dan UNAIR, sedangkan di provinsi-provinsi karena kurangnya persiapan dosen dan keterbatasaan sarana dan prasarana mengakibatkan kemerosotan mutu pendidikan tinggi.
(3) Era Orde Baru
Dalam era ini dikenal sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya Inpres Pendidikan Dasar. Tetapi sayang sekali Inpres Pendidikan Dasar belum ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas tetapi baru kuantitas. Selain itu sistem ujian negara atau EBTANAS telah berubah menjadi bumerang yaitu penentuan kelulusan siswa menurut rumus-rumus tertentu. Akhirnya di tiap-tiap lembaga pendidikan sekolah berusaha untuk meluluskan siswanya 100%. Hal ini berakibat pada suatu pembohongan publik dan dirinya sendiri dalam masyarakat. Oleh sebab itu era Orde Baru pendidikan telah dijadikan sebagai indikator palsu mengenai keberhasilan pemerintah dalam pembangunan.
Dalam era pembangunan nasional selama lima Rencana Pembangunan Lima Tahun yang ditekankan ialah pembangunan ekonomi sebagai salah satu dari Trilogi Pembangunan, maka kemerosotan pendidikan nasional telah berlangsung. Terlihat dari hasil manipulasi ujian nasional sekolah dasar kemudian meningkat ke sekolah menengah dan kemudian meningkat ke sekolah menengah tingkat atas dan selanjutnya berpengaruh pada mutu pendidikan tinggi. Walaupun pada waktu itu pendidikan tinggi memiliki otonomi dengan mengadakan ujian masuk melalui UMPTN, tetapi hal tersebut tidak menolong. Pada akhirnya hasil EBTANAS juga dijadikan indikator penerimaan di perguruan tinggi. Untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi maka pendidikan tinggi negeri mulai mengadakan penelusuran minat dari para siswa SMA yang berpotensi. Cara tersebut kemudian diikuti oleh pendidikan tinggi lainnya.
Di samping perkembangan pendidikan tinggi dengan usahanya untuk mempertahankan dan meningkatkan mutunya pada masa Orde Baru muncul gejala yaitu tumbuhnya perguruan tinggi swasta dalam berbagai bentuk. Hal ini berdampak pada mutu perguruan semakin menurun walaupun dibentuk Kopertis-Kopertis sebagai bentuk birokrasi baru.
(4) Era Reformasi
Indonesia sejak tahun 1998 merupakan era transisi dengan tumbuhnya proses demokrasi. Demokrasi juga telah memasuki dunia pendidikan nasional antara lain dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam bidang pendidikan bukan lagi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada tanggung jawab pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, hanya beberapa fungsi saja yang tetap berada di tangan pemerintah pusat. Perubahan dari sistem yang sentralisasi ke desentralisasi akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang jauh di dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Selain perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi yang membawa banyak perubahan juga bagaimana untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam menghadapi persaingan bebas abad ke-21. Kebutuhan ini ditampung dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta pentingnya tenaga guru dan dosen sebagai ujung tombak dari reformasi pendidikan nasional.
Sistem Pendidikan Nasional Era Reformasi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 diuraikan dalam indikator-indikator akan keberhasilan atau kegagalannya, maka lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian dijelaskan dalam Permendiknas Republik Indonesia.

2.2 Mutu Pendidikan di Sekolah Menengah Atas
2.2.1 Tantangan dan kebutuhan pendidikan bermutu
Pendidikan memegang peranan kunci dalam pengembangan sumber daya manusia dan insan yang berkualitas. Hal ini berdasarkan hasil penelitian pengendalian mutu pendidikan. Secara kuantitas, kemajuan pendidikan di Indonesia cukup menggembirakan. Namun, secara kualitas perkembangannya masih belum merata.
Masyarakat global, masyarakat teknologis ataupun masyarakat informasi yang bersifat terbuka, berubah sangat cepat dalam memberikan tuntutan, tantangan bahkan ancaman-ancaman baru. Pada abad sekarang ini, manusia-manusia dituntut berusaha tahu banyak knowing much, berbuat banyak doing much, mencapai keunggulan being exellence, menjalin hubungan dan kerjasama dengan orang lain being sociable serta berusaha memegang teguh nilai-nilai moral being morally.
III.2.2 Permasalahan mutu pendidikan
Program mutu sebenarnya berasal dari dunia bisnis. Sementara dalam dunia pendidikan banyak permasalahan mengenai mutu, seperti mutu lulusan, mutu pengajaran, mutu bimbingan dan latihan dari guru serta mutu profesionalisme dan kinerja guru. Mutu-mutu tersebut terkait dengan mutu manajerial para pemimpin pendidikan, keterbatasan dana, sarana dan prasarana, fasilitas pendidikan, media, sumber belajar, alat dan bahan latihan, iklim sekolah, lingkungan pendidikan serta dukungan dari pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan. Semua kelemahan mutu dari komponen pendidikan tersebut berujung pada rendahnya mutu lulusan.
Mutu lulusan yang rendah dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti lulusan tidak dapat melanjutkan studi, tidak dapat menyelesaikan studinya pada jenjang yang lebih tinggi, tidak dapat bekerja/tidak diterima di dunia kerja, walaupun bekerja tetapi tidak berprestasi, tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat, tidak produktif. Lulusan yang tidak produktif akan menjadi beban masyarakat, menambah biaya kehidupan dan kesejahteraan masyarakat serta memungkinkan menjadi warga yang tersisih dari masyarakat.
2.2.3 Dasar-dasar program mutu pendidikan
Banyak masalah yang diakibatkan oleh lulusan pendidikan yang tidak bernutu, program mutu atau upaya-upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan merupakan hal yang teramat penting. Untuk melaksanakan program mutu diperlukan beberapa dasar yang kuat, sebagai berikut :
a. komitmen pada perubahan
Pemimpin atau kelompok yang ingin menerapkan program mutu harus memiliki komitmen atau tekad untuk berubah.
b. pemahaman yang jelas tentang kondisi yang ada
Banyak kegagalan dalam melaksanakan perubahan karena melakukan sesuatu sebelum ada kejelasan.
c. mempunyai visi yang jelas terhadap masa depan
Perubahan yang akan dilakukan berdasarkan visi tentang perkembangan, tantangan, kebutuhan, masalah dan peluang dihadapi pada masa yang datang.
d. mempunyai rencana yang jelas
Mengacu pada visi, sebuah tim menyusun rencana dengan jelas. Rencana menjadi pegangan dalam proses pelaksanaan program mutu.
2.2.4 Peningkatan mutu pendidikan
Kualitas lulusan pendidikan kurang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dan pembangunan, baik indutri, perbankan, telekomunikasi, maupun pasar tenaga sektor lainnya yang senderung menggugat eksistensi sekolah. Bahkan SDM yang disiapkan melalui pendidikan sebagai generasi penerus belum sepenuhnya memuaskan bila dilihat dari segi akhlaq, moral, dan jati diri bangsa dalam kemajemukan budaya bangsa.
Kondisi tersebut menyebabkan sebagaian masyarakat menjadi pesimis terhadap sekolah. Ada anggapan bahwa pendidikan tidak lagi mampu menciptkan mobilitas sosial mereka secara vertikal, karena sekolah tidak menjanjikan pekerjaan yang layak. Sementara, dikatakan bahwa perubahan paradigma baru pendidikan kepada mutu (quality oriented) merupakan salah satu strategi untuk mencapai pembinaan keunggulan pribadi anak.
Otonomi pendidikan adalah suatu bentuk reformasi yang perlu dijalankan dengan baik. Dengan reformasi, perbaikan kualitas pendidikan menuntut tingginya kinnerja lembaga pendidikan dengan mengacu pada perbaikan mutu yang berkelanjutan, kreativitas dan produktivitas pegawai atau guru. Kualitas bukan hanya pada unsur masukan (input) tetapi juga unsur proses, terutama pada unsur keluaran/lulusan (output). Agar dapat memuaskan masyarakat sebagai pelanggan pendidikan. Sesuai dengan konsep sistem, maka input, proses dan output memiliki hubungan yang saling mempengaruhi untuk mencapai kepuasan pelanggan atau sesuai dengan harapan masyarakat.
Para Kepala Sekolah sebagai manajer sudah saatnya mengoptimalkan mutu kegiatan pembelajaran untuk memenuhi harapan pelanggan pendidikan. Sekolah berfungsi untuk membina SDM yang kreatif dan inovatif, sehingga lulusannya memenuhi kebutuhan masyarakat, baik pasar tenaga kerja sektor formal maupun informal. Para manajer pendidikan dituntut untuk mencari dan menerapkan suatu strategi manajemen baru yang diciptakan dapat mendorong perbaikan mutu di skeolah-sekolah saat ini.
Dalam realitasnya, tantangan krusial yang dihadapi oleh manajer, perancang, dan pengelola lembaga pendidikan di Indonesia adalah bagaimana upaya mengelola sekolah, akademi dan universitas agar dapat berkembang dan berkualitas. Institusi pendidikan perlu dikelola untuk mencapai hasil yang optimal. Disini hasil optimal itu ditandai dari mutu lulusan yang andal dan sesuai dengan harrapan masyarakat. Hal ini penting dan strategis sebab peranan pendidikan terkait dengan masa depan suatu bangsa, termasuk Indonesia.
Sallis dalam Syafruddin (2002) berpendapat bahwa manajemen mutu terpadu atau total quality management adalah menjamin mutu dan standar dalam pendidikan. TQM memberikan suatu filosofi sebagai suatu perangkat alat untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan dengan mengutamakan minat dan kebutuhan pelanggan. Kegagalan dalam perbaikan mutu pendidikan akibat manjemen yang lemah akan menimbulkan kegagalan generasi baik dalam dimensi mikro maupun makro. Secara mikro, lembaga pendidikan tidak bermutu, SDM yang dihasilkan adalah generasi yang lemah dalam bidang IMTAQ, IPTEK, Keterampilan dan Kreativitas. Sedangkan secara makro, terjadinya dominasi kebudayaan asing, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sains, dan teknologi terhadap bangsa. Akhirnya, akan mengakibatkan lost generation atau kehilangan generasi.
Untuk menjawab kegagalan di atas paling tidak solusi yang ditawarkan adalah memperbaiki manajemen pendidikan itu sendiri. Selama ini, manajemen pendidikan bersifat sentralistik yang mengakibatkan kelumpuhan bagi lembaga pendidikan dan sekolah-sekolah di daerah, perbaikan pendidikan yang tambal sulam dan berorientasi pada proyek. Situasi dan stabilitas politik yang tidak menentu menyebabkan kurang berpihak pada pendidikan yang bermutu. Hampir belum ditemukan kesungguhan pemberdayaan tenaga kependidikan suatu penyelenggaraan pendidikan bermutu. Oleh karena itu, perlu perubahan manajmen pendidikan nasional, termasuk manajemen sekolah demi perbaikan dan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan nasional.
2.2.5 Prinsif-prinsif peningkatan mutu pendidikan
Ada beberapa prinsip yang perlu dipegang dalam menerapkan program mutu pendidikan diantaranya sebagai berikut :
a. peningkatan mutu menuntut kepemimpinan profesional dalam bidang pendidikan
b. kesulitan para profesional pendidikan adalah ketidakmampuan menghadapi kegagalan sistem
c. peningkatan mutu pendidikan harus melalui loncatan-loncatan
d. uang bukan kunci utama dalam usaha peningkatan mutu, kunci utamanya adalah komitmen pada perubahan
e. banyak profesional di bidang pendidikan yang kurang memiliki pengetahuan dan keahlian
f. program peningkatan mutu dalam bidang komersial tidak dapat dipakai secarta langsung dalam pendidikan
g. sistem pengukuran berperan penting dalam program peningkatan mutu pendidikan
h. masyarakat dan manajemen pendidikan harus menjauhkan diri dari kebiasaan menggunakan program singkat

2.3 Faktor Penentu Mutu Pendidikan Sekolah Menengah Atas
2.3.1 Manajemen sekolah sebagai faktor penentu mutu pendidikan SMA
Secara fakta memang pendidikan di Indonesia kualitasnya masih rendah. Namun, hal itu sebaiknya diterima dengan lapang dada untuk instropeksi dan dilakukan evaluasi. Demikian pula faktor-faktor yang menyebabkan mutu dan kualitas pendidikan nasional rendah perlu dikurangi. Berdasarkan laporan Bank Dunia dalam Syafruddin (2002) ada empat faktor penghambat potensial mutu pendidikan di Indonesia, antara lain:
1) kompleksitas pengorganisasian pendidikan
2) praktik manajemen yang sentralistik
3) praktik pengangguran yang terpecah dan kaku
4) manajemen sekolah yang tidak efektif
Keempat faktor tersebut merupakan temuan pada sekolah. Secara umum, menurut Sallis dalam Syafruddin (2002) terdapat faktor-faktor lain yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, yaitu:
1) miskinnya perancangan kurikulum
2) ketidakcocokan pengelolaan gedung
3) lingkungan kerja yang tidak kondusif
4) ketidaksesuaian sistem dan prosedur atau manajemen pendidikan
5) tidak cukupnya jam pelajaran
6) kurangnya sumber daya manusia dan pengembangan staf
Jika ingin mencermati dan mengkaji secara mendalam faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia sebenarnya terletak pada unsur-unsur dari sistem pendidikan itu sendiri atau faktor internal, yakni paling tidak pada faktor kurikulum, sumber daya ketenagaan, sarana dan prasarana, manajemen sekolah, pembiayaan pendidikan, dan krisis kepemimpinan. Disamping itu juga, terdapat faktor eksternal berupa partisifasi politik rendah, ekonomi tak berpihak terhadap pendidikan, sosial budaya, rendahnya pemanfaatan sains dan teknologi juga mempengaruhi mutu pendidikan.
Selanjutnya, faktor utama yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan adalah kondisi guru yang masih mismatch dalam dua hal, yakni (1) penempatan guru yang tidak merata, (2) kualifikasi akademik guru belum sesuai dengan yang disyaratkan. Pada saat ini, terdapat 62% guru SD dan 29% guru SMP yang tidak layak mengajar (SEAMEO, 2001). Sementara, guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya mencapai 31,1% (Balitbang Diknas, 2000). Dengan profil mutu pendidikan ini, dapat dimengerti betapa sulitnya SDM Indonesia memperoleh posisi terhormat dalam persaingan global. Masalah keterbatasan fasilitas selalu menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan, maka salah satu tantangan besar dalam sektor pendidikan prioritas anggaran pendidikan yang cukup.
Sebagaimana laporan dari Komisi Nasional Pendidikan (Depdiknas, 2001) ada beberapa hal yang berkaitan dengan mutu pendidikan. Ada beberapa faktor ideal yang mempengaruhi agar mutu pendidikan di Indonesia semakin meningkat, yaitu:
a) tersedianya guru berkualitas dan layak mengajar
b) manajemen sekolah dengan pimpinan sekolah yang baik
c) manajemen mutu pendidikan
d) kohesi sosial untuk pencapaian tujuan pendidikan
Faktor-faktor lain yang terlibat dalam peningkatan mutu pendidikan secara sistemik dapat dilihat pada gambar berikut:




Skema 1
Peta Komponen Pendidikan Sebagai Sistem


























Sebagai keterangan dari skema di atas bahwa mutu pendidikan atau mutu sekolah tertuju pada mutu lulusan. Dalam hal sesuatu hal yang mustahil, pendidikan atau sekolah menghasilkan lulusan yang bermutu, jika tidak melalui proses pendidikan yang bermutu pula. Selain itu, harus didukung boleh faktor-faktor penunjang proses pendidikan yang bermutu pula. Proses pendidikan yang bermutu harus didukung oleh personalia, seperti administrator, guru, konselor dan tata usaha yang bermutu dan profesional.
Kemudian, faktor pendukung berikutnya adalah sarana dan prasarana, fasilitas dan media pendidikan serta sumber belajar yang memadai, baik mutu maupun jumlahnya dan biaya yang mencukupi, manajemen yang tepat serta lingkungan yang sesuai dan mendukung pelaksanaan pendidikan.
Mutu pendidikan bersifat menyeluruh, menyangkut semua komponen, pelaksana dan kegiatan pendidikan atau disebut dengan mutu total atau Total Quality. Maksud dari Total Quality adalah sesuatu yang tidak mungkin, hasil pendidikan yang bermutu dapat dicapai hanya dengan satu komponen atau kegiatan yang bermutu, sebab kegiatan pendidikan begitu kompleks antar komponen dan lainnya.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut di atas, tentu saja perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Adapun faktor penentu mutu pendidikan di Indonesia yang akan dibahas dalam makalah ini difokuskan pada manajemen sekolah dengan pimpinan sekolah yang baik terkait dengan manajemen mutu pendidikan. Pemilihan faktor ini dikarenakan kesepakatan dalam kelompok. Untuk lebih jelasnya diuraikan berikut.
Manajemen sekolah dengan rancangan Manajemen Berbasis Sekolah dipandang berhasil meningkatkan derajat mutu proses dan produk pendidikan dan pembelajaran. Mutu berorientasi pada masukan, proses, luaran dan dampaknya. Mutu masukan dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, kondisi baik atau tidaknya masukan sumber daya manusia, seperti kepala sekolah, guru, laboran, staf tata usaha dan siswa. Kedua, memenuhi atau tidaknya kriteria masukan material berupa alat peraga, buku-buku, kurikulum, sarana dan prasarana, dan lainnya. Ketiga, memenuhi atau tidaknya kriteria masukan yang berupa perangkat lunak, seperti peraturan, struktur organisasi dan deskripsi kerja. Keempat, mutu masukan yang bersifat harapan dan kebutuhan, seperti visi, motivasi, ketekunan dan cita-cita.
Mutu proses mengandung makna bahwa kemampuan sumber daya sekolah mentransformasikan multi jenis masukan dan situasi untuk mencapai derajat nilai tambah tertentu bagi peserta didik, seperti derajat kesehatan, keamanan, disiplin dan sebagainya. Lalu, mutu luaran dipandang bermutu jika mampu melahirkan keunggulan akademik dan ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang pendidikan atau menyelesaikan program pembelajaran tertentu. Selain itu, mutu sebuah sekolah juga dapat dilihat dari tertib administrasinya, misalnya mekanisme kerja yang efektif dan efisien.
Mutu lulusan yang rendah dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti lulusan tidak dapat melanjutkan studi, tidak dapat menyelesaikan studinya pada jenjang yang lebih tinggi, tidak dapat bekerja/tidak diterima di dunia kerja, walaupun bekerja tetapi tidak berprestasi, tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat, tidak produktif. Lulusan yang tidak produktif akan menjadi beban masyarakat. Mutu pendidikan berkenaan dengan penilaian suatu produk memenuhi kriteria, standar atau rujukan tertentu. Dalam konteks sistem pendidikan nasional, mutu pendidikan tercermin pada sejauhmana tujuan pendidikan nasional dapat tercapai. Mutu pendidikan harus diupayakan untuk mencapai kemajuan dengan dilandasi oleh perubahan yang terencana. Peningkatan mutu pendidikan dapat dicapai melalui dua strategi yaitu (a) peningkatan mutu pendidikan berorientasi pada keterampilan mental maupun fisik; (b) peningkatan mutu pendidikan khusus/berorientasi pada akademis.
Kaitan mutu atau kualitas dengan strategi yang ditempuh oleh sistem ini, peningkatan mutu pendidikan sangat terkait dengan relevansi pendidikan dan penilaian berdasarkan kondisi aktual mutu pendidikan tersebut. Mutu pendidikan tidak saja ditentukan oleh sekolah sebagai lembaga pembelajaran, tetapi juga disesuaikan dengan apa yang menjadi pandangan dan harapan masyarakat yang dilandasi tolok ukur norma ideal. Strategi mutu pendidikan saat ini menjadi kebijakan mencakup apa yang disebut dengan pendidikan berbasis luas atau broad-based education dan mengembangkan keterampilan hidup atau life skills. Kompetensi ini harus diberi landasan akademis yang kuat.
Dalam rencana jangka panjang, strategi ke depan adalah berupa upaya meningkatkan mutu pendidikan dengan memobilisasi potensi seluruh individu dalam masyarakat yang ditempatkan dalam konteks kebutuhan lokal. Ini berarti bahwa upaya peningkatan prestasi skolastik harus diimbangi dengan kurikulum lokal yang disebut muatan lokal, yang gilirannya menuntut prakarsa lokal. Peningkatan mutu pendidikan, terutama pada era otonomi daerah sekarang, seharusnya merupakan prakarsa daerah dalam mengangkat potensi lokal dengan segala variasinya. Muatan lokal bisa menjadi bagian dari pendidikan formal maupun non-formal.
Dalam rangka mengantisifasi dan mengurangi kelemahan-kelemahan pendidikan perlu adanya solusi untuk meningkatkan mutu dan kualitas. Peningkatan mutu dan kualitas serta pemerataan pendidikan dapat ditem¬puh melalui program dan kebijakan berikut:
a) Meningkatkan pelaksanaan wajib belajar dua belas tahun yang bermutu;
b) Memberikan akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat terjangkau oleh layanan pendidikan, seperti daerah terpencil;
c) Meningkatkan penyediaan pendidikan keterampilan dan kewira¬usahaan atau pendidikan nonformal yang bermutu;
d) Meningkatkan penyediaan dan pemerataan sarana prasarana pendidikan;
e) Meningkatkan kualifikasi, kompetensi dan profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan;
f) Meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik dan kependidikan;
g) Menyempurnakan manajemen pendidikan dan mening¬katkan partisipasi dalam proses perbaikan mutu pendidikan;
h) Meningkatkan kualitas kurikulum dan pelaksanaan yang bertujuan membentuk karakter dan kecakapan hidup (life skill), sehingga peserta didik mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan secara kreatif dan menjadi manusia yang inovatif serta produktif.
2.3.2 Sekolah dengan manajemen mutu total
Manajemen Mutu Total merupakan suatu metodologi yang dapat membantu para profesional pendidikan mengatasi lingkungan yang terus berubah. Manajemen total digunakan sebagai alat untuk membentuk ikatan sekolah, dunia bisnis dan pemerintah. Visi Manajemen Mutu Total dipusatkan pada menemukan kebutuhan para penggunaan lulusan (customer) persipan melibatkan masyarakat secara menyeluruh dalam program peningkatan mutu, mengembangkan sistem untuk mengukur nilai tambah dari pendidikan, sistem dukungan yang memungkinkan guru, staf administrasi dan siswa dalam mengelola perubahan dan melakukan penyempurnaan yang berkelanjutan dengan tujuan agar produk sekolah menuju arah yang lebih baik.
Merujuk pada pendapat Sallis dalam Danim (2006), sekolah yang bermutu bercirikan sebagai berikut:
a. sekolah berfokus pada pelanggan
b. sekolah berfokus pada upaya untuk mencegah masalah yang muncul
c. sekolah memiliki investasi ada sumber daya manusianya
d. sekolah memiliki strategi untuk mencapai kualitasnya
e. sekolah mengelola atau memperlakukan keluhan sebagai umpan balik
f. sekolah memiliki kebijakan dalam perencanaan untuk mencapai kualitas
g. sekolah mengupayakan proses perbaikan
h. sekolah mendorong orang yang dipandang memiliki kreativitas
i. sekolah memperjelas peran dan tanggung jawab setiap orang
j. sekolah memiliki strategi dan kriteria evaluasi dan sebagainya
Menurut Jerome S. Arcaro dalam Sukmadinata (2007) sekolah yang menerapkan mutu total ditopang oleh lima pilar yaitu :
a) Berfokus pada pengguna
setiap orang di sekolah harus memahami produk pendidikan punya pengguna
b) Keterlibatan secara total semua anggota
semua orang harus terlibat dalam transformasi mutu
c) Melakukan pengukuran
pendekatan baru pendidikan harus belajar mengukur mutu pendidikan dari kemampuan dan kinerja lulusan

d) Komitmen pada perubahan
peningkatan mutu pendidikan berdasarkan konsep dan pemahaman pendidikan sebagai sistem, meliputi sejumlah komponen seperti siswa, guru, kurikulum
e) Penyempurnaan secara terus menerus
setiap proses perlu selalu diperbaiki dan disempurnakan.
Berikut ini adalah skema model Sekolah Menengah Atas mutu total, menurut Jerome S. Arcaro dalam Sukmadinata (2007).


Skema 2
Model Sekolah Mutu Total



















Sebagai keterangan dari skema di atas bahwa pengembangan sekolah menengah yang bermutu merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar lagi dalam rangka menyukseskan pembangunan serta menghadapi era globalisasi. Hal ini sesuai dengan fungsi utama sekolah menengah yaitu menyiapkan para lulusan agar dapat hidup wajar di lingkungan masyarakat dan sukses belajar di sekolah yang lebih tinggi. Agar dapat dihasilkan lulusan yang bermutu, sebagai produk dari proses pendidikan yang bermutu, dibutuhkan pengendalian mutu yang efektif dan efisien.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan dapat disimpulkan bahwa pencapaian pendidikan nasional masih jauh dari harapan dan belum mampu membentuk karakter dan kepribadian bangsa serta masih rendahnya mutu pendidikan nasional menyebabkan keterpurukan bangsa Indonesia. Mutu atau kualitas pendidikan selalu terkait dengan input, proses dan output. Ketiganya saling berhubungan satu sama lain dan sangat berperan dalam penentuan mutu dan kualitas pendidikan. Input atau masukan dapat berupa kepala sekolah guru, karyawan, dan khususnya siswa yang mengalami proses dalam dunia pendidikan. Proses dilaksanakan baik di lingkungan formal maupun non formal yang dipengaruhi oleh instrumental input dan enviromental input.. Sementara output berupa keluaran atau lulusan dari suatu lembaga pendidikan atau sekolah menengah atas, seperti alumni.
Masih rendahnya mutu pendidikan di sekolah menengah atas disebabkan oleh faktor antara lain Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan sekolah menengah atas, antara lain kurangnya guru berkualitas dan layak mengajar, manajemen sekolah yang tidak efektif, penerapan manajemen mutu pendidikan yang sentralistik, kohesi sosial untuk pencapaian tujuan pendidikan, kompleksitas pengorganisasian pendidikan, praktik pengangguran yang terpecah dan kaku, miskinnya perancangan kurikulum, ketidakcocokan pengelolaan gedung,lingkungan kerja yang tidak kondusif, ketidaksesuaian sistem dan prosedur atau manajemen pendidikan, tidak cukupnya jam pelajaran, kurangnya sumber daya manusia dan pengembangan staf, kompleksitas pengorganisasian pendidikan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah menengah atas perlu adanya pengembangan akan komitmen pada perubahan, pemahaman yang jelas tentang kondisi yang ada, mempunyai visi yang jelas terhadap masa depan, serta mempunyai rencana jelas. Selain itu, peningkatan mutu dan kualitas serta pemerataan pendidikan dapat ditem¬puh melalui program dan kebijakan sebagai berikut meningkatkan pelaksanaan wajib belajar dua belas tahun yang bermutu, memberikan akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat terjangkau oleh layanan pendidikan, seperti daerah terpencil, meningkatkan penyediaan pendidikan keterampilan dan kewira¬usahaan atau pendidikan nonformal yang bermutu, meningkatkan penyediaan dan pemerataan sarana prasarana pendidikan, meningkatkan kualifikasi, kompetensi dan profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan, meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik dan kependidikan, menyempurnakan manajemen pendidikan dan mening¬katkan partisipasi dalam proses perbaikan mutu pendidikan, meningkatkan kualitas kurikulum dan pelaksanaan yang bertujuan membentuk karakter dan kecakapan hidup (life skill), sehingga peserta didik mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan secara kreatif dan menjadi manusia yang inovatif serta produktif.

3.2 Saran
Dalam kesempatan ini penulis memberikan saran kepada :
3.2.1 Departemen Pendidikan Nasional
1. Agar memberikan perhatian khusus terhadap pemerataan kesempatan pendidikan
2. Mengatasi berbagai permasalahan pendidikan dengan bijak, cepat, tepat sasaran
3. Berusaha memperbaiki dan meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan nasional
3.2.2 Sekolah
1. Membantu pelaksanaan program pendidikan yang telah dirancang oleh Depdiknas
2. Senantiasa melaksanakan proses pendidikan sebaik-baiknya
3. Menciptakan lulusan yang terampil, kreatif, dan dapat diandalkan
3.2.3 Mahasiswa
1. Mendukung program yang terkait dengan peningkatan mutu pendidikan
2. Menghindari tindakan dan praktek curang yang merugikan pendidikan nasional
3. Berkomitmen untuk memberikan pendidikan yang cukup bagi semua anak bangsa
3.2.4 Penulis
1. Belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh sehingga mampu berprestasi
2. Berperan aktif dan bekerjasama dalam perbaikan dunia pendidikan
3. Memahami dan mencari solusi untuk pemecahan masalah mutu pendidikan




DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2003. Guru di Indonesia. Jakarta : Depdiknas.
Freire, Paulo. 2000. Politik Pendidikan ; Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta : ReaD (Research, Education and Dialogue).
Kunandar. 2007. Guru Profesional;Implementasi KTSP dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Natawidjaja, Rohman dkk (Ed). 2007. Rujukan Filsafat, Teori dan Praktis Ilmu Pendidikan. Bandung : UPI Press.
Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan (Konsep, Strategi dan Aplikasi). Jakarta : Grasindo.
Sukmadinata, Nana. S. dkk. 2007. Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah (Konsep, Prinsip, dan Instrumen). Bandung : refika ADITAMA.
Tilaar, H.AR. 1995. 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995. Jakarta : Grasindo.
Tilaar, H.AR. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional ; Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta : Rineka Cipta.
www. depdiknas.co.id. (Jardiknas). Diakses tanggal 20 September 2008.
www.google.co.id. Blogger Nurkholis. Diakses tanggal 20September 2008.


MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Oleh : Husnil Kirom (Mahasiswa TP PPs Unsri 2008)
A. Latar Belakang Manajemen Berbasis Sekolah
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.
Telah banyak usaha peningkatan mutu pendidikan di tingkat pendidikan dasar tetapi hasilnya tidak begitu menggembirakan. Dari berbagai studi dan pengamatan langsung di lapangan, hasil analisis menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata, yaitu:
(1) kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education function atau input-output analisys yang tidak dilaksanakan secara konsekuen.
Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Selain itu menganggap apabila input seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan output secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi. Mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan educational production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
(2) penyelengaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan kepada keputusan birokrasi dan seringkali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang menyentuh atau kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat.
Di samping itu segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggara sekolah kehilangan kemandirian, insiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan dan keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi,
(3) peran serta warga sekolah khususnya guru dan peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim.
Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering diabaikan, pada hal terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah sangat tergantung pada guru. Dikenalkan pembaruan apapun jika guru tidak berubah, maka tidak akan terjadi perubahan di sekolah tersebut. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya sebatas pada dukungan dana, sedang dukungan-dukungan lain seperti pemikiran, moral dan barang/jasa kurang diperhatikan. Akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat juga lemah. Sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggung jawabkan hasil pelaksnanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan (stakeholder).
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut di atas, tentu saja perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

B. Sejarah Manajemen Berbasis Sekolah
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan "baru" dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah atau School Based Management yang kemudian disingkat MBS. Di luar negeri, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada tahun 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals telah menerbitkan dokumen berjudul School Based Management, A Strategy for Better Learning.
Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri.
Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
Manajemen Berbasis Sekolah adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian dan manfaat MBS, masalah-masalah dalam penerapan MBS serta pengaruh MBS terhadap prestasi belajar siswa.

C. Landasan Yuridis Manajemen Berbasis Sekolah
Secara yuridis penerapan MBS dijamin dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000–2004 pada Bab VII tentang bagian program pembangunan bidang pendoidikan khususnya sasaran (3) yaitu “terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis pada sekolah dan masyarakat (school/ community based management)
2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 51 ayat (1) “pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah’’
3) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, khususnya Standar Pengelolaan Sekolah yaitu Manajemen Berbasis Sekolah
4) Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044 Tahun 2002 tentang Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
5) Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 087 Tahun 2004 tentang Standar Akreditasi Sekolah khususnya tentang manajemen berbasis sekolah
D. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah memiliki banyak pengertian, tergantung dari sudut pandang orang yang mengartikannya. Menurut Nurkolis (2003:1) menjelaskan bahwa ”Manajemen Berbasis Sekolah terdiri dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah”. Pertama, istilah manajemen memiliki banyak arti. Secara umum manajemen dapat diartikan sebagai proses pengelola sumber daya secara efektif untuk mencapai tujuan. Ditinjau dari aspek pendidikan, manajemen pendidikan diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.
Selanjutnya, menurut Dr. JC. Tukiman Taruna pengertian MBS dalam implementasinya secara ideal mensyarakan beberapa hal, yakni: (a) peningkatan kualitas manajemen sekolah yang terlihat melalui transparansi keuangan, perencanaan partisipatif, dan tanggung-gugat (akuntabilitas), (b) peningkatan pembelajaran melalui PAKEM (Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan), (c) peningkatan peran serta masyarakat melalui sering atau banyaknya kepedulian masyarakat terhadap sekolah.
Manajemen adalah proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2004:674). Didalam penggunaan sumber daya termasuk kegiatan perencanaan, mengorganisasi, koordinasi, pengarahan, pengendalian dan supervisi. Menurut Scanlen dan Key dalam Danim (2006:32) mendefinisikan manajemen sebagai proses pengkoordinasian dan pengintegrasian semua sumber, baik manusia, fasilitas, maupun sumber daya teknikal lain untuk mencapai aneka tujuan khusus yang ditetapkan.
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan istilah lain dari School Based Management atau Site Based Management disingkat SBM. Dornseif (1996:2) menyatakan bahwa School Based Management describes a collection of practices in which more people at the school level make decisions for the school. Pendapat senada dikemukakan Marburger yang dikutip Brown (1990:90) bahwa SBM sebagai one which explicitly include shared power with teachers, principals, parent, citizens, and students. SBM bermakna pembagian kekuasaan antara guru, kepala sekolah, orang tua, masyarakat, dan siswa.
Pendapat lain dikemukakan Supriono dan Sapari (2001:13) yang menyatakan bahwa MBS sebagai formula pengelolaan pendidikan yang berupaya meningkatkan mutu pendidikan, efisiensi, dan pemerataan yang memungkinkan sekolah memiliki otonomi seluas-luasnya yang menuntut peran serta masyarakat secara optimal dan menjamin kebijakan nasional tidak terabaikan. Ketiga pendapat itu dapat disimpulkan bahwa manajemen berbasis sekolah adalah model pengelolaan pendidikan yang memasukkan pembagian kekuasaan antar komponen sekolah (guru, kepala sekolah, orang tua, warga negara, dan siswa) agar terjadi peningkatan mutu, efisiensi, dan pemerataan.
Kosekuensi dari MBS berdasarkan pengertian di atas adalah kebutuhan keterlibatan (involvement) dan keikutsertaan (partisipation) antar semua komponen dalam pendidikan, baik langsung maupun tidak langsung. Dua istilah itu kelihatannya sama, tetapi sebenarnya memiliki makna yang berbeda. Marsh (1996:194) menyebut involvement means very limited opportunities whereby parents undertake activities that have been designed and initiated by the school principal and staff.
Keterlibatan (involvement) lebih bermakna bagi orang tua siswa dan bersifat pasif karena inisiatif semuanya dari kepala sekolah dan stafnya, sedangkan partisipasi sebagai participation is to do with sharing or influencing decisions on policy matters and includes an active decision making role in such areas as school policy, staffing, and profesional development of staff, budget, grounds and buildings, management of resources and the school curriculum.
Partisipasi lebih bersifat aktif dalam mempengaruhi keputusan dari semua pihak dalam segala hal yang berkaitan dengan sekolah, baik kebijakan sekolah, formasi kepegawaian, pengembangan profesional staf, anggaran, tanah dan bangunan, pengelolaan sumber daya serta kurikulum sekolah. Kedua istilah ini sesuai pengertian Manajemen Berbasis Sekolah lebih sesuai dan cocok memakai istilah partisipasi, karena semangatnya seiring dan sejalan.
Lebih lanjut dikatakan bahwa konsep yang dikembangkan Depdiknas (2001:3) “pada hakekatnya Manajemen Berbasis Sekolah merupakan pemberian otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional”. Dari semua pengertian di atas mengandung maksud bahwa MBS itu merupakan wahana untuk pemberdayaan sekolah, keluarga, dan masyarakat secara bersama-sama dalam meningkatkan mutu sekolah.
MBS disebut juga dengan istilah Shared Decision-Making dalam Duke dan Cannady (1991:133), karena pembuatan keputusan atau kebijakan sekolah merupakan hasil keterlibatan semua pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dalam dunia pendidikan. Pengertian-pengertian di atas mengandung maksud bahwa MBS memiliki beberapa dimensi sebagai berikut:
Tabel 1
Perbandingan Pola Sentralisasi dengan Desentralisasi
Pola Lama (sentralisasi) Pola Baru (desentralisasi)
Subordinasi
Pengambilan keputusan terpusat
Ruang gerak kaku
Pendekatan birokratik
Sentralistik
Diatur
Overregulasi
Mengontrol
Mengarahkan
Menghindari resiko
Gunakan uang semuanya
Individual yang cerdas
Informasi terpribadi
Pendelegasian
Organisasi hirarkis. Otonomi
Pengambilan keputusan partisipatif
Ruang gerak luwes
Pendekatan profesional
Desentralistik
Motivasi diri
Deregulasi
Mempengaruhi
Memfasilitasi
Mengelola resiko
Menggunakan anggaran seefisien mungkin
Teamwork yang cerdas
Informasi terbagi
Pemberdayaan
Organisasi datar
(Depdiknas, 2001:7-8)
Tabel di atas menunjukkan bahwa MBS merupakan bentuk desentralisasi nyata (true decentralization), yang digambarkan Griffin dan Moorhead (1986:565) berikut ini:

Gambar 1
Perbandingan antara tipe dan partisipasi pembuatan keputusan
“Decision Type Programmed Nonprogrammed”

Participation in
Decision Making Much
Litle Formalized Decentralization True
Decentralization
Centralization

Gambar tersebut menggambarkan tiga kemungkinan dalam memahami sebuah partisipasi dikaitkan dengan tipe keputusan yang dibuat. Kemungkinan pertama adalah bahwa partisipasi seluruh elemen dalam pengambilan keputusan sanagat kecil, maka struktur organisasi bersifat sentralisasi. Kemungkinan kedua adalah jika individu atau kelompok berpartisipasi secara luas dalam pembuatan keputusan tetapi hanya dalam keputusan terprogram (programmed decisions) disebut desentralisasi formal (formalized decentralization). Ketiga, jika yang terjadi adalah individu atau kelompok berpartisipasi secara luas dalam pembuatan keputusan tetapi hanya dalam keputusan tak terprogram (Nonprogrammed decisions) disebut desentralisasi nyata (true decentralization). Sekolah haruslah mengembangkan model ketiga dalam melaksanakan kebijakan MBS.
Menurut Danim (2006:19) MBS pada intinya merupakan upaya terus menerus untuk memperbaiki kinerja sekolah dengan memposisikan sekolah sebagai institusi yang relatif otonom. Sejalan dengan pemikiran sebelumnya, perbaikan kinerja sekolah secara terus menerus ini relevan dengan filosofi Kanzen bahwa selalu tersedia ruang gerak, waktu dan tenaga untuk melakukan perbaikan.
Kemudian Larry Kuehn “ERIC Clearinghouse on Education Management” dalam Danim (2006:33) menyatakan terdapat banyak nama lain dari MBS, seperti ; local management of school, shared decision-making, self-managing schools, self-determining schools, locally-autonomous schools, school participatory management dan sebagainya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa MBS adalah suatu proses kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas, partisipasi dan sustainabilitas untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu.
Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah memerlukan sebuah lembaga khusus dan mandiri di basis otonomi daerah dan setiap jenjang pendidikan, baik berupa dewan pendidikan/sekolah di Kabupaten/Kota, dan komite sekolah di tingkat satuan jenjang pendidikan. Lembaga ini merupakan lembaga independen sebagai mitra teknis bidang pendidikan dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan (Depdiknas, 2002:5).
Beberapa pengertian di atas, dapat ditarik menjadi prinsip-prinsip MBS, diantaranya :
 Pertama, sekolah diasumsikan yang paling tahu tentang sekolah dan siswanya, sehingga keputusan tentang sekolah dibuat oleh orang-orang terkait.
 Kedua, sekolah adalah unit terbesar dalam efektifitas sekolah.
 Ketiga, guru, orang tua siswa dan masyarakat (tokoh masyarakat atau profesi) dapat membantu dalam pembuatan keputusan tentang program pendidikan, kurikulum, pengelolaan sumber daya (keuangan, manusia, dan alam) dan pengembangan profesional staf (administrasi maupun fungsional).
Secara umum, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang tentu saja, lebih berdaya dalam mengembangkan dalam mengembangkan program-program yang, tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal.
Demikian juga dengan partisipasi dan pelibatan warga sekolah dan masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan sekolah, maka rasa memiliki mereka terhadap selolah dapat ditingkatkan. Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab, dan peningkatan rasa tanggung jawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah dan masyarakat terhadap sekolah. Inilah esensi partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam pendidikan, baik peningkatan otonomi sekolah, fleksibelitas pengelolaan sumberdaya sekolah maupun partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaran sekolah tersebut kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya, Manajemen Pendidikan Mutu Berbasis Sekolah merupakan bagian dari Manajemen Berbasis Sekolah. Jika MBS bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas atau mutu, efesiensi, inovasi, relevansi, dan pemeratan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa mutu pendidikan nasional kita saat ini sangat memprihatinkan sehingga memerlukan perhatian. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa mutu pendidikan nasional kita saat ini sangat memperhatinkan sehingga memerlukan perhatian yang lebih serius. Itulah sebabnya MPMBS lebih ditekankan dari pada MBS untuk saat ini. Pada saatnya nanti MPMBS akan menjadi MBS.

E. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan atau otonomi kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia,
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama,
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah dalam penyelenggaraan program sekolah,
d. Meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.

F. Komponen-Komponen Manajemen Berbasis Sekolah
MPMBS sebagai sistem, memiliki komponen-komponen yang saling terkait secara sistematis satu sama lain, yaitu input, process, output dan outcome. Konteks adalah eksternalitas sekolah berupa demand and support (permintaan dan dukungan) yang mempengaruh pada input sekolah. Dalam istilah lain, konteks sama artinya dengan istilah kubutuhan. Dengan demikian, evaluasi konteks berarti evaluasi tentang kebutuhan (needs assessment).
Input adalah segala “sesuatu” yang harus tersedia dan siap karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud tidak harus berupa barang, tetapi juga dapat berupa perangkat-perangkat lunak dan harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Secara garis besar, input dapat diklarifikasikan menjadi tiga, yaitu harapan, sumberdaya, dan input manajemen.
Harapan-harapan terdiri dari visi, misi, tujuan, sasaran. Sumberdaya dibagi menjadi dua yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan). Input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program, regulasi (ketentuan-ketentuan, limitasi, prosedur kerja, dan sebagainya), dan pengendalian atau tindakan turun tangan.
Proses adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Dalam MPMBS sebagai sistem, proses terdiri dari; proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengolahan program, proses belajar mengajar, proses evaluasi sekolah, dan proses akuntanbilitas. Dengan demikian, fokus evaluasi pada proses adalah pemantauan (monitoring) implementasi MPMBS, sehingga dapat ditemukan informasi tentang konsistensi atau inkonsistensi antara rancangan/disain MPMBS semula dengan proses implementasi yang sebenarnya. Konsistensi antara rancangan dan proses pelaksanaan akan mendukung tercapainya sasaran, sedang inkonsistensi akan menjurus kepada kegagalan MPMBS. Dengan didapatkan informasi inkonsistensi tersebut, segera dapat dilakukan koreksi/pelurusan terhadap pelaksanaan.
Ouput adalah hasil nyata dari pelaksanaan MPMBS. Hasil nyata yang dimaksud dapat berupa prestasi akademik (academic achievement), misalnya, nilai Ujian Nasional dan peringkat lomba karya tulis maupun prestasi non-academic achivement, misalnya imtaq, kejujuran, kedisiplinan, dan prestasi olah raga, jesenian, dan kerajinan. Fokus evaluasi pada output adalah mengevaluasi sejauh mana sasaran (immediate objectives) yang diharapkan (kualitas, kuantitas, waktu) telah dicapai oleh MPMBS. Dengan kata lain, sejauhmana “hasil nyata sesaat” sesuai dengan “hasil atau sasaran yang diharapkan”. Tentunya makin besar kesesuaiannya, makin besar pula kesuksesan MPMBS.
Outcome adalah hasil MPMBS jangka panjang, yang berbeda dengan outcome yang hanya mengukur hasil MPMBS sesaat atau jangka pendek. Oleh karena itu, fokus evaluasi outcome adalah pada dampak MPMBS jangka panjang, baik dampak individual (lulusan SMP), institusional (SMP) dan sosial (masyarakat). Untuk melakukan evaluasi ini, pada umumnya digunakan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis).
Program Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak (Creating Learning Communities for Children atau CLCC) merupakan program kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan UNESCO dan UNICEF yang beroperasi di 42 kabupaten/kota. Pada awal implementasi, program ini merupakan satu dari sekian inisiatif untuk mendukung agenda reformasi pendidikan tingkat SD dalam konteks otonomi daerah, yang sekarang didefinisikan di dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003. NZAID (New Zealand Agency for International Development atau Lembaga untuk Pembangunan Internasional di bawah Pemerintah Selandia Baru.
Tujuan program adalah meningkatkan mutu pendidikan SD melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM), Partisipasi Masyarakat (PM). Diharapkan program ini menghasilkan satu model praktik pendidikan yang baik dan dapat diperluas.
Evaluasi yang dilaksanakan menunjukkan bahwa program mencapai tujuan dalam meningkatkan mutu pembelajaran, tetapi kurang berhasil dalam menciptakan dan mendiseminasikan model yang berkelanjutan (sustainable model) dan model dapat direplikasi bila ada komitmen yang kuat dari pemerintah daerah. Program berhasil dalam hal pencapaian belajar siswa, mengurangi angka putus sekolah, tinggal kelas, dan absen; meskipun MBS dan PM lebih berhasil ketimbang PAKEM. Ditemukan bahwa desain program tidak merinci bagaimana berbagai komponen program saling mendukung pencapaian hasil. Program juga kurang kerangka kerja monitoring, data awal tidak memadai, tidak ada tinjauan indikator secara berkala, analisis data monitor yang sentralistik, dan tidak ada rangkaian umpan-balik.
Rencana desain secara khusus juga membahas prioritas dan milestone pendidikan yang tertuang dalam Renstra 2005, dengan rujukan khusus pada dukungan terhadap sektor pendidikan dasar dan pengurangan kemiskinan di kabupaten kurang beruntung. DIP akan mengidentifikasi tujuan lima komponen pokok. Bila tujuan tercapai, DIP dapat mendukung replikasi praktik pendidikan yang baik, yang dapat diintitusionalisasi pada provinsi dan kabupaten / kota target program CLCC. Ada keterkaitan yang sangat kuat pada lima komponen tersebut. Setiap komponen memiliki syarat keluaran yang jelas, dengan indikator kunci dan cara verifikasi. Kelima komponen tersebut seperti di bawah ini. Program fase 2 mengantisipasi kemitraan yang kuat antara Depdiknas, UNICEF, UNESCO, NZAID dan donor lain yang potensial.
Adapun komponen-komponen dalam Manajemen Berbasis Sekolah sebagai berikut:
Komponen 1 : Konsolidasi dan Pengembangan Kapasitas Sekolah, Kabupaten/
Kota dan Provinsi
• Tujuannya adalah mengembangkan kapasitas personel sistem di tingkat provinsi, kabupaten / kota, dan sekolah target program CLCC, agar peningkatan mutu proses belajar-mengajar yang berpusat pada anak dan MBS dapat mandiri dan berlanjut. Ini memerlukan konsolidasi 3 pilar CLCC: MBS, PAKEM, dan PM. Konsolidasi ini terutama tidak diarahkan pada meningkatkan prestasi sekolah secara individu, melainkan memberikan satu model praktik pendidikan yang terbukti baik untuk mendorong dan mendukung provinsi dan kabupaten/kota menuju transisi ke arah institusionalisasi MBS.
• Jangka waktu untuk menyelesaikan komponen konsolidasi akan beragam, tergantung dari kemajuan yang dicapai dalam transisi ke arah institusionalisasi di tingkat kabupaten / kota. Penekanan akan diberikan pada sekolah dan kabupaten / kota yang kurang berhasil mengimplementasikan program CLCC. Bila kabupaten/kota tidak dapat menunjukkan dasar bagi pengembangan kapasitas, maka tidak akan ada transisi ke arah institusionalisasi.
• Akan ada satu tinjauan dan Rencana Konsolidasi bagi tiap-tiap kabupaten/kota akan memetakan pendekatan yang lebih strategis. Kegiatan CLCC akan diarahkan pada pencapaian kondisi dimana terdapat dasar yang kuat bagi transisi kepada institusionalisasi sebagai satu proses yang sistematik.
• Ada perhatian yang lebih diarahkan pada mutu pelatihan bagi pelatih agar kemampuan personel ini dapat dimanfaatkan pada peningkatan kapasitas provinsi dan kabupaten/kota, sebagai bagian dari transisi ke arah institusionalisasi. Ada kebutuhan terhadap pelatihan tingkat tinggi seperti analisis kebutuhan pelatihan, perencanaan strategis, manajemen program, dan monitoring dan evaluasi.
• Analisis Kebutuhan Pelatihan akan menghasilkan Rencana Pelatihan, dengan tujuan terukur, yang ditargetkan pada orang-orang yang akan memegang peran kepemimpinan dalam reformasi pendidikan. Juga terdapat penekanan yang kuat pada monitoring dan evaluasi keefektivan pelatihan.
• Membangun hubungan kolaboratif antara lembaga pelatihan guru (PPPG, LPMP) dan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) akan meningkatkan keberlangsungan praktik pengajaran yang baik.

Komponen 2 : Pengembangan Kapasitas di Tingkat Pusat
• Komponen ini akan mengembangkan kapasitas struktur pendidikan di tingkat pusat untuk membantu dinas dan sekolah dalam mencapai 8 tujuan standar nasional pendidikan bagi SD. Dengan sumber daya yang terbatas, CLCC akan membantu mengembangkan kapasitas Direktorat TK-SD guna mengkoordinasikan dan mengelola program MBS. Tetapi sebagai langkah awal, dukungan ini hanya terbatas pada Depdiknas dan Depag terkait perannya dengan MBS dan koordinasi dengan program-program MBS lain di kabupaten yang sama. Keahlian yang dikembangkan melalui kegiatan ini akan berkontribusi pada pengembangan kapasitas di tingkat pusat.
• UNESCO akan didanai untuk memberikan seorang Penasihat Teknis (Technical Adviser) kepada Direktur Pembinaan TK-SD. Orang ini akan memberikan saran dan masukan kebijakan kepada Direktur TK-SD dalam memenuhi persyaratan pengembangan kapasitas, pengembangan Sekretariat MBS, koordinasi dengan direktorat lain yang berperan dalam MBS, monitoring dan evaluasi kinerja program dan persyaratan pengembangan profesional staf.
• Satu Rencana Tindakan Pengembangan Kapasitas (Capacity Action Plan) akan dikembangkan dan pengembangan profesional diberikan untuk meningkatkan kemampuan staf Depdiknas dan Depag terkait tugasnya di MBS memberikan dukungan pada dinas dan sekolah.

Komponen 3 : Monitoring dan Evaluasi
• Draf kerangka kerja monitoring dan evaluasi program CLCC dibangun berdasarkan inisiatif yang dilakukan pada program fase 1 dan prosesnya disederhanakan. Kerangka kerja tersebut didasarkan pada 4 prinsip pokok, yaitu kesederhanaan, partisipasi dan rasa memiliki, pengembangan kapasitas, kemandirian atau sustainability dan institusionalisasi.
• Kerangka kerja di atas memperhatikan satu mekanisme untuk memonitor dan mengelola resiko yang dikenali atau yang dipersepsi terkait dengan desain program, dengan dua tanggung jawab yang saling terkait apabila program pendidikan dimonitor dan dievaluasi. Dua tanggung jawab ini adalah dukungan bagi manajemen dan kinerja program serta menafsirkan keluaran program pendidikan relatif terhadap implementasi program.
• Kinerja program relatif terhadap manajemen program yang sedang berjalan akan ditunjukkan dalam bentuk laporan standar reguler kepada Panitia Pengarah Program. Kinerja pendidikan relatif terhadap implementasi program akan dilaporkan melalui Laporan Kemajuan Pendidikan Tahunan dan diukur terhadap indikator pendidikan yang pokok. Akan dilakukan misi monitoring tahunan oleh NZAID bekerja sama dengan Depdiknas. NZAID bekerjasama dengan Depdiknas akan melakukan reviu di akhir tahun kedua fase 2 untuk mengkonfirmasi kemungkinan pendanaan lanjutan.
• Pelaporan akan dilakukan terhadap keluaran dan indikator yang jelas dan rinci seperti digariskan dalam Dokumen Desain Program. Seluruh pelaporan program bersifat kolaboratif dan terstruktur, sedemikian rupa sehingga kapasitas dan sistem setempat dikembangkan. Bilamana mungkin dan layak, lessons learned, struktur yang ada, organisasi dan lembaga akan dimanfaatkan untuk memfasilitasi kemandirian dan institusionalisasi proses monitoring dan evaluasi.

Komponen 4 : Manajemen dan Koordinasi Program
• Tujuannya adalah membangun satu sistem manajemen terpadu (unified) melalui “pendekatan satu program” dengan struktur manajemen dan governance yang membaik. Manajemen akan lebih strategis dalam pendekatannya,
• Opsi bagi governance yang membaik terkait program CLCC adalah Panitia Pengarah Program yang lebih mapan, CLCC Trust Fund, dan Sekretariat MBS yang mantap,
• UNICEF akan bertanggung jawab terhadap manajemen sehari-hari termasuk mempekerjakan staf lapangan. UNESCO memberikan bantuan teknis termasuk arahan kebijakan, evaluasi, penelitian dan advokasi di tingkat pusat dan dukungan atas masalah-masalah tersebut pada Tim MBS di tingkat provinsi dan kabupaten,
• Akan dibentuk satu struktur manajemen baru dengan tanggung jawab yang jelas bagi anggota Tim, dan bertanggung jawab terhadap (accountable) pencapaian keluaran program,
• Fungsi manajemen pokok akan ditinjau, seperti manajemen personil, monitoring dan evaluasi, pelaporan keuangan, dan pelaporan terhadap indikator pokok. Prosedur Operasi Standar akan dihasilkan,
• Terdapat sejumlah program MBS yang beroperasi dengan tujuan mendukung Pendidikan Dasar di tingkat SD. Program-program ini belum diharmonisasi, meskipun ada indikasi positif untuk harmonisasi, dan juga ada diskusi Pendekatan Berdasr Sektor (Sector Wide Approach). Diperlukan satu kerangka kerja operasional bagi kerjasama antara program CLCC dengan BE-SCSP (Basic Education-Sector Capcity Support System atau program di Dit PSMP bantuan Uni Eropa) dan program-program MBS lainnya untu menghindari tumpang-tindih dan berupaya saling menguntungkan.
• Pemerintah Indonesia juga sedang mengupayakan koordinasi dan harmonisasi program-program MBS, apakah didanai oleh donor, pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten. Pembentukan Sekretariat MBS merupakan perkembangan yang penting, dan dukungan berkelanjutan terhadap program CLCC merupakan satu fitur pokok dari Dokumen Implementasi Program.
• Direktur Pembinaan TK-SD mengkonfirmasi bahwa peran penting komponen pengembangan kapasitas di tingkat pusat akan memperkuat kemampuan Direktorat mendukung MBS di tingkat pusat, provinsi, and kabupaten/kota.
• Program CLCC patut didukung di masa depan, baik oleh mitra maupun donor. Melalui manajemen yang baik (sound), pendekatan strategis, tim yang terdiri dari orang yang berbakat dan bemotivasi, monitoring, evaluasi yang efektif, dan telaah yang terus-menerus untuk meningkatkan kinerja yang bermutu, program akan memberikan kontribusi yang nyata dan mendalam bagi pengembangan keluaran pendidikan untuk siswa dan kesejahteraan nasional.

G. Model-Model Manajemen Berbasis Sekolah di Negara Lain
Manajemen Berbasis Sekolah tidak hanya berlaku di Indonesia, akan tetapi di negara lain juga sudah lama diterapkan. Adapun Model-Model MBS di beberapa negara, antara lain:
1. Model MBS di Hongkong
Di Hongkong MBS disebut The School Management Initiative (SMI) atau manajemen sekolah inisiatif. Problem pendidikan di Hongkong yang mendorong munculnya MBS adalah struktur dan proses manajemen yang tidak memadai, peran dan tanggungjawab masing-masing pihak kurang dijabarkan secara jelas dan inisiatif datang dari atas.
Model MBS Hongkong menekankan pentingnya inisiatif dari sumber daya di sekolah sebagai pengganti inisiatif dari atas yang selama itu diterapkan. Inisiatif yang diberikan kepada sekolah harus dibarengi dengan diterapkannya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pendidikan. Transparansi di sini juga menuntut kejelasan tugas dan tanggungjawab masing-masing pihak yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan di sekolah. Transparansi dan akuntabilitas tidak hanya dituntut dalam penggunaan anggaran belanja sekolah, tetapi juga dalam hal penentuan hasil belajar siswa serta pengukuran hasilnya.
2. Model MBS di Kanada
Sebelum diterapkannya MBS di Kanada, kondisi awalnya adalah semua kebijakan ditentukan dari pusat. Model MBS di Kanada disebut School – Site Decision Making (SSDM) atau pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat sekolah. MBS di Kanada sudah dimulai sejak tahun 1970. Desentralisasi yang diberikan kepada sekolah adalah alokasi sumber daya bagi staf pengajar dan administrasi, peralatan dan pelayanan.
Menurut Sungkowo (2002:16) ciri-ciri MBS di Kanada sebagai berikut; penentuan alokasi sumber daya ditentukan oleh sekolah, alokasi anggaran pendidikan dimasukkan kedalam anggaran sekolah, adanya program efektivitas guru dan adanya program pengembangan profesionalisme tenaga kerja. Setiap tahun survey pendapat dilakukan oleh para siswa, guru, kepala sekolah, staf kantor wilayah dan orang tua yang memungkinkan mereka merangking tingkat kepuasan mereka tentang pengelolaan dab hasil pendidikan.
3. Model MBS di Amerika Serikat
Sistem pendidikan di Amerika Serikat, mula-mula secara konstitusional pemerintah pusat (state) bertanggunjawab terhadap pelaksanaan pendidikan. MBS di AS disebut Side-Based Management (SBM) yang menekankan partisipasi dari berbagai pihak. Menurut Wirt (1991:27) yang dikutip oleh Ibtisam Abu Duhou, model MBS di Amerika Serikat walaupun ada perbedaan di Negara-negara federal, ada dua ciri utama reformasi pendidikan di Amerika Serikat sebagai implementasi dari MBS, yakni :
a. Desentralisasi administratif
Kantor pusat otoritas pendidikan menunjuk tugas-tugas tertentu yang dilaksanakan oleh kepala sekolah dan guru di lingkungan sekolah. Kantor pusat menyerahkan kewenangan ke bawah, tetapi sekolah local masih bertanggungjawab keatas
b. Manajemen berbasis setempat
Suatu struktur yang memberi wewenang kepada para orang tua, guru dan kepala sekolah di masing-masing sekolah untuk menentukan prioritas, mengalokasikan anggaran, menentukan kurikulum, serta menggaji dan memberhentikan staf.
4. Model MBS di Inggris
Model MBS di Inggris disebut Grant Mainted School (GMS) atau manajemen dana swakelola pada tingkat local. Ada enam perubahan structural guna memfasilitasi pelaksanaan MBS di Inggris, yakni: 1) kurikulum nasional untuk mata pelajaran inti yang ditentukan oleh pemerintah (Whitehall); 2) ada ujian nasional bagi siswa kelas 7, 11, 14 dan 16; 3) MBS dibentuk untuk mengembangkan otoritas pendidikan local agar dapat memperoleh bantuan dana dari pemerintah; 4) adanya pembentukan sekolah lanjutan teknik kejuruan; 5) kewenangan Inner London Education dilimpahkan kepada tiga belas otoritas pemerintah; 6) skema manajemen sekolah lokal dibentuk dengan melibatkan beberapa pihak terkait, seperti ; a) peran serta secara terbuka pada masing-masing sekolah dalam otoritas pendidikan local, b) alokasi sumber daya yang telah dirumuskan masing-masing sekolah, c) ditentukan prioritas oleh masing-masing sekolah dalam membiayai kegiatannya, d) memberdayakan badan pengelola pada masing-masing sekolah dalam menentukan dana untuk guru dan staf, dan e) memberikan informasi kepada orangtua mengenai prestasi guru.
Di Inggris penerapan MBS dilindungi dan dikondisikan dengan adanya komitmen politik serta undangundang pendidikan yang mengatur penetapan kurikulum, pelaksanaan ujian nasional, dan pengelolaan pendidikan yang melibatkan berbagai unsur masyarakat luas.
5. Model MBS di Australia
Di Australia lebih seratus tahun sampai awal tahun 1970-an pengelolaan pendidikan diatur oleh pemerintah pusat (sistem sentralistik). Terjadi perubahan pada awal tahun 1970-an dan berlanjut sampai tahun 1980-an, khususnya dalam hal pengelolaan dana dan desentralisasi administratif.
Karakteristik MBS di Australia dapat dilihat dari aspek kewenangan sekolah yang meliputi: pertama, menyusun dan mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Kedua, melakukan pengelolaan sekolah dapat dipilih diantara tiga kemungkinan, yaitu Standart Flexibility Option (SO), Enhanced Flexibility Option–(EO 1), dan Enhanced Flexibility Option–(EO 2). Ketiga, membuat perencanaan, melaksanakan dan mempertanggungjawabkan. Keempat, adanya akuntabilitas dalam pelaksanaan MBS. Kelima, menjamin dan mengusahakan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan. Keenam, fleksibilitas dalam penggunaan sumber daya sekolah.
6. Model MBS di Perancis
Di Perancis, sebelum terjadi reformasi dalam pendidikan, sistem pengelolaan pendidikannya sangat sentralistik. Terjadi perubahan mendasar pada tahun 1982-1984, dimana otoritas lokal memiliki tanggungjawab terhadap dukungan financial. Kekuasaan badan pengelola sekolah menengah atas diperluas ke beberapa area. Masing-masing sekolah menerima anggaran secara langsung terhadap jam mengajar guru. Kepala sekolah menentukan jenis staf yang dibutuhkan untuk program-program khusus yang dilaksanakan sekolah.
7. Model MBS di Nikaragua
Model MBS di Nikaragua difokuskan pada mendesentralisasikan pengelolaan sekolah dan aggaran sekolah yang keputusannya diserahkan kepada dewan sekolah (consenjos direvtivos). Pelaksanaan MBS di Nikaragua didasarkan pada teori yang berpendapat bahwa sekolah otonom (centros autonomos) harus dikelola secara mandiri yang diarahkan/ ditekankan pada keterlibatan orang tua siswa. Selain itu, sekolah memiliki kemampuan untuk menarik sumber daya dari masyarakat lokal melalui biaya pendidikan (tuition fee) dan sumbangan tenaga.
MBS sebagai bentuk desentralisasi pendidikan di Nikaragua menyangkut empat tahapan penting, yaitu desentralisasi kebijakan, perubahan organisasi sekolah, penyesuian gaji, memantapkan dan menarik sumbangan pendidikan, pemilihan buku pelajaran dan melakukan evaluasi terhadap para guru. Dewan sekolah juga memiliki kewenangan untuk mengalokasikan dana, mengelola pendapatan sekolah, program pelatihan dan dalam hal kurikulum yang sesuai.
8. Model MBS di Selandia Baru
Di Selandia Baru sejak tahun 1970-an, perhatian masyarakat terhadap sekolah mulai berkembang. Pada tahun 1989 di setiap sekolah memiliki dewan sekolah yang mayoritas anggotanya terdiri dari orang tua siswa yang keanggotaannya disetujui oleh menteri. Dewan sekolah inilah yang membuat kerangka kerja operasional sekolah.
Lebih dari 90 % pembiayaan sekolah akan didesentralisasikan ke masing-masing sekolah yang kemudian disebut School Based Budget (SBB). Staf akan diseleksi dan diangkat oleh sekolah itu sendiri. Pada tahun 1989 dikeluarkan Undang-Undang Pendidikan (Education Act), dan pada tahun 1990 sistem pendidikan dijalankan secara desentralistik.
Di samping adanya dewan sekolah (komite sekolah ada juga dewan pendidikan provinsi yang memiliki tanggungjawab untuk menentukan berbagai macam pekerjaan termasuk diantaranya pemilihan guru-guru dan menentukan alokasi anggaran sekolah (grand). Kerangka kerja kurikulum nasional masih akan berlaku namun masing-masing sekolah mengembangkan pendidikan khususnya kepada siswa. Dukungan pendanaan di sekolah dijalankan dengan sistem quasi-free market di mana sekolah akan membuat perencanaan dan keleluasaan pengelolaan dana sekolah.
9. Model MBS di Elsalvador
Model MBS di Elsalvador disebut Community Mangred School Program (CMSP), kemudian lebih dikenal dengan nama akronim Spanyol EDUCO (Education con Participation de la Comunidad). Maksud dari model ini untuk mendesentralisasikan pengelolaan sekolah negeri dengan cara meningkatkan keterlibatan orangtua di dalam tanggungjawab menjalankan sekolah. Filosofi dari program EDUCO adalah pertama, bahwa orang-orang local dapat menjalankan sekolah di dalam komunitas mereka secara lebih efisien dan efektif daripada dijalankan oleh birokrasi yang sentralistik. Kedua, perlunya para orantua siswa terlibat langsung didalam pendidikan anak-anaknya. Faktor penggerak dari program ini adalah sebuah grup yang anggotanya dipilih dari orangtua yang memiliki tanggungjawab untuk pengadministasian sekolah.
10. Model MBS di Madagaskar
Model MBS di Madagaskar difokuskan pada pelibatan masyarakat terhadap pengontrolan pendidikan dasar (sekolah berbasis masyarakat) sejak tahun 1994. implementasi MBS diarahkan di dalam kerangka dengan melibatkan masyarakat desa tidak hanya untuk merehabilitasi, membangun dan memelihara sekolah-sekolah dasar, tetapi juga dilibatkan dalam pengelolaan dan pensupervisian sekolah dasar. Peran utama pemerintah adalah mengurangi ketidakadilan pendidikan, mendefinisikan standar dan mengembangkan kerangka kerja kebijakan dan penilaian pendidikan.
11. Model MBS di Indonesia
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah atau MPMBS. MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. MPMBS merupakan bagian dari manajemen berbasis sekolah (MBS).
Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku, sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik dimana warga sekolah di dorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Adapun harapannya sekolah akan menjadi mandiri dengan ciri-ciri sebagai berikut; tingkat kemandirian tinggi, adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya, memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja, komitmen yang tinggi pada dirinya dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
12. Model MBS yan Ideal
Menurut Lawyer (1986) keterlibatan tinggi dalam manajemen disektor swasta menyangkut empat hal, yaitu: informasi, penghargaan, pengetahuan dan kekuasaan. Informasi memungkinkan para individu berpartisipasi dan mempengaruhi pengambilan keputusan dengan memahami linkungan organisasi, strategi, sistem kerja, persyaratan kerja dan tingkat kerja. Pengetahuan dan keterampilan diperlukan untuk meningkatkan kinerja pekerjaan dan kontribusi efektif atas kesuksesan organisasi.
Penghargaan untuk menyatukan kepentingan pribadi karyawan dengan keberhasilan organisasi. Kekuasaan diperlukan untuk mempengaruhi proses kerja, praktek keorganisasian, kebijakan dan strategi. Dalam MBS menggambarkan pertukaran dua arah dalam empat hal tersebut. Alur dua arah memberikan pengaruh yang saling menguntungkan secara terus menerus antara pemerintah daerah dengan sekolah dan sebaliknya.
Kekuasaan, informasi, pengetahuan, penghargaan daerah, sekolah gagasan lain tentang MBS yang ideal adalah menerapkan pada keseluruhan aspek pendidikan melalui pendekatan sistem. Konsep ini didasarkan pada pendekatan manajemen sebagai suatu sistem. Seperti model ideal yang dikembangkan oleh Slamet P.H terdiri dari ouput, proses dan nput. Input sekolah antara lain visi, misi, tujuan, sasaran, struktur organisasi, input manajemen, input sumber daya. Output sekolah diukur dengan kinerja sekolah, yaitu pencapaian atau prestasi yang dihasilkan oleh proses sekolah.
Kinerja sekolah dapat diukur dari efektivitas, kualitas, produktivitas, efisiensi, inovasi, moral kerja. Proses sekolah adalah proses pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan pengelolaan program, dan belajar mengajar. Model MBS ideal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
 Kualitas dan inovasi
 Input Proses Output Outcome
 Pengelolaan Efektivitas
 Produktivitas
 Efisiensi Internal
 Efisiensi Eksternal

H. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah
Penerapan MBS di sekolah merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu. pasalnya, setiap sekolah memiliki potensi yang berbeda-beda. apabila sekolah mampu mengembangkan potensi yang dimiliki tentu akan berhasil mencetak sumber daya-sumber daya yang memang dibutuhkan masyarakat. Sehingga kecil kemungkinan terjadi urbanisasi ke kota-kota besar lantaran di daerah asal kurang menjamin akan tetapi permasalahannya, dalam MBS, pihak sekolah dituntut untuk dapat bekerja sama dengan masyarakat. Padahal kita tahu sendiri, potensi dari masyarakat pedesaan dalam hal pengembangan pendidikan sangat minim. kalau begitu bagaimana dengan pemanfaatan "komite sekolah" dalam penerapan MBS di pedesaan dikarenakan terkadang komite sekolah tersebut dimanfaatkan hanya dalam segi finansial saja.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala sekolah, guru dan pengelola sistem pendidikan (administrator profesional). Untuk lebih kreatif dalam mengelola sekolah. Oleh kafrena itu keberhasilan dalam mencapai kinerja unggul akan sangat ditentukan oleh faktor informasi, pengetahuan, keterampilan dan insentif yang berorientasi pada mutu, efisiensi dan kemandirian sekolah. Dalam kerangka implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan, manajemen pendidikan berbasis sekolah merupakan alternatif pendekatan yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan.
Desentralisasi sistem pemerintahan daerah memberikan kebebasan yang luas bagi pemerintah daerah untuk memfasilitasi pengelolaan pendidikan akan tetap memperhatikan kebijakan – kebijakan umum dari pemerintah pusat. Ada beberpa dimensi – dimensi perubahan pola manajemen pendidikan dari pola lama kepada pola baru. Selain daripada itu ada beberapa alasan untuk menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dianataranya :
1) Dengan diberikannya otonomi yang lebih besar kepada sekolah, Maka Sekolah akan lebih inisiatif dan kreatif dalam meningkatkan mutu sekolah,
2) Sekolah lebih, mengetahui kekuatan, kelemahan, ancaman dan tangan bagi sekolah, sehingga ia dapat mengotimalkan sumberdaya yang dimilikinya,
3) Dapat meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat terhadap peningkatan mutu sekolah,
4) Meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orangtua,pemerinha tentang mutu sekolah.

I. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah
Sekolah sebagai suatu sistem yang dari dari komponen konteks, input, proses, output dan outcame. Kesemuanya ini satu sama lainnya saling berpengaruh. Konteks adalah eksternalitas yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan dan karenanya harus diitenalisasikan kedalam penyelenggaraan sekolah. Konteks ini meliputi kemajuan ipteks, kemajuan yang diharapkan oleh masyarakat, dukungan pemerintah dan masyarakat, kebijakan pemerintah, landasan yuridis, tuntutan otonomi,tuntan globalisasi dan tuntutan pengembangan diri. Semua ini harus diinternalisasi kedalam sekolah sehingga sekolah menjadi milik masyarakat.
Input sekolah adalah sesuatu yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar.Input ini adalah siswa, visi, misi/tujuan, sasaran, kurkulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana, administrasi sekolah. Lalu, proses adalah kejadian berubahnya sesuatu menjadi yang lain. Dalam pendidikan proses adalah terjadinya interkasi anatara guru dan peserta didik. Proses ini sangatlah menentukan terhdap kualitas pendidikan yang dihasilkan . Oleh karena itu prilaku guru sebagai harus menjadi suri tauladan bagi peserta didiknya.
Output pendidikan adalah hasil belajar yang merefleksikan seberapa besar efektifnya proses belajar mengajar diselenggarakan. Outcame adalah dampak jangka panjang dari output hasil belajar, baik dampak bagi individu tamatan maupun bagi masyarakat. Bagi sekolah yang sudah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah semua komponen tersebut di atas akan dikelola secara baik sehingga berhasil guna dan berdaya guna.
Menurut Syaiful (2004:136) menyebutkan bahwa sekolah yang menerapkan MBS adalah sebagai berikut :
1) Memiliki output atau prestasi pemebelajaran dan manajemen sekolah efektif,
2) Efektifitas proses belajar mengajar yang tinggi,
3) Peran kepala sekolah yang kuat dalam mengkordinasikan, menggerakkan dan menyesarikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia,
4) Lingkungan dan iklim belajar yang aman, tertib dan nyaman (enjoable learning) sehingga manajemen sekolah berjalan dengan efektif,
5) Analisis kebutuhan perencanaan,pengembangan, evaluasi kinerja,hubungan kerja dan imbal jasa tenaga kependidikan dan guru sehingga mereka menjalankan tugasnya denga baik,
6) Pertanggungjawaban sekolah kepada publik terhadap keberhasilan sekolah yang telah dilakukan,
7) Pengelolaan dan penggunaan anggaran sesuai dengan kebutuhan riil.
Lebih lanjut, karakteristik MBS menurut Danim (2006:29) antara lain ; adanya keragaman dalam pola penggajian guru, otonomi manajemen sekolah, pemberdayaan guru secara optimal, pengelolaan sekolah secara partisipatip, sistem yang didesentralisasikan, sekolah dengan pilihan otonomi, adanya hubungan kemitraan, akses terbuka bagi sekolah, pemasaran sekolah secara kompetitif.
Apabila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada. Ciri-ciri MBS, bisa dilihat dari sudut sejauh mana sekolah tersebut dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, pengelolaan SDM, proses belajar-mengajar dan sumber daya sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut:
















*) Pada dasarnya kepemimpinan transformasional mempunyai tiga komponen yang harus dimilikinya, yaitu:
a. memiliki kharisma yang didalamnya termuat perasaan cinta antara KS dan staf secara timbal-balik sehingga memberikan rasa aman, percaya diri, dan saling percaya dalam bekerja,
b. memiliki kepekaan individual yang memberikan perhatian setiap staf berdasarkan minat dan kemampuan staf untuk pengembangan profesionalnya,
c. memiliki kemampuan dalam memberikan simulasi intelektual terhadap staf. KS mampu mempengaruhi staf untuk berfikir dan mengembangkan atau mencari berbagai alternatif baru.
Dengan demikian, MBS yang akan dikembangkan merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai dengan adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi tapi masih dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Tetapi semua ini harus mengakibatkan peningkatan proses belajar mengajar. Sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip MBS adalah sekolah yang harus lebih bertanggungjawab (high responsibility), kreatif dalam bertindak dan mempunyai wewenang lebih (more authority) serta dapat dituntut pertanggungjawabannya oleh yang ber-kepentingan/tanggung gugat (public accountability by stake holders).
Secara ringkas perubahan pola manajemen pendidikan lama (konvensional) ke pola baru (MBS) dapat digambarkan sebagai berikut:










Diharapkan dengan menerapkan manajemen pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal berikut:
a. menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut,
b. mengetahui sumberdaya yang dimiliki dan “input” pendidikan yang akan dikembangkan,
c. mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya,
d. bertanggungjawab terhadap orangtua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelengaraan sekolah,
e. persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif-inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan.
Hasil rumusan yang dihasilkan peserta kemungkinan sangat banyak dan bervariasi. Pada akhir diskusi, fasilitator bersama-sama peserta mencoba mengklasifikasi dan menggabungkan rumusan yang sejenis sehingga diperoleh ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah, misalnya upaya meningkatkan peran serta Komite Sekolah, masyarakat, DUDI (dunia usaha dan dunia industri) untuk mendukung kinerja sekolah, program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (kurikulum), bukan kepentingan administratif saja.
Selanjutnya, menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil dan fasilitas), mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan, menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat, meningkatkan profesionalisme personil sekolah, meningkatnya kemandirian sekolah di segala bidang, adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misalnya Kepala Sekolah, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat, dan lain-lain), adanya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah.

J. Implementasi MBS dalam Peningkatan Mutu Pendidikan
Secara umum Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model pengolahan yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah, dan mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dari pespektif ini maka penerapan MBS dipandang strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Disini sekolah dapat menciptakan program-programnya yang lebih baik karena pemikiran dan sumber daya sekolah dapat diolah secara langusng sesuai dengan kebutuhan murid yang dilayani yang pada gilirannya akan lahir sekolah yang bermutu.
Sekolah dapat dikatan bermutu apabila prestasi sekolah, khususnya prestasi peserta didik menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam prestasi akademik, memiliki nilai-nilai ketaqwaan dan kesopanan, memiliki tanggung jawab yang tinggi dan kemampuan yang diwujudkan dalam keterampilan dasar sesuai dengan ilmu yang diterima di sekolahnya.
Ada persyaratan untuk pelaksanaan manajemen berbasis sekolah sehingga menjadi sekolah yang bermutu yaitu :
a. adanya kebutuhan untuk berubah
b. adanya rencana desain organisasi pendidikan dalam sistem pemilihan kepala sekolah dan guru mengacu pada profesionalisme,
c. bentuk partisipasi masyarakat,
d. dukungan lingkungan dan orangtua murid,
e. kemampuan mengadakan dan mengelolaan dana,
f. perolehan hasil belajar yang diukur standar evaluasi.

MODEL PEMBELAJARAN SINEKTIKS

Menurut Joyce dan Weil dalam Winataputra (2001:22) mendasarkan model sinektiks pada empat ide yang menentang pandangan lama tentang kreativitas, sebagai berikut:
1. kreativitas sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Gordon menitikberatkan kreativitas sebagai salah satu bagian dari pekerjaan dan waktu senggang sehari-hari. Model ini dirancang untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah, mengekspresikan sesuatu secara kreatif, menunjukkan empati, dan memiliki wawasan sosial.
2. proses kreativitas bukanlah hal yang misterius. Gordon percaya bahwa seseorang dapat memahami inti dari proses kreatif dan dapat digunakan secara bebas sebagai anggota masyarakat.
3. penemuan yang kreatif pada hakikatnya sama dalam berbagai bidang dan ditandai oleh proses intelektual yang melatarbelakanginya.
4. penemuan yang kreatif dari individu dan kelompok pada dasarnya serupa.

Inti dari model sinektiks ialah aktivitas metapora yang meliputi analogi personal, analogi langsung dan konflik yang dipadatkan. Kegiatan metaporis bertujuan menyajikan perbedaan konseptual antara diri mahasiswa dengan objek yang dihadapi atau materi yang dipelajari.
a. Analogi personal dilakukan oleh para mahasiswa pada saat mereka meletakkan diri pada objek yang sedang dibandingkan, misalnya dengan cara mengandaikan dirinya sebuah mobil dan lain-lain.
b. Analogi langsung merupakan perbandingan seederhana antara dua objek atau konsep dengan tujuan untuk mentrasprosekan sesuatu keadaan yang lain dalam rangka memperoleh pandangan baru, ide baru dan masalah baru
c. Konflik yang dipadatkan ialah cara mengkontraskan dua ide dengan memberi label singkat. Biasanya dengan hanya dua kata, misalnya sangat ramah dan sebagainya.

Model Sinektiks memiliki enam tahapan, yaitu :
(1) Deskripsi kondisi saat ini
Pengajar meminta mahasiswa untuk memaparkan atau mendeskripsikan situasi yang diamati saat ini.
(2) Proses analogi langsung
Mahasiswa mengemukakan berbagai analogi atau pengandaian, kemudian memilih salah satu untuk deskripsi lebih jauh.
(3) Analogi personal
Mahasiswa menjadikan dirinya sebagai analogi dari keadaan yang dianalogikan pada tahap sebelumnya.
(4) Konflik yang dipadatkan
Mahasiswa mengambil apa yang dipaparkan atau dideskripsikan pada tahap kedua dan ketiga, kemudian membuat beberapa konflik yang dipadatkan dan memilih salah satu.
(5) Analogi langsung
Mahasiswa mengemukakan dan memilih analogi langsung yang lain berdasarkan pada konflik yang dipadatkan.
(6) Penyajian kembali tugas awal
Pengajar mengarahkan mahasiswa untuk kembali kepada tugas awal atau maslaah dan menggunakan analogi yang terakhir atau keseluruhan proses sinektiks.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Daniel J. 1990. Decentralization and School-Based Management. London : The Falmer Press.
Dadang Yuliantara. 2000. Arus Bawah Demokrasi ; Otonomi dan Pemberdayaan Desa. Yogyakarta : LAPERA.
Danim, Sudarwan. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah ; Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta : Bumi Aksara.
Depdiknas. 2001. Manajemen PeningkatanMutu Berbasis Sekolah Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta : Ditjen Dikdasmen Depdiknas.
__________. 2005. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Fokusmedia.
Drost, J. 2006. Dari KBK Sampai MBS ; Esai-Esai Pendidikan. Jakarta : Kompas.
Jalal, Fasil dan Supardi. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogjakarta : Adi Cita.
Mulyasa E. 2002. Menjadi Kepala Sekolah Profesional, dalam Menyukseskan MBS dan KBK. Bandung : Remaja Rosdakarya.
__________. 2005. Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Nurkholis, 2003, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, Jakarta : Gramedia.
Pidarta, Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Sukmadinata, Nana S. 2007. Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah. Bandung : Aditama.
Supriono S. dan Achmad Sapar. 2001. Manajemen Berbasis Sekolah. Surabaya: SIC.
Suryosubroto, B. 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta : Rineka Cipta.
Undang-Undang Dasar Repuplik Indonesia 1945 Amandemen ke-4.
Winataputra, Udin S. 2001. Model-Model Pembelajaran Inovatif. JakartaPAU-PPAI Universitas Terbuka.

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
Oleh : Husnil Kirom (Mahasiswa TP PPs Unsri 2008)

PENDAHULUAN
Ketika sekat-sekat primordialisme diangkat orang ke permukaan hingga meruncing menjadi konflik antarsesama secara horizontal, sejatinya kita telah kembali ke budaya masyarakat purba yang menabukan perbedaan. Realitas yang muncul bukanlah “kemauan politik” untuk melihat perbedaan sebagai sebuah kekayaan budaya, melainkan lebih pada upaya untuk membangun sentimen-sentimen etnisitas berbasis chauvinisme dan egoisme sempit. Realitas semacam itu diperparah dengan sikap fanatisme dan taklid membabi buta. Akibatnya, struktur sosial-budaya masyarakat kita yang demikian beragam menjadi sangat rentan terhadap konflik berbau SARA.
Sejarah kita telah mencatat banyaknya kasus kekerasan yang dipicu oleh perbedaan. Tak hanya perbedaan yang kasat mata, tetapi juga perbedaan dalam ranah ideologi dan pemikiran. Ibarat kerikil dalam sepatu, mereka yang tidak sepaham dan sependapat dianggap sebagai penghambat yang mesti disingkirkan.
Kalau kita mau jujur, sesungguhnya perbedaan itu mustahil bisa diseragamkan. Secara fisik, setiap orang dilahirkan dalam kondisi yang berbeda. Demikian juga dalam ranah ideologi dan pemikiran. Dengan kekhasan cara pandang dan alur berpikir yang ada dalam dirinya, setiap orang akan tampil secara utuh sesuai dengan kekhasan dirinya. Kalau mereka diseragamkan, yang terjadi kemudian adalah sebuah proses anomali; tidak nyaman dan tidak kondusif dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kita sungguh prihatin menyaksikan meruyaknya kasus kekerasan yang secara beruntun membuat wajah kebhinekaan Indonesia ternodai. Aksi-aksi anarkhi yang berlangsung pada masa-masa menjelang dan pascareformasi, misalnya, sungguh memberikan ilustrasi betapa struktur sosial-budaya masyarakat kita yang beragam gampang sekali terinfeksi virus kekerasan. Tawuran antarkampung, pembakaran tempat-tempat ibadah, unjuk rasa berbau anarkhi, atau aksi-aksi vandalistis lainnya, setidaknya sudah bisa menjadi bukti betapa keberagaman menjadi sesuatu yang mahal di negeri ini. Selalu saja ada upaya penekanan dan pemaksaan kehendak dari pihak-pihak tertentu untuk mengingkari makna keberagaman dan kebhinekaan.
Dalam konteks demikian, sudah saatnya dunia pendidikan kita mengambil peran sebagai institusi yang dengan amat sadar menjadikan pendidikan multikultural sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam dinamika dunia pendidikan. Implementasinya bisa diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran lintasmata pelajaran, sehingga tidak perlu dijadikan sebagai mata pelajaran tersendiri. Para guru yang berdiri di garda depan dalam proses pembelajaran diharapkan dapat melakukan aksi-aksi inovatif dengan mendesain pola pembelajaran yang menarik dan menyenangkan sehingga secara tidak langsung siswa didik bisa belajar untuk menerima perbedaan sekaligus menjadikannya sebagai kekayaan budaya dalam kehidupan sehari-hari.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang wajib dilaksanakan oleh semua satuan pendidikan di berbagai jenjang pendidikan mulai tahun 2009/2010 –berdasarkan Permendiknas No. 24/2006—perlu dikembangkan dan dijabarkan lebih jauh hingga menyentuh ranah pendidikan multikultural. Guru yang menjadi “aktor” pembelajaran perlu melakukan pemetaan ulang terhadap standar isi kurikulum sehingga bisa diketahui dengan jelas Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) masa saja yang bisa disisipi pesan-pesan pendidikan multikultural. Berdasarkan SK dan KD yang telah terpetakan, guru bisa menambahkan beberapa indikator untuk mengukur tingkat kognitif, psikomotor, dan afeksi siswa didik terhadap nilai-nilai multikultural.
Ibarat sebuah mozaik, Indonesia justru akan kehilangan keindahannya jika elemen-elemen pembangun bangsa ini diseragamkan dalam satu warna. Setiap entitas pembangun bangsa dengan karakternya masing-masing perlu dimaknai sebagai kekayaan budaya yang akan membuat “mozaik Indonesia” menjadi lebih indah dan elegan. Idiom “Bhineka Tunggal Ika” yang sudah lama bergaung di negeri ini perlu digali dan terus dikaji sehingga tak terjebak menjadi motto dan slogan semata. ***
Indonesia, sebagaimana negara berkembang lainnya memiliki permasalahan sosial yang tidak sederhana. Namun, penting untuk dipertanyakan mengapa Indonesia lebih tertinggal dari Malaysia atau Singapura, padahal Indonesia lebih awal merdeka. Padahal konon Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang sangat baik. Tetapi mengapa kualitas sumber daya manusia Indonesia saat ini hanya berada pada peringkat ke-109 dari 174 negara di dunia. Bahkan yang paling mengerikan, Indonesia mengalami krisis yang berkepanjangan.

Krisis ekonomi yang dikuti dengan berbagai krisis lainnya, menyadarkan kita akan pentingnya modal sosial. Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat yang berupa kebersamaan, solidaritas, kerjasama, tolerasi, kepercayaan, dan tanggung jawab tiap anggota masyarakat dalam memainkan setiap peran yang diamanahkan. Bila energi kolektif hancur maka hancur pulalah keharmonisan, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam masyarakat.

Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis serta masalah-masalah sosial yang dewasa ini terus berkembang membutuhkan perhatian dan kepekaan dari seluruh elemen bangsa tidak hanya dari para pakar dan pemerhati masalah sosial namun juga dunia pendidikan yang punya peran sangat strategis sebagai wahana dan “agent of change” bagi masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan di Indonesia baik melalui substansi maupun model pembelajaran. Hal ini dipandang penting untuk memberikan pembekalan dan membantu perkembangan wawasan pemikiran dan kepribadian serta melatih kepekaan peserta didik dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial sosial yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya.

Kata Kunci: Pendidikan, Multikultural, Masalah sosial.

PEMBAHASAN

Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.

Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa,

Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.

2. Perspektif Tentang Pendidikan Multikultural

Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.

Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.

Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.

Wacana multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.

Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.

Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.

Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.

Tahun 1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.

Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.

Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.

Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.

Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.

Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.

Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.

Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.

Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.

KESIMPULAN

Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini. Di Perguruan Tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif multikultural, misalnya melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa. Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan misalnya dalam Out Bond Program, dan pada tingkat SD, SLTP maupun Sekolah menengah pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti PPKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya.

Dalam Pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.

Tak kalah penting wacana pendidikan multikultural ini dapat diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih berkeadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Banks, J (1993), Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and Practice. Review of Research in Education.

——, (1994), An Introduction to Multicultural Education, Needham Heights, MA

Kuper, Adam & Jessica Kuper (2000), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional.

Zubaidi (2005), Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar.
10 Tanggapan ke “Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia”


MASALAH RELEVANSI PENDIDIKAN
Oleh : Husnil Kirom (Mahasiswa TP PPs Unsri 2008)

A. Pendahuluan
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya kualitas pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Karena itu upaya membangun pendidikan yang berkualitas di Indonesia merupakan sebuah keharusan yang sangat mendesak untuk mengejar ketertinggalan dari pendidikan di negara-negara maju.
Saat ini, kondisi pendidikan di negara-negara maju telah demikian familiar dengan penggunaan teknologi, metode-metode terbaru dalam pembelajaran serta kelengkapan fasilitas belajar. Namun, pada saat yang sama, kondisi pembelajaran di Indonesia masih mempunyai banyak persoalan dan kendala yang mengakibatkan secara umum kualitas pendidikan Indonesia masih jauh tertinggal, jika dibandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara maju dan bahkan dengan negara-negara di Asia tenggara.
peta permasalahan pendidikan sangat kompleks yang menyangkut bukan saja masalah-masalah teknis pendidikan, tetapi meliputi kegiatan-kegiatan perencanaan, pendanaan dan efisiensi dari sistem itu sendiri. Era globalisasi yang sudah merambah ke dalam dunia pendidikan, menuntut lembaga-lembaga pendidikan, terutama dalam kaitan ini sekolah, untuk melakukan berbagai upaya yang berorientasi pada penciptaan kompetensi lulusan yang berdaya saing global. Sekolah dituntut untuk dapat mencetak kader-kader pembangunan yang mampu berkompetisi dan menjadi pemenang dalam persaingan global. Oleh karena itu, pembenahan pada proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah agar sesuai dengan tuntutan global menjadi sebuah keharusan yang tak terelakkan.
Melalui berbagai tinjauan tersebut, fenomena pendidikan menampakkan gambaran yang empirik. Dewasa ini dunia pendidikan Indonesia mengalami empat krisis pokok, yaitu kualitas, relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme, dan manajemen. Pada makalah ini pemakalah hanya khusus membahas tentang relevansi pendidikan.


B. Masalah Relevansi Pendidikan
Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Luaran pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka ragam seperti sektor produksi, sektor jasa, dan lain-lain.
Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini diantaranya disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Kemudian status lembaga pendidikan sendiri masih bermacam-macam kualitasnya, dan sistem pendidikan tidak pernah menghasilkan luaran siap pakai, yang ada ialah siap kembang.
Masalah relevansi pendidikan sangat penting untuk mengantisipasi kebutuhan tenaga kerja global. Kalau mutu pendidikan dan relevansi pendidikan tidak dibenahi, maka tenaga kerja Indonesia akan menghadapi kesulitan bersaing mencari kerja, termasuk di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (Balitbang Depdiknas) memperkirakan, setiap tahunnya sekitar tiga juta anak yang putus sekolah dan tidak melanjutkan sekolah tidak memiliki keterampilan hidup, yang pada gilirannya kelak dapat menimbulkan masalah ketenagakerjaan.

Umumnya luaran yang diproduksi oleh sistem pendidikan (lembaga yang menyiapkan tenaga kerja) jumlahnya secara kumulatif lebih besar dari pada yang dibutuhkan di lapangan. Sebaliknya ada jenis-jenis tenaga kerja yang dibutuhkan di lapangan kurang diproduksi atau bahkan tidak di produksi. Keadaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Luaran
(produksi tenaga kerja)
(L) Kebutuhan
Tenaga di lapangan
(K) Keterangan
L > K Keadaan umumnya
Lembaga pendidikan

L < K Beberapa bidang

L = 0 K Bidang tertentu
(sangat dibutuhkan)

Jika produksi (L) tenaga dikaitkan dengan kebutuhan (K) dan pengangkatan (P), maka gambaran umumnya adalah sebagai berikut : L > K > P. Artinya jumlah luaran lebih besar daripada yang dibutuhkan dan jumlah kebutuhan lebih besar dari pada pengangkatan, dengan akibat bahwa setiiap tahunnya selalu terjadi penumpukan tenaga kerja yang menunggu pekerjaan.


C. Upaya Penanggulangan Masalah
Dari beberapa masalah di atas dapat diupayakan penanggulangan masalah tersebut jika sistem pendidikan menghasilkan luaran yang dapat mengisi semua sektor pembangunan baik yang aktual (yang tersedia) maupun yang potensial dengan memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja, maka relevansi pendidikan dianggap tinggi.
Permasalahan akan teratasi jika pendidikan dapat menyediakan kesempatan pemerataan belajar, artinya semua warga negara yang butuh pendidikan dapat ditampung dalam satuan pendidikan, dan hasil pendidikan tersebut harus sesuai atau relevan dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan
Masalah relevansi pendidikan terfokus pada luaran yang dihasilkan dari sistem pendidikan menengah (SMA/MA). Karena luaran SMA/MA ini yang banyak diharapkan oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhandan siap pakai. Kegiatan pokok dalam upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan menengah adalah :
1. Meningkatkan kemampuan profesional dan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya, antara lain melalui pemberian akreditasi dan sertifikasi mengajar bidang tertentu yang ditinjau dan dievaluasi secara periodik, serta penyempurnaan sistem angka kredit untuk peningkatan karier guru;
2. Menyusun kurikulum yang berbasis kompetensi dasar sesuai dengan kebutuhan dan potensi pembangunan daerah, mampu meningkatkan kreativitas guru, inklusif dan tidak bias gender sesuai dengan kapasitas peserta didik, serta menekankan perlunya peningkatan keimanan dan ketakwaan, wawasan kebangsaan, kesehatan jasmani, kepribadian yang berakhlak mulia, beretos kerja, memahami hak dan kewajiban, serta meningkatkan penguasaan ilmu-ilmu dasar (matematika, sains dan teknologi, bahasa dan sastra, ilmu sosial, dan bahasa Inggris);
3. Meningkatkan standar mutu nasional secara bertahap agar lulusan pendidikan menengah mampu bersaing dengan lulusan pendidikan menengah di negara-negara lain;

4. Menerapkan kurikulum berbasis kompetensi pada sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi tuntutan persyaratan tenaga kerja;
5. Mengembangkan lomba karya ilmiah dan sejenisnya yang disesuaikan dengan standar yang dipakai di dunia pendidikan internasional;
6. Melakukan pendekatan pada dunia usaha dan dunia industri untuk melakukan kerja sama dengan sekolah-sekolah menengah, khususnya pendidikan menengah kejuruan dalam mengembangkan perencanaan, pengembangan materi pelajaran, implementasi kegiatan, dan penilaian program pengajaran;
7. Mengembangkan program-program keterampilan/kejuruan pada SMU dan MAyang sesuai dengan lingkungan setempat atau tuntutan dunia kerja setempat agar para lulusan SMU dan MA yang tidak memiliki peluang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dapat bersaing dalam memasuki dunia kerja;
8. Meningkatkan pengadaan, penggunaan, dan perawatan sarana dan prasarana pendidikan termasuk buku dan alat peraga, perpustakaan, dan laboratorium bagi sekolah-sekolah negeri dan swasta secara bertahap;
9. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses belajar mengajar melalui pemetaan mutu sekolah, penilaian proses dan hasil belajar secara bertahap dan berkelanjutan serta pengembangan sistem dan alat ukur penilaian pendidikan yang lebih efektif untuk meningkatkan pengendalian dan kualitas pendidikan;
10. Meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas kinerja kelembagaan dan pengelolaan sumber dana sehingga peran dan tanggung jawab sekolah-sekolah, pemerintah daerah termasuk lembaga legislatif dan masyarakat dalam upaya peningkatan mutu pendidikan makin nyata.




D. Penutup
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa ada keterkaitan antara permasalahan-permasalahan yang ada di dalam dunia pendidikan, yaitu masalah pemerataan pendidikan, masalah mutu pendidikan, masalah efisiensi pendidikan, dan masalah relenvansi pendidikan.
Sistem pendidikan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya dan masyarakat sebagai suprasistem. Pembangunan sistem pendidikan tidak mempunyai arti apa-apa jika tidak sinkron dengan pembangunan nasional. Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
Luaran pendidikan seharusnya dapat mengisi semua sektor pembangunan. Hal ini berkaitan dengan sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan masyarakat dengan menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan dan yang menjadi persyaratan ketika memasuki dunia kerja. Permasalahan yang terjadi ketika tidak relevannnya pendidikan yang ada dengan kebutuhan masyarakat, maka berakibat pada ketidaksesuaian antara jumlah luaran yang di produksi oleh sistem pendidikan secara kumulatif lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan di lapangan.
Solusi yang utama dalam menganggulangi ketidaksesuaian yang terjadi dalam dunia pendidikan adalah meningkatkan pemerataan pendidikan, mutu dan efisiensi pendidikan sehingga luaran yang dihasilkan siap memenuhi semua kebutuhan yang ada di masyarakat.

KUALITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Membicarakan mengenai kualitas pendidikan bukanlah hal yang mudah. Pakar-pakar pendidikan seperti Psacharopoulos, Ace Suryadi dan banya lagi yang lain menunjukkan berbagai indikator yang dpat menunjukkan tinggi rendahnya kualitas pendidikan tersebut.
Psacharopoulos menunjukkan tiga indikator yang berpengaruh pada kualitas pendidikan yaitu dana pendidikan, kelulusan sekolah dasar dan prestasi yang dicapai dalam membaca komprehensif. Adapun penjelasan masing-masing indikator tersebut yaitu:
1. Dana Pendidikan
Pendidikan yang berkualitas tidak mungkin bisa dicapai tanpa dana yang memadai. Sebagai bahan perbandingan tentang pembiayaan pendidikan di seluruh dunia disajikan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1
INDIKATOR KUALITAS PENDIDIKAN DASAR DI DUNIA TAHUN 80-an *

Bagian Dunia Biaya per-siswa dalam US $ Prosentase Menamatkan SD Prestasi dalam Membaca Kimprehensif
SUB SAHARA AFRIKA
1. Afrika Timur
2. Afrika Barat 2,24
-
- -
71
70 -
-
-
ASIA
1. Asia Timur
2. Asia Selatan -
2,47
1,68 57
-
- -
-
-
AMERIKA LATIN dan KARABIA
8,99 61 -
EROFA, TIMUR TENGAH dan AFRIKA UTARA
3,28 80 -
NEGARA BERKEMBANG
4,80 68 9
NEGARA MAJU
105,50 91 27

* Sumber : George Psacharopoulos dalam CRITICAL ISSUES in EDUCATION, A WORLD
AGENDA
Catatan :
1. Indonesia termasuk bagian dunia Asia Timur
2. Tidak termasuk gaji guru



Keterangan :
a. Dalam tabel di atas kita dapat lihat misalnya biaya per siswa untuk Asia Timur dimana Indonesia termasuk di dalamnya, masih kurang dibandingkan dengan biaya per siswa rata-rata negara berkembang.
b. Negara maju menyediakan dua puluh enam kali lipat besar biaya pembiayaan per siswa rata-rata yaitu apabila negara berkembang hanya menyediakan US $ 4,8, maka negara maju menyediakan US $ 105,5 per siswa.

Dari keterangan tersebut menunjukkan bahwa betapa belum memadainya dana yang tersedia untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negara-negaraberkembang.Selanjutnya, besaran unit cost pendidikan pada tahun 1991 di Indonesia dalam tabel.

Tabel 2
UNIT COST PENDIDIKAN TAHUN 1991*

Jenjang Pendidikan Rupiah
SD
91,405
SMP
124,311
SMA/SMK
204,748
PERGURUAN TINGGI
461,596

* Sumber : Boediono, et.al., EDUCATION, ECONOMIC and SOCIAL DEPARTEMENT
Termasuk gaji guru kurang lebih 90 % dari Unit Cost

Keterangan :
a. Unit Cost untuk SD
Angka ini belum memadai. Apabila unit cost tersebut dikurangi dengan gaji guru yang biasanya merupakan 90 % dari seluruh biaya, maka dapat dibayangkan besarnya unit cost untuk seorang siswa SD yang mungkin tidak lebih dari US $ 5.
b. Unit Cost untuk SMP, SMA/SMK dan Perguruan Tinggi
Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin tinggi pula unit cost-nya. Sudah dapat digambarkan betapa mutuu pendidikan jenjang pendidikan di bawah, sedangkan untuk pendidikan yang lebih tinggi relatif memperoleh dana yang lebih tinggi.
c. Kesimpulan
Jika kita bandingkan dengan tabel sebelumnya rata-rata siswa yang menamatkan SD di Asia sebesar 57 %. Barangkali angka ini masih rendah dibandingkan dengan keadaan di Indonesia pada tahun tersebut. Menurut Suryadi angka kelulusan untuk Indonesia sekitar 70 %, sedangkan di negara maju prosentase yang menamatkan SD ialah 91 %. Hal ini menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia masih jauh dari yang diinginkan.


2. Kelulusan Sekolah Dasar
Mengenai angka memasuki, mengulang, dan drop out, maka kita lihat masih besar angka mengulang dan drop out. Apabila rata-rata yang dibutuhkan untuk pendidikan SD ialah delapan setengah tahun, maka ini menunjukkan bahwa rata-rata anak Indonesia memerlukan delapan setengan tahun untuk menamatkan pendidikan SD. Banyak faktor yang mempengaruhi diantaranya kesulitan ekonomi dari keluarga, kekurangan fasilitas belajar dan mutu guru belum memadai. Semua faktor ini akan menentukan besarnya prosentase yang drop out maupun tinggal kelas.
Berikutnya, apabila kita laht hasil dari membaca komprehensif ternyata diketahui bahwa di negara-negara berkembang hasil-hasil tersebut sangat kurang dibandingkan dengan negara maju. Hal ini disebabkan karena metode belajar di negara-negara berkembang adalah metode belajar menghafal, proses belajar mengajar yang tidak ditunjang oleh fasilitas dan sarana prasarana yang memadai serta rendahnya mutu tenaga pendidik. Di bawah ini tabel dana pengembangan SD tahun 1988-1991.

Tabel 3
DANA PENGEMBANGAN SEKOLAH DASAR TAHUN 1988/89-1990/91*

PENGELUARAN DANA 1988-1989 1989-1990 1990-1991
1. SBPP (Depkeu. Depdagri) 76.000 74.750 78.000
2. SDO/GAJI (Depkeu. Depdagri) 2.138.000 2.386.750 2.763.728
3. INPRES SD (BAPPENAS,Depdagri) 130.500 100.000 357.125
4. DIP (Depdikbud) 2.200 6.497 10.852
5. DIK (Depdikbud) * * *

* Sumber : HAR Tilaar
Keterangan :
SBPP = Subsidi Bantuan Pembangunan Pendidikan
SDO = Subsidi Daerah Otonom

3. Prestasi Sekolah Dasar
Penelitian Ace Suryadi pada tahun 1989 dengan menggunakan paradigma baru sebagaimana yang terdapat dalam diagram di bawah. Kualitas pendidikan dalam hal ini dibatasi oleh kualitas proses belajar mengajar.












Diagram 1
KUALITAS SEKOLAH DASAR




















Sumber : Penelitian Dr. Ace Suryadi ; Improving The Educational Quality of Primary School 1991

Diagram di atas menunjukkan bahwa kualitas proses belajar mengajar atau kapasitas belajar siswa ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu guru, kualitas siswa dan kualitas manajemen. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Ace Suryadi itu dikemukakan hal-hal berikut:
1) pendidikan SD tidak efisien dengan data rasio input-output
2) kesipan peserta didik dalam belajar beragam
3) ketimpangan tenaga pendidik
4) kualitas pendidikan berkorelasi dengan supervisi
5) rendahnya nilai matematika siswa
6) kualitas guru kurang maksimal
7) fasilitas pendukung kurang memadai

Berbicara mengenai kualitas pendidikan, tentunya ada rambu-rambu atau indikator tertentu yang menunjukkan apakah hasil daripada pendidikan tersebut telah memenuhi yang telah disyaratkan di dalam kurikulum. Slah satu indikator yang penting untuk mengukur kualitas pendidikan di suatu negara termasuk di Indonesia melalui EBTANAS/Ujian Akhir Nasional/ Ujian Nasional. Selain itu juga indikator lain yang dijadikan tolok ukur kualitas pendidikan adalah usaha-usaha pengembangan ilmu pendidikan.
Masih menurut Supriyadikegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di suatu negara antara lain:
1. penelitian dan pengembangan pendidikan tenaga kependidikan
2. pengembangan buku pelajaran yang bermutu
3. penelitian dan pengembangan model supervisi
4. pengembangan model sistem kontrol kualitas pendidikan guru


Disarikan dari buku Guru di Indonesia

Pendahuluan
Salah satu faktor yang menyebabkan keterpurukan bangsa Indonesia adalah rendahnya kualitas dan mutu pendidikan. Pendidikan kurang berhasil mengantarkan bangsa ke arah suatu critical mass dalam Sumber Daya Manusia yang disyaratkan untuk menghadapi persaingan global. Namun, tidak banyak orang mengerti bahwa pendidikan bersifat resiprokal artinya antara pendidikan dan lingkungan sekitarnya mempunyai pengaruh yang timbal balik. Dengan demikian, apa yang terjadi di sekolah tidak terlepas dari masyarakatnya dan berbagai kebijakan yang dikembangkan pada suprastruktur sistem yang berlaku.

Kualitas Pendidikan Indonesia
Mutu dan kualitas pendidikan berkenaan dengan penilaian terhadap sejauh mana suatu produk memenuhi kriteria, standar atau rujukan tertentu. Dalam dunia pendidikan, standar ini dapat dirumuskan melalui hasil belajar pada matapelajaran skolastik yang dapat diukur secara kuantitatif dan pengamatan yang bersifat kualitatif. Rumusan mutu pendidikan bersifat dinamis dan dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Kesepakatan tentang konsep mutu dan kualitas biasanya dikembalikan pada rumusan acuan atau rujukan yang ada, seperti kebijakan, proses belajar mengajar, kurikulum, sarana dan prasarana serta tenaga kependidikan.
Dalam konteks sistem pendidikan nasional, mutu pendidikan tercermin pada sejauh mana tujuan pendidikan nasional dapat tercapai. Mutu pendidikan harus diupayakan untuk mencapai kemajuan dengan dilandasi oleh perubahan yang terencana. Peningkatan mutu pendidikan dapat dicapai melalui dua strategi yaitu:
a. peningkatan mutu pendidikan berorientasi pendidikan keterampilan mental maupun fisik
b. peningkatan mutu pendidikan yang lebih khusus berorientasi akademis.
Dalam kaitan dengan strategi yang ditempuh oleh sistem ini, peningkatan mutu pendidikansangat terkait dengan relevansi pendidikan dan penilaian berdasarkan kondisi aktual mutu pendidikan tersebut. Mutu pendidikan tidak saja ditentukan oleh sekolah sebagai lembaga pembelajaran, tetapi juga disesuaikan dengan apa yang menjadi pandangan dan harapan masyarakat yang cenderung berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Sejalan dengan kecendrungan ini, penilaian masyarakat terhadap mutu lulusan sekolah pun terus berkembang. Untuk menjawab tantangan tersebut, sekolah diharapkan untuk terus menerus meningkatkan mutu lulusannya sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat menuju pancapaian mutu pendidikan yang dilandasi tolok ukur norma ideal.
Strategi mutu pendidikan saat ini menjadi kebijakan mencakup apa yang disebut dengan pendidikan berbasis luas atau broad-based education dan mengembangkan keterampilan hidup atau life skills. Kompetensi ini harus diberi landasan akademis yang kuat.
Dalam rencana jangka panjang, strategi ke depan adalah berupa upaya meningkatkan mutu pendidikan dengan memobilisasi potensi seluruh individu dalam masyarakat yang ditempatkan dalam konteks kebutuhan lokal. Ini berarti bahwa upaya peningkatan prestasi skolastik harus diimbangi dengan kurikulum lokal yang disebut muatan lokal, yang gilirannya menuntutprakarsa lokal. Peningkatan mutu pendidikan, terutama pada era otonomi daerah sekarang, seharusnya merupakan prakarsa daerah dalam mengangkat potensi lokal dengan segala variasinya. Muatan lokal bisa menjadi bagian dari pendidikan formal maupun non-formal.
Indikator mutu harus diukur secara kuantitatif berdasarkan prestasi akademis. Menurut laporan Bank Dunia (1998) tentang hasil tes membaca murid kelas IV SD, Indonesia berada pada peringkat terendah di Asia Timur. Selain itu, berdasarkan temuan TIMMS-R pada tahun 1999, diantara 38 negara yang disurvei, prestasi siswa SMP kelas II di Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA dan ke-34 untuk Matematika.
Faktor utama yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan adalah kondisi guru yang masih mismatch dalam dua hal, yakni (1) penempatan guru yang tidak merata, (2) kualifikasi akademik guru belum sesuai dengan yang disyaratkan. Pada saat ini, terdapat 62% guru SD dan 29% guru SMP yang tidak layak mengajar (SEAMEO, 2001). Sementara, guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya mencapai 31,1% (Balitbang DIKNAS, 2000).
Dengan profil mutu pendidikan seperti di atas, dapat dimengerti betapa sulitnya SDM Indonesia memperoleh posisi terhormat dalam persaingan global. Masalah keterbatasan fasilitas selalu menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan, maka salah satu tantangan besar dalam sektor pendidikan prioritas anggaran pendidikan yang cukup.
Sebagaimana yang dilaporkan dalam Laporan Komisi Nasional Pendidikan (Depdiknas, 2001) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pencapaian mutu pendidikan di Indonesia, antara lain:
1) tersedianya guru berkualitas dan layak mengajar
2) manajemen sekolah dengan pimpinan sekolah yang baik
3) manajemen mutu pendidikan
4) kohesi sosial untuk pencapaian tujuan pendidikan
Disarikan dari bahan-bahan di Internet

KUALITAS PENDIDIKAN DI INDONESIA
Kualitas merupakan suatu kosakata di dalam kehidupan modern. Pendidikan tidak terlepas dari ungkappan berkualitas. Pendidikan tidak terlepas dari ungkapan berkualitas. Lebih-lebih lagi di dalam dunia yang mengglobal dewasa ini dimana terjadinya persaingan dalam berbagai lapangan kehidupan. Istilah kualitas sudah merupakan suatu pengertian sehari-hari. Dimana orang selalu mencari produk yang berkualitas, servis yang berkualitas dan bahkan pendidikan yang berkualitas. Di dalam kaitan ini kualitas dapat diukur dalam arti memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu. Kualitas tampaknya adalah sesuatu yang berbentuk atau tangible. Namun, kalau bicara mengenai kualitas pendidikan, maka sangat sulit untuk diukur apa yang dimaksudkan dengan kualitas. Kualitas pendidikan merupakan suatu intangible, yang sukar diukur kecuali dengan upaya mengkuantitaskan segala sesuatu.
Kualitas pendidikan dapat kita ukur dari berbagai segi yakni segi ekonomis, sosial politis, sosial budaya, dari perspektif pendidikan itu sendiri dan dari perspektif proses globalisasi.
1. Perspektif Ekonomi
Kualitas pendidikan dihubungkan dengan prinsif efisiensi. Pendidikan yang berkualitas hanyalah pendidikan yang dialksanakan berdasarkan prinsif efisiensi. Pendidikan dianggap sebagai suatu bentuk investasi modal dan oleh sebab itu perlu dikelola secara efisien. Tokoh yang pertama kali mengenalkan tentang pentingnya efisiensi ini adalah Frederick Winslow Taylor (1991) dengan menerbitkan buku The Principels of Scientific Management dimana dia mengemukakan mengenai sistem manajemen kereta api. Scientific Management juga diterapkan dalam dunia pendidikan pada waktu itu.
Di dalam bukunya Education and the Cult of Efficincy Raymond Callahan (1962) melukiskan betaa sekolah-sekolah di Amerika pada waktu itu, khususnya sesuadah Perang Dunia I, menitikberatkan kepada pelaporan dan efisiensi.
Pemujaan terhadap efisiensi dalam pendidikan baru dapat digantikan oleh lahirnya filsafat pendidikan yang baru dari John Dewey dan Kilppatrick pada tahun 1930-an. Kedua ahli pendidikan tersebut mengganti paham manajerialisme dengan rekonstruksi sekolah-sekolah di Amerika berdasarkan nilai-nilai pendidikan demokratis.
Dewasa ini terjadi suatu kehidupan kembali dri aliran manajerialisme dalam pendidikan. Manajerialisme saat ini identik dengan kualitas. Dalam rangka untuk memperoleh kualitas pendidikan yang tinggi, lembaga-lembaga pendidikan haruslan melaksanakan prinsif-prinsif manajerial modern yaitu dengan menentukan tujuan, perencanaan, peninjauan kembali, monitorng internal dan laporan eksternal.
Dalam pelaksanaan prinsif-prinsif tersebut perumusan kebijakan dan kegiatan operasional haruslah dippisahkan. Selanjutnya governance, majajemen, operasi, masing-masing mempunyai peranan yang berbeda. Oleh sebab itu, kualitas pendidikan direduksikan dalam indikator-indikator performance yang dapat diukur serta dilaporkan.prinsif manajerialisme sekarang dilaksanakan dengan jelas s ebagai aliran baru yakni neoliberalisme.
2. Perspektif Sosial Politik
Dilihat dari segi sosial politik, manajerialisme merupakan suatu bahaya trust di dalam masyarakat. Francis Fukuyama dalam bukunya Trust;The SOCIAL Virtues and the Creation of Presperity (1995) menunjukkan bahaya-bahaya yang dikandung dari kehidupan modern yang tidak memupuk trust di dalm masyarakat.
3. Perspektif Sosial Budaya
Dilihat dari segi sosial budaya, konsep kualitas pendidian seperti di atas menggerogoti terbentuknya nation-state yang meminta kohesi sosial yang tinggi.
4. Perspektif Proses Globalisasi
Dilihat dari perspektif globalisasi, kehiduan ditandai oleh sifat yang kompetitif. Sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan global menjadi kompetisi sebagai sarana untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan kualitas pendidikan.
Dari uraian di atas kelihatan dengan jelas betapa masalah kualitas pendidikan berkaitan erat dengan tujuan pendidikan. Apakah tujuan pendidikan ditekankan kepada kebutuhan ekonomi, sosial politik, sosial budaya ataukah diarahkan kepada kebutuhan peserta didik seutuhnya.
Uraian selanjutnya mengenai bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia dalam berbagai era perkembangan. Dari refleksi atas perkembangan kaulitas pendidikan tersebut dapat dijadikan bahan dalam merumuskan kualitas pendidikan yang diinginkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia di era reformasi saat ini.
Perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia telah berlangsung dalam empat era yaitu (1) Era kolonial, (2) Era Orde Lama, (3) Era Orde Baru (4) Era Reformasi.
1. Era Kolonial
Siapakah yang meragukan mutu dan kualitas pendidikan dalam masa kolonial? Pada zaman kolonial pendidikan hanya diberikan kepada para penguasa serta kaum feodal. Pendidikan rakyat cukup diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar penguasa kolonial. Pendidikan diberikan hanya terbatas kepada rakyat di sekolah-sekolah kelas 2 atau ongko loro tidak diragukan mutunya. Sungguhpun standar yang dipakai untuk mengukur kualitas rakyat pada waktu itu diragukan karena sebagian besar rakyat tidak memperoleh pendidikan, namun demikian apa yang diperoleh pendidikan seperti pendidikan rakyat 3 tahun, pendidikan rakyat 5 tahun, telah menghasilkan pemimpin masyarakat bahkan menghasilkan pemimpin-pemimpin gerakan nasional.
Pendidikan kolonial untuk golongan bangsawan serta penguasa tidak diragukan lagi mutunya. Para pemimpin nasional kita kebanyakan memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah kolonial bahkan beberapa mahasiswa yang dapat melanjutkan di Universitas terkenal di Eropa. Dalam sejarah pendidikan kita dapat katakana bahwa intelegensi bangsa Indonesia tidak kalah dengan kaum penjajah. Masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kekurangan kesempatan yang sama yang diberikan kepada semua anak bangsa. Oleh sebab itu di dalam Undang Undang Dasar 1945 dinyatakan dengan tegas bahwa pemerintah akan menyusun suatu sistem pendidikaan nasional untuk rakyat, untuk semua bangsa.
2. Era Orde Lama
Masa revolusi pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Pada masa revolusi sangat terasa serba terbatas, tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang Undang Pendidikan No. 4/1950 junto no. 12/ 1954. Kita dapat membangun sistem pendidikan yang tidak kalah mutunya. Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas. Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi masa pancaroba seperti rongrongan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sayang sekali pada akhir era ini pendidikan kemudian dimasuki oleh politik praktis atau mulai dijadikan kendaraan politik. Pada masa itu dimulai pendidikan indoktrinasi yaitu menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan Orde Lama.
Pada Orde Lama sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan sistem kolonial yang serba ketat tetapi tetap jujur dan mempertahankan kualitas. Hal ini didukung karena jumlah sekolah belum begitu banyak dan guru-guru yang ditempa pada zaman kolonial. Pada zaman itu siswa dan guru dituntut disiplin tinggi. Guru belum berorientasi kepada yang material tetapi kepada yang ideal. Citra guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang diciptakaan era Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan pada Orde Lama.
Kebijakan yang diambil pada Orde Lama dalam bidang pendidikan tinggi yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Pada waktu itu pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di Pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB, UGM, dan UNAIR, sedangkan di provinsi-provinsi karena kurangnya persiapan dosen dan keterbatasaan sarana dan prasarana mengakibatkan kemerosotan mutu pendidikan tinggi mulai terjadi.
3. Era Orde Baru
Dalam era ini dikenal sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya INPRES Pendidikan Dasar. Tetapi sayang sekali INPRES Pendidikan Dasar belum ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas tetapi baru kuantitas. Selain itu sistem ujian negara (EBTANAS) telah berubah menjadi bumerang yaitu penentuan kelulusan siswa menurut rumus-rumus tertentu. Akhirnya di tiap-tiap lembaga pendidikan sekolah berusaha untuk meluluskan siswanya 100%. Hal ini berakibat pada suatu pembohongan publik dan dirinya sendiri dalam masyarakat. Oleh sebab itu era Orde Baru pendidikan telah dijadikan sebagai indikator palsu mengenai keberhasilan pemerintah dalam pembangunan.
Dalam era pembangunan nasional selama lima REPELITA yang ditekankan ialah pembangunan ekonomi sebagai salah satu dari TRILOGI pembangunan. Maka kemerosotan pendidikan nasional telah berlangsung.
Dari hasil manipulasi ujian nasional sekolah dasar kemudian meningkat ke sekolah menengah dan kemudian meningkat ke sekolah menengah tingkat atas dan selanjutnya berpengaruh pada mutu pendidikan tinggi. Walaupun pada waktu itu pendidikan tinggi memiliki otonomi dengan mengadakan ujian masuk melalui UMPTN, tetapi hal tersebut tidak menolong. Pada akhirnya hasil EBTANAS juga dijadikan indikator penerimaan di perguruan tinggi. Untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi maka pendidikan tinggi negeri mulai mengadakan penelusuran minat dari para siswa SMA yang berpotensi. Cara tersebut kemudian diikuti oleh pendidikan tinggi lainnya.
Di samping perkembangan pendidikan tinggi dengan usahanya untuk mempertahankan dan meningkatkan mutunya pada masa Orde Baru muncul gejala yaitu tumbuhnya perguruan tinggi swasta dalam berbagai bentuk. Hal ini berdampak pada mutu perguruan semakin menurun walaupun dibentuk KOPERTIS-KOPERTIS sebagai bentuk birokrasi baru.
4. Era Reformasi
Indonesia sejak tahun 1998 merupakan era transisi dengan tumbuhnya proses demokrasi. Demokrasi juga telah memasuki dunia pendidikan nasional antara lain dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam bidang pendidikan bukan lagi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada tanggung jawab pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, hanya beberapa fungsi saja yang tetap berada di tangan pemerintah pusat. Perubahan dari sistem yang sentralisasi ke desentralisasi akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang jauh di dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Selain perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi yang membawa banyak perubahan juga bagaimana untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam menghadapi persaingan bebas abad ke-21. Kebutuhan ini ditampung dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta pentingnya tenaga guru dan dosen sebagai ujung tombak dari reformasi pendidikan nasional.
Sistem Pendidikan Nasional Era Reformasi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 diuraikan dalam indikator-indikator akan keberhasilan atau kegagalannya, maka lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian dijelaskan dalam Permendiknas RI.
Di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritikan baik dari praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan mengenai pendidikan nasional yang tidak mempunyai arah yang jelas. Dunia pendidikan sekarang ini bukan merupakan pemersatu bangsa tetapi merupakan suatu ajang pertikaian dan persemaian manusia-manusiaa yang berdiri sendiri dalam arti yang sempit, mementingkan diri dan kelompok.
Menurut H.A.R. Tilaar, hal tersebut disebabkan adanya dua kekuatan besar yaitu kekuatan politik dan kekuatan ekonomi.
a. Kekuatan Politik
Pendidikan masuk dalam subordinasi dari kekuatan-kekuatan politik praktis, yang berarti pendidikan telah dimasukkan ke dalam perebutan kekuasaan partai-partai politik, untuk kepentingan kekuatan golongannya. Pandangan politik ditentukan oleh dua paradigma yaitu paradigma teknologi dan paradigma ekonomi. Paradigma teknologi mengedepankan pembangunan fisik yang menjamin kenyaman hidup manusia. Paradigma ekonomi lebih mengedepankan pencapaian kehidupan modern dalam arti pemenuhan-pemenuhan kehidupan materiil dan mengesampingkan kebutuhan non materiil duniawi. Contoh pengembangan dana 20 %.
b. Kekuatan Ekonomi
Manusia Indonesia tidak terlepas dari modernisasi seperti teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Neoliberalisme pendidikan membawa dampak positif dan negatif. Positifnya yaitu pendidikan menunjang perbaikan hidup dan nilai negatifnya yaitu mempersempit tujuan pendidikan atas pertimbangan efisiensi, produksi, dan menghasilkan manusia-manusia yang dapat bersaing, yaitu pada profit orientit yang mencari keuntungan sebesar-besarnya terhadap investasi yang dilaksanakan dalam bidang pendidikan.
Demi mencapai efisiensi dan kualitas pendidikan maka disusunlah beberapa upaya standardisasi. Untuk usaha tersebut maka muncul konsep-konsep seperti : Ujian Nasional.
Dalam menyusun RENSTRA Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005 – 2009 lebih menekankan pada manajemen dan kepemeimpinan bukan masalah pokok yaitu pengembangan anak Indonesia. Anak Indonesia dijadikan obyek, anak Indonesia bukan merupakan suatu proses humanisasi atau pemanusiaan. Anak Indonesia dijadikan alat untuk menggulirkan suatu tujuan ekonomis yaitu pertumbuhan, keterampilan, penguasaan skil yang dituntut dalam pertumbuhan ekonomi.

Pendidikan merupakan suatu proses yang bertujuan. Setiap proses yang bertujuan tentunya mempunyai ukuran atau ardstick sudah sampai dimana perjalanan kita di dalam mencapai tujuan tersebut. Berbeda dengan tujuan fisik seperti jarak suatu tempat atau target produksi, tujuan pendidikan merupakan suatu yang intangible dan terus menerus berubah dan meningkat. Tujuan pendidikan selalu bersifat sementara atau tujuan yang berlari. Hal ini berarti tujuan pendidikan setiap saat perlu direvisi dan disesuaikan dengan tuntutan perubahan. Dalam konteks pendidikan nasional Indonesia diperlukan standar yang perlu dicapai di dalam kurun waktu tertentu dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan.
Bagaimanakah profil pendidikan nasional di Indonesia dewasa ini? Di dalam berbagai survei dan penelitian menunjukkan bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia tergolong rendah. Tidak ada satu pun universitas di Indonesia yang masuk kelomppok 100 universitas terbaik di Asia, apalagi tingkat dunia (Tilaar, 2007:77). Apabila kualitas pendidikan tingginya sudah demikian rendahnya apalagi pendidikan dasar dan menengahnya tentu kualitasnya tidak lebih baik. Memang sudah dijelaskan bahwa bukan berarti kualitas manusia Indonesia lebih buruk dibandingkan dengan kualitas bangsa lain. Kemenangan pada tingkat olympiade menunjukkan bagaimana siswa Indonesia dapat bersaing dengan siswa negara lain. Demikian juga dengan sarjanalulusan univeristas-universitas di Indonesia dapat membuat prestasi di negara asing.
Profil pendidikan di Indonesia ternyata sangat kompleks. Berbeda dengan pendidikan di negara yang kurang heterogen, sangat beragam oleh karena perbedaan yang mencolok antar daerah, khususnya antara pulau Jawa dengan pulau lain.
Gambaran mengenai ranking pendidikan tinggi maupun pendidikan dasar dan menengah pada tataran internasional menunjukkan rendahnya mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia sekarang ini. Oleh sebab itu, pemerintah berupaya untuk menaikkan mutu dan kualitas pendidikan nasional antara lain dengan mengadakan Ujian Nasional. Namun, apakah penyelenggaraan Ujian Nasional telah memberikan manfaat terhadap peningkatan mutu dan kualitas pendidikan nasional? Ternyata pelaksanaan UN yang lalu hanya bertujuan sebagai pemuasan nafsu birokrat untuk menunjukkan bahwa mereka sibuk dengan pekerjaannya meskipun pekerjaan tersebut sia-sia belaka.

Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di asia pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.
Bahruddin (42), Direktur SMP Alternatif Qorriyah Toyyibah Salatiga Jawa Tengah mengatakan, salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. “kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa,” ujarnya saat lokakarya analisa masalah pendidikan yang digelar oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia – NU Jombang.

Menurut Bahruddin, pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Ia mengatakan, proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. “itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan,” jelas pria berputra dua ini.

Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif.

”ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadinya, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas.” Kata Bahruddin di Aula KPRI Karya Sehat.

Lebih lanjut ia mengatakan, kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan membaca, indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia. “Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan,” ujarnya jumat (2/11) siang.










DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2003. Guru di Indonesia. Jakarta : Depdiknas.
Kunandar. 2007. Guru Profesional;Implementasi KTSP dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Tilaar, H.AR. 1995. 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995. Jakarta : Grasindo.
Tilaar, H.AR. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional ; Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta : Rineka Cipta.
Natawidjaja, Rohman dkk (Ed). 2007. Rujukan Filsafat, Teori dan Praktis Ilmu Pendidikan. Bandung : UPI Press.

Tidak ada komentar: