3.1 Penyelidikan dan Penyidikan
Apabila hukum acara idana ini dilihat dari sudut pemeriksaan maka hal ini dapat dirinci ke dalam dua bagian, yaitu pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan yang dilakukan pertama kali oleh polisi, baik kapasitasnya sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik, apabila ada dugaan bahwa hukum pidana material telah dilanggar. Sedangkan pemeriksaan di sidang pengadilan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan apakah dugaan bahwa seseorang yang telah melakukan tindak pidana itu dapat dipidana atau tidak.
Berikut ini akan dibicarakan tentang pemeriksaan pendahuluan yang melalui proses penyelidikan dan penyidikan.
1. Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yg diatur dalam KUHAP pasal 1 butir 5.
Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia adalah penyelidik (pasal 4 KUHAP).
Dalam kaitannya dengan usaha untuk mengungkap sebuah peristiwa untuk dapat dikatakan sebagai peristiwa pidana atau sebaliknya guna kepentingan penyidikan, penyelidik karena kewajibannya dan atas perintah penyidik mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Menurut pasal 5 KUHAP menegaskan, penyelidik mempunyai kewenangan sebagai berikut:
a. Karena kewajibannya mempunyai kewenangan:
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana
2) Mencari keterangan dan barang bukti
3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri
4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.
2) Pemeriksaan dan penyitaan surat
3) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
4) Membawa dan menghadapkan seorang kepada penyidik
c. Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut dalam huruf a dan b kepada pihak penyidik.
2. Penyidikan
Sebagaimana telah disinggung pada uraian sebelumnya, penyidikan adalah merupakan tindak lanjut dari tindakan penyelidikan.
Undang-undang memberikan pengertian tentang penyidikan adalah sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang (KUHAP), untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka (pasal 1 angka 2 KUHAP). Sebagai titik senteral dalam tindakan penyelidik ini adalah mencari dan menemukan bukti-bukti guna membuat terang suatu tindakan pidana.
Secara redaksional di dalam KUHAP, penyidik adalah:
“Pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan (pasal 1 angka 1 KUHAP), sementara di dalam pasal yang lain memberikan pengertian bahwa penyidik adalah: a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia, b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang (pasal 6 ayat (1) KUHAP).
Berbeda dengan penyelidik, penyidik sebagaimana tersebut dalam pasal 6 ayat (1) KUHAP harus mempunyai kepangkatan tertentu, yang ketentuannya diatur oleh peraturan pemerintah (pasal 6 ayat (2) KUHAP).
Di dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983 menyebutkan:
1) Penyidik adalah:
a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Ajun Inspektur Polisi Dua.
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tk I (Gol II/b) atau yang disamakan dengan itu.
2) Dalam hal disuatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Kepala Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara rendah yaitu dibawah Ajun Inspektur Polisi Dua, karena jabatannya adalah penyidik.
Kemudian berdasarkan pasal 7 KUHAP diterangkan bahwa:
1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditemukan kejadian
c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlakukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyelidikan.
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya di dalam koordinasi penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a.
Selanjutnya yang dimaksud dengan penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b, penjelasan pasal 7 ayat (2) KUHAP memberikan penegasan bahwa yang dimaksud dengna penyidik pegawai negeri sipil tertentu, misalnya: pejabat bea cukai, pejabat imigrasi, dan pejabat kehutanan.
Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik polri mengacu pada pasal 7 ayat (1) KUHAP, sementera untuk penyidik pegawai negeri sipil mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman No. M.PW.07.03 tahun 1984, tanggal 27 September 1984 tentang kewenangan penyidik pegawai negeri sipil.
Hanya satu hal yang perlu dicatat dalam keputusan Menteri Kehakiman tersebut adalah bahwa penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang melakukan penangkapan, penahanan, dan dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh penyidik polri.
Disamping penyidik polri, dan penyidik pegawai negeri sipil terdapat juga dua macam penyidik lagi yaitu penyidik Jaksa dan penyidik Perwira Angkatan Laut. Khusus penyidik Perwira Angkatan Laut mempunyai wewenang terhadap Zone Ekonomi Eksklusif sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (1) UU No. 9 tahun 1985 dan pasal 14 UU No. 5 tahun 1983 . Pasal 14 UU No. 5 tahun 1983 menyebutkan:
1. Aparat penegak hukum di bidang Zona Ekonomi Eksklusif adalah Perwira Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima ABRI/TNI.
2. Penuntut Umum adalah Jaksa pada pengadilan negeri
3. Yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi dimana dilakukan penahanan terhadap kapal atau orang-orang.
3. Penyidik Pembantu
Di dalam pasal 10 KUHAP menyatakan bahwa:
(1). Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini.
(2). Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Berkenaan dengan pasal 10 ayat (2) KUHAP, maka di dalam pasal 3 peraturan pemerintah No. 27 tahun 1983 menegaskan:
(1) Penyidik pembantu adalah:
a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Brigader Dua Polisi.
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Gol II/a) atau yang disamakan dengan itu.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul Kepala atau Pimpinan kesatuan masing-masing.
(3) Wewenang kepangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilimpahkan kepada pejabat kepolisian negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewenangan penyidik pembantu, diatur dalam pasal 11 KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik pembantu mempunyai keweangan seperti tersebut dalam pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan penyidik.
Kewenangan pembantu adalah sebagai berikut:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempatkan kejadian
c. Menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka
d. Melakukan penangkapan, penggeledahan dan penyitaan
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
f. Mengambil sidik jari dan memotret tersangka
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlakukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara
i. Mengadakan penghentian penyelidikan
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab
Selanjutnya yang dimaksud dengan “tindakan lain”, adalah tindakan penyidik untuk kepentingan penyidik dengan syarat:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang seharusnya dilakukan tindakan jabatan
c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya.
d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa
e. Menghormati hak asasi manusia
(pasal 5 ayat (1) angka 4 KUHAP)
3.2 Diketahuinya Tindak Pidana
Tindak Pidana dapat diketahui dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Karena adanya Pengaduan
Adapun yang dimaksud dengan pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya (pasal 1 angka 25 KUHAP)
Pengaduan hanya diperuntukkan bagi:
a. Untuk tindak pidana aduan
b. Merupakan syarat adanya penuntutan
c. Pengaduan dapat dicabut kembali
2. Karena adanya Pelaporan
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan Undang-Undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana (pasal 1 angka 24 KUHAP).
Berbeda dengan pengaduan, maka laporan diperuntukkan bagi:
a. Diperuntukkan bagi tindak pidana biasa
b. Setiap orang berhak atau berkewajiban untuk memberitahukannya
c. Laporan tidak merupakan syarat untuk dapat dilakukannya penuntutan artinya bahwa menutu pertimbangan penyelidik/penyidik tidak semua laporan akan diproses yang sudah barang tentu berdasarkan pertimbangan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.
3. Karena Tersangka Tertangkap Tangan.
Yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah:
a. Tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana
b. Atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan
c. Atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya
d. Atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu (pasal 1 angka 19 KUHAP)
Khusus tertangkap tangan dalam Undang-undang memberikan kewenangan bukan hanya kepada penyidik untuk melakukan tindakan hukum akan tetapi pihak-pihak di luar itu boleh melakukannya, dengan mengacu pada pasal 111 ayat (1) dan (2) KUHAP, pasal 35 dan 40 KUHAP.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan dalam tertangkap tangan, maka:
a. Penangkapan dapat dilakukan oleh setiap orang
b. Pengangkapan dapat dilakukan tanpa menggunakan surat perintah penangkapan
c. Penyidik dapat memasuki ruang dimana sedang berlangsung sidang MPR, DPR pusat/daerah.
d. Penyidik dapat memasuki ruang dimana sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan.
e. Penyidik dapat memasuki sidang pengadilan
f. Tanpa surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri Penyidik dapat melakukan terhadap barang atau benda atau surat yang dikirm atau diterima oleh tersangka yang diduga atau patut diduga ada hubungannya dengan tindak pidana.
4. Karena Diketahuinya Sendiri Oleh Penyidik
Meskipun Undang-undang tidak menyebutkan apa yang mesti dilakukan oleh penyidik bila mengetahui adanya tindak pidana, akan tetapi pengertian “diketahuinya sendiri oleh penyidik” dapat disamakan dengan “tertangkap tangan”, sehingga karena dan demi hukum penyidik berwenang melakukan tindakan hukum sebagaimana tertuang dalam pasal 111 ayat (1) dan (2) KUHAP, pasal 35 dan 40 KUHAP.
5. Bantuan Hukum
Tersangka atau terdakwa selama menjalani proses pemeriksaan perkara pidana berhak mendapat bantuan hukum yaitu Penasihat Hukum. Apa yang harus dilakukan penasihat hukum dalam kapasitasnya menjadi pihak yang memberikan bantuan hukum pada tersangka atau terdakwa.
Kewenangan penasihat hukum diatur dalam KUHAP yaitu pasal 69, 70, 71, 72, 73, dan 74.
a. Pasal 69 KUHAP:
Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang.
b. Pasal 70 KUHAP:
1. Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya
2. Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum tersebut menyalahgunakan haknya dengan pembicaraan dengan tersangka maka sesuai dengan tingkat pemeriksaan, penyidik, penuntut umum, atau petugas lembaga pemasyarakatan memberikan peringatan kepada penasihat hukum.
3. Apabila peringatan itu tidak diindahkan, maka hubungan tersebut diawasi oleh pejabat yang tersebut pada ayat (2).
4. Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan, maka sehubungan tersebut disaksikan oleh pejabat tersebut pada ayat (2) dan apabila setelah itu tetap dilanggar, maka hubungan selanjutnya dilarang.
c. Pasal 71 KUHAP:
1. Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam hubungannya dengan tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan tanpa mendengar isi pembicaraan.
2. Dalam kejahatan terhadap keamanan negara, pejabat tersebut pada ayat (1) dapat mendengar isi pembicaraan.
d. Pasal 72 KUHAP:
Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya.
e. Pasal 73 KUHAP:
Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap kali dikehendaki olehnya.
f. Pasal 74 KUHAP:
Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka sebagaimana tersebut pada pasal 70 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan pasal 71 dilarang, setelah perkara dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan negeri untuk disidangkan, yang tembusan syaratnya disampaikan kepada tersangka atau penasihat hukumnya serta pihak lain dalam proses.
3.3 Sistem Pemeriksaan
Setelah berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka kedudukan tersangka atau terdakwa tidak diperlakukan lagi hanya semata-mata sebagai objek pemeriksaan.
Di dalam pengetahuan Hukum Acara Pidana yang merupakan hukum formal atau disebut juga hukum yang berkaitan dengan proses sebuah pemeriksaan, dikenal jenis pemeriksaan, yaitu:
1. Sistim Pemeriksaan Accusatoir
Di dalam sistim ini berusaha menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai subjek pemeriksaan, sehingga konsekwensinya antara pemeriksa maupun yang diperiksa mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum.
Di dalam KUHAP pencerminan dan sistim ini dapat kita temukan dalam pasal-pasal: 112, 113, 114, 115, 117, dan 118.
a. Pasal 112 KUHAP:
1. Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut
2. Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawanya.
b. Pasal 113 KUHAP:
Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya.
c. Pasal 114 KUHAP:
Dalam hal orang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepada orang tersebut tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 KUHAP>
d. Pasal 115 KUHAP:
1. Dalam hal penyidik sedang melakukan pemriksaan terhadap tersangka, penasihat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan.
2. Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara penasihat hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka
e. Pasal 117 KUHAP:
1. Keterangan tersangka atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dalam bentuk apapun.
2. Dalam hal tersangka memberikan keterangan tentang apa yang sebenarnya ia telah lakukan sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka tersendiri.
f. Pasal 118 KUHAP:
1. Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oeh penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.
2. Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tanda tangannya, penyidik mencatat hal ini dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya.
2. Sistim Pemeriksaan Ingusatoir
Dalam sistim ini tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan menempati posisi sebagai objek pemeriksaan, sehingga untuk mendapatkan data dalam rangka mencari pelaku tindak pidana yang sesungguhnya cenderung menggunakan cara yang bertentangan dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.
3.4 Penangkapan dan Penahanan
Penangkapan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan.
Sedangkan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim
Jadi penangkapan dan penahan adalah merupakan tindakan yang membatasi dan mengambil kebebasan bergerak seseorang.
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dibawah ini:
1. Penangkapan
Menurut KUHAP, penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (pasal 17 KUHAP)
Sedangkan yang dimaksud dengan “bukti permulaan” yang cukup ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana dan bahwa tersangka sebagai pelakunya.
Menurut pasal tersebut diatas, menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Tugas penangkapan dilaksanakan olehpetugas Polri dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Tembusan surat perintah penangkapannya harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan tak perlu memakai surat perintah (pasal 18 KUHAP).
Menurut pasal 19 KUHAP, penangkapan ini hanya dapat dilakukan untuk paling lama satu hari (24 jam) dan terhadap pelaku pelanggaran tidak dapat dikenakan penangkapan, kecuali dalam hal ini telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.
2. Penahanan
Pada uraian terdahulu, bahwa penangkapan dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. Oleh karena itu selebihnya dari waktu tersebut adalah termasuk penahanan.
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang (pasal 1 angka 21 KUHAP)
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka ada tiga hal pokok yang menjadi inti dari penahanan tersebut yaitu:
a. Syarat-syarat penahanan
Menurut pasal 21 KUHAP syarat-syarat penahanan adalah:
1. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana lagi.
2. Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat penahanan.
3. Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.
4. Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan mampu pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih
b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam 282 ayat (3), pasal 296, pasal 335 ayat (1), pasal 378, pasal 379a, pasal 480, pasal 453, pasal 455, pasal 459 dan pasal 506 KUHAP.
b. Jenis-jenis Penahanan
Menurut Pasal 22 KUHAP, jenis-jenis penahanan adalah:
1. Jenis penahanan dapat berupa:
a. Penahanan rumah tahanan negara
b. Penahanan rumah
c. Penahanan kota
2. Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
3. Penahanan Kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan.
4. Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
5. Untuk penahanan kota pengurangan-pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan.
Contohnya: Ali menjalani penahanan kota selama 50 hari, kemudian dipidana selama 3 bulan. Maka perhitungannya adalah 1/5 x 50 hari = 10 hari. Jadi Ali harus menjalani human 3 bulan – 10 hari = 2 bulan 20 hari.
c. Yang berhak melakukan penahanan dan lamanya penahanan.
Menurut pasal 1 angka 21 KUHAP, maka yang berhak melakukan penahanan adalah penyidik, penuntut umum dan hakim. Selanjutnya mengenai lamanya penahanan diatur dalam pasal-pasal 24, 25, 26, 27, dan 28 KUHAP.
1. Pasal 24 KUHAP:
a.Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
b. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari.
c. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhirnya waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
d. Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
2. Pasal 25 KUHAP:
a. Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
b. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari.
c. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum terakhirnya waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi
d. Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
3. Pasal 26 KUHAP:
a. Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.
b. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
c. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhirnya waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
d. Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputuskan, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
4. Pasal 27 KUHAP:
a. Hakim pengadilan tinggi yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 87, guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.
b. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
c. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
d. Setelah waktu sembilah puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputuskan, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
5. Pasal 28 KUHAP:
a. Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 88, guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama lima puluh hari
b. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua mahkamah agung untuk paling lama enam puluh hari.
c. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat 92) tidak menutup kemungkinan dikeluarkan terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentiingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
d. Setelah waktu seratus sepuluh hari walaupun perkara tersebut belum diputuskan, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
6. Pasal 29 KUHAP:
a. Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada pasal 24, 25, 26, 27, dan 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena:
a) Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
b) Perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih.
b. Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari.
c. Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan dalam tingkat:
a) Penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri,
b) Pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oleh ketua pengadilan tinggi,
c) Pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung
d) Pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
4. Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab.
5. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhirnya waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.
6. Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputuskan, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
7. Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat:
a. Penyelidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi,
b. Pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung.
Berdasarkan pasal 24, 25, 26, 27, 28, dan 29 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa yang berhak melakukan penahanan serta lamanya kewenangan untuk menahan adalah sebagai berikut:
a. Penyidik (Polri)
Lamanya penahanan………………………………… 20 hari
Dapat diperpanjang oleh penuntut umum…………... 40 hari
Jumlah 60 hari
b. Penuntut Umum (Jaksa)
Lamanya penahanan………………………………… 20 hari
Dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri… 30 hari
Jumlah 50 hari
c. Hakim Pengadilan Negeri
Lamanya penahanan……………………………….. 30 hari
Dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri… 60 hari
Jumlah 90 hari
d. Hakim Pengadilan Tinggi
Lamanya penahanan……………………………….. 30 hari
Dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi… 60 hari
Jumlah 90 hari
e. Mahkamah Agung
Lamanya Penahanan………………………………… 50 hari
Dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung…. 60 hari
Jumlah 110 hari
f. Dalam hal terdakwa diancam dengan hukuman 9 tahun atau terdakwa mengalami gangguan fisik dan mental, maka penahanan dapat diperpanjang 30 hari dan 30 hari lagi.
g. Pejabat yang berhak mengadakan perpanjangan penahanan adalah:
1. Pada tingkat penyidikan dan penuntutan oleh ketua pengadilan negeri,
2. pada tingkat pemeriksaan di pengadilan negeri oleh ketua pengadilan negeri
3. Pada tingkat banding oleh ketua pengadilan tinggi
4. Pada tingkat kasasi oleh ketua Mahkamah Agung
3.5 Penangguhan Penanganan
Untuk menjaga supaya tersangka atau terdakwa yang ditahan, tidak dirugikan kepentingannya karena tindakan penahanan itu yang mungkin akan berlangsung untuk beberapa waktu, diadakan kemungkinan untuk tersangka atau terdakwa mengajukan permohonan agar penahanannya itu ditangguhkan.
Menurut pasal 31 KUHAP yang berhak menentukan apakah suatu penahanan perlu ditangguhkan atau tidak adalah penyidik atau penuntut umum atau hakim sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Sebab pejabat-pejabat inilah yang mengetahui betul alasan pertimbangan untuk penangguhan tersebut, yaitu apabila tersangka atau terdakwa tidak akan mempersulit atau merugikan pemeriksaan perkara, dengan menghilangkan bukti, atau melarikan diri, atau akan mengulangi kejahatan lagi. Hal ini dapat dilihat pada pemeriksaan perkara dan pribadi dari tersangka atau terdakwa.
Penentuan penangguhan penahanan (schorsing) dapat diberikan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan. Yang dimaksud dengan syarat-syarat yang ditentukan disini adalah wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota. Karena jabatan, penyidik, penuntut umum, hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan apabila terdakwa/tersangka melanggar syarat-syarat yang ditentukan.
Perlu dikemukan disini bahwa mana penangguhan penahanan itu, tidak termasuk masa status tahanan. Ini berarti bahwa selama tersangka atau terdakwa berada diluar tahanan, tidak dapat diperhitungkan sebagai masa tahanan sehingga tidak dapat dipotongkan dengan pidana yang dijatuhkan oleh hakim. Apabila tersangka atau terdakwa telah diberikan penangguhan penahanan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka penangguhannnya dapat dicabut (pasal 31 ayat (2) KUHAP.
SELAMAT DATANG di Blogger HIJAU MUDA (Blogger Arsip Sanak Bakas). Blogger ini diperuntukkan bagi kita semua. Berisikan materi perkuliahan di Teknologi Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya. Selain itu, berisi bahan ajar di Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya. SILAHKAN dibaca, dikritisi dan diperbanyak seperlunya. Oke!
Senin, 14 Maret 2011
KEBUDAYAAN DAERAH DI INDONESIA
Republik Indonesia sebagai negara kesatuan mempunyai banyak pulau-pulau dan terdiri dari berpuluh-puluh suku bangsa bahkan dalam satu pulau bisa terdri dari beberapa suku bangsa, misalnya pulau Jawa terdiri dari suku Jawa, Sunda dan Betawi. Bahkan dalam satu suku bangsa secara lebih khusus terdiri dari sub-sub suku bangsa, misalnya suku Batak di Sumatera terdiri dari suku-suku bangsa Karo, Simalungun, Pakpak, Toba, Angkola dan Mandailing.
Dengan banyaknya suku-suku bangsa ini sudah tentu masing-masing memiliki kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, rasa dan karya dari suku-suku bangsa tersebut. Dengan demikian bangsa Indonesia selain memiliki berbagai suku bangsa juga memiliki keanekaragaman budaya.
Berikut ini akan dijelaskan kebudayaan sesuai dengan daerah tempat tinggal suku-suku bangsa Indonesia, antara lain:
1. Kebudayaan di Pulau Sumatera
2. Kebudayaan di Pulau Jawa
3. Kebudayaan di Pulau Bali
4. Kebudayaan di Pulau Kalimantan
5. Kebudayaan di Pulau Sulawesi
6. Kebudayaan di Pulau Irian Jaya
Dengan banyaknya suku-suku bangsa ini sudah tentu masing-masing memiliki kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, rasa dan karya dari suku-suku bangsa tersebut. Dengan demikian bangsa Indonesia selain memiliki berbagai suku bangsa juga memiliki keanekaragaman budaya.
Berikut ini akan dijelaskan kebudayaan sesuai dengan daerah tempat tinggal suku-suku bangsa Indonesia, antara lain:
1. Kebudayaan di Pulau Sumatera
2. Kebudayaan di Pulau Jawa
3. Kebudayaan di Pulau Bali
4. Kebudayaan di Pulau Kalimantan
5. Kebudayaan di Pulau Sulawesi
6. Kebudayaan di Pulau Irian Jaya
PERUBAHAN KEBUDAYAAN NASIONAL
Sejalan dengan adanya perubahan-perubahan dalam masyarakat, kebudayaan pun mengalami perubahan karena kebudayaan merupakan hasil kesatuan sosial yang hidup dalam masyarakat, digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota masyarakat pula. Oleh karena itu jika masyarakat berubah, dengan sendirinya kebudayaan pun akan ikut berubah. Perubahan-perubahan tersebut meliputi seluruh unsur kebudayaan yang secara umum terdapat 7 unsur kebudayaan.
3.1 Sistem Religi
Dalam berhubungan dengan Sang Pencipta, nenek moyang kita sudah berusaha mengenalnya. Dengan demikian lahirlah kepercayaan yang dikenal dengan animisme (percaya bahwa benda mempunyai kekuatan gaib) dan dinamisme (setiap benda mempunyai jiwa). Dalam perkembangan selanjutnya, mereka merasa berhutang budi kepada nenek moyangnya, maka lahirlah suatu kepercayaan memuha roh nenek moyang. Setelah agama-agama yang datang dari Asia (Buddha, Hindu, Islam, Kristen Protestan, dan Katolik), maka bangsa Indonesia memeluk agama-agama tersebut. Agama Kristen (Protestan maupun Katolik) datang ke Indonesia mula-mula dibawa oleh orang Barat, namun agama tersebut berasal dari Asia Barat (Betlehem = Batirullahmi).
3.2 Bahasa
Bahasa Indonesia sejak Sumpah Pemuda dijadikan bahasa nasional mengalami perubahan dan perkembangan. Perubahan dan perkembangan tersebut misalnya dalam hal kosakata, ejaan yang disempurnakan, penggunaan istilah-istilah. Contoh kata “mantan” dahulu menggunakan kata “bekas”. Kata “sarat” dahulu dengan kata “penuh”. Kata “oknum” dahulu tidak berkonotasi buruk, sekarang menjadi buruk dan sebagainya.
3.3 Sistem Pengetahuan
Pengetahuan manusia dari zaman dahulu dibandingkan dengan zaman sekarang, perkembangannya betul-betul menakjubkan, terutama dalam bidang teknologi komunikasi, angkutan, persenjataan dan lain sebagainya. Sebagai contoh, alat hitung atau komputer. Dalam sipoa (dari Cina) sekarang menggunakan kalkulator, mesin hitung, atau komputer. Dalam komunikasi zaman dahulu menggunakan kentongan atau alat tabuh, sekarang menggunakan telepon, telegram radio atau televisi. Alat angkut pun demikian pula, dahulu dengan gerobak dorong oleh manusia, kemudian ditarik oleh hewan, sekarang menggunakan mesin.
3.4 Sistem Mata Pencaharian
Sejak manusia hidup di dunia ini, dalam mempertahankan dan melestarikan hidupnya, mereka berupaya mengumpulkan makanan (food gathering). Dalam perkembangan selanjutnya mereka menemukan cara untuk mengolah tanah (food producing). Pertanian yang dilaksanakan secara tradisional, menggunakan alat-alat bermesin (traktor) dan lain-lainnya. Dalam memberantas hama tanaman, pada zaman tradisional menggunakan tangan manusia. Sekarang menggunakan alat semprot yang berguna untuk menyuburkan obat hama atau pupuk hijau. Namun, sekarang menggunakan pupuk buatan pabrik, misalnya UREA, KCL, ZA, bahkan dalam perkembangannya selanjutnya dikembangkan UREA dalam bentuk tablet. Cara pemupukan tanaman diberi pajak diberi pupuk secara berimbang.
3.5 Sistem Organisasi Sosial
Dari waktu ke waktu sistem organisasi sosial mengalami perubahan. Berbagai macam cara dikembangkan oleh manusia untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan sosial. Perubahan itu meliputi sistem kekerabatan, sistem organisasi sosial politik, hukum, dan perkawinan. Sebagai contohnya:
1) Sistem kekerabatan
Di dalam masyarakat tradisional, sistem kekerabatan dilestarikan melalui organisasi “trah” yang cenderung saling kenal mengenal di antara sesama anggota trah. Oleh karena masuknya teknologi dan ilmu pengetahuan Barat, maka hubungan kekerabatan tersebut menjadi menipis, sehingga lebih tepat menjurus ke sifat individualistis.
2) Sistem organisasi sosial
Dalam pemilu 1955 jumlah organisasi politik di Indonesia sebanyak 28 parpol dengan asas yang berbeda-beda. Pada tahun 1971 pemilu diikuti oleh 10 OPP, yaitu Partai Politik dan Golongan Karya, dengan asas yang masih berbeda-beda. Mulai tahun 1977 pemilu diikuti oleh tiga OPP, yaitu dua Parpol (PDI dan PPP) dan satu Golongan Karya. Sejak tahun 1983 semua partai politik dan Golongan Karya sepakat melaksanakan asas tunggal, yaitu asas Pancasila.
3) Hukum
Hukuman pada zaman feodal (zaman raja-raja) sangat dipengaruhi oleh penguasa (raja). Pada zaman modern hukum ditegakkan sebagaimana mestinya, yaitu di tangan hakim. Penguasa pemerintah (Presiden) hanya dapat memberi grasi, amnesti dan abolisi.
4) Perkawinan
Pada zaman dahulu (masa penjajahan Belanda) teman hidup seorang wanita (gadis) ditentukan oleh orang tua. Namun, pada zaman sekarang, wanita mempunyai hak memilih teman hidupnya, atas dasar saling mencintai.
3.6 Sistem Teknologi
Salah satu unsur budaya universal adalah teknologi yang sangat cepat mengalami perubahan. Dalam kehidupan sehari-hari perubahan tersebut dapat kita saksikan dengan jelas. Peralatan teknologi yang lama dan kurang efisien. Kurang praktis, diganti dengan teknologi yang canggih. Sebagai contohnya:
1) Gerobak sebagai alat angkut pada zaman dahulu, yang ditarik oleh binatang, diubah menjadi kendaraan bermotor (truk, mobil angkut, kereta api barang).
2) Alat angkut di air, mula-mula hanya berupa rangkaian bambu, atau papan, yang kemudian didayung oleh tenaga manusia, angin, sekarang menggunakan tenaga mesin.
3) Alat komunikasi pada zaman dahulu dilaksanakan oleh manusia sendiri (kurir). Namun setelah ditemukannya teknolofi yang canggih, kurir menjadi tergeser. Komunikasi sekarang dilaksanakan dengan radio, telepon, telegraf dan televisi.
3.7 Sistem Kesenian
Pada dasarnya manusia lebih menyukai hal-hal yang bersifat baru. Begitu juga dalam sistem kesenian, mengalami perubahan, baik yang bercorak religius maupun yang bersifat umum. Sebagai contohnya:
1) Pada zaman dahulu alat kesenian yang terutama adalah gendang dan seruling, seperti yang dapat kita lihat dalam relief Candi Borobudur maupun Prambanan. Setelah agama Budha dan Hidung datang alat-alat musik tersebut tetap dipelihara, bahkan dilengkapi dengan bunyi-bunyian yang lain (gamelan). Setelah datang pengaruh Islam (Persia) maka alat-alat musik tersebut dikembangkan menjadi rebana, samroh, bahkan sekarang menjadi musik dangdut.
2) Seni lukis, pada zaman kerajaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk memerintahkan melukis calon permaisuri yang berasal dari Pajajaran (Dyah Pitaloka). Pada zaman Islam, ada larangan melukis makhluk hidup, terutama manusia. Namun, hasrat seni tidak bisa dibendung. Maka, lahirlah lukisan binatang yang distilir dengan daun-daunan (lukisan kera di Masjid Mantingan). Kebiasaan ini mulai ditinggalkan sejak Indonesia mendapat pengaruh Eropa (lukisan harimau yang menyelamatkan diri dari hutan yang terbakar, karya Raden Saleh dari Surakarta).
3.1 Sistem Religi
Dalam berhubungan dengan Sang Pencipta, nenek moyang kita sudah berusaha mengenalnya. Dengan demikian lahirlah kepercayaan yang dikenal dengan animisme (percaya bahwa benda mempunyai kekuatan gaib) dan dinamisme (setiap benda mempunyai jiwa). Dalam perkembangan selanjutnya, mereka merasa berhutang budi kepada nenek moyangnya, maka lahirlah suatu kepercayaan memuha roh nenek moyang. Setelah agama-agama yang datang dari Asia (Buddha, Hindu, Islam, Kristen Protestan, dan Katolik), maka bangsa Indonesia memeluk agama-agama tersebut. Agama Kristen (Protestan maupun Katolik) datang ke Indonesia mula-mula dibawa oleh orang Barat, namun agama tersebut berasal dari Asia Barat (Betlehem = Batirullahmi).
3.2 Bahasa
Bahasa Indonesia sejak Sumpah Pemuda dijadikan bahasa nasional mengalami perubahan dan perkembangan. Perubahan dan perkembangan tersebut misalnya dalam hal kosakata, ejaan yang disempurnakan, penggunaan istilah-istilah. Contoh kata “mantan” dahulu menggunakan kata “bekas”. Kata “sarat” dahulu dengan kata “penuh”. Kata “oknum” dahulu tidak berkonotasi buruk, sekarang menjadi buruk dan sebagainya.
3.3 Sistem Pengetahuan
Pengetahuan manusia dari zaman dahulu dibandingkan dengan zaman sekarang, perkembangannya betul-betul menakjubkan, terutama dalam bidang teknologi komunikasi, angkutan, persenjataan dan lain sebagainya. Sebagai contoh, alat hitung atau komputer. Dalam sipoa (dari Cina) sekarang menggunakan kalkulator, mesin hitung, atau komputer. Dalam komunikasi zaman dahulu menggunakan kentongan atau alat tabuh, sekarang menggunakan telepon, telegram radio atau televisi. Alat angkut pun demikian pula, dahulu dengan gerobak dorong oleh manusia, kemudian ditarik oleh hewan, sekarang menggunakan mesin.
3.4 Sistem Mata Pencaharian
Sejak manusia hidup di dunia ini, dalam mempertahankan dan melestarikan hidupnya, mereka berupaya mengumpulkan makanan (food gathering). Dalam perkembangan selanjutnya mereka menemukan cara untuk mengolah tanah (food producing). Pertanian yang dilaksanakan secara tradisional, menggunakan alat-alat bermesin (traktor) dan lain-lainnya. Dalam memberantas hama tanaman, pada zaman tradisional menggunakan tangan manusia. Sekarang menggunakan alat semprot yang berguna untuk menyuburkan obat hama atau pupuk hijau. Namun, sekarang menggunakan pupuk buatan pabrik, misalnya UREA, KCL, ZA, bahkan dalam perkembangannya selanjutnya dikembangkan UREA dalam bentuk tablet. Cara pemupukan tanaman diberi pajak diberi pupuk secara berimbang.
3.5 Sistem Organisasi Sosial
Dari waktu ke waktu sistem organisasi sosial mengalami perubahan. Berbagai macam cara dikembangkan oleh manusia untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan sosial. Perubahan itu meliputi sistem kekerabatan, sistem organisasi sosial politik, hukum, dan perkawinan. Sebagai contohnya:
1) Sistem kekerabatan
Di dalam masyarakat tradisional, sistem kekerabatan dilestarikan melalui organisasi “trah” yang cenderung saling kenal mengenal di antara sesama anggota trah. Oleh karena masuknya teknologi dan ilmu pengetahuan Barat, maka hubungan kekerabatan tersebut menjadi menipis, sehingga lebih tepat menjurus ke sifat individualistis.
2) Sistem organisasi sosial
Dalam pemilu 1955 jumlah organisasi politik di Indonesia sebanyak 28 parpol dengan asas yang berbeda-beda. Pada tahun 1971 pemilu diikuti oleh 10 OPP, yaitu Partai Politik dan Golongan Karya, dengan asas yang masih berbeda-beda. Mulai tahun 1977 pemilu diikuti oleh tiga OPP, yaitu dua Parpol (PDI dan PPP) dan satu Golongan Karya. Sejak tahun 1983 semua partai politik dan Golongan Karya sepakat melaksanakan asas tunggal, yaitu asas Pancasila.
3) Hukum
Hukuman pada zaman feodal (zaman raja-raja) sangat dipengaruhi oleh penguasa (raja). Pada zaman modern hukum ditegakkan sebagaimana mestinya, yaitu di tangan hakim. Penguasa pemerintah (Presiden) hanya dapat memberi grasi, amnesti dan abolisi.
4) Perkawinan
Pada zaman dahulu (masa penjajahan Belanda) teman hidup seorang wanita (gadis) ditentukan oleh orang tua. Namun, pada zaman sekarang, wanita mempunyai hak memilih teman hidupnya, atas dasar saling mencintai.
3.6 Sistem Teknologi
Salah satu unsur budaya universal adalah teknologi yang sangat cepat mengalami perubahan. Dalam kehidupan sehari-hari perubahan tersebut dapat kita saksikan dengan jelas. Peralatan teknologi yang lama dan kurang efisien. Kurang praktis, diganti dengan teknologi yang canggih. Sebagai contohnya:
1) Gerobak sebagai alat angkut pada zaman dahulu, yang ditarik oleh binatang, diubah menjadi kendaraan bermotor (truk, mobil angkut, kereta api barang).
2) Alat angkut di air, mula-mula hanya berupa rangkaian bambu, atau papan, yang kemudian didayung oleh tenaga manusia, angin, sekarang menggunakan tenaga mesin.
3) Alat komunikasi pada zaman dahulu dilaksanakan oleh manusia sendiri (kurir). Namun setelah ditemukannya teknolofi yang canggih, kurir menjadi tergeser. Komunikasi sekarang dilaksanakan dengan radio, telepon, telegraf dan televisi.
3.7 Sistem Kesenian
Pada dasarnya manusia lebih menyukai hal-hal yang bersifat baru. Begitu juga dalam sistem kesenian, mengalami perubahan, baik yang bercorak religius maupun yang bersifat umum. Sebagai contohnya:
1) Pada zaman dahulu alat kesenian yang terutama adalah gendang dan seruling, seperti yang dapat kita lihat dalam relief Candi Borobudur maupun Prambanan. Setelah agama Budha dan Hidung datang alat-alat musik tersebut tetap dipelihara, bahkan dilengkapi dengan bunyi-bunyian yang lain (gamelan). Setelah datang pengaruh Islam (Persia) maka alat-alat musik tersebut dikembangkan menjadi rebana, samroh, bahkan sekarang menjadi musik dangdut.
2) Seni lukis, pada zaman kerajaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk memerintahkan melukis calon permaisuri yang berasal dari Pajajaran (Dyah Pitaloka). Pada zaman Islam, ada larangan melukis makhluk hidup, terutama manusia. Namun, hasrat seni tidak bisa dibendung. Maka, lahirlah lukisan binatang yang distilir dengan daun-daunan (lukisan kera di Masjid Mantingan). Kebiasaan ini mulai ditinggalkan sejak Indonesia mendapat pengaruh Eropa (lukisan harimau yang menyelamatkan diri dari hutan yang terbakar, karya Raden Saleh dari Surakarta).
Rabu, 26 Januari 2011
LABORATORIUM IPS
Laboratorium IPS adalah wahana peningkatan mutu pembelajaran dalam mempersiapkan tenaga kependidikan IPS yang memiliki kompetensi dan profesional di bidang IPS. Laboratorium IPS dikembangkan berdasarkan kebutuhan dalam mendukung kompetensi dan profesional di bidang IPS. Laboratorium IPS dapat berupa laboratorium yang berada di dalam institusi IPS, seperti ruang, sumber belajar dengan segala sarana dan prasarana, identifikasi, penilaian/assessement, dan pemberian bantuan kepada praktisi, maupun laboratorium yang berada di luar institusi IPS, yaitu berupa institusi yang memberikan layanan pada pihak pengguna jasa dan menjadi mitra Jurusan Program Studi IPS (Diknas, 2004).
Dalam kurikulum sekolah, studi sekolah merupakan kajian sistematis dan terkoordinasi yang bersumber pada disiplin ilmu-ilmu sosial, antara lain Geografi, Sejarah, Ekonomi, Antrolopogi, Politik, Hukum, Sosiologi, Agama. Di dalamnya selayaknya pula berisikan Humaniora, Matematika, dan lingkungan alami yang relevan (NCSS).
Sehubungan dengan hal tersebut, sasaran IPS lebih diarahkan pada arti praktis dalam mencari alternatif pemecahan masalah yang dibahas, maka dengan pembelajaran IPS ini diharapkan dapat membantu guru dalam mengembangkan kemampuannya untuk membuat keputusan yang rasional dan berdasarkan informasi yang cukup sebagai warga masyarakat yang baik dalam keanekaragaman budaya serta masyarakat demokratis dalam dunia yang bebas. Oleh karena itu, guru yang belajar tentang IPS, perlu mengetahui kondisi masyarakat nyata di lapangan. Kemudian menganalisis hasil lapangan di ruangan (laboratorium) untuk perkembangan berikutnya. Dengan demikian guru IPS dapat belajar IPS secara nyata, tidak hanya secara teoritis.
Dan seterusnya ...
Dalam kurikulum sekolah, studi sekolah merupakan kajian sistematis dan terkoordinasi yang bersumber pada disiplin ilmu-ilmu sosial, antara lain Geografi, Sejarah, Ekonomi, Antrolopogi, Politik, Hukum, Sosiologi, Agama. Di dalamnya selayaknya pula berisikan Humaniora, Matematika, dan lingkungan alami yang relevan (NCSS).
Sehubungan dengan hal tersebut, sasaran IPS lebih diarahkan pada arti praktis dalam mencari alternatif pemecahan masalah yang dibahas, maka dengan pembelajaran IPS ini diharapkan dapat membantu guru dalam mengembangkan kemampuannya untuk membuat keputusan yang rasional dan berdasarkan informasi yang cukup sebagai warga masyarakat yang baik dalam keanekaragaman budaya serta masyarakat demokratis dalam dunia yang bebas. Oleh karena itu, guru yang belajar tentang IPS, perlu mengetahui kondisi masyarakat nyata di lapangan. Kemudian menganalisis hasil lapangan di ruangan (laboratorium) untuk perkembangan berikutnya. Dengan demikian guru IPS dapat belajar IPS secara nyata, tidak hanya secara teoritis.
Dan seterusnya ...
Senin, 10 Januari 2011
SEJARAH HUKUM PERDATA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Sejarah Singkat Terbentuknya H.I.R.
Semula Herzeine Indonesisch Reglement (H.I.R) adalah Inlandsh Reglement (I.R) yang berarti Reglment Bumi Putera. Perancang I.R adalah Mr. H.I Wichers sebagai Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Agung Tentara pada tahun1846 di Batavia. Beliau diberi tugas oleh Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen untuk merencanakan sebuah reglement tentang administrasi, polisi, acara perdata dan acara pidana bagi golongan Bumi Putera. Bagi Bumi Putera pada waktu itu berlaku Stastsblad No. 20/1819 perihal hukum acara perdata.
Hasil kerja Mr. H.I Wichers mendapat tanggapan dari para Hakim Agung yang beragam, yaitu sebagian mendukung dan sebagian mengusulkan untuk ditambah dengan lembaga pengggabungan penjamin seperti yang terdapat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (R.V). Apa yang diusulkan ini diterima kemudian ditambah suatu ketentuan penutup yang bersifat umum yang dikenal dengan pasal 393 H.I.R terbuat dalam bab ke lima belas yang mengatur tentang perihal berbagai aturan-aturan.
Di dalam perkara perdata digunakan H.I.R, akan tetapi apabila benar-benar dirasakan perlu dipergunakan peraturan lain yang lebih sesuai yang mirip dengan peraturan R.V.
Rancangan tentang H.I.R yang dibuat oleh Mr. H.I. Wichers diterima oleh Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen. Kemudian diumumkan pada tanggal 5 April 1848, melalui Staatsblads No.16 tahun 1848 dengan sebutan Reglement op de itoefening van de polite, de burgerlijke en de strafvordering onder de Indonesiers en de vreems Reglement yang disingkat I.R yang mulai berlaku sejak 1 Mei 1848. Pada tanggal 29 September 1849 I.R disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja No.93 yang kemudian diumumkan sesuai dengan Staasblads No.63 tahun 1849.
I.R telah mengalami bebberapa kkali perubahan, diantaranya tahun 1941 khusus di bidang acara pidana (mengenai pembentukan aparatur Lembaga Kejaksaan sebagai Penuntut Umum berada di bawah Jaksa Tinggi dan Jaksa Agung), tidak untuk hukum acara perdata. Sebagai akibat dari perubahan ini, maka I.R selanjutnya disebut Herzeine Indonesisch Reglement atau disingkat H.I.R. Setelah Indonesia merdeka H.I.R disebut pula sebagai Reglement Indonesia Baru atau disingkat R.I.B.
1.2 Sifat Hukum Acara Perdata
Dalam Hukum Acara Perdata, terdapat sifat yang disebut sifat inisiatif, yaitu ada atau tidak adanya sesuatu perkara harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa bahwa haknya atau hak mereka dilanggar. Oleh karena itu, di dalam hukum acara perdata, inisiatif ada pada penggugat yang mempunyai pengaruh besar terhadap jalannya perkara.
Hal di atas berbeda dengan sifat hukum acara pidana yang pada umumnya tidak menggabungkan adanya perkara dari perkara inisiatif orang yang dirugikan. Contoh untuk pelaksanaan hukum acara pidana, jika terjadi tabrakan, tanpa suatu pengaduan, maka pihak yang berwajib terus bertindak, polisi datang, pemeriksaan dilakukan, terdakwa dihadapkan kemuka pengadilan. Pengecualian terhadap azas ini, yaitu pada delik aduan, sedangkan contoh untuk pelaksanaan hukum acara perdata, jika ada orang yang dihina, maka terlebih dahulu ditunggu adanya pengaduan dari yang bersangkutan. Apabila yang dihina tidak mengadu, tidak ada suatu pengaduan kepada pihak yang berwajib, maka tidak akan ada perkara penghinaan yang diajukan ke depan sidang pengadilan.
Berikut ini pengertian dari penggugat dan tergugat. Penggugat adalah seorang yang merasa haknya dilanggar dan menarik orang yang dirasa melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara di hadapan pengadilan. Sementara, tergugat adalah orang yang ditarik kemuka pengadilan karena melanggar hak seseorang atau beberapa orang. Jika penggugat da tergugat banyak, maka mereka disebut sebagai penggugat I dan seterusnya, demikian pula dengan tergugat I dan seterusnya.
1.3 Hukum Acara Perdata Positif
Hukum Acara Perdata Nasional sebagai Hukum Acara Perdata Positif saat ini ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP). Aturan dalam KUHAP sudah dimuat dalam perundang-undangan nasional dan sebagian termuat dalam Het Herziene Indonesisch Reglement atau H.I.R, khusus untuk pulau Jawa dan Madura, sedangkan Rechtsreglement Buitengewesten disingkat R.Bg. berlaku untuk kepulauan lainnya di Indonesia. Selain itu, terdapat Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia disingkat B.W.
Disamping itu, hukum acara perdata terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 – L.N. No.74 T.L.N 2767 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No.13 tahun 1965 – L.N. No.70 – T.LN. 2767 tahun 1965 tentang Undang-Undang Perkawinan. Selain itu, ada Undang-Undang No.1 tahun 1974 dan P.P. NNo.9 tahun 1975 mengenai peraturan pelaksana perkawinan.
Khusus perihal Banding untuk wilayah Jawa dan Madura berlaku Undang-Undang No.20 tahun 1947, sedangkan untuk Kasasi berlaku Undang-Undang No.13 tahun 1965. Pembahasan Hukum Acara Perdata Positif selanjutnya didasarkan pada pembahasan H.I.R.
1.4 Azas-azas dan ciri-ciri H.I.R
Adapun azas-azas H.I.R sebagai KUHAP di Indonesia, sebagai berikut:
1) H.I.R dilahirkan pada zaman penjajahan, tata hukum dan administrasi negara diperuntukkan kepada kesejahteraan penjajah;
2) I.R dahulu dimaksudkan supaya disesuaikan dengan keadaan masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sudah lebih dari seratus tahun yang lalu;
3) Dualisme yang ditinggalkan oleh penjajah secara sistematis telah menghilangkan tujuan menyeragamkan hukum disegala bidang, sedangkan susunan badan-badan pengadilan sudah ada sejak lama diseragamkan;
4) Sifat hukum acara dalam H.I.R masih juga dipertahankan, misalnya bentuk pengajuan gugatan sebagai suatu permohonan kepada Hakim yang dianggap tetap sesuai dengan alam pikiran bangsa Indonesia bahwa sifat mengajukan perkara adalah mohon keadilan kepada kekuasaan negara dan sebagainya.
Sementara, ciri-ciri dari H.I.R antara lain:
1) Pengajuan gugatan dilakukan dalam bentuk surat permohonan dengan adanya kemungkinan untuk mengajukan gugat itu secara lisan;
2) Tidak ada kewajiban untuk menguasakan kepada seorang juru kuasa yang ahli dalam hukum;
3) Adanya kewajiban bagi Hakim untuk mencapai suatu perdamaian sebelum memulai memeriksa perkaranya;
4) Hakim mendengarkan langsung para pihak sendiri;
5) Keaktipan Hakim sebelum dan sepanjang pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
PENDAHULUAN
1.1 Sejarah Singkat Terbentuknya H.I.R.
Semula Herzeine Indonesisch Reglement (H.I.R) adalah Inlandsh Reglement (I.R) yang berarti Reglment Bumi Putera. Perancang I.R adalah Mr. H.I Wichers sebagai Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Agung Tentara pada tahun1846 di Batavia. Beliau diberi tugas oleh Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen untuk merencanakan sebuah reglement tentang administrasi, polisi, acara perdata dan acara pidana bagi golongan Bumi Putera. Bagi Bumi Putera pada waktu itu berlaku Stastsblad No. 20/1819 perihal hukum acara perdata.
Hasil kerja Mr. H.I Wichers mendapat tanggapan dari para Hakim Agung yang beragam, yaitu sebagian mendukung dan sebagian mengusulkan untuk ditambah dengan lembaga pengggabungan penjamin seperti yang terdapat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (R.V). Apa yang diusulkan ini diterima kemudian ditambah suatu ketentuan penutup yang bersifat umum yang dikenal dengan pasal 393 H.I.R terbuat dalam bab ke lima belas yang mengatur tentang perihal berbagai aturan-aturan.
Di dalam perkara perdata digunakan H.I.R, akan tetapi apabila benar-benar dirasakan perlu dipergunakan peraturan lain yang lebih sesuai yang mirip dengan peraturan R.V.
Rancangan tentang H.I.R yang dibuat oleh Mr. H.I. Wichers diterima oleh Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen. Kemudian diumumkan pada tanggal 5 April 1848, melalui Staatsblads No.16 tahun 1848 dengan sebutan Reglement op de itoefening van de polite, de burgerlijke en de strafvordering onder de Indonesiers en de vreems Reglement yang disingkat I.R yang mulai berlaku sejak 1 Mei 1848. Pada tanggal 29 September 1849 I.R disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja No.93 yang kemudian diumumkan sesuai dengan Staasblads No.63 tahun 1849.
I.R telah mengalami bebberapa kkali perubahan, diantaranya tahun 1941 khusus di bidang acara pidana (mengenai pembentukan aparatur Lembaga Kejaksaan sebagai Penuntut Umum berada di bawah Jaksa Tinggi dan Jaksa Agung), tidak untuk hukum acara perdata. Sebagai akibat dari perubahan ini, maka I.R selanjutnya disebut Herzeine Indonesisch Reglement atau disingkat H.I.R. Setelah Indonesia merdeka H.I.R disebut pula sebagai Reglement Indonesia Baru atau disingkat R.I.B.
1.2 Sifat Hukum Acara Perdata
Dalam Hukum Acara Perdata, terdapat sifat yang disebut sifat inisiatif, yaitu ada atau tidak adanya sesuatu perkara harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa bahwa haknya atau hak mereka dilanggar. Oleh karena itu, di dalam hukum acara perdata, inisiatif ada pada penggugat yang mempunyai pengaruh besar terhadap jalannya perkara.
Hal di atas berbeda dengan sifat hukum acara pidana yang pada umumnya tidak menggabungkan adanya perkara dari perkara inisiatif orang yang dirugikan. Contoh untuk pelaksanaan hukum acara pidana, jika terjadi tabrakan, tanpa suatu pengaduan, maka pihak yang berwajib terus bertindak, polisi datang, pemeriksaan dilakukan, terdakwa dihadapkan kemuka pengadilan. Pengecualian terhadap azas ini, yaitu pada delik aduan, sedangkan contoh untuk pelaksanaan hukum acara perdata, jika ada orang yang dihina, maka terlebih dahulu ditunggu adanya pengaduan dari yang bersangkutan. Apabila yang dihina tidak mengadu, tidak ada suatu pengaduan kepada pihak yang berwajib, maka tidak akan ada perkara penghinaan yang diajukan ke depan sidang pengadilan.
Berikut ini pengertian dari penggugat dan tergugat. Penggugat adalah seorang yang merasa haknya dilanggar dan menarik orang yang dirasa melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara di hadapan pengadilan. Sementara, tergugat adalah orang yang ditarik kemuka pengadilan karena melanggar hak seseorang atau beberapa orang. Jika penggugat da tergugat banyak, maka mereka disebut sebagai penggugat I dan seterusnya, demikian pula dengan tergugat I dan seterusnya.
1.3 Hukum Acara Perdata Positif
Hukum Acara Perdata Nasional sebagai Hukum Acara Perdata Positif saat ini ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP). Aturan dalam KUHAP sudah dimuat dalam perundang-undangan nasional dan sebagian termuat dalam Het Herziene Indonesisch Reglement atau H.I.R, khusus untuk pulau Jawa dan Madura, sedangkan Rechtsreglement Buitengewesten disingkat R.Bg. berlaku untuk kepulauan lainnya di Indonesia. Selain itu, terdapat Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia disingkat B.W.
Disamping itu, hukum acara perdata terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 – L.N. No.74 T.L.N 2767 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No.13 tahun 1965 – L.N. No.70 – T.LN. 2767 tahun 1965 tentang Undang-Undang Perkawinan. Selain itu, ada Undang-Undang No.1 tahun 1974 dan P.P. NNo.9 tahun 1975 mengenai peraturan pelaksana perkawinan.
Khusus perihal Banding untuk wilayah Jawa dan Madura berlaku Undang-Undang No.20 tahun 1947, sedangkan untuk Kasasi berlaku Undang-Undang No.13 tahun 1965. Pembahasan Hukum Acara Perdata Positif selanjutnya didasarkan pada pembahasan H.I.R.
1.4 Azas-azas dan ciri-ciri H.I.R
Adapun azas-azas H.I.R sebagai KUHAP di Indonesia, sebagai berikut:
1) H.I.R dilahirkan pada zaman penjajahan, tata hukum dan administrasi negara diperuntukkan kepada kesejahteraan penjajah;
2) I.R dahulu dimaksudkan supaya disesuaikan dengan keadaan masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sudah lebih dari seratus tahun yang lalu;
3) Dualisme yang ditinggalkan oleh penjajah secara sistematis telah menghilangkan tujuan menyeragamkan hukum disegala bidang, sedangkan susunan badan-badan pengadilan sudah ada sejak lama diseragamkan;
4) Sifat hukum acara dalam H.I.R masih juga dipertahankan, misalnya bentuk pengajuan gugatan sebagai suatu permohonan kepada Hakim yang dianggap tetap sesuai dengan alam pikiran bangsa Indonesia bahwa sifat mengajukan perkara adalah mohon keadilan kepada kekuasaan negara dan sebagainya.
Sementara, ciri-ciri dari H.I.R antara lain:
1) Pengajuan gugatan dilakukan dalam bentuk surat permohonan dengan adanya kemungkinan untuk mengajukan gugat itu secara lisan;
2) Tidak ada kewajiban untuk menguasakan kepada seorang juru kuasa yang ahli dalam hukum;
3) Adanya kewajiban bagi Hakim untuk mencapai suatu perdamaian sebelum memulai memeriksa perkaranya;
4) Hakim mendengarkan langsung para pihak sendiri;
5) Keaktipan Hakim sebelum dan sepanjang pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
HUKUM ACARA PERDATA
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Sejarah Singkat Terbentuknya H.I.R.
1.2 Sifat Hukum Acara Perdata
1.3 Hukum Acara Perdata Positif
1.4 Azas-azas H.I.R.
BAB II PENGAJUAN GUGATAN
2.1 Pengertian Permohonan dan Gugatan
2.2 Perihal Kekuasaan Mutlak dan Kekuasaan Relatif
2.3 Perihal Gugat Lisan dan Tertulis
2.4 Perihal Pihak-pihak yang Berperkara,
Perwakilan Orang, Badan Hukum dan Negara
BAB III TINDAKAN-TINDAKAN MENDAHULUI PEMERIKSAAN
DI MUKA PENGADILAN
3.1 Pencatatan Perkara
3.2 Penetapan Persekot Biaya Perkara
3.3 Penetapan Hari Sidang
3.4 Panggilan Pihak-pihak yang Berperkara
3.5 Perihal Sita Jaminan
BAB IV PEMERIKSAAN DI PENGADILAN
4.1 Masalah Perubahan, Penambahan, Pengurangan,
dan Pencabutan Gugatan
4.2 Perihal Putusan Gugur
4.3 Putusan Diluar Hadir Tergugat
4.4 Perdamaian
4.5 Jawaban Tergugat
4.6 Replik dan Duplik
BAB V PERIHAL PEMBUKTIAN
5.1 Arti Pembuktian
5.2 Alat-alat Bukti
BAB VI PUTUSAN HAKIM
6.1 Putusan Hakim atau Putusan Pengadilan
6.2 Susunan dan Isi Putusan
6.3 Macam-macam Putusan Hakim
6.4 Kekuatan Putusan Hakim
BAB VII UPAYA HUKUM
7.1 Upaya Hukum Biasa
7.2 Upaya Hukum Luar Biasa
BAB VIII EKSEKUSI
8.1 Azas-azas Eksekusi
8.2 Tata Cara Eksekusi
DAFTAR PUSTAKA
SILABUS
SATUAN ACARA PERKULIAHAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Sejarah Singkat Terbentuknya H.I.R.
1.2 Sifat Hukum Acara Perdata
1.3 Hukum Acara Perdata Positif
1.4 Azas-azas H.I.R.
BAB II PENGAJUAN GUGATAN
2.1 Pengertian Permohonan dan Gugatan
2.2 Perihal Kekuasaan Mutlak dan Kekuasaan Relatif
2.3 Perihal Gugat Lisan dan Tertulis
2.4 Perihal Pihak-pihak yang Berperkara,
Perwakilan Orang, Badan Hukum dan Negara
BAB III TINDAKAN-TINDAKAN MENDAHULUI PEMERIKSAAN
DI MUKA PENGADILAN
3.1 Pencatatan Perkara
3.2 Penetapan Persekot Biaya Perkara
3.3 Penetapan Hari Sidang
3.4 Panggilan Pihak-pihak yang Berperkara
3.5 Perihal Sita Jaminan
BAB IV PEMERIKSAAN DI PENGADILAN
4.1 Masalah Perubahan, Penambahan, Pengurangan,
dan Pencabutan Gugatan
4.2 Perihal Putusan Gugur
4.3 Putusan Diluar Hadir Tergugat
4.4 Perdamaian
4.5 Jawaban Tergugat
4.6 Replik dan Duplik
BAB V PERIHAL PEMBUKTIAN
5.1 Arti Pembuktian
5.2 Alat-alat Bukti
BAB VI PUTUSAN HAKIM
6.1 Putusan Hakim atau Putusan Pengadilan
6.2 Susunan dan Isi Putusan
6.3 Macam-macam Putusan Hakim
6.4 Kekuatan Putusan Hakim
BAB VII UPAYA HUKUM
7.1 Upaya Hukum Biasa
7.2 Upaya Hukum Luar Biasa
BAB VIII EKSEKUSI
8.1 Azas-azas Eksekusi
8.2 Tata Cara Eksekusi
DAFTAR PUSTAKA
SILABUS
SATUAN ACARA PERKULIAHAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Sabtu, 31 Oktober 2009
LANDASAN PSIKOLOGI PENGEMBANGAN KURIKULUM
PSIKOLOGI PERKEMBANGAN KOGNITIF JEAN PIAGET DAN PSIKOLOGI BELAJAR GESTALT SEBAGAI SALAH SATU LANDASAN DALAM MENGEMBANGKAN KURIKULUM YANG IDEA
Oleh : Husnil Kirom
Pendahuluan
Dalam proses pengembangan sebuah kurikulum banyak hal yang perlu diperhatikan, diantaranya landasan dalam pengembangannya. Landasan pengembangan kurikulum diantaranya, landasan fisiologis, landasan psikologis, landasan sosial dan budaya, maupun landasan filosofis pengembangan kurikulum. Dari sekian landasan tadi, saya mencoba mengembangkan dan memaparkan landasan psikologis dalam pengembangan suatu kurikulum.
Kurikulum sebagai suatu program dan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, mempunyai hubungan dengan proses perubahan perilaku peserta didik. Dalam hal ini kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang berfungsi sebagai alat untuk mengubah perilaku peserta didik (peserta didik) ke arah yang diharapkan oleh pendidikan. Oleh sebab itu, proses pengembangan kurikulum perlu memperhatikan asumsi–asumsi yang bersumber dalam bidang kajian psikologi.
Landasan psikologis pengembangan kurikulum menuntut kurikulum untuk memperhatikan dan mempertimbangkan aspek peserta didik dalam pelaksanaan kurikulum sehingga nantinya pada saat pelaksanaan kurikulum apa yang menjadi tujuan kurikulum akan tercapai secara optimal. Sehingga unsur psikologis dalam pengembangan kurikulum mutlak perlu diperhatikan.
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam.
Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan teknologi..Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas keempat landasan tersebut.
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif mencakup perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional.Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti : politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsure-unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan.
Pembatasan masalah dalam makalah ini adalah bagaimanakah unsur psikologis mempengaruhi proses pengembangan kurikulum dan Mengapa psikologi perkembangan kognitif Jean Piaget dan psikologi belajar Gestalt perlu diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum yang ideal?
Sehingga tujuan dari pembuatan makalah yaitu untuk mengetahui psikologi perkembangan kognitif Jean Piaget dan psikologi belajar Gestalt sebagai salah satu landasan dalam mengembangkan kurikulum yang ideal dapat tercapai. Adapun untuk lebih jelas lagi diuraikan dalam pembahasan.
Pembahasan
Landasan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum
Psikologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan lingkungan. Psikologi juga diartikan sebagai suatu ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku, ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa. Anak adalah individu yang sedang berada dalam proses perkembangan (fisik, intelektual, sosial emosional, moral, dan sebagainya). Tugas utama seorang guru sebagai pendidik adalah membantu untuk mengoptimalkan perkembangan peserta didiknya berdasarkan tugas–tugas perkembangannya.
Dengan menerapkan landasan psikologi dalam proses pengembangan kurikulum diharapkan dapat diupayakan pendidikan yang dilaksanakan relevan dengan hakikat peserta didik, baik penyesuaian dari segi materi/bahan yang harus diberikan/dipelajari peserta didik, maupun dari segi penyampaian dan proses belajar serta penyesuaian dari unsur–unsur upaya pendidikan lainnya.
Pada dasarnya terdapat dua cabang ilmu psikologi yang berkaitan erat dalam proses pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Karakteristik perilaku tiap individu pada tiap tingkat perkembangan merupakan kajian yang terdapat dalam cabang psikologi perkembangan. Oleh sebab itu, dalam pengembangan kurikulum yang senantiasa berhubungan dengan program pendidikan untuk kepentingan peserta didik, maka landasan psikologi mutlak harus dijadikan dasar dalam proses pengembangan kurikulum. Perkembangan yang dialami oleh peserta didik pada umumnya diperoleh melalui proses belajar. Guru sebagai pendidik harus mengupayakan cara atau metode yang lebih baik untuk melaksanakan proses pembelajaran guna mendapatkan hasil yang optimal, dalam hal ini proses pembelajaran mutlak diperlukan pemikiran yang mendalam dengan memperhatikan psikologi belajar.
Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam hal penentuan isi kurikulum yang diberikan atau dipelajari peserta didik, baik tingkat kedalaman dan keluasan materi, tingkat kesulitan dan kelayakannya serta manfaatnya yang disesuaikan dengan tahap dan tugas perkembangan peserta didik. Sementara psikologi belajar memberikan sumbangan terhadap pengembangan kurikulum terutama berkenaan dengan bagaimana kurikulum itu diberikan kepada peserta didik dan bagaimana peserta didik harus mempelajarinya, berarti berkenaan dengan strategi pelaksanaan kurikulum.
Perkembangan anak, baik fisik, emosional, sosial dan mental intelektual merupakan faktor yang penting dalam pengembangan kurikulum. Hal ini berdasarkan berbagai hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa :
a. Anak berkembang melalui tahap-tahap tertentu, yaitu masa bayi, kanak-kanak permulaan, kanak-kanak lanjutan, remaja, dewasa, dan tua. Pada tiap tahap anak menunjukkan sifat dan kebutuhan tertentu.
b. Kecepatan perkembangan itu tidak merata. Ada saat-saat cepat atau akkselerasi, masa tenang, serta masa lambat dalam perkembangannya. Terdapat hubungan antara perkembangan aspek satu dengan yang lain. Perkembangan fisik yang cepat mempengaruhi aspek sosial dan emosional anak itu sendiri.
c. Ada perbedaan pola perkembangan antara anak-anak. Ada anak yang pada awalnya lamban belajar atau tidak dapat mengikuti pelajaran, akan tetapi pada usia yang lebih lanjut seakan-akan menunjukkan prestasi yang luar biasa. Memaksa anak mempelajari sesuatu sebelum saat kematangan hanya akan menimbulkan frustasi saja.
d. Adanya pola umum dalam perkembangan anak memungkinkan pengembangan kurikulum untuk memperkirakan bahan apa yang akan sesuai kepada kelompok umur tertentu.
Mengenai perkembangan anak dipersoalkan, apakah perbedaan pada anak disebabkan oleh faktor genetis atau pembawaan dan faktor lingkungan. Pengetahuan tentang perkembangan anak masih kurang jelas ppenerapannya dalam kurikulum walaupun sudah menjadi pokok pertimbangan. Salah satu penyebabnya bahwa penelitian sering hanya meliputi salah satu aspek, misalnya aspek jasmani, intelegensi, dan sebagainya. Kesulitan bagi pengembang kurikulum ialah melihat perkembangan anak sebagai keseluruhan yang bulat.
Tiap anak berbeda dengan anak lain. Untuk mendapat gambaran yang jelas tentang perbedaan itu dalam pengajaran, perlu diperhatikan hal-hal berikut :
1) walaupun tiap anak unik, persamaan antara manusia lebih besar daripada perbedaannya;
2) namun demikian perbedaan itu lebih besar daripada uang diduga si pendidik;
3) perbedaan itu sebagian besar bersifat kuantitatif bukan kaulitatif, misalnya semua anak mempunyai intelegensi akan tetapi tarafnya berbeda-beda;
4) kesanggupan yang luar biasa pada umumnya bukanlah akibat kompensasi, yakni ditimbulkan oleh kekurangan di bidang lain;
5) perbedaan individual tidak hanya dalam bidang integensi, akan tetapi juga dalam bidang emosional, sosial, fisik, sikap dan lain-lainyang harus dipertimbangkan dalam pendidikan; dan
6) sifat-sifat seseorang harus ditinjau dalam rangka keseluruhan pribadinya.
Menyesuaikan kurikulum dan ppengajaran dengan perbedaan individual adalah usaha yang memerlukan pemikiran, kreativitas, pengertian,serta hasrat untuk memberikan yang sebaik-baiknya kepada tiap anak. Selain itu, perlu usaha mengenal anak secara individual.
(a) Kebutuhan Anak
Kurikulum harus mempertimbangkan kebutuhan anak. Ada kurikulum yang secara ekstrem mendasarkan kurikulum semata-mata pada kebutuhan anak yang disebut child-centered curriculum. Ditinjau dari segi psikologis-didaktis banyak kebaikannya. Pelajaran didasarkan atas minat anak dan turut serta merencanakan apa yang ingin dipelajarinya.
(b) Kebutuhan Jasmaniah
Setiap anak ingin bergerak dan menggunakan badannya. Anak-anak suka berlari, melompat, memanjat, dan melakukan aktivitas jasmaniah. Kebutuhan ini dipenuhi dengan memberikan pendidikan jasmani. Disamping pendidikan jasmani harus diusahakan adanya keseimbangan antara bekerja dengan istirahat dan lain sebagainya.
(c) Kebutuhan Pribadi
Anak-anak mempunyai dorongan untuk memuaskan keinginan untuk mengetahui sesuatu, untuk menyatakan pikiran dan perasaannya dengan jalan bahasa, pekerjaan, lukisan, seni suara atau gerak. Mereka ingin menguasai suatu keterampilan, merasai kepuasan atas hasil atau sukses yang mereka capai. Saat ini sekolah berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu dengan memberi kebebasan bergerak, bekerja, mengadakan percobaan-percobaan dan melakukan tugas-tugas lainnya.
(d) Kebutuhan Sosial
Membimbing anak agar menjadi makhluk sosial adalah suatu fungsi sekolah yang penting. Pada kurikulum modern memberi kesempatan kepada siswa lebih banyak kebebasan bekerjasama dalam kelompok untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Para siswa diajak berunding untuk menentukan apa yang akan dipelajari dan bagaimana langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut? Dalam hal ini pendapat setiap anak dihargai dan dipertimbangkan.
1. Psikologi Perkembangan Kognitif Jean Piaget
Jean Piaget adalah seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan. Menurut Piaget, kecerdasan seseorang berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata atau skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan. Saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental.
Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme bukan ke dalam teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan). Teori Perkembangan Kognitif ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan.
Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia, yakni:
1. Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
a) Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
b) Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
c) Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
d) Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
e) Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
2. Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
1) Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran Pra Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek.
2) Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah yang bentuknya berbeda-beda.
3) Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
3. Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
1) Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
(a) Pengurutan yaitu kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
(b) Klasifikasi yaitu kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
(c) Decentering yaitu anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
(d) Reversibility yaitu anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
(e) Konservasi yaitu memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
(f) Penghilangan sifat egosentrisme yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah. Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan.
4. Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
1) Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia.
2) Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada ”gradasi abu-abu” di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas, menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial.
3) Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
Jean Piaget menguraikan pentingnya berbagai faktor internal seseorang, seperti tingkat kematangan berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, konsep diri, dan keyakinan dalam proses belajar. Selain itu, berbagai faktor internal tersebut mengindikasikan kehidupan psikologis seseorang serta bagaimana di mengembangkan struktur dan strategi kognitif dan emosinya. Sebagai contoh, perkembangan kognitif manusia sesuai urutan atau sequence tertentu. Kemampuan berpikir pada satu tahapan yang lebih tinggi merupakan perkembangan dari tahapan-tahapan sebelumnya. Pada tahapan yang lebih tinggi seseorang lebih mampu berpikir terorganisasi dan abstrak. Piaget menyebutnya sebagai kemampuan untuk mengembangkan skema berpikir atau building blocks of thinking.
Menurut Piaget proses berpikir melibatkan dua jenis proses yang saling berhubungan yaitu organizing dan adapting. Mengorganisasikan pengetahuan yang dilakukan oleh seseorang adalah membedakan informasi penting dari yang tidak penting atau konsep utama dengan jabarannya serta melihat saling keterkaitan antara satu konsep dengan konsep yang lain. Disamping itu juga seseorang akan melakukan proses adaptasi ketika belajar yaitu melalui asimilasi dengan mengaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Lalu, proses akomodasi terhadap pengetahuan baru dengan sedikit banyak mengubah struktur kognitif yang telah dimiliki.
Landasan psikologis dalam pendidikan secara umum mencakup tentang perkembangan dan kesiapan belajar anak didik. Hal ini telah melahirkan konsep pendidikan sendiri, salah satunya ialah teori konstruktivistik yang mengilhami teori perkembangan kognitif anak dari Jean Piaget. Teori perkembangan kognitif sendiri berorientasi pada perlakuan individual didasarkan pada tingkat perkembangan anak, motivasi belajarnya bersifat instrinsik melalui pengetahuan yang telah dimiliki, menggunakan kurikulum dan metodologi yang mengembangkan keterampilan dasar berpikir juga bahan ajarnya, memusatkan diri pada pengembangan kemampuan secara keseluruhan, bentuk pengelolaannya berpusat pada anak dan guru hanya sebagai pembimbing, program pembelajaran disusun dlam bentuk pengetahuan yang terpadu dan hierarkis serta partisifasi siswa sangat dituntut untuk pengembangan kemampuan belajar dan berpikir sambil menemukan sendiri.
Selanjutnya, mengutip dari apa yang diutarakan oleh Jean Piaget dalam Hergenhahn (2008:324-325) bahwa pengalaman pendidikan harus dibangun di seputar struktur kognitif pembelajar. Anak-anak berusia sama dan dari kultur yang sama cenderung memiliki struktur kognitif yang sama tetapi adalah mungkin bagi mereka untuk struktur kognitif yang berbeda dan karenanya membutuhkan jenis materi belajar yang berbeda pula. Masih menurut Piaget bahwa proses perkembangan seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan dan berlangsung terus menerus. Melalui berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga dalam pandangan Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan pengetahuan itu.
Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan, informasi yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau mengganti skema yang sebelumnya ada. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki skema tentang sejenis binatang, misalnya burung. Bila pengalaman awal anak berkaitan dengan burung kenari, anak kemungkinan beranggapan bahwa semua burung adalah kecil, berwarna kuning, dan mencicit. Suatu saat, mungkin anak melihat seekor burung unta. Anak akan perlu memodifikasi skema yang ia miliki sebelumnya tentang burung untuk memasukkan jenis burung baru.
Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label ”burung” adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak. Di satu sisi, materi pendidikan yang tidak bisa diasimilasikan ke struktur kognitif anak tidak akan bermakna bagi si anak. Jika, di sisi lain materi bisa diasimilasi secara komplet, tidak akan ada proses belajar yang terjadi. Agar belajar terjadi, materi perlu sebagian sudah diketahui dan sebelum belum. Bagian yang sudah diketahui dan bagian yang belum diketahui akan menimbulkan modifikasi dalam struktur kognitif anak. Modifikasi ini disebut akomodasi yang dapat disamakan dengan belajar.
Jadi, menurut Piaget pendidikan yang optimal membutuhkan pengalaman yang menantang bagi si pembelajar sehingga proses asimilasi dan akomodasi dapat menghasilkan pertumbuhan intelektual. Untuk menciptakan jenis pengalaman ini, guru harus tahu level fungsi struktur kognitif siswa. Kesimpulannya dengan menyadari bahwa kemampuan untuk mengasimilasi akan bervariasi dari satu anak ke anak yang lain dan materi pendidikan harus disesuaikan dengan struktur kognitif siswa.
Anak dilahirkan dengan beberapa skemata sensorimotor yang memberi kerangka bagi interaksi awal mereka dengan lingkungannya. Pengalaman awal si anak akan ditentukan oleh skemata sensorimotor ini. Dengan kata lain, hanya kejadian yang dapat diasimilasikan ke skemata itulah yang dapat direspons oleh si anak dan karenanya kejadian itu akan menentukan batasan pengalaman anak. Tetapi melalui pengalaman, skemata awal ini dimodifikasi. Setiap pengalaman mengandung elemen unik yang harus diakomodasi oleh struktur kognitif anak. Melalui interaksi dengan lingkungan, struktur kognitif akan berubah dan memungkinkan perkembangan pengalaman terus menerus.
Istilah intelegensi atau kecerdasan dipakai oleh Piaget untuk mendeskripsikan semua aktivitas adaptif. Perilaku anak yang memegang mainan adalah sama cerdasnya dengan perilaku anak yang lebih tua dalam memecahkan masalah. Perbedaannya adalah dalam struktur kognitif yang tersedia bagi setiap anak. Tindakan yang cerdas selalu cebderung menciptakan keseimbangan antara orgnanisme dengan lingkungannya dalam situasi saat itu. Dorongan ke arah keseimbangan ini dinamakan ekuilibrasi.
Meskipun perkembangan intelektual adalah berkelanjutan selama masa kanak-kanak, Piaget memilih untuk menyusun tahap perkembangan intelektual. Piaget mendeskripsikan empat tahap utama, yaitu sensorimotor, pra-operasional, operasi konkret, operasi formal. Teori Piaget memberi efek signifikan pada praktik pendidikan. Banyaknya pendidik berusaha untuk merumuskan kebijakan spesifik berdasarkan teori Piaget. Kontribusinya adalah telah mengidentifikasi dua tipe belajar. Dimana keduanya adalah asimilasi dan akomodasi diartikan sebagai proses belajar, keduanya melibatkan akuisisi dan penyimpanan informasi
Anak sejak dilahirkan sudah memperlihatkan keunikan–keunikan yang berbeda satu sama lainnya, seperti pernyataan dirinya dalam bentuk tangisan dan gerakan–gerakan tubuhnya. Hal ini menggambarkan bahwa sejak lahir anak telah memiliki potensi untuk berkembang. Di dalam psikologi perkembangan terdapat banyak pandangan ahli berkenaan dengan perkembangan individu pada tiap–tiap fase perkembangan.
Pandangan tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan dan persamaannya. Implikasi dari hal tersebut terhadap pengembangan kurikulum, yaitu tiap-tiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhannya. Selain itu, disediakan pembelajaran yang bersifat umum (program inti) yang harus dipelajari peserta didik di sekolah. Disediakan pula pembelajaran pilihan sesuai minat dan bakat anak. Kurikulum selain menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan juga menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik. Selanjutnya, kurikulum memuat tujuan yang mengandung pengetahuan, nilai dan sikap, serta ketrampilan yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan bathin.
Implikasi lain dari pengetahuan tentang anak sebagai peserta didik terhadap proses pembelajaran (actual curriculum) dapat diuraikan sebagai berikut:
1) tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat pada perubahan tingkah laku anak didik;
2) bahan/materi pembelajaran yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan, minat dan perhatian anak, bahan tersebut mudah diterima oleh anak;
3) strategi pembelajaran yang digunakan harus sesuai dengan tahap perkembangan anak;
4) media yang digunakan selalu menarik perhatian dan minat anak didik; dan
5) sistem evaluasi berpadu dalam satu kesatuan yang menyeluruh dan berkesinambungan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan dilaksanakan secara terus-menerus.
2. Psikologi Belajar Gestalt
Salah satu penganut aliran Gestalt adalah Wolfgang Kohler. Karya paling signifikan tentang belajar muncul antara 1913 dan 1917 di University of Berlin Anthropoid Station di Tenerife. Psikologi Gestalt terutama tentang teoritis medan magnet yang tertarik pada fenomena perseptual, tidak mengejutkan jika mereka memandang belajar sebagai problem khusus dalam persepsi.
Belajar menurut Gestalis adalah fenomena kognitif. Organisme mulai melihat solusi setelah memikirkan masalah. Pendidik memikirkan semua unsur yang dibutuhkan untuk memecahkan problem dan menempatkannya bersama secacara kognitif dalam satu cara dan kemudian cara lainnya sampai masalah terpecahkan. Belajar merupakan proses diskontinyu. Dalam rangka menguji kebenaran gagasan tentang belajar ini, Kohler menggunakan sejumlah eksperimen kreatif.
Gestaltis berpendapat bahwa problem yang tak selesai akan menimbulkan ambbiguitas atau kestidakseimbangan organisasional dalam pikiran siswa. Siswa yang berhadapan dengan masalah akan berusaha mencari informasi baru atau menata ulang informasi lama sammpai mereka mendapatkan wawasan mendalam tentang solusinya. Kontribusi yang penting dari psikologi Gestalt adalah kritiknya terhadap pendekatan modekular atau atomistik dari behaviorisme S-R. Ditunjukkan bahwa baik itu persepsi maupun belajar dicirikan oleh proses kognitif yang mengorganisasikan pengalaman psikologis. Fokus psikologi Gestalt pada belajar berwawasan juga memberikan pandangan alternatif untuk mengkonseptualisasikan penguatan. Dengan memperhatikan pada kepuasan yang datang dari penemuan atau pemecahan masalah.
Selanjutnya, psikologi belajar merupakan suatu cabang ilmu yang mengkaji bagaimana individu belajar. Belajar dapat diartikan sebagai perubahan perilaku yang terjadi melalui pengalaman. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia belajar berasal dari kata ajar yang berarti suatu petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui atau diturut. Segala perubahan perilaku yang trejadi karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar. Perubahan yang terjadi secara insting atau terjadi karena secara kebetulan bukan termasuk belajar.
Kunci dalam psikologi belajar Gestalt ialah insight. Belajar ialah mengembangkan insight pada anak dengan melihat hubungan antara unsur-unsur situasi problematis dengan demikian melihat makna baru dalam situasi itu. Belajar bukan sesuatu yang pasif, dalam belajar siswa mempunyai tujuan, mengadakan eksplorasi, menggunakan imajinasi dan bersifat kreatif.
Prinsip-prinsip belajar menurut Gestalt, yaitu :
1. Belajar itu berdasarkan keseluruhan
2. Anak yang belajar merupakan keseluruhan
3. Belajar berkat insight
4. Belajar berdasarkan pengalaman
5. Belajar ialah suatu proses perkembangan
6. Belajar ialah proses yang kontinu
7. Belajar lebih berhasil bila dibandingkan dengan minat keinginan dan tujuan anak.
Teori Gestalt atau field theory mempunyai tujuan yang luas, yakni bukan hanya memberikan pengetahuan tapi juga proses menghadapi dan memecahkan masalah, pengembangan pribadi, dan sikap terhadap dunia. Dalam menentukan bahan pelajaran dopertimbangkan minat dan perkembangan anak, lingkungan masyarakat anak dan bahan dari dari berbagai mata pelajaran. Kurikulum meliputi perkembangan sosial, emosional, dan intelektual. Organisasi bahan pelajaran dan metode mengajar mengutamakan hubungan dan integrasi serta pemahaman. Fakta-fakta atau informasi spesifik diperlukan untuk memperoleh pemahaman itu. Berbeda dengan teori asosiasi, yang banyak memberi peranan “pasif” kepada anak, teori Gestalt ini memandang belajar sebagai proses yang memerlukan aktivitas anak. Karena itu digunakan metode problem-solving dan inquiry-approach. Anak sendiri harus menemukan jawaban masalah, dengan bimbingan serta bantuan guru sejauh diperlukan.
John Dewey yang juga termasuk penganut teori Gestalt, organismik atau teori lapangan kognitif, memandang berpikir sebagai proses reflektif yang pada dasarnya tak berbeda dengan berpikir ilmiah. Dalam cara berpikir ini digabungkan proses induktif, pengumpulan data, dan proses deduktif, mencari, menganalisis, dan menguji hipotesis. Bedanya dengan proses ilmiah ialah, bahwa dalam pemikiran reflektif tidak digunakan laboratorium sehingga dapat digunakan dalam pemecahan segala macam masalah termasukmaslah sosial. Langkah-langkah dalam pemecahan masalah menurut Dewey telah cukup terkenal yaitu, mengenal dan meruumuaskan masalah, merumuskan hipotesis, menyelidiki implikasi hipotesis dengan mengumpulkan data atau pengetahuan, mentes hipotesis dengan menguji implikasi atau konsekuensi hipotesis berdasarrkan data atau pengalaman, mengambil kesimpulan.
Psikologi belajar yang berkembang sampai saat ini, pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi tiga kelas, antara lain :
a. Teori disiplin mental (faculty theory)
Menurut teori ini anak sejak dilahirkan memiliki potensi atau daya tertentu (faculties) yang masing–masing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir, daya mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan sejenisnya. Potensi–potensi tersebut dapat dilatih agar dapat berfungsi secara optimal,daya berpikir anak sering dilatih dengan pembelajaran berhitung misalnya, daya mengingat dilatih dengan menghapal sesuatu. Daya yang telah terlatih dipindahkan ke dalam pembentukan lain. Pemindahan (transfer) ini mutlak dilakukan melalui latihan (drill), karena itu pengertian pembelajaran dalam konteks ini melatih anak didik dalam daya-daya itu, cara pembelajaran pada umumnya melalui hafalan dan latihan-latihan.
b. Behaviorisme
Dalam aliran behaviorisme ini, terdapat 3 rumpun teori yang mencakup teori koneksionisme atau asosiasi, teori kondisioning, dan teori operant conditioning (reinforcement). Behaviorisme muncul dari adanya pandangan bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat. Behaviorisme menganggap bahwa perkembangan individu tidak muncul dari hal yang bersifat mental, perkembangan hanya menyangkut hal yang bersifat nyata yang dapat dilihat dan diamati.
Teori ini kehidupan tunduk pada hukum S-R (stimulus-respon) atau aksi-reaksi. Menurut teori ini, pada dasarnya belajar merupakan hubungan respon–stimulus. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus-respon seoptimal mungkin. Tokoh utama teori ini, yaitu Edward L. Thorndike yang memunculkan tiga teori belajar yakni, law of readiness, law of exercise, dan law of effect.
Menurut hukum kesiapan (readiness) hubungan antara stimulus dengan respon akan terbentuk bila ada kesiapan pada system syaraf individu. Hukum latihan/pengulangan (exercise/repetition) stimulus dan respon akan terbentuk apabila sering dilatih atau diulang–ulang. Hukum akibat (effect) menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respon akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan.
c. Kognitifisme
Menurut teori ini keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai makhluk yang melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon. Stimulus yang hadir diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu melakukan interaksi dengannya terus-menerus sehingga terjadi suatu proses pembelajaran. Dalam hal ini guru lebih berperan sebagai pembimbing bukan sumber informasi sebagaimana diungkapkan dalam pandangan koneksionisme, peserta didik lebih berperan dalam hal proses pembelajaran, belajar berlangsung berdasarkan pengalaman yaitu kegiatan interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Belajar menurut teori ini bukanlah sebatas menghapal tetapi memecahkan masalah, dan metode belajar yang dipakai adalah metode ilmiah dengan cara anak didik dihadapkan pada suatu permasalahan yang cara penyelesaiannya diserahkan kepada masing-masing anak didik yang pada akhirnya peserta didik dibimbing untuk mengambil suatu kesimpulan bersama dari apa yang telah dipelajari.
Prinsip-prinsip maupun penerapan dari organismic/cognitive gestalt field, antara lain :
1) Belajar berdasarkan keseluruhan
Prinsip ini mempunyai pandangan sebagaimana proses pembelajaran terpadu. Pelajaran yang yang diberikan kepada peserta didik bersumber pada suatu masalah atau pkok yang luas yang harus dipecahkan oleh peserta didik, peserta didik mengolah bahan pembelajaran dengan reaksi seluruh pelajaran oleh keseluruhan jiwanya.
2) Belajar adalah pembentukan kepribadian
Anak dipandang sebagai makhluk keseluruhan, anak diimbing untuk mendapat pengetahuan, sikap, dan ketrampilan secara berimbang. Ia dibina untuk menjadi manusia seutuhnya yang memiliki keseimbangan lahir dan batin antara pengetahuan dengan sikapnya. Seluruh kepribadiannya diharapkan utuh melalui program pembelajaran yang terpadu.
3) Belajar berkat pemahaman
Belajar merupakan proses pemahaman. Pemahaman mengandung makna penguasaan pengetahuan, dapat menyelaraskan sikap dan ketrampilannya. Ketrampilan menghubungkan bagian-bagian pengetahuan untuk diperoleh sesuatu kesimpulan merupakan wujud pemahaman.
4) Belajar berdasarkan pengalaman
Proses belajar adalah bekerja, mereaksi, memahami, dan mengalami. Dalam proses pembelajaran peserta didik harus aktif dengan pengolahan bahan pembelajaran melalui diskusi, Tanya jawab, kerja kelompok, demonstrasi, survey lapangan, dan sejenisnya.
5) Belajar adalah proses berkelanjutan
Belajar adalah proses sepanjang masa. Manusia tidak pernah berhenti untuk belajar, hal ini dilakukan karena faktor kebutuhan. Dalam pelaksanaannnya dianjurkan dalam pengembangannya kurikulum tidak hanya terpaku pada proses pembelajaran yang ada tetapi mengembangkan proses pembelajaran yang bersifat ekstra untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Keberhasilan belajar tidak hanya ditentukan oleh kemampuan anak didik tetapi menyangkut minat, perhatian, dan kebutuhannya. Dalam kaitan ini motivasi sangat menentukan dan diperlukan.
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologi yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi“.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang lima tipe kompetensi, yaitu :
1) Motif
Adalah sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
2) Bawaan
Adalah karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
3) Konsep diri
Adalah tingkah laku, nilai atau image seseorang;
4) Pengetahuan
Adalah informasi khusus yang dimiliki seseorang; dan
5) Keterampilan
Adalah kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5) pertumbuhan dan perkembangan kognitif.
Nana Syaodih Sukmadinata mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu psikologi perkembangan dan\psikologi belajar.
Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Kesimpulan
Pengembangan kurikulum yang ada di Indonesia, saat ini telah banyak mengalami perubahan. Banyak hal yang dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum di suatu negara termasuk Indonesia. Diantara landasan pengembangan kurikulum yang perlu dipertimbangkan yaitu landasan psikologi dalam pengembangan kurikulum.
Dalam pengembangan kurikulum aspek psikologi patut dipertimbangkan, pada proses pelaksanaan kurikulum faktor psikologi dari pebelajar perlu diperhatikan. Psikologi yang dimaksud di sini, terdapat dua aspek psikologi antara lain psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
Psikologi perkembangan kognitif menurut Jean Piaget memandang aspek kesiapan peserta didik dalam proses pelaksanaan kurikulum, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum perlu memandang dan memperhatikan faktor psikologi perkembangan dari tiap-tiap peserta didik.
Psikologi belajar menurut Gestalt merupakan bagian dari psikologi, yang mengkaji bagaimana seseorang melakukan kegiatan belajar, cara dia menerima suatu rangsang/informasi sehingga terjadi suatu proses belajar. Terdapat tiga bagian dari psikologi belajar, antara lain teori disiplin mental atau faculty theory, behaviorisme, dan cognitive gestalt field.
Nana Syaodih Sukmadinata mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu psikologi perkembangan dan\psikologi belajar.
Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Bahan Kajian ; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif ; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Penilaian Kelas ; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Puskur Balitbang.
Hamalik, Oemar. 2006. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Hamalik, Oemar. 2006. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara.
Hergenhahn, B.R. dan Olson, H. Matthew. 2008. Theories of Learning (Teori Belajar). Jakarta : Kencana.
Idi, Abdullah. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Idi, Abdullah. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Jakarta : Gaya Media.
Ladjid, Hafni. 2005. Pengembangan Kurikulum Menuju Kurikulum Berbasis Kompetensi. Padang : Ciputat Press Group.
Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Yang Disempurnakan ; Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Bandung : Remaja Rosdakarya.
_________. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi ; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : Remaja Rosdakarya.
_________. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Nasution, S. 1995. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta : Bumi Aksara.
Nasution, S. 1999. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta : Bumi Aksara.
Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2007.
Pratt, David. 1980. Curriculum Design and Development. New York : Harcourt Brace Jovanovich. Inc.
Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua. Jakarta : Kencana.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2009. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Suryosubroto, B. 2005. Tatalaksana Kurikulum. Jakarta : Rineka Cipta.
Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran.2002. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
Winataputra, Udin. S. dkk. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Universitas Terbuka.
Oleh : Husnil Kirom
Pendahuluan
Dalam proses pengembangan sebuah kurikulum banyak hal yang perlu diperhatikan, diantaranya landasan dalam pengembangannya. Landasan pengembangan kurikulum diantaranya, landasan fisiologis, landasan psikologis, landasan sosial dan budaya, maupun landasan filosofis pengembangan kurikulum. Dari sekian landasan tadi, saya mencoba mengembangkan dan memaparkan landasan psikologis dalam pengembangan suatu kurikulum.
Kurikulum sebagai suatu program dan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, mempunyai hubungan dengan proses perubahan perilaku peserta didik. Dalam hal ini kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang berfungsi sebagai alat untuk mengubah perilaku peserta didik (peserta didik) ke arah yang diharapkan oleh pendidikan. Oleh sebab itu, proses pengembangan kurikulum perlu memperhatikan asumsi–asumsi yang bersumber dalam bidang kajian psikologi.
Landasan psikologis pengembangan kurikulum menuntut kurikulum untuk memperhatikan dan mempertimbangkan aspek peserta didik dalam pelaksanaan kurikulum sehingga nantinya pada saat pelaksanaan kurikulum apa yang menjadi tujuan kurikulum akan tercapai secara optimal. Sehingga unsur psikologis dalam pengembangan kurikulum mutlak perlu diperhatikan.
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam.
Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan teknologi..Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas keempat landasan tersebut.
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif mencakup perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional.Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti : politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsure-unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan.
Pembatasan masalah dalam makalah ini adalah bagaimanakah unsur psikologis mempengaruhi proses pengembangan kurikulum dan Mengapa psikologi perkembangan kognitif Jean Piaget dan psikologi belajar Gestalt perlu diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum yang ideal?
Sehingga tujuan dari pembuatan makalah yaitu untuk mengetahui psikologi perkembangan kognitif Jean Piaget dan psikologi belajar Gestalt sebagai salah satu landasan dalam mengembangkan kurikulum yang ideal dapat tercapai. Adapun untuk lebih jelas lagi diuraikan dalam pembahasan.
Pembahasan
Landasan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum
Psikologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan lingkungan. Psikologi juga diartikan sebagai suatu ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku, ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa. Anak adalah individu yang sedang berada dalam proses perkembangan (fisik, intelektual, sosial emosional, moral, dan sebagainya). Tugas utama seorang guru sebagai pendidik adalah membantu untuk mengoptimalkan perkembangan peserta didiknya berdasarkan tugas–tugas perkembangannya.
Dengan menerapkan landasan psikologi dalam proses pengembangan kurikulum diharapkan dapat diupayakan pendidikan yang dilaksanakan relevan dengan hakikat peserta didik, baik penyesuaian dari segi materi/bahan yang harus diberikan/dipelajari peserta didik, maupun dari segi penyampaian dan proses belajar serta penyesuaian dari unsur–unsur upaya pendidikan lainnya.
Pada dasarnya terdapat dua cabang ilmu psikologi yang berkaitan erat dalam proses pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Karakteristik perilaku tiap individu pada tiap tingkat perkembangan merupakan kajian yang terdapat dalam cabang psikologi perkembangan. Oleh sebab itu, dalam pengembangan kurikulum yang senantiasa berhubungan dengan program pendidikan untuk kepentingan peserta didik, maka landasan psikologi mutlak harus dijadikan dasar dalam proses pengembangan kurikulum. Perkembangan yang dialami oleh peserta didik pada umumnya diperoleh melalui proses belajar. Guru sebagai pendidik harus mengupayakan cara atau metode yang lebih baik untuk melaksanakan proses pembelajaran guna mendapatkan hasil yang optimal, dalam hal ini proses pembelajaran mutlak diperlukan pemikiran yang mendalam dengan memperhatikan psikologi belajar.
Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam hal penentuan isi kurikulum yang diberikan atau dipelajari peserta didik, baik tingkat kedalaman dan keluasan materi, tingkat kesulitan dan kelayakannya serta manfaatnya yang disesuaikan dengan tahap dan tugas perkembangan peserta didik. Sementara psikologi belajar memberikan sumbangan terhadap pengembangan kurikulum terutama berkenaan dengan bagaimana kurikulum itu diberikan kepada peserta didik dan bagaimana peserta didik harus mempelajarinya, berarti berkenaan dengan strategi pelaksanaan kurikulum.
Perkembangan anak, baik fisik, emosional, sosial dan mental intelektual merupakan faktor yang penting dalam pengembangan kurikulum. Hal ini berdasarkan berbagai hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa :
a. Anak berkembang melalui tahap-tahap tertentu, yaitu masa bayi, kanak-kanak permulaan, kanak-kanak lanjutan, remaja, dewasa, dan tua. Pada tiap tahap anak menunjukkan sifat dan kebutuhan tertentu.
b. Kecepatan perkembangan itu tidak merata. Ada saat-saat cepat atau akkselerasi, masa tenang, serta masa lambat dalam perkembangannya. Terdapat hubungan antara perkembangan aspek satu dengan yang lain. Perkembangan fisik yang cepat mempengaruhi aspek sosial dan emosional anak itu sendiri.
c. Ada perbedaan pola perkembangan antara anak-anak. Ada anak yang pada awalnya lamban belajar atau tidak dapat mengikuti pelajaran, akan tetapi pada usia yang lebih lanjut seakan-akan menunjukkan prestasi yang luar biasa. Memaksa anak mempelajari sesuatu sebelum saat kematangan hanya akan menimbulkan frustasi saja.
d. Adanya pola umum dalam perkembangan anak memungkinkan pengembangan kurikulum untuk memperkirakan bahan apa yang akan sesuai kepada kelompok umur tertentu.
Mengenai perkembangan anak dipersoalkan, apakah perbedaan pada anak disebabkan oleh faktor genetis atau pembawaan dan faktor lingkungan. Pengetahuan tentang perkembangan anak masih kurang jelas ppenerapannya dalam kurikulum walaupun sudah menjadi pokok pertimbangan. Salah satu penyebabnya bahwa penelitian sering hanya meliputi salah satu aspek, misalnya aspek jasmani, intelegensi, dan sebagainya. Kesulitan bagi pengembang kurikulum ialah melihat perkembangan anak sebagai keseluruhan yang bulat.
Tiap anak berbeda dengan anak lain. Untuk mendapat gambaran yang jelas tentang perbedaan itu dalam pengajaran, perlu diperhatikan hal-hal berikut :
1) walaupun tiap anak unik, persamaan antara manusia lebih besar daripada perbedaannya;
2) namun demikian perbedaan itu lebih besar daripada uang diduga si pendidik;
3) perbedaan itu sebagian besar bersifat kuantitatif bukan kaulitatif, misalnya semua anak mempunyai intelegensi akan tetapi tarafnya berbeda-beda;
4) kesanggupan yang luar biasa pada umumnya bukanlah akibat kompensasi, yakni ditimbulkan oleh kekurangan di bidang lain;
5) perbedaan individual tidak hanya dalam bidang integensi, akan tetapi juga dalam bidang emosional, sosial, fisik, sikap dan lain-lainyang harus dipertimbangkan dalam pendidikan; dan
6) sifat-sifat seseorang harus ditinjau dalam rangka keseluruhan pribadinya.
Menyesuaikan kurikulum dan ppengajaran dengan perbedaan individual adalah usaha yang memerlukan pemikiran, kreativitas, pengertian,serta hasrat untuk memberikan yang sebaik-baiknya kepada tiap anak. Selain itu, perlu usaha mengenal anak secara individual.
(a) Kebutuhan Anak
Kurikulum harus mempertimbangkan kebutuhan anak. Ada kurikulum yang secara ekstrem mendasarkan kurikulum semata-mata pada kebutuhan anak yang disebut child-centered curriculum. Ditinjau dari segi psikologis-didaktis banyak kebaikannya. Pelajaran didasarkan atas minat anak dan turut serta merencanakan apa yang ingin dipelajarinya.
(b) Kebutuhan Jasmaniah
Setiap anak ingin bergerak dan menggunakan badannya. Anak-anak suka berlari, melompat, memanjat, dan melakukan aktivitas jasmaniah. Kebutuhan ini dipenuhi dengan memberikan pendidikan jasmani. Disamping pendidikan jasmani harus diusahakan adanya keseimbangan antara bekerja dengan istirahat dan lain sebagainya.
(c) Kebutuhan Pribadi
Anak-anak mempunyai dorongan untuk memuaskan keinginan untuk mengetahui sesuatu, untuk menyatakan pikiran dan perasaannya dengan jalan bahasa, pekerjaan, lukisan, seni suara atau gerak. Mereka ingin menguasai suatu keterampilan, merasai kepuasan atas hasil atau sukses yang mereka capai. Saat ini sekolah berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu dengan memberi kebebasan bergerak, bekerja, mengadakan percobaan-percobaan dan melakukan tugas-tugas lainnya.
(d) Kebutuhan Sosial
Membimbing anak agar menjadi makhluk sosial adalah suatu fungsi sekolah yang penting. Pada kurikulum modern memberi kesempatan kepada siswa lebih banyak kebebasan bekerjasama dalam kelompok untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Para siswa diajak berunding untuk menentukan apa yang akan dipelajari dan bagaimana langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut? Dalam hal ini pendapat setiap anak dihargai dan dipertimbangkan.
1. Psikologi Perkembangan Kognitif Jean Piaget
Jean Piaget adalah seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan. Menurut Piaget, kecerdasan seseorang berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata atau skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan. Saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental.
Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme bukan ke dalam teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan). Teori Perkembangan Kognitif ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan.
Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia, yakni:
1. Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
a) Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
b) Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
c) Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
d) Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
e) Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
2. Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
1) Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran Pra Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek.
2) Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah yang bentuknya berbeda-beda.
3) Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
3. Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
1) Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
(a) Pengurutan yaitu kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
(b) Klasifikasi yaitu kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
(c) Decentering yaitu anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
(d) Reversibility yaitu anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
(e) Konservasi yaitu memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
(f) Penghilangan sifat egosentrisme yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah. Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan.
4. Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
1) Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia.
2) Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada ”gradasi abu-abu” di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas, menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial.
3) Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
Jean Piaget menguraikan pentingnya berbagai faktor internal seseorang, seperti tingkat kematangan berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, konsep diri, dan keyakinan dalam proses belajar. Selain itu, berbagai faktor internal tersebut mengindikasikan kehidupan psikologis seseorang serta bagaimana di mengembangkan struktur dan strategi kognitif dan emosinya. Sebagai contoh, perkembangan kognitif manusia sesuai urutan atau sequence tertentu. Kemampuan berpikir pada satu tahapan yang lebih tinggi merupakan perkembangan dari tahapan-tahapan sebelumnya. Pada tahapan yang lebih tinggi seseorang lebih mampu berpikir terorganisasi dan abstrak. Piaget menyebutnya sebagai kemampuan untuk mengembangkan skema berpikir atau building blocks of thinking.
Menurut Piaget proses berpikir melibatkan dua jenis proses yang saling berhubungan yaitu organizing dan adapting. Mengorganisasikan pengetahuan yang dilakukan oleh seseorang adalah membedakan informasi penting dari yang tidak penting atau konsep utama dengan jabarannya serta melihat saling keterkaitan antara satu konsep dengan konsep yang lain. Disamping itu juga seseorang akan melakukan proses adaptasi ketika belajar yaitu melalui asimilasi dengan mengaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Lalu, proses akomodasi terhadap pengetahuan baru dengan sedikit banyak mengubah struktur kognitif yang telah dimiliki.
Landasan psikologis dalam pendidikan secara umum mencakup tentang perkembangan dan kesiapan belajar anak didik. Hal ini telah melahirkan konsep pendidikan sendiri, salah satunya ialah teori konstruktivistik yang mengilhami teori perkembangan kognitif anak dari Jean Piaget. Teori perkembangan kognitif sendiri berorientasi pada perlakuan individual didasarkan pada tingkat perkembangan anak, motivasi belajarnya bersifat instrinsik melalui pengetahuan yang telah dimiliki, menggunakan kurikulum dan metodologi yang mengembangkan keterampilan dasar berpikir juga bahan ajarnya, memusatkan diri pada pengembangan kemampuan secara keseluruhan, bentuk pengelolaannya berpusat pada anak dan guru hanya sebagai pembimbing, program pembelajaran disusun dlam bentuk pengetahuan yang terpadu dan hierarkis serta partisifasi siswa sangat dituntut untuk pengembangan kemampuan belajar dan berpikir sambil menemukan sendiri.
Selanjutnya, mengutip dari apa yang diutarakan oleh Jean Piaget dalam Hergenhahn (2008:324-325) bahwa pengalaman pendidikan harus dibangun di seputar struktur kognitif pembelajar. Anak-anak berusia sama dan dari kultur yang sama cenderung memiliki struktur kognitif yang sama tetapi adalah mungkin bagi mereka untuk struktur kognitif yang berbeda dan karenanya membutuhkan jenis materi belajar yang berbeda pula. Masih menurut Piaget bahwa proses perkembangan seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan dan berlangsung terus menerus. Melalui berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga dalam pandangan Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan pengetahuan itu.
Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan, informasi yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau mengganti skema yang sebelumnya ada. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki skema tentang sejenis binatang, misalnya burung. Bila pengalaman awal anak berkaitan dengan burung kenari, anak kemungkinan beranggapan bahwa semua burung adalah kecil, berwarna kuning, dan mencicit. Suatu saat, mungkin anak melihat seekor burung unta. Anak akan perlu memodifikasi skema yang ia miliki sebelumnya tentang burung untuk memasukkan jenis burung baru.
Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label ”burung” adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak. Di satu sisi, materi pendidikan yang tidak bisa diasimilasikan ke struktur kognitif anak tidak akan bermakna bagi si anak. Jika, di sisi lain materi bisa diasimilasi secara komplet, tidak akan ada proses belajar yang terjadi. Agar belajar terjadi, materi perlu sebagian sudah diketahui dan sebelum belum. Bagian yang sudah diketahui dan bagian yang belum diketahui akan menimbulkan modifikasi dalam struktur kognitif anak. Modifikasi ini disebut akomodasi yang dapat disamakan dengan belajar.
Jadi, menurut Piaget pendidikan yang optimal membutuhkan pengalaman yang menantang bagi si pembelajar sehingga proses asimilasi dan akomodasi dapat menghasilkan pertumbuhan intelektual. Untuk menciptakan jenis pengalaman ini, guru harus tahu level fungsi struktur kognitif siswa. Kesimpulannya dengan menyadari bahwa kemampuan untuk mengasimilasi akan bervariasi dari satu anak ke anak yang lain dan materi pendidikan harus disesuaikan dengan struktur kognitif siswa.
Anak dilahirkan dengan beberapa skemata sensorimotor yang memberi kerangka bagi interaksi awal mereka dengan lingkungannya. Pengalaman awal si anak akan ditentukan oleh skemata sensorimotor ini. Dengan kata lain, hanya kejadian yang dapat diasimilasikan ke skemata itulah yang dapat direspons oleh si anak dan karenanya kejadian itu akan menentukan batasan pengalaman anak. Tetapi melalui pengalaman, skemata awal ini dimodifikasi. Setiap pengalaman mengandung elemen unik yang harus diakomodasi oleh struktur kognitif anak. Melalui interaksi dengan lingkungan, struktur kognitif akan berubah dan memungkinkan perkembangan pengalaman terus menerus.
Istilah intelegensi atau kecerdasan dipakai oleh Piaget untuk mendeskripsikan semua aktivitas adaptif. Perilaku anak yang memegang mainan adalah sama cerdasnya dengan perilaku anak yang lebih tua dalam memecahkan masalah. Perbedaannya adalah dalam struktur kognitif yang tersedia bagi setiap anak. Tindakan yang cerdas selalu cebderung menciptakan keseimbangan antara orgnanisme dengan lingkungannya dalam situasi saat itu. Dorongan ke arah keseimbangan ini dinamakan ekuilibrasi.
Meskipun perkembangan intelektual adalah berkelanjutan selama masa kanak-kanak, Piaget memilih untuk menyusun tahap perkembangan intelektual. Piaget mendeskripsikan empat tahap utama, yaitu sensorimotor, pra-operasional, operasi konkret, operasi formal. Teori Piaget memberi efek signifikan pada praktik pendidikan. Banyaknya pendidik berusaha untuk merumuskan kebijakan spesifik berdasarkan teori Piaget. Kontribusinya adalah telah mengidentifikasi dua tipe belajar. Dimana keduanya adalah asimilasi dan akomodasi diartikan sebagai proses belajar, keduanya melibatkan akuisisi dan penyimpanan informasi
Anak sejak dilahirkan sudah memperlihatkan keunikan–keunikan yang berbeda satu sama lainnya, seperti pernyataan dirinya dalam bentuk tangisan dan gerakan–gerakan tubuhnya. Hal ini menggambarkan bahwa sejak lahir anak telah memiliki potensi untuk berkembang. Di dalam psikologi perkembangan terdapat banyak pandangan ahli berkenaan dengan perkembangan individu pada tiap–tiap fase perkembangan.
Pandangan tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan dan persamaannya. Implikasi dari hal tersebut terhadap pengembangan kurikulum, yaitu tiap-tiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhannya. Selain itu, disediakan pembelajaran yang bersifat umum (program inti) yang harus dipelajari peserta didik di sekolah. Disediakan pula pembelajaran pilihan sesuai minat dan bakat anak. Kurikulum selain menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan juga menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik. Selanjutnya, kurikulum memuat tujuan yang mengandung pengetahuan, nilai dan sikap, serta ketrampilan yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan bathin.
Implikasi lain dari pengetahuan tentang anak sebagai peserta didik terhadap proses pembelajaran (actual curriculum) dapat diuraikan sebagai berikut:
1) tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat pada perubahan tingkah laku anak didik;
2) bahan/materi pembelajaran yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan, minat dan perhatian anak, bahan tersebut mudah diterima oleh anak;
3) strategi pembelajaran yang digunakan harus sesuai dengan tahap perkembangan anak;
4) media yang digunakan selalu menarik perhatian dan minat anak didik; dan
5) sistem evaluasi berpadu dalam satu kesatuan yang menyeluruh dan berkesinambungan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan dilaksanakan secara terus-menerus.
2. Psikologi Belajar Gestalt
Salah satu penganut aliran Gestalt adalah Wolfgang Kohler. Karya paling signifikan tentang belajar muncul antara 1913 dan 1917 di University of Berlin Anthropoid Station di Tenerife. Psikologi Gestalt terutama tentang teoritis medan magnet yang tertarik pada fenomena perseptual, tidak mengejutkan jika mereka memandang belajar sebagai problem khusus dalam persepsi.
Belajar menurut Gestalis adalah fenomena kognitif. Organisme mulai melihat solusi setelah memikirkan masalah. Pendidik memikirkan semua unsur yang dibutuhkan untuk memecahkan problem dan menempatkannya bersama secacara kognitif dalam satu cara dan kemudian cara lainnya sampai masalah terpecahkan. Belajar merupakan proses diskontinyu. Dalam rangka menguji kebenaran gagasan tentang belajar ini, Kohler menggunakan sejumlah eksperimen kreatif.
Gestaltis berpendapat bahwa problem yang tak selesai akan menimbulkan ambbiguitas atau kestidakseimbangan organisasional dalam pikiran siswa. Siswa yang berhadapan dengan masalah akan berusaha mencari informasi baru atau menata ulang informasi lama sammpai mereka mendapatkan wawasan mendalam tentang solusinya. Kontribusi yang penting dari psikologi Gestalt adalah kritiknya terhadap pendekatan modekular atau atomistik dari behaviorisme S-R. Ditunjukkan bahwa baik itu persepsi maupun belajar dicirikan oleh proses kognitif yang mengorganisasikan pengalaman psikologis. Fokus psikologi Gestalt pada belajar berwawasan juga memberikan pandangan alternatif untuk mengkonseptualisasikan penguatan. Dengan memperhatikan pada kepuasan yang datang dari penemuan atau pemecahan masalah.
Selanjutnya, psikologi belajar merupakan suatu cabang ilmu yang mengkaji bagaimana individu belajar. Belajar dapat diartikan sebagai perubahan perilaku yang terjadi melalui pengalaman. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia belajar berasal dari kata ajar yang berarti suatu petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui atau diturut. Segala perubahan perilaku yang trejadi karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar. Perubahan yang terjadi secara insting atau terjadi karena secara kebetulan bukan termasuk belajar.
Kunci dalam psikologi belajar Gestalt ialah insight. Belajar ialah mengembangkan insight pada anak dengan melihat hubungan antara unsur-unsur situasi problematis dengan demikian melihat makna baru dalam situasi itu. Belajar bukan sesuatu yang pasif, dalam belajar siswa mempunyai tujuan, mengadakan eksplorasi, menggunakan imajinasi dan bersifat kreatif.
Prinsip-prinsip belajar menurut Gestalt, yaitu :
1. Belajar itu berdasarkan keseluruhan
2. Anak yang belajar merupakan keseluruhan
3. Belajar berkat insight
4. Belajar berdasarkan pengalaman
5. Belajar ialah suatu proses perkembangan
6. Belajar ialah proses yang kontinu
7. Belajar lebih berhasil bila dibandingkan dengan minat keinginan dan tujuan anak.
Teori Gestalt atau field theory mempunyai tujuan yang luas, yakni bukan hanya memberikan pengetahuan tapi juga proses menghadapi dan memecahkan masalah, pengembangan pribadi, dan sikap terhadap dunia. Dalam menentukan bahan pelajaran dopertimbangkan minat dan perkembangan anak, lingkungan masyarakat anak dan bahan dari dari berbagai mata pelajaran. Kurikulum meliputi perkembangan sosial, emosional, dan intelektual. Organisasi bahan pelajaran dan metode mengajar mengutamakan hubungan dan integrasi serta pemahaman. Fakta-fakta atau informasi spesifik diperlukan untuk memperoleh pemahaman itu. Berbeda dengan teori asosiasi, yang banyak memberi peranan “pasif” kepada anak, teori Gestalt ini memandang belajar sebagai proses yang memerlukan aktivitas anak. Karena itu digunakan metode problem-solving dan inquiry-approach. Anak sendiri harus menemukan jawaban masalah, dengan bimbingan serta bantuan guru sejauh diperlukan.
John Dewey yang juga termasuk penganut teori Gestalt, organismik atau teori lapangan kognitif, memandang berpikir sebagai proses reflektif yang pada dasarnya tak berbeda dengan berpikir ilmiah. Dalam cara berpikir ini digabungkan proses induktif, pengumpulan data, dan proses deduktif, mencari, menganalisis, dan menguji hipotesis. Bedanya dengan proses ilmiah ialah, bahwa dalam pemikiran reflektif tidak digunakan laboratorium sehingga dapat digunakan dalam pemecahan segala macam masalah termasukmaslah sosial. Langkah-langkah dalam pemecahan masalah menurut Dewey telah cukup terkenal yaitu, mengenal dan meruumuaskan masalah, merumuskan hipotesis, menyelidiki implikasi hipotesis dengan mengumpulkan data atau pengetahuan, mentes hipotesis dengan menguji implikasi atau konsekuensi hipotesis berdasarrkan data atau pengalaman, mengambil kesimpulan.
Psikologi belajar yang berkembang sampai saat ini, pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi tiga kelas, antara lain :
a. Teori disiplin mental (faculty theory)
Menurut teori ini anak sejak dilahirkan memiliki potensi atau daya tertentu (faculties) yang masing–masing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir, daya mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan sejenisnya. Potensi–potensi tersebut dapat dilatih agar dapat berfungsi secara optimal,daya berpikir anak sering dilatih dengan pembelajaran berhitung misalnya, daya mengingat dilatih dengan menghapal sesuatu. Daya yang telah terlatih dipindahkan ke dalam pembentukan lain. Pemindahan (transfer) ini mutlak dilakukan melalui latihan (drill), karena itu pengertian pembelajaran dalam konteks ini melatih anak didik dalam daya-daya itu, cara pembelajaran pada umumnya melalui hafalan dan latihan-latihan.
b. Behaviorisme
Dalam aliran behaviorisme ini, terdapat 3 rumpun teori yang mencakup teori koneksionisme atau asosiasi, teori kondisioning, dan teori operant conditioning (reinforcement). Behaviorisme muncul dari adanya pandangan bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat. Behaviorisme menganggap bahwa perkembangan individu tidak muncul dari hal yang bersifat mental, perkembangan hanya menyangkut hal yang bersifat nyata yang dapat dilihat dan diamati.
Teori ini kehidupan tunduk pada hukum S-R (stimulus-respon) atau aksi-reaksi. Menurut teori ini, pada dasarnya belajar merupakan hubungan respon–stimulus. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus-respon seoptimal mungkin. Tokoh utama teori ini, yaitu Edward L. Thorndike yang memunculkan tiga teori belajar yakni, law of readiness, law of exercise, dan law of effect.
Menurut hukum kesiapan (readiness) hubungan antara stimulus dengan respon akan terbentuk bila ada kesiapan pada system syaraf individu. Hukum latihan/pengulangan (exercise/repetition) stimulus dan respon akan terbentuk apabila sering dilatih atau diulang–ulang. Hukum akibat (effect) menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respon akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan.
c. Kognitifisme
Menurut teori ini keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai makhluk yang melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon. Stimulus yang hadir diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu melakukan interaksi dengannya terus-menerus sehingga terjadi suatu proses pembelajaran. Dalam hal ini guru lebih berperan sebagai pembimbing bukan sumber informasi sebagaimana diungkapkan dalam pandangan koneksionisme, peserta didik lebih berperan dalam hal proses pembelajaran, belajar berlangsung berdasarkan pengalaman yaitu kegiatan interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Belajar menurut teori ini bukanlah sebatas menghapal tetapi memecahkan masalah, dan metode belajar yang dipakai adalah metode ilmiah dengan cara anak didik dihadapkan pada suatu permasalahan yang cara penyelesaiannya diserahkan kepada masing-masing anak didik yang pada akhirnya peserta didik dibimbing untuk mengambil suatu kesimpulan bersama dari apa yang telah dipelajari.
Prinsip-prinsip maupun penerapan dari organismic/cognitive gestalt field, antara lain :
1) Belajar berdasarkan keseluruhan
Prinsip ini mempunyai pandangan sebagaimana proses pembelajaran terpadu. Pelajaran yang yang diberikan kepada peserta didik bersumber pada suatu masalah atau pkok yang luas yang harus dipecahkan oleh peserta didik, peserta didik mengolah bahan pembelajaran dengan reaksi seluruh pelajaran oleh keseluruhan jiwanya.
2) Belajar adalah pembentukan kepribadian
Anak dipandang sebagai makhluk keseluruhan, anak diimbing untuk mendapat pengetahuan, sikap, dan ketrampilan secara berimbang. Ia dibina untuk menjadi manusia seutuhnya yang memiliki keseimbangan lahir dan batin antara pengetahuan dengan sikapnya. Seluruh kepribadiannya diharapkan utuh melalui program pembelajaran yang terpadu.
3) Belajar berkat pemahaman
Belajar merupakan proses pemahaman. Pemahaman mengandung makna penguasaan pengetahuan, dapat menyelaraskan sikap dan ketrampilannya. Ketrampilan menghubungkan bagian-bagian pengetahuan untuk diperoleh sesuatu kesimpulan merupakan wujud pemahaman.
4) Belajar berdasarkan pengalaman
Proses belajar adalah bekerja, mereaksi, memahami, dan mengalami. Dalam proses pembelajaran peserta didik harus aktif dengan pengolahan bahan pembelajaran melalui diskusi, Tanya jawab, kerja kelompok, demonstrasi, survey lapangan, dan sejenisnya.
5) Belajar adalah proses berkelanjutan
Belajar adalah proses sepanjang masa. Manusia tidak pernah berhenti untuk belajar, hal ini dilakukan karena faktor kebutuhan. Dalam pelaksanaannnya dianjurkan dalam pengembangannya kurikulum tidak hanya terpaku pada proses pembelajaran yang ada tetapi mengembangkan proses pembelajaran yang bersifat ekstra untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Keberhasilan belajar tidak hanya ditentukan oleh kemampuan anak didik tetapi menyangkut minat, perhatian, dan kebutuhannya. Dalam kaitan ini motivasi sangat menentukan dan diperlukan.
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologi yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi“.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang lima tipe kompetensi, yaitu :
1) Motif
Adalah sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
2) Bawaan
Adalah karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
3) Konsep diri
Adalah tingkah laku, nilai atau image seseorang;
4) Pengetahuan
Adalah informasi khusus yang dimiliki seseorang; dan
5) Keterampilan
Adalah kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5) pertumbuhan dan perkembangan kognitif.
Nana Syaodih Sukmadinata mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu psikologi perkembangan dan\psikologi belajar.
Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Kesimpulan
Pengembangan kurikulum yang ada di Indonesia, saat ini telah banyak mengalami perubahan. Banyak hal yang dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum di suatu negara termasuk Indonesia. Diantara landasan pengembangan kurikulum yang perlu dipertimbangkan yaitu landasan psikologi dalam pengembangan kurikulum.
Dalam pengembangan kurikulum aspek psikologi patut dipertimbangkan, pada proses pelaksanaan kurikulum faktor psikologi dari pebelajar perlu diperhatikan. Psikologi yang dimaksud di sini, terdapat dua aspek psikologi antara lain psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
Psikologi perkembangan kognitif menurut Jean Piaget memandang aspek kesiapan peserta didik dalam proses pelaksanaan kurikulum, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum perlu memandang dan memperhatikan faktor psikologi perkembangan dari tiap-tiap peserta didik.
Psikologi belajar menurut Gestalt merupakan bagian dari psikologi, yang mengkaji bagaimana seseorang melakukan kegiatan belajar, cara dia menerima suatu rangsang/informasi sehingga terjadi suatu proses belajar. Terdapat tiga bagian dari psikologi belajar, antara lain teori disiplin mental atau faculty theory, behaviorisme, dan cognitive gestalt field.
Nana Syaodih Sukmadinata mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu psikologi perkembangan dan\psikologi belajar.
Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum.
Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Bahan Kajian ; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif ; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Penilaian Kelas ; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Puskur Balitbang.
Hamalik, Oemar. 2006. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Hamalik, Oemar. 2006. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara.
Hergenhahn, B.R. dan Olson, H. Matthew. 2008. Theories of Learning (Teori Belajar). Jakarta : Kencana.
Idi, Abdullah. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Idi, Abdullah. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Jakarta : Gaya Media.
Ladjid, Hafni. 2005. Pengembangan Kurikulum Menuju Kurikulum Berbasis Kompetensi. Padang : Ciputat Press Group.
Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Yang Disempurnakan ; Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Bandung : Remaja Rosdakarya.
_________. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi ; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : Remaja Rosdakarya.
_________. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Nasution, S. 1995. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta : Bumi Aksara.
Nasution, S. 1999. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta : Bumi Aksara.
Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2007.
Pratt, David. 1980. Curriculum Design and Development. New York : Harcourt Brace Jovanovich. Inc.
Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua. Jakarta : Kencana.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2009. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Suryosubroto, B. 2005. Tatalaksana Kurikulum. Jakarta : Rineka Cipta.
Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran.2002. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
Winataputra, Udin. S. dkk. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Universitas Terbuka.
Langganan:
Postingan (Atom)