MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
PADA SEKOLAH LUAR BIASA (SLB)
PENGANTAR
Strategi pembangunan pendidikan dasar dan menengah di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengalami pergeseran mendasar dari sistem terpusat kesistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah (School Base Education). Pergeseran ini dilakukan untuk memacu prakarsa sekolah dalam melakukan inovasi melalui penciptaan iklim yang kondusif bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Pendidikan berbasis sekolah bertujuan antara lain membantu pemerintah dan memobilisasi Sumber Daya Manusia (SDM) setempat dan dari luar serta meningkatkan peranan masyarakat untuk mengambil bagian lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan di semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan.
Sejalan dengan itu pada awal Tahun 2000 Direktorat Jenderal Pendidikan dasar dan Menengah telah memperkenalkan dan mensosialisasikan Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai konsekuensi logis terhadap diperlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
Agar pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah khususnya pada sekolah luar biasa dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan, maka disusunlah pedoman pelaksanaan yang dapat digunakan sebagai acuan di lapangan.
Semoga buku pedoman ini bermanfaat bagi semua pihak yang terkait dalam pembinaan sekolah dan sekaligus sebagai rujukan dalam pengelolaan dan penyelengaraan pendidikan luar biasa.
Jakarta, September 2003
Direktur Pendidikan Luar Biasa
Mudjito Ak
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Di era desentralisasi ini seluruh sektor termasuk sektor pendidikan dituntut untuk ber “otonomi”, antara lain Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam mengelola pendidikan luar biasa sudah saatnya menyerahkan sebagian kewenangan pengelelolaannya kepada daerah dan masyarakat lingkungan sekolah. Salah satu kebijakan yang menyangkut otonomi pendidikan luar biasa dan menengah pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Pada awal tahun 2000 Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah telah memperkenalkan dan mensosialisasikan konsep manajemen berbasis sekolah, sebagai konsekuensi logis terhadap diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom.
2. Pelaksanaan otonomi dibidang pendidikan mendorong meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan serta meningkatkan pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan. Kondisi geografis Indonesia yang tidak sama satu sama lain antar daerah baik Provinsi maupun Kab/Kota dan penyebaran penduduk yang tidak merata maka otonomi sekolah akan memerlukan biaya tinggi bagi daerah yang memiliki sumber daya alam dan pendapatan asli daerah yang rendah. Pada kondisi ini akan beresiko terjadinya peningkatan angka putus sekolah (drop out) karena pada daerah minus orang tua/masyarakat tidak mampu membiayai pendidikan. Hal ini memunculkan konsep subsidi silang antar daerah berdasarkan komitmen bersama dan intervensi pemerintah pusat antara lain melalui bantuan pendidikan bagi daerah yang kurang beruntung. Strategi pembangunan pendidikan dasar dan menengah di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, saat ini telah mengalami pergeseran mendasar dari sistem pengelolaan terpusat kesistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah (School Based Education). Pergeseran ini dilakukan karena sistem terpusat kurang relevan dengan konsep desentralisasi bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah yang sampai saat ini belum dapat memberikan hasil yang memuaskan.
3. Otonomi pengelolaan pendidikan berada di lingkungan sekolah, maka peran lembaga pemerintah adalah memberi pelayanan dan dukungan kepada sekolah agar proses pendidikan berjalan secara efektif dan efisien. Peran pemerintah bergeser dari ‘regulator’ menjadi ‘fasilitator’. Keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan ini hanya mencakup dua aspek, yaitu mutu dan pemerataan. Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan, dan berupaya agar semua siswa dapat berprestasi setinggi mungkin. Juga berupaya agar semua sekolah dapat mencapai standar minimal mutu pendidikan, dengan keragaman prestasi antara sekolah dalam suatu lokasi sekecil mungkin. Pemeritah juga menjamin pemerataan kesempatan bagi seluruh siswa dari semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Peran ini dilakukan melalui perumusan kebijaksanaan umum, pelayanan teknis, dan monitoring program secara reguler. Praktek diskriminasi terhadap siswa perempuan, siswa normal, anak berkelainan dan
BAB III
IMPLEMENTASI MBS DI SEKOLAH LUAR BIASA
Pengelolaan Pendidikan Luar Biasa melalui penyelenggara Sekolah Luar Biasa di era otonomi ini, para stake holdernya dituntut untuk dapat menguasai berbagai aspek yang menyangkut organisasi dan manajemen sekolah. Pelayanan pendidikan anak luar biasa yang dilakukan oleh organisasi setingkat sekolah harus mampu menunjukkan, mengukur dan meningkatkan kinerja sekolah tersebut. Organisasi sekolah yang dikepalai oleh seorang kepala sekolah dalam wawasan manajemen berbasis sekolah diharapkan mampu berkolaborasi dengan masyarakat lingkungan sekolah dalam hal ini komite sekolah/dewan sekolah. Disamping itu organisasi sekolah ini diupayakan dapat atau mampu menunjukan resposibilitasnya terhadap tuntutan masyarakat lingkungan sekolah dan mampu pula menunjukan akuntabilitasnya kepada masyarakat pengguna jasa pendidikan dalam hal orang tua/ masyarakat. Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah:
Mengukur kemampuan organisasi menganalisis faktor internal dan eksternal untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan sebuah organisasi sekolah dalam melayani kebutuhan pengguna jasa pendidikan anak luar biasa.
Merumuskan visi, misi dan tujuan sekolah berdasarkan hasil analisis kekuatan dan kelemahan oganisasi tersebut bersama dengan masyarakat lingkungan sekolah.
Menentukan strategi baik grand strategi dan strategi implementasi guna pencapaian visi, misi dan tujuan tersebut.
Menentukan rencana program jangka pendek dan jangka panjang.
Mensosialisasikan rencana program jangka pendek dan jangka panjang.
Melaksanakan jejaring kerja dalam berbagai pelaksanaan program.
Melaksanakan evaluasi proses dan hasil dalam rangka continued improvement.
Metode untuk menganalisis organisasi tersebut dapat mengguanakan analisis lingkungan internal dan analisis lingkungan eksternal, atau menggunakan metode SWOT (Strenght, Weaknes, Opportunitis and Threat), sehingga dapat menentukan atau memilih strategi yang harus dilakukan berdasarkan hasil analisis tersebut.
Upaya peningkatan mutu Pendidikan Luar Biasa yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dan masyarakat lingkungan sekolah melalui:
Peningkatan mutu dan kualifikasi guru Sekolah Luar Biasa melalui pelatihan dan penyetaraan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya, serta usaha peningkatan pendidikan akademik baik di dalam maupun luar negeri.
Penyediaan buku-bulu teks baik dalam tulisan huruf awas maupun braille yang mengacu kepada kurikulum PLB, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan luar biasa, dan pelaksanaan ujian akhir Sekolah Luar Biasa Khusus secara nasional.
Pembinaan dan pengembangan Center Percetakan Braille dengan tujuan untuk menyediakan sarana dan prasarana belajar yang lebih lengkap, tepat waktu, dan berkualitas baik.
Pembinaan dan pengembangan Sheltered Workshoop bagi siswa dan guru PLB dengan mengupayakan perluasan kesempatan untuk mempekerjakan para lulusan PLB.
Menjalin kerjasama masyarakat dunia usaha dan dunia industri untuk dapat memanfaatkan para lulusan PLB.
Untuk mencapai mutu lulusan tersebut perlu disusun visi dan misi serta strategi yang akan mendukung program kegiatan dengan komponen-komponen sebagai berikut:
1. Organisasi dan Manajemen PLB
Di era otonomi ini sekolah beserta masyarakat dalam hal ini dewan sekolah/ komite sekolah diharapkan ikut memberikan kontribusi mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan program serta evaluasi pengelolaan pendidikan. Akan tetapi dalam pelaksanaan KBM Kepala Sekolah dan guru mempunyai otoritas sendiri yang mengacu pada kurikulum PLB yang bersifat nasional. Penyusunan program suatu sekolah luar biasa juga menuntut peranserta masyarakat lingkungan sekolah dalam hal ini dewan sekolah/komite sekolah. Di samping itu perumusan visi dan misi sekolah dapat dilakukan bersama kepala sekolah dan komite sekolah, guru, dewan sekolah/komite sekolah secara simultan, sehingga pelaksanaan pembelajaran di sekolah merujuk pada visi dan misi yang hendak dicapai. Penyusunan dan analisis kebutuhan program penyelenggaraan pendidikan luar biasa yang dilakukan bersama dewan sekolah mengacu pada substansi PLB sebagai berikut:
a. Tunanetra (kelainan penglihatan)
b. Tunarungu (kelainan pendengaran)
c. Tunagrahita (kelainan kecerdasan/kecerdasan di bawah rata-rata)
d. Tunadaksa (kelainan anggota tubuh dan fungsinya)
e. Tunalaras (kelainan perilaku atau emosi dan sosial)
f. Tunaganda (kelainan lebih dari satu jenis)
g. Berkesulitan belajar (dislexsia, disgrafia, discalculia, dsb)
h. Berkecerdasan tinggi (gifted, talented, dsb)
i. Jenis kelainan lain seperti autisme, down syndrom, dan korban narkoba.
Bentuk satuan pendidikan luar biasa untuk setiap jenis kelainan terdiri atas:
a. Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB)
b. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
c. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB)
d. Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB)
Memperhatikan hal-hal di atas dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, pemerintah dan masyarakat telah menempuh berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas belajar mengajar terutama dalam mengatasi ketidakmerataan mutu Pendidikan Luar Biasa. Dalam hal ini perhatian terhadap kinerja dan kualitas guru merupakan upaya prioritas, karena guru merupakan ujung tombak dalam ikut serta meningkatkan mutu pendidikan. Di sisi lain, teknologi telah membantu manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya secara cepat dan antisipatif. Sebagaimana kita ketahui bahwa teknologi bukan hanya berupa peralatan atau perangkat keras, melainkan pula meliputi orang (human ware = the man behind the gun), proses atau prosedur penggunaanya (software dan hardware), serta struktur atau organisasi penyelenggaraannya. Dengan demikian dalam proses belajar mengajar yang menggunakan teknologi alat bantu pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus perlu dimasyarakatkan dikalangan guru dengan cara mengadakan sosialisasi baik yang mengkhususkan pada peningkatan kemampuan materi pelajaran maupun peningkatan kemampuan yang menyangkut strategi pembelajaran. Di samping itu lingkungan fisik yang dapat mengakses anak dalam bersosialisasi dengan sesamanya juga perlu diperhatikan dalam artian minimal harus disediakan oleh penyelenggara pendidikan baik pemerintah maupun swasta. Di samping itu efisiensi pengelolaan dan pendayagunaan sarana pendidikan yang mendukung proses belajar mengajar pada Pendidikan Luar Biasa, merupakan tantangan yang dihadapi, sehingga diperlukan satu strategi bagaimana melakukan efisiensi dan efektifitas dalam penanganannya. Langkah yang ditempuh antara lain melalui pengadaan sarana pendidikan baik oleh pemerintah maupun swasta dengan mengikuti standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan.
Perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan pengelolaan program penyelenggaraan SLB dapat dilakukan bersama-sama dengan masyarakat dalam wadah dewan sekolah/komite sekolah.
2. Pembinaan Ketenagaan
Keterlibatan masyarakat dalam hal ini dewan sekolah/komite sekolah diperlukan ketika sekolah tersebut sudah melaksananakn otonomi antara lain yang menyangkut pengelolaan sumber daya manusia dalam hal ini ketenagaan. Tenaga kependidikan yang berkualifikasi dan berkompetensi untuk memimpin suatu lembaga sekolah adalah kepala sekolah, yang pada dasarnya seorang kepala sekolah adalah seorang guru dengan tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Prinsip dasar seorang kepala sekolah adalah orang yang telah memenuhi persyaratan administratif dan edukatif serta memiliki jiwa dan kompetensi sebagai berikut:
Educator, yaitu seorang kepala sekolah adalah sebagai pendidik yang tangguh, cakap, cerdas, dan berwawasan keilmuan serta memiliki pengalaman lapangan yang cukup.
Motivator, seorang kepala sekolah merupakan orang yang bisa memotivasi bawahannya dalam hal ini guru, yaitu dalam melaksanakan proses pembelajaran, peningkatan disiplin dan melalukan pembinaan karier baik kepada guru maupun tenaga administrasi.
Administrator, yaitu kemampuan seorang kepala sekolah dalam mengelola proses administrasi penyelenggaraan suatu sekolah yang cukup luas cakupannya antara lain meliputi administrasi personal, KBM maupun sarana pendidikan.
Supervisor, yaitu kemampuan seorang kepala sekolah dalam mengawasi/mengendalikan pelaksanaan proses belajar mengajar, mengawasi berbagai aktifitas dan disiplin guru, serta kemampuan menganalisis dan mengevaluasi input, proses dan output penyelenggaraan pembelajaran di sekolah.
Memperhatikan beberapa kriteria tersebut, maka diperlukan seorang kepala sekolah yang mampu merumuskan visi dan misi suatu sekolah dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dalam prinsip MBS proses pengangkatan dan pengusulan calon Kepala Sekolah dapat dilakukan oleh masyarakat lingkungan sekolah yang terbentuk dalam wadah komite sekolah dan atau dewan sekolah. Mekanismenya mengikuti aturan prosedur pengangkatan yang ditetapkan oleh propinsi.
3. Pengembangan Kurikulum PLB dan Sistem Penilaian
Kurikulum yang berlaku di SLB masih menggunakan Kurikulum 1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini kurikulum yang berbasisi kompetensi sehingga mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing peserta didik sesuai dengan kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SLTPLB menitikberatkan pada program keterampilan 42 % dan SMLB menitikberatkan pada program keterampilan 62%. Pelaksanaannya di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana sekolah tersebut berada dan hal ini pun masih harus disesuaikan dengan keberadaan situasi dan kondisi lingkungan daerah masing-masing. Seabagai contoh:
Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya antara lain pengolahan hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat nelayan, misalnya merajut jaring, jala dan sebagainya;
Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan sebagainya.
Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif, percetakan, sablon, mengukir atau membatik.
4. Pembinaan Kesiswaan
Pembinaan kesiswaan pada SLB, pada dasarnya sama polanya dengan pembinaan pada sekolah umum, akan tetapi lebih menitik beratkan pada pembinaann khusus sesuai dengan kebutuhan anak didik, antara lain pembinaan mental, pembinaan sensor motorik, pembinaan kebugaran dan terapi penyembuhan.
UNESCO membahas dan mengusulkan paradigma baru pendidikan di Indonesia antara lain yang pertama mengubah paradigma teaching menjadi learning sehingga dengan perubahan ini proses pendidikan menjadi “proses bagaimana belajar bersama antara guru dan murid” dimana guru juga mengalami proses, dalam istilah Ivan Illich, lingkungan sekolah menjadi learning society (masyarakat belajar). Kedua learning to do (belajar berbuat/hidup), sistem ini aspek yang ingin dicapai adalah keterampilan anak didik dalam menyelesaikan problem keseharian. Ketiga learning to live together (belajar hidup bersama), disini pendidikan diarahkan kepada pembentukan seorang anak didik bahwa hidup dalam sebuah dunia yang global mengalami berbagai tantangan. Keempat learning to be (belajar menjadi diri sendiri), sistem ini menjadi sangat penting sebab masyarakat modern saat ini sedang dilanda krisis kepribadian. Keempat gagasan atau pemikiran tersebut merupakan kata kunci berupa learning how to learn (belajar bagaimana belajar), sehingga pendidikan tidak hanya berorientasi pada lingkungan, pengalaman, kekayaan alam tetapi dapat juga mengembangkan sikap kreatif dan imaginatif.
Pola ini juga dapat dilakukan pada proses pembelajaran siswa SLB sebab dengan menerapkan pola tersebut maka proses pembelajaran akan lebih meningkat dan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan luar biasa. Disamping itu wawasan Wiyatamandala bagi siswa SLB juga perlu dilaksanakan mengingat lingkungan sekolah luar biasa pada dasarnya sama dengan sekolah umum. Program bimbingan bagi siswa di lingkungan Ditjen Dikdasmen mengacu pada konsep Wiyatamandala, yaitu suatu lingkungan tempat pendidikan yang mempunyai makna sebagai berikut:
Sekolah harus benar-benar menjadi tempat diselenggarakannya proses belajar mengajar, tempat di mana ditanamkan nilai-nilai pandangan hidup dan keperibadian, agama, berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan;
Sekolah sebagai tempat dilaksanakannya proses belajar-mengajar harus diamankan dan dilindungi dari segala macam pengaruh yang bersifat negatif, yang dapat mengganggu pelaksanaan proses belajar mengajar;
Sekolah sebagai masyarakat belajar, tempat diselenggarakannya proses belajar mengajar, yaitu interaksi antara siswa, guru dan lingkungan sekolah. Dalam kehidupan sekolah terdapat peran berbagai unsur utama, yaitu: Kepala Sekolah, Guru, Orangtua dan Siswa serta fungsi lembaga sosial itu sendiri dalam lingkungan kehidupan masyarakat di mana sekolah itu berada.
5. Pengelolaan Sumber Dana
Sekolah bersama-sama dengan tokoh masyarakat dalam hal ini komite sekolah/ dewan sekolah dapat mencari, menggali, merencanakan dan memonitor penggunaan dana dalam rangka melaksanakan program yang telah disusun bersama. School Based Management adalah merupakan gagasan yang menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah sebagai satu entitas sistem, dalam format ini kepala sekolah dan guru-guru sebagai kelompok profesional, bermitra dengan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya, dianggap memiliki kapasitas untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi sekolah dalam upaya mengembangkan program-program sekolah yang diinginkan sesuai dengan visi dan misi sekolah.
Prinsip perencanaan anggaran sampai dengan penggunaan dan pertanggungjawaban dapat dilakukan bersama antara stake holders sekolah dengan masyarakat dalam hal ini dewan sekolah/komite sekolah.
Fungsi dasar suatu anggaran adalah sebagai suatu bentuk perencanaan, alat pengendalian, dan alat analisis. Penyusunan anggaran berangkat dari rencana kegiatan atau program yang telah disusun dan kemudian diperhitungkan berapa biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut, bukan dari jumlah dana yang tersedia dan bagaimana dana tersebut dihabiskan. Dengan rancangan yang demikian fungsi anggran sebagai alat pengendalian kegiatan akan dapat diefektifkan.
Langkah-langkah penyusunan anggaran yang dilakukan dan direncanakan bersama masyarakat meliputi:
a. Menginventarisasi rencana kegiatan yang akan dilaksanakan.
b. Menyusun rencana berdasar skala prioritas pelaksanaannya.
c. Menentukan program kerja dan rincian program.
d. Menetapkan kebutuhan untuk pelaksanaan rincian program.
e. Menghitung dana yang dibutuhkan.
f. Menentukan sumber dana untuk membiayai rencana.
Berbagai rencana yang dituangkan ke dalam Rencana dan Program Tahunan sekolah pada dasarnya untuk merealisasikan program sekolah, oleh karena itu anggaran yang diperlukan juga tercakup dalam Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Sekolah (APBS). Anggaran untuk rencana program MBS dapat berasal dari berbagai sumber dana. Prinsip efisiensi harus diterapkan dalam penyusunan rencana anggaran setiap program sekolah. Pada anggaran yang disusun perlu dijelaskan, apakan rencana program yang akan dilaksanakan merupakan hal yang baru atau merupakan kelanjutan atas kegiatan yang telah dilaksanakan dalam periode sebelumnya, dengan menyebutkan sumber dana sebelumnya.
Di dalam anggaran yang disusun harus memuat informasi/data minimal tentang:
Informasi rencana kegiatan : sasaran, uraian rencana kegiatan, penanggungjawab, rencana baru atau lanjutan.
Uraian kegiatan program : program kerja, rincian program.
Informasi kebutuhan : barang/jasa yang dibutuhkan, volume kebutuhan.
Data kebutuhan : harga satuan, jumlah biaya yang diperlukan untuk sekolah volume kebutuhan
Jumlah anggaran : jumlah anggaran untuk masing-masing rincian program, program, rencana program, dan total anggaran untuk seluruh rencana kegiatan periode terkait.
Sumber dana : total sumber dana, masing-masing sumber dana yang mendukung pembiayaan program.
Dalam pelaksanaan kegiatannya, jumlah yang direalisasikan bisa terjadi tidak sama dengan anggarannya (karena sesuai dengan kondisi pada saat transaksi), bisa kurang atau lebih dari jumlah yang telah dianggarkan. Realisasi keuangan yang tidak sama dengan anggaran, terutama yang cukup besar perbedaannya (jumlah material), harus dianalisis sebab-sebabnya dan apabila diperlukan dapat dilakukan revisi anggaran agar fungsi anggaran dapat tetap berjalan. Perbedaan antara realisasi pengeluaran dengan anggarannya bisa terjadi karena:
Adanya efisiensi atau inefisiensi pengeluaran;
Terjadi penghematan atau pemborosan;
Pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan yang telah diprogramkan;
Adanya perubahan harga yang tidak terantisipasi, atau
Penyusunan anggaran yang kurang tepat.
Sifat anggaran yang lain adalah bahwa anggaran bersifat luwes, artinya apabila dalam perjalanan pelaksanaan kegiatan ternyata harus dilakukan penyesuaian kegiatan, maka anggaran dapat direvisi dengan menempuh prosedur tertentu. Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi adalah:
a. Adanya suatu kegiatan program yang sebelumnya tidak dicantumkan di dalam proposal, sedangkan dilain pihak terdapat rencana kegiatan yang telah dicantumkan dalam proposal namun tidak jadi dilaksanakan karena suatu sebab. Apabila terjadi perubahan yang demikian, sekolah harus melaporkannya secara tertulis ke komite sekolah/dewan sekolah untuk mendatkan persetujuan tanpa melihat besarnya perubahan jumlah anggaran yang terjadi dan selanjutnya menginformasikan kepada Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota.
b. Perubahan yang tidak berkaitan dengan rencana kegiatan, hanya dalam komponen program atau aktivitas. Apabila terjadi perubahan komponen program atau aktivitas dan mengakibatkan perubahan alokasi biaya di atas 10% dari total anggaran program yang bersangkutan maka perubahan tersebut harus segera dilaporkan secara tertulis ke Komite Sekolah.
c. Perubahan berkaitan dengan perubahan komponen program atau aktivitas namun pergeseran/perubahan dana yang terjadi secara komulatif masih di bawah 10% dari total anggaran rencana kegiatan. Perubahan yang demikian tidak perlu dilaporkan segera tetapi cukup diberikan penjelasan dalam laporan pelaksanaan kegiatan dan keuangan program MBS yang disampaikan pada setiap semester.
Untuk lebih tertib dalam hal administrasi keuangan, apabila sekolah mengajukan beberapa rencana, maka setiap rencana hendaknya memiliki RAPBS sendiri (format Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja BS) dan selanjutnya dibuat dalam satu anggaran keseluruhan (Rencana Anggaran Pembiayaan BS Total) yang merupakan kompilasi dari seluruh anggaran yang dibuat oleh sekolah dalam satu tahun pelajaran.
6. Pengelolaan Sarana dan Fasilitas PLB
Pengelolaan sarana dan fasilitas pendidikan luar biasa mengacu pada prinsip pelayanan kepada masing-masing jenis kelainan anak dan memiliko spesifikasi tersendiri perjenis kelainan. Di samping itu lingkungan fisik yang dapat mengakses anak dalam bersosialisasi dengan sesamanya juga perlu diperhatikan dalam artian minimal harus disediakan oleh penyelenggara pendidikan baik pemerintah maupun swasta.
Pengelolaan dan pendayagunaan sarana pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan luar biasa baik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat yang menunjukkan adanya keterbatasan bahkan mungkin dapat disebut sangat minim keberadaannya. Di sisi lain masih terdapat dikotomi antara sekolah swasta dan negeri, mengingat bahwa sebagian besar sekolah luar biasa yang ada adalah milik swasta. Pengelolaan dan pendayagunaan sarana pedidikan yang menunjang proses belajar mengajar masih kurang efektif dan efisien.
Pengelolaan dan pendayagunaan sarana pendidikan yang mendukung proses belajar mengajar pada Pendidikan Luar Biasa, yang berprinsip efisiensi diperlukan satu strategi bagaimana melakukan efektifitas dalam penangannya. Pengadaan sarana pendidikan dan fasilitas pendukung baik oleh pemerintah maupun swasta dilakukan dengan mengikuti standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan. Penggunaan dan pendayagunaan sarana pendidikan dapat dilakukan secara simultan antar sekolah, demikian juga koordinasi antar pengelola sekolah dalam hal pendayagunaan sarana pendidikan dalam proses belajar mengajar.
Penyediaan sarana pendidikan yang mendukung proses belajar mengajar pendidikan luar biasa adalah bagaimana memberikan layanan pendidikan bukan hanya kepada mereka yang memiliki kelainanan namun juga kepada mereka yang memiliki kecerdasan luar biasa (gifted), korban narkoba dan autis.
Sarana pendidikan yang digunakan dalam proses pembelajaran di SLB di samping menggunakan alat pendidikan khusus juga menggunakan sarana lingkungan fisik berupa aksesibilitas fisik, sehingga siswa dapat berlatih mandiri dalam kehidupan masyarakat. Pendayagunaan aksesisibilitas fisik dan alat pendidikan khusus diharapkan akan mendorong dan mempercepat upaya peningkatan mutu pendidikan luar biasa sesuai dengan harapan.
7. Pengelolaan Lingkungan
Untuk mewujudkan kondisi yang kondusif di sekolah-sekolah luar biasa, perlu diciptakan lingkungan yang harmonis dan menyenangkan, sehingga semua warga belajar merasa betah berada di sekolah. Sisi lain yang perlu mendapat perhatian adalah terbinanya wawasan wiyatamandala yang melibatkan semua warga sekolah turut bertanggungjawab untuk mewujudkan lingkungan yang kondusif dalam proses pembelajaran, antara lain pemeliharaan halaman/lingkungan sekolah, sarana/prasarana sanitasi dan keamanan sekolah. Selanjutnya pengelolaan lingkungan belajar siswa meliputi sebagai berikut:
Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang dapat melaksanakan fungsinya, yaitu mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat menusia seutuhnya melalui pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar.
Keberhasilan mutu pendidikan sangat tergantung dari proses belajar mengajar yang merupakan sinergi dari komponen-komponen pendidikan baik dari kurikulum, tenaga pendidikan, sarana prasarana, lingkungan yang aksesibel, sistem pengelolaan maupun berupa faktor lingkungan alamiah dan lingkungan sosial dengan peserta didik sebagai subyeknya.
Alat pendidikan khusus dan lingkungan yang aksesibel merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan kegiatan belajar mengajar dan merupakan sumber belajar yang cukup signifikan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Namun pada kenyataan di lapangan sumber belajar belum dimanfaatkan oleh guru secara optimal. Kondisi demikian tentu kurang menguntungkan bagi peningkatan kualitas proses dan hasil belajar mengajar di sekolah.
Dengan demikian salah satu isu utama yang perlu diangkat ke permukaan dan dijawab dengan sungguh-sungguh adalah bagaimana mengoptimalkan pendayagunaan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar auntuk menuju pendidikan luar biasa yang lebih berkualitas.
8. Kerjasama dan Partisipasi Masyarakat Dalam Wadah Komite Sekolah/ Dewan Sekolah
Kehadiran suatu lembaga khusus dalam konteks pengelolaan pendidikan sekolah dengan pendekatan manajemen berbasis sekolah sangat diperlukan. Sebagai wadah keterlibatan masyarakat lingkungan sekolah sesuai Kepmendiknas No. 044/U/2002 tgl 2 April 2002 telah dibentuk lembaga Komite Sekolah atau Dewan Sekolah.
Komite sekolah adalah lembaga/badan khusus yang dibentuk berdasarkan musyawarah yang demokratis oleh para stakeholder pendidikan luar biasa di tingkat sekolah sebagai representasi dari berbagai unsur yang bertanggung jawab terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah luar biasa. Komite ini bertempat di sekolah masing-masing dan dikelola oleh ketua komite yang dibantu oleh para stekeholder yang berkolobarasi dengan solid untuk meningkatkan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas tinggi guna mewujudkan tujuan penyelenggaraan pendidikan luar biasa dan salah satu kontribusi dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat.
Komite sekolah secara khusus memiliki peran dalam pengguliran model pendekatan MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah) dalam rangka otonomi pendidikan dan menjadi patner kemitraan kepemimpinan kepala sekolah. Pola pengelolaan pendidikan semacam ini nantinya tugas-tugas birokrat dibidang pendidikan.
Komite sekolah bertugas sebagai bentuk kontrol msyarakat yang peduli terhadap penyelenggaraan pendidikan luar biasa antara lain dalam hal pengadaan sarana prasarana, penggalangan dana operasional, aktif dan mengetahui alur penerimaan dan penyaluaran berbagai bantuan dan dana dari pemerintah pusat maupun provinsi.
BAB IV
PENUTUP
Pergeseran pendekatan manajemen berbasis sekolah khususnya bagi SLB jelas memerlukan penyesuaian-penyesuaian, baik secara teknis maupun kultural. Penyesuaian secara teknis dapat dilakukan melalui penataran, lokakarya, seminar dan diskusi tentang MBS. Sedang penyesuaian secara kultural dapat dilakukan melalui penanaman pemikiran, tindakan, kebiasaan, hingga sampai terbentuk karakter MBS kepada semua warga sekolah.
Sebagai sebuah konsep dan pemikiran tentang Manajemen Berbasis Sekolah pada SLB merupakan hal baru dan tidak secara otomatis berjalan sempurna, oleh karena itu perlu masukkan yang berharga.
Pedoman Teknis Bangunan SLB | Manajemen Berbasis Sekolah | Rancangan SI PLB | Standar Pelayanan Minimal | Sekolah Yang Ramah | Pedoman Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar.
Artikel:
Manajemen Berbasis Sekolah
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum.
Nama & E-mail (Penulis): Agus Dharma
Saya Staf Administrasi di Pusdiklat Depdiknas
Tanggal: 30 April 2003
Judul Artikel: Manajemen Berbasis Sekolah
Topik: MBS
Manajemen Berbasis Sekolah
BELAJAR DARI PENGALAMAN ORANG LAIN
Agus Dharma
Pusdiklat Pegawai Depdiknas
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan "baru" dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa nirdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manfaat MBS
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakan-nya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut(Kathleen, ERIC_Digests, downloaded April 2002).
. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
Pengaruh MBS Terhadap Peran Pemerintah Pusat, Daerah, dan Dewan Sekolah.
Apa pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan sekolah?
Penerapan MBS dalam sistem yang pemerintahan yang masih cenderung terpusat tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa penerapan MBS akan sangat sulit jika para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman besar.
MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mecakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan sebagainya. Penerapan standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (dinas pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus mampu memberikan ban tuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah. Ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.
Dalam rangka penerapan MBS di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya), sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.
Pengambilan Keputusan di Tingkat Sekolah.
Di Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang disebut dewan manajemen sekolah (school management council). Dewan ini beranggotakan kepala sekolah, wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa tempat juga anggota masyarakat lainnya, staf administrasi, dan wakil murid di tingkat sekolah menengah. Dewan ini melakukan analisis kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang memuat tujuan dan sasaran terukur yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah di tingkat distrik.
Di beberapa distrik, dewan manajemen sekolah mengambil semua keputusan pada tingkat sekolah. Di sebagian distrik yang lain, dewan ini memberi pendapat kepada kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya. Kepala sekolah memainkan peran yang besar dalam proses pengambilan keputusan, apakah sebagai bagian dari sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.
Dalam hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.
Setiap sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang dialokasikan kepada mereka untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan pemeliharaan. Kemungkinan variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat terjadi dan tidak perlu disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya, di sebagian daerah, sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun berikutnya atau dialihkan ke program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan cara ini, didorong adanya perencanaan jangka panjang dan efisiensi.
Syarat Penerapan MBS
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup "seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya."
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.
Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut.
. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
Hambatan Dalam Penerapan MBS
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut.
Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit "pikiran kelompok." Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
MBS dan Prestasi Belajar Murid
MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.
Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar muird. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, downloaded April 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasi-kan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.
Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula.
Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.
Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.
Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih kolegial dan lebih sedikit murid yang bermasalah.
Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.
Kenapa MBS Tidak Berpengaruh Terhadap Prestasi Belajar?
Dalam praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka seringkali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang baru.
Acapkali, Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran. Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan murid ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran kepemimpinan pendidikannya diabaikan.
Namun, kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu. Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya. Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.
Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi Belajar?
MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung gugat atas kinerja mereka.
Penerapan MBS yang efektif seyogianya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.
Pertanyaannya, sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk melakukan perubahan.
SUMBER ACUAN
American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals. School-Based Management: A Strategy for Better Learning. Arlington, Virginia: 1988.
David Peterson, School-Based Management and Student Performance, http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed336845.html
Kathleen Kubick, School-Based Management, http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed301969.html
Saya Agus Dharma setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .
http://pakguruonline.pendidikan.net
Rabu, 24 Desember 108 15:44
MANAJEMEN PENINGKATAN
MUTU BERBASIS SEKOLAH
( MPMBS )
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Pengertian
C. Tujuan
D. Alasan Diterapkannya
MPMBS
BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian
B. Pola Bary Manajemen
Pendidikan Masa depan
C. Konsep Dasar MPMBS
D. Karakteristik MPMBS
1. Output yang diharapkan
2. Proses
E. Fungsi-Fungsi yang
Didesentralisasakan ke
Sekolah
1. Pengelolaan Proses
Belajar Mengajar
2. Perencanaan dan Evaluasi
3. Pengelolaan Kurikulum
4. Pengelolaan Ketenagaan
5. Pengelolaan Fasilitas
6. Pengelolaan Keuangan
7. Pelayanan Siswa
8. Hubungan Sekolah
Masyarakat
9. Pengelolaan Iklim
Sekolah
F. Prakondisi MPMBS
BAB III
KONSEP PELAKSANAAN
A. Rasional dan Tujuan
B. Tahap-tahap Pelaksanaan
1. Melakukan Sosialisasi
2. Merumuskan Visi, Misi,
Tujuan, dan Sasaran
Sekolah
3. Mengidentifikasi Fungsi-
Fungsi yang Diperlukan
untuk Mencapai Sasaran
4. Melakukan Analisis
SWOT.
5. Alternatif Langkah Peme-
cahan Persoalan.
6. Menyusun Rencana Pe-
ningkatan Mutu.
7. Melaksanakan Pening-
katan Mutu.
8. Melakukan Monitoring
dan Evaluasi Pelaksana-
an.
9. Merumuskan Sasaran
Mutu Baru.
C. Tugas dan Fungsi Jajaran
Birokrasi.
1. Direktorat PLP
2. Dinas Pendidikan Propin-
si.
3. Dinas Pendidikan Kabu-
paten/Kota.
4. Sekolah.
BAB IV
KONSEP MONITORING DAN EVALUASI
A. Rasional dan Tujuan
B. Komponen-komponen
MPMBS yang Dimonitor dan
Dievaluasi
C. Jenis Monitoring dan Evalu-
asi
BAB V
PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.
Berdasarkan masalah ini, maka berbagai pihak mempertanyakan apa yang salah dalam penyelenggaraan pendidikan kita?. Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak menagalami peningkatan secara marata.
Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education function atau input-output analisys yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya, dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi. Mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan educational production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
Faktor kedua, penyelenggaran pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggaraan pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Sekolah lebih merupakan subordinasi birokrasi diatasnya sehingga mereka kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas/inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.
Faktor ketiga, peranserta warga sekolah khususnya guru dan pranserta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering diabaikan, pada hal terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah sangat tergantung pada guru. Dikenalkan pembaruan apapun jika guru tidak berubah, maka tidak akan terjadi perubahan di sekolah tersebut. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya sebatas pada dukungan dana, sedang dukungan-dukungan lain seperti pemikiran, moral dan barag/jasa kurang diperhatikan. Akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat juga lemah. Sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggung jawabkan hasil pelaksnanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan (stakeholdir).
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut diatas, tentu saja perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.
B. Pengertian
Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb.) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku (Catatan : MPMBS tidak dubenarkan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku).
Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang tentu saja, lebih berdaya dalam mengembangkan dalam mengembangkan program-program yang, tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal. Demikian juga dengan partisipasi/ pelibatan warga sekolah dan masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan sekolah, maka rasa memiliki mereka terhadap selolah dapat ditingkatkan. Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab, dan peningkatan rasa tanggung jawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah dan masyarakat terhadap sekolah. Inilah esensi partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam pendidikan. Baik peningkatan otonomi sekolah, fleksibelitas pengelolaan sumberdaya sekolah maupun partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaran sekolah tersebut kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan peundang-undangan yang berlaku.
MPMBS merupakan bagian dari manajemen bebasis sekolah (MBS). Jika MBS bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efesiensi, inovasi, relevansi, dan pemeratan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa mutu pendidikan nasional kita saat ini sangat memprihatinkan sehingga memerlukan perhatian. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa mutu pendidikan nasional kita saat ini sangat memperhatinkan sehingga memerlukan perhatian yang lebih serius. Itulah sebabnya MPMBS lebih ditekankan dari pada MBS untuk saat ini. Pada satnya nanti MPMBS akan menjadi MBS.
C. Tujuan
MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Lebih rincinya, MPMBS bertujuan untuk :
Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibelitas, partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, sustainbilitas, dan inisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia.
Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya, dan
Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
D. Alasan Diterapkannya MPMBS
MPMBS diterapkan karena beberapa alasan berikut :
Dengan pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah, maka sekolah akan lebih inisiatif/kreatif dalam meningkatkan mutu sekolah.
Dengan pemberian fleksibelitas/keluesan-keluesan yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdayanya, maka sekolah akan lebih luwes dan lincah dalam mengadakan dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah.
Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.
Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya. Khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya.
Penggunaan sumberdaya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat.
Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.
Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga dia akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan.
Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat, dan
Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat.
BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian Mutu Pendidikan
Secara umum, mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan.
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsunnya proses. Input sumber daya meliputi sumberdaya manusia (kepala sekolah, guru termasuk guru BP, karyawan, siswa) dan sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, bahan, dsb.). Input perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana, program, dsb. Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan, dan sasaran- sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut.
Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan bersekala mikro (ditingkat sekolah), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses yang dimaksud adalah proses pengembilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi dibanding dengan proses- proses lainnya.
Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan dsb) dilakukan secara harmonis, sehingganya mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Kata memberdaykan mengandung arti bahwa peserta didik tidak sekadar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi pengetahuan tersebut juga telah menjadi muatan nurani peserta didik, dihayati, diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan lebih penting lagi peserta didik tersebut mampu belajar secara terus menerus (mampu mengembangkan dirinya).
Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efesiendinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output sekolah dikatakan berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khusunya prestasi belajar siswa, menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam : (1) prestasi akademik, berupa nilai ulangan umum EBTA, EBTANAS, karya ilmiah, lomba akademik, dan (2) prestasi non-akademik, seperti misalnya IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olah raga, kesnian, keterampilan kejujuran, dan kegiatan-kegiatan ektsrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan (proses) seperti misalnya perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
B. Pola Baru Manajemen Pendidikan Masa Depan
Bukti-bukti empirik lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional dan digulirkannya otonomi daerah, telah mendorong dilakukannya penyesuaikan diri dari pola lama manjemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan yang lebih bernuangsa otonomi dan yang lebih demokratis. Tabel I. berikut menunjukkan dimensi- dimensi perubahan pola manajemen, dari yang lama menuju yang baru.
Tabel 1 : Dimensi-dimensi Perubahan Pola Manajemen Pendidikan
POLA LAMA
MENUJU
POLA BARU
Subordinasi
===è
Otonomi
Pengambilan keputusan terpusat
===è
Pengambilan keputusan partisipasif
Ruang gerak kaku
===è
Ruang gerak luwes
Pendekatan birokratik
===è
Pendekatan profesional
Sentralistik
===è
Disentralistik
Diatur
===è
Motivasi
Overegulasi
===è
Deregulasi
Mengontrol
===è
Mempengaruhi
Mengarahkan
===è
Memfasilitasi
Menghindari resiko
===è
Mengelola resiko
Gunakan uang semuanya
===è
Gunakan uang seefesien
Individual yang cerdas
===è
Teamwork yang cerdas
Informasi terpribadi
===è
Informasi terbagi
Pendelegasian
===è
Pemberdayaan
Organisasi herakis
===è
Organisasi datar
Berikut dijelaskan secara singkat Tabel 1. Pada pola lama, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program dari pada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah. Sedang pada Pola Baru, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipasif dab partisipasi masyarakt makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah didorong oleh motivasi diri sekolah dari pada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana peranan pusat bergesr dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi mengolah resiko, pengunaan uang lebih efesien karena sisa anggaran tahun ini dapat digunakan untuk anggaran tahun depan (Effesiensi-based budgeting), lebih mengutamakan teamwork, informasi terbagi ke semua warga sekolah, lebih mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organisasi lebih datar sehingga lebih efesien.
Pada dasarnya, MPMBS dijiwai oleh Pola Baru manajemen pendidikan masa depan sebagaimana diilustrasikan pada Tabel 1. Lebih rincinya konsep dasar dan karakteristik MPMBS dapat diuraikan sebagai berikut.
C. Konsep dasar MPMBS
Seperti ditulis pada BAB I butir B, MPMBS dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan fleksibilitas/keluwesan lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumber daya sekolah, dan mendorong sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Karena itu, esensi MPMBS = otonomi + fleksibelitas + partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemadirianm, yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemadirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya swasembada, swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan sendiri beradasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri.
Flesibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasan untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian, keluwesan- keluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundang- undangan yang ada.
Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dsb) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memilik, makin bsar pula rasa tanggung jawab; dan makin besar rasatanggung jawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangka keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerjasama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriyah kebersamaan /kolektif untuk meningkatkan mutu sekolah. Kerjasama sekolah yang baik ditunjukan oleh hubungan antar warga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil kolektif teamwork yang kuat dan cerdas. Akuntabilitas sekolah adalah pertanggung jawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Sedangkan demokrasi pendidikan adalah kebebasan yang terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan , hak azazi manusia serta kewajiban dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan pengertian diatas, maka sekolah memiliki kewengan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibelitas pengelolaan sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit diatasnya (Dinas pendidikan Kabupaten/ Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan pelayanan sekolah dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Sekolah yang mandiri atau berdaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut; tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan ansipatif/proaktif sekaligus; memiliki jiwa kewirausahaan tinngi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dan sebagainya; bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya. Selanjutnya, bagi sumberdaya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki ciri-ciri pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggung jawab, pekerjaan memiliki kontribusi, dia tahu posisinya dimana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaan, dan pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
Contoh tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan warga sekolah adalah; pemberian kewenangan, pemberian tanggung jawab, pekerjaan yang bermakna, pemecahan masalah sekolah secara “teamwork”, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerja sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumberdaya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang memiliki martabat tertinggi.
D. Karakteristik MPMBS
MPMBS memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam menerapkan MPMBS, maka sejumlah karakteristik MPMBS berikut perlu dimiliki. Berbicara karakteristik MPMBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Jika MPMBS merupakan wadah/kerangka, maka sekolah efektif merupakan isinya. Oleh karena itu, karakteristik MPMBS berikut memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses dan output.
Dalam menguraikan karakteristik MPMBS, pendekatan sistem yaitu input-proses-output digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah merupakan sebuah sistem, sehingga penguraian karakteristik MPMBS (yang juga karakteristik sekolah efektif) mendasarkan kepada input, proses, dan output. Selanjutnya, uraian berikut dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedangkan proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output, dan input memiliki tingkat lebih rendah dari output
1. Output yang diharapkan
Sekolah harus memiliki output yang diharapkan. Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Pada umumnya, output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi akademik (academic, achivement) dan ouput berupa prestasi non-akademik (non-academic achivement). Output prestasi akademi misanya, NEM, lomba karya ilmiah remaja, lomba (Bahasa Inggris, Matematika, Fisika), cara-cara berfikir (kritis, kreatif/divergen, nalar, rasional, induktif, deduktf, dan ilmiah). Output non-akademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedipsiplinan, kerajinan prestasi oleh raga, kesenian, dan keptamukaan.
2. Proses
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses sebagai berikut :
a. Proses Belajar Mengajar yang Efektivitasnya Tinggi
Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki efektivitas proses belajar mengajar (PBM) yang tinggi. Ini ditujukkan oleh sifat PBM yang menekankan pada pemberdayaan peserta didik PBM bukan sekadar memorisasi dan recall, bukan sekadar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos) akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan hayati (ethos) serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik (pathos). PBM yang efektif juga lebih menekankan pada belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learnig to be)
b. Kepemimpinan Sekolah yang Kuat
Pada sekolah yang menerapkan MPMBS, kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumberdaya pendidikan yang tersdia. Kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimipinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Secara umum, kepala sekolah tangguh memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya sekolah, terutama sumberdaya manusia, untuk mencapai tujuan sekolah.
c. Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib
Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning). Karena itu, sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman tertib melalui (pengupayaan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut. Dalam hal ini, peranan kepala sekolah sangat penting sekali.
d. Pegelolaan Tenaga Kependidikan yang efektif
Tenaga kependidikan, terutama guru, merupakan jiwa dari sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah. Sekolah yang menerapkan MPMBS menyadari tentang hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi seorang kepala sekolah. Terlebih-lebih pada pengembangan tenaga kependidikan, ini harus dilakukan secara terus-menerus mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Pendeknya tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menyukseskan MPMBS adalah tenaga kependidikan yang mempunyai komitmen tinggi, selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.
e. Sekolah memiliki Budaya Mutu
Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga sekolah, sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh profesionalisme. Budaya mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut ; (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (rewards) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk kerjsama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaan; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah.
f. Sekolah memiliki “Teamwork” yang kompak, Cerdas, dan Dinamis
Kebersaman (teamwork) merupakan karateristik yang dituntut oleh MPMBS, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah.
g. Sekolah memiliki Kewenangan (kemandirian)
Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi sekolahnya, sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri, sekolah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugasnya.
h. Partisipasi yang Tinggi dari Warga dan Masyarakat
Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat prestasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa-memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula tingkat dedikasinya.
i. Sekolah memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen
Keterbukaan/transparansi dalam pengelolan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan MPMBS, Keterbukaan/transparansi ini ditunjukan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagai alat kontrol.
j. Sekolah memiliki Kemauan untuk Berubah (psikologis dan pisik)
Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua warga sekolah. Sebaliknya, kemapanan merupakan musuh sekolah. Tentu saja yang dimaksud perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik maupun psikologis. Artinya, setiap dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik.
k. Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan.
Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan meyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus-menerus merupakan kebiasan warga sekolah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sistem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur organisasi, tanggung jawab, prosedur, proses dan sumberdaya untuk menerapkan manajemen mutu.
l. Sekolah Responsi dan antisipatif terhadap Kebutuhan
Sekolah selalu tanggap /responsif terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selalu membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/ tuntutan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput bola, adalah padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif.
m. Memiliki Komunikasi yang baik
Sekolah yang efektif umumnya memiliki komunikasi yang baik terutama antar warga sekolah, dan juga sekolah-masyarakat sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing warga sekolah dapat diketahui. Dengan cara ini, maka keterpaduan semua kegiatan sekolah dapat diupayakan untuk mencapai tujuan dan sasaran sekolah yang telah di patok. Selain itu komunikasi yang baik juga akan membentuk teamwork yang kuat, kompak dan cerdas, sehingga berbagai kegitan sekolah dapat dilakukan secara merata oleh warga sekolah.
n. Sekolah memiliki Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggung jawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestsi yang dicapaikan dan dilaporkan kepada pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program ini, pemerintah dapat menilai apakah program MPMBS telah mencapai tujuan yang dukehendaki atau tidak. Jika berhasil, maka pemerintah perlu membersihkan maka pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan kinerjanya di masa yang akan datang. Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka pemerintah perlu memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerjanya yang dianggap tidak memenuhi syarat. Demikian pula, para orang tua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian apakah program ini dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja sekolah secara keseluruhan. Jika berhasil, maka orang tua peserta didik perlu memberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program yang akan datang. Jika kurang berhasil, maka orang tua siswa dan masyarakat berhak meminta pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan program MPMBS yang telah dilakukan.Dengan cara ini, maka sekolah tidak akan main-main dalam melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan datang.
o. Sekolah memiliki Kemampuan Manajemen Sustainabilitas
Sekolah yang efektif juga memiliki kemampuan untuk menjaga kelangsungan hidupnya (sustainabilitasnya) baik dalam program maupun pendanaannya. Sustainabilitas program dapat dilihat dari keberlanjutan program-program yang telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi program-program baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sustainabilitas pendanan dapat ditunjukan oleh kemampuan sekolah dalam mempertahankan besarnya dana yang dimiliki dan bahkan makin besar jumlahnya. Sekolah memiliki kemampuan menggali sumberdana dari masyarakat, dan tidak sepenuhnya menggantungkan subsidi dari pemerintah bagi sekolah-sekolah negeri.
3. Input Pendidikan
a. Memiliki Kebijakan, Tujuan dan Sasaran Mutu yang jelas
Secara formal, sekolah menyatakan dengan jelas tentang keseluruhan kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu tersebut dinyatakan oleh kepala sekolah. Kebijakan, tujuan dan sasaran mutu tersebut disosialisasikan kepada semua warga sekolah, sehingga tertanam pemikiran, tindakan, kebiasaan, hingga sampai pada kepemilikan karakter mutu oleh warga sekolah.
b. Sumberdaya Tersedia dan Siap
Sumberdaya merupakan input penting yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumberdaya yang memadai, proses pendidikan di sekolah tidak akan berlangsung secara memadai, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumberdaya dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (uang peralatan, perlengkapan, bahan, dsb) dengan penegasan bahwa sumberdaya selebihnya tidak mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa campur tangan sumberdaya manusia.
Secara umum, sekolah yang menerapkan MPMBS harus memiliki tingkat kesiapan sumberdaya yang memadai untuk menjalanlan proses pendidikan. Artinya, segala sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan proses pendidikan harus tersedia dan dalam keadaan siap. Ini bukan berarti bahwa sumberdaya yang ada harus mahal, akan tetapi sekolah yang bersangkutan dapat memanfaatkan keberadaan sumberdaya yang ada dilingkungan sekolahnya. Karena itu, diperlukan kepala sekolah yang mampu memobilisasi sumberdaya yang ada disekitarnya.
c. Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi
Meskipun pada butir (b) telah disinggung tentang ketersedian dan kesiapan sumberdaya manusia (staf), namun pada butir ini perlu ditekankan lagi karena staf merupakan jiwa sekolah. Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki staf yang mampu (kompoten) dan berdedikasi tinggi terhadap sekolahnya. Implikasinya jelas, yaitu, bagi sekolah yang ingin efektifitasnya tinggi, maka kepemilikan staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi merupakan keharusan.
d. Memiliki Harapan Prestasi yang tinggi
Sekolah yang menerapkan MPMBS mempunyai dorongan dan harapan yang tinggi untuk meningkatkan prestasi peserta didik dan sekolahnya. Kepala sekolah memiliki komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatkan mutu sekolah secara optimal. Guru memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa anak didiknya dapat mencapai tingkat yang maksimal, walaupun dengan segala keterbatasan sumberdaya pendidikan yang ada disekolah.
Sedang peserta didik juga mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan diri untuk berprestasi sesuai dengan bakat dan kemampuaannya. Harapan tinggi dari ketiga unsur sekolah ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sekolah selalu dinamis untuk selalu menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.
e. Fokus pada Pelanggan (khususnya Siswa)
Pelanggan , terutama siswa, harus merupakan fokus dari semua kegiatan sekolah. Artinya, semua input dan proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik. Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan input dan proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan dari siswa.
f. Input manajemen
Sekolah yang menerapkan MPMBS memiliki input manajemen yang memadai untuk menjalankan roda sekolah. Kepala sekolah dalam mengatur dan mengurus sekolahnya menggunakan sejumlah input manajemen. Kelengkapan dan kejelasan input manajemen akan membantu kepala sekolah mengelola sekolanya dengan efektif. Input manajemen yang dimaksud meliputi; tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sitematis, program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan-ketentuan (aturan main) yang jelas sebagai panutan bagi warga sekolahnya untuk bertindak, dan adanya sistem pengendalian mutu yang efektif dan efisien untuk meyakinkan agar sasaran yang telah disepakati dapat dicapai.
E. Fungsi-fungsi yang Didesentralisasikan ke Sekolah
Secara umum, pergeseran dimensi pendidikan dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah telah diuraikan pada Butir A. Secara lebih spesifik, pertanyaannya adalah: “Fungsi-fungsi apa sajakah yang perlu didesentralisasikan ke sekolah?” Pada dasarnya Undang-undang Nomor 22 tentang Pemerintah Daerah (Otonomi Daerah) tahun 1999 beserta sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pedoman pelaksanan terutama PP. No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah, Propinsi dan Kabupaten/Kota, harus digunakan sebagai referensi /patokan. Dengan demikian , pendesentralisasian fungsi-fungsi pendidikan tidak akan merubah peraturan perundang-undangan yang ada. Namun demikian, sampai saat ini belum ada resep yang pasti tentang hal ini, karena seperti kita ketahui, otonomi pendidikan sedang bergulir dan sedang mencari formatnya, sehingga secara peraturan perundang-undangan (legal aspect) belum dimiliki, tugas dan fungsi sekolah dalam era otonomi saat ini. Sementara. Menunggu “legal aspect” yang akan diberlakukan kelak, fungsi-fungsi sekolah yang semula dikerjakan oleh Pemerintah Pusat/Dinas Pendidikan Propinsi /Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten, sebagian dari fungsi dapat dilakukan oleh sekolah secara professional. Artinya, suatu fungsi tidak dapat dilimpahkan sepenuhnya ke sekolah, sebagian masih merupakan porsi kewenangan Pemerintah Pusat, sebagian porsi kewenangan Dinas Propinsi, sebagian porsi kewenangan Dinas Kabupaten/Kota, dan sebagian porsi lainnya yang dilimpahkan ke sekolah. Adapun fungsi-fungsi yang sebagian porsinya dapat digarap oleh sekolah dalam kerangka MPMBS ini meliputi: (1) proses belajar menagajar, (2) perencanaan dan evaluasi program sekolah, (3) pengelolaan kurikulum, (4) pengelolaan ketenagaan, (5) pengelolaan peralatan dan perlengkapan, (6) pengelolaan keuangan, (7) pelayanan siswa, (8) hubungan sekolah-masyarakat, dan (9) pengelolaan iklim sekolah.
1. Pengelolaan Proses belajar Mengajar
Proses belajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya yang tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran dan pengajaran yang berpusat pada siwa (student centered) lebih mampu memberdayakan pembelajaran yang menekankan pada keaktifan belajar siswa, bukan pada keaktifan mengajar guru. Oleh karena itu cara-cara belajar siswa aktif seperti misalnya active learning, cooperative learning, dan quantum learning perlu diterapkan.
2. Perencanaan dan Evaluasi
Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya (school-based plan). Kebutuhan yang dimaksud misalnya, kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah. Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan berdasarkan hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian sekolah membuat rencana peningkatan mutu.
Sekolah diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evalusi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.
3. Pengelolaan Kurikulum
Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum standar yang berlaku secara nasionl. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam implementasinya, sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, dan memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Sekolah dibolehkan memperdalam kurikulum, artinya, apa yang diajarkan boleh dipertajam dengan aplikasi yang bervariasi. Sekolah juga dibolehkan memperkaya apa yang diajarkan, artinya apa yang diajarkan boleh diperluas dari yang harus, dan seharusnya, dan yang dapat diajarkan. Demikian juga, sekolah dibolehkan memodifikasi kurikulum, artinya apa yang diajarkan boleh dikembangkan agar lebih kontekstual dan selaras dengan karakteristik peserta didik. Selain itu, sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.
4. Pengelolaan Ketenagaan
Pengelolaan ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sangsi (reward and punishment), hubungan kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dsb) dapat dilakukan oleh sekolah kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri, yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi diatasnya.
5. Pengelolan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)
Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
6. Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama pengelokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpihkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income generating activities), sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
7. Pelayanan Siswa
Pelayanan siswa, mulai dari peneriman siswa baru, pengembangan/pembinaan/ pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, hingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah didesentralisasikan. Karene itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.
8. Hubungan Sekolah Masyarakat
Esensi hubungan sekolah-masyrakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finasial. Dalam arti yang sebenarnya hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstesitas hubungan sekolah-masyarakat.
9. Pengelolaan Iklim Sekolah
Iklim sekolah (fisik dan non fidik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewengan sekolah, sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstentif.
INPUT
PROSES
OUTPUT
PERENCANAAN & EVALUASI
KURIKULUM
KETENAGAAN
PROSES BELAJAR
MENGAJAR
PRESTASI
SISWA
FASILITAS
>
>
KEUANGAN
KESISWAAN
HUBUNGAN SEKOLAH-MASYARAKAT
IKLIM SEKOLAH
Gambar. 1 Fungsi-fungsi yang disentralisasikan ke Sekolah
F. Prakondisi MPMBS
Bagi sekolah yang akan menerapkan MPMBS perlu menyiapkan persyaratan berikut. Persyaratan berikut bukan dimaksudkan untuk menghambat sekolah yang tidak memenuhinya. Namun persyaratan berikut lebih merupakan petunjuk penyiapan bagi sekolah-sekolah yang akan menerapkan MPMBS. Jika suatu sekolah hanya memenuhi sebagian persyaratan, maka sekolah tersebut tetap bisa menerapkan MPMBS sambil melengkapi persyaratan berikut. Persyaratan berikut bukan harga mati, akan tetapi lebih merupakan petunjuk yang masih terbuka untuk dimodifikasi, dikurangi atau ditambah sesuai dengan karakteristik sekolah dan masyarakat sekitarnya. Adapun persyaratan- persyaratan yang dimaksud adalah :
Kapasitas kelembagaan yang memadai untuk menrapkan MPMBS, seperti misalnya manajemen sekolah yang memadai, kesiapan sumberdaya manusia dan umberdaya selebihnya (dana, peralatan, perlengkapan, bahan, dsb)
Budaya yang kondusif bagi penyelenggaraan MPMBS, yaitu penghargaan terhadap perbedaan pendapat, menjunjung tinggi hak asasi manusia, musyawarah-mufakat dapat dilaksanakan, demokrasi pendidikan dapat disadarkan akan pentingnya pendidikan, dan masyarakat dapat digerakkan untuk mendukung MPMBS.
Sekolah memiliki kemampuan membuat kebijakan, rencana, dan program sekolah untuk menyelenggarakan MPMBS.
Sekolah memiliki sistem untuk mempromosikan akuntabilitas sekolah terhadap publik, sehingga sekolah akan merupakan bagian dari masyarakat dan bukannya sekolah berada dimasyarkat.
Dukungan pemerintah pusat dan daerah yang ditunjukan oleh pemberian pengarahan dan pembimbingan, baik dalam bentuk pedoman pelaksanaan, petunjuk pelaksanan dan lain-lain yang diperlukan untuk kelancaran penyelenggaraan MPMBS.
BAB III
KONSEP PELAKSANAAN
A. Rasional dan Tujuan
Konsep Manajemen Peningkatan Berbasis Sekolah (MPMBS), sebagaimana telah diuraikan diatas esensinya adalah peningkatan otonomi sekolah, peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan peningkatan fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah. Konsep ini membawa konsekuensi bahwa pelaksanaan MPMBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan “idiograpik” (membolehkan adanya keberbagian cara melaksanakan (MPMBS) dan bukan lagi menggunakan pendekaan “nomotetik” (cara melaksanakan MPMBS yang cenderung seragam/konformitas untuk semua sekolah). Oleh karena itu, dalam arti yang sebenarnya, tidak ada satu resep pelaksanaan MPMBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. Tetapi satu hal perlu diperhatikan bahwa mengubah pendekatan manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menjadi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi dan bagus hasilnya (one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua pihak yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan. Paling tidak, proses menuju MPMBS memerlukan perubahan empat hal pokok berikut :
Pertama, perlu perubahan peraturan perundang-undangan/ketentuan-ketentuan bidang pendidikan yang ada saat ini. Peraturan perundang-undangan yang ada sekarang perlu disesuaikan, dari yang semula menempatkan sekolah sebagai subordinasi birokrasi semata dan kedudukan sekolah bersifat marginal, menjadi sekolah yang bersifat otonom dan mendudukkannya sebagai unit utama.
Kedua, kebiasaan (routines) berperilaku unsur-unsur sekolah perlu disesuaikan, karena MPMBS menuntut kebisaan-kebiasaan berperilaku yang mandiri, kreatif, proaktif, sinergis, koordinatif, integratif, sinkronistis, kooperatif, luwes, dan professional.
Ketiga, peran sekolah yang selama ini biasa diatur (mengikuti apa yang diputuskan oleh birokrasi) perlu disesuaikan menjadi sekolah yang bermotivasi-diri tinggi (self-motivator). Perubahan peran ini merupakan konsekwensi dari perubahan peraturan perundang-undangan bidang pendidikan, baik undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri, peraturan daerah, dsb.
Keempat, hubungan antar unsur-unsur dalam sekolah, antara sekolah dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Propinsi perlu disesuaikan. Karena itu struktur organisasi pendidikan yang ada saat ini perlu ditata kembali dan kemudian dianalisis hubungan antara unsur/pihak untuk menentukan sifat hubungan (komando, koordinatif, dan fasilitatif.
Dilandasi oleh konsep MPMBS dan berbagai pemikiran mengenai pelaksanaannya tersebut, maka berikut ini akan disampaikan beberapa tahapan dalam pelaksanaan MPMBS yang sifatnya masih “umum” dan “luwes”. Sekolah dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian pentahapan berikut sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing.
Tahap-tahap pelaksnaan MPMBS berikut ditulis dengan tujuan untuk :
1. Membantu unsur-unsur penyelenggara pendidikan, terutama sekolah, agar penyelenggara MPMBS dapat dilaksankan secara efektif dan efesien.
2. Membantu sekolah-sekolah yang menerapkan MPMBS dalam menyusun rencana dan program-programnya untuk mendapatkan dukungan biaya dari pihak-pihak yang kompeten, dan
3. Melakukan uji coba tentang pelaksanaan konsep MPMBS, sehingga diharapkan diperoleh masukan-masukan yang konstruktif bagi penyempurnaan konsep dan pelaksanaan MPMBS di masa yang akan datang.
B. Tahap-tahap Pelaksanaan
1. Melakukan Sosialisasi
Sekolah merupakan sistem yang terdiri dari unsur-unsur dan karenanya hasil kegiatan pendidikan di sekolah merupakan hasil kolektif dari semua unsur sekolah. Dengan cara berfikir semacam ini, maka semua unsur sekolah harus memahami konsep MPMBS “apa”, “magapa” dan “bagaimana” MPMBS diselenggarakan. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan oleh sekolah adalah mensosialisasikan konsep MPMBS kepada setiap unsur sekolah (guru, siswa, wakil kepala sekolah, guru BK, karyawan, orang tua siswa, pengawas, pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, pejabat Dinas Pendidikan Propinsi, dsb.) melalui berbagai mekanisme, misalnya seminar, lokakarya, diskusi, rapat kerja, simposium, forum ilmiah, dan media masa.
Dalam melakukan sosialisasi MPMBS, yang penting dilakukan oleh kepala sekolah adalah “membaca” dan “membentuk” budaya MPMBS di sekolah masing-masing. Secara umum, garis-garis besar kegiatan sosialisasi/pembudayaan MPMBS dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Baca dan pahamilah sistem, budaya, dan sumberdaya yang ada di sekolah secara cermat dan refleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan sumberdaya baru yang diharapkan dapat mendukung penyelenggaraan MPMBS.
b. Identifikasikan sistem, budaya, dan sumberdaya yang perlu diperkuat dan perlu diubah, dan kenalkan sistem, budaya dan sumberdaya baru yang diperlukan untuk menyelenggarakan MPMBS.
c. Buatlah komitmen secara rinci yang diketahui oleh semua unsur yang bertanggung jawab, jika terjadi perubahan sistem, budaya, dan sumberdaya yang cukup mendasar.
d. Bekerjalah dengan semua unsur sekolah untuk mengklarifikasikan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana, dan program-program penyelenggaraan MPMBS.
e. Hadapilah “status quo” (resistensi) terhadap perubahan, jangan menghindar dan jangan menarik darinya serta jelaskan mengapa diperlukan perubahan dari manajemen berbasis pusat menjadi MPMBS.
f. Garisbawahi prioritas sistem, budaya, dan sumberdaya yang belum ada sekarang, akan tetapi sangat diperlukan untuk mendukung visi, misi, sasaran, rencana dan program-program penyelenggaraan MPMBS dan doronglah sistem, budaya, dan sumberdaya manusia yang mendukung penerangan MPMBS serta hargailah mereka (unsur-unsur) yang telah memberi contoh dalam penerapan MPMBS, dan
g. Pantaulah dan arahkan proses perubahan agar sesuai dengan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana dan program-program MPMBS.
2. Merumuskan Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Sekolah
(tujuan Situasional Sekolah)
Sekolah yang melaksanakan MPMBS harus membuat rencana pengembangan sekolah. Rencana pengembangan sekolah pada umumnya mencakup perumusan visi, misi, tujuan sekolah dan strategi pelaksanaannya. Sedangkan rencana kerja tahunan sekolah pada umumnya meliputi pengindentifikasian sasaran sekolah (tujuan situasional sekolah), pemilihan fungsi-fungsi sekolah yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah diidentifikasi, analisis SWOT, langkah-langkah pemecahan persoalan, dan penyusunan rencana dan program kerja tahunan sekolah. Berikut diuraikan secara singkat mengenai perumusan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah (tujuan situasional sekolah).
a. Visi
Setiap sekolah harus memiliki visi. Visi adalah wawasan yang menjadi sumber arahan bagi sekolah dan digunakan untuk memandu perumusan misi sekolah. Dengan kata lain, visi adalah pandangan jauh ke depan kemana sekolah akan dibawa. Visi adalah gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah, agar sekolah yang bersangkutan dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya.
Gambaran tersebut tentunya harus didasarkan pada landasan yuridis, yaitu undang-undang pendidikan dan sejumlah peraturan pemerintahnya, khususnya tujuan pendidikan nasional sesuai jenjang dan jenis sekolahnya dan juga sesuai dengan profil sekolah yang bersangkutan. Dengan kata lain, visi sekolah harus tetap dalam koridor kebijakan pendidikan nasional tetapi sesuai dengan kebutuhan anak dan masyarakat yang dilayani. Tujuan pendidikan nasional sama tetapi profil sekolah khususnya potensi dan kebutuhan masyarakat yang dilayani sekolah tidak selalu sama. Oleh karena itu dimungkinkan sekolah memiliki visi yang tidak sma dengan sekolah lain, asalkan tidak keluar dari koridor nasional yaitu tujuan pendidikan nasional.
Sebagai contoh, sebuah sekolah yang terletak di perkotaan, mayorotas siswanya berasal dari keluarga mampu dan hampir seluruh lulusannya ingin nelanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, merumuskan visinya sebagai berikut:
UNGGUL DALAM PRESTASI
BERDASARKAN IMTAQ
Sementara itu sekolah yang terletak di daerah pedesaan yang umumnya tidak lebih maju dari pada sekolah di perkotaan, merumuskan visinya sebagai berikut :
TERDIDIK BERDASARKAN IMTAQ
Kedua visi tersebut sama-sama benar sepanjang masih dalam koridor tujuan pendidikan nasional. Tentu saja, perumusan visi harus disesuaikan dengan tujuan dari setiap jenjang jenis sekolah sebagaimana dituliskan dalam peraturan pemerintah.
Visi yang pada umumnya dirumuskan dalam kalimat yang filiosofis seperti contoh tersebut, seringkali memiliki aneka tafsir. Setiap orang menafsirkan secara berbeda-beda, sehingga dapat menimbulkan perselisihan dalamimplementasinya. Bahkan jika teerjadi pergantian kepala sekolah yang baru tidak jarang memberi tafsir yang berbeda dengan kepala sekolah sebelumnya. Oleh karena itu, sebaiknya diberikan indikator sebagai penjelasan apa yang dimaksud oleh visi tersebut. Sebagai contoh, visi yang dituliskan UNGGUL DALAM PRESTASI BERDASARKAN IMAN DAN TAQWA, diberi indikator sebagai berikut :
Unggul dalam perolehan NEM,
Unggul dalam persaingan melanjutkan ke jenjang pendidikan diatasnya,
Unggul dalam lomba karya ilmiah,
Unggul dalam lomba kreativitas,
Unggul dalam lomba kesenian,
Unggul dalam lomba olah raga,
Unggul dalam disiplin,
Unggul dalam aktivitas keagamaan, dan
Unggul dalam kepedulian sosial.
b. Misi
Misi adalah tindakan untuk mewujudkan/merealisasikan visi tersebut. Karena visi harus mengakomodasi semua semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah, maka misi dapat juga diartikan sebagai tindakan untuk memnuhi kepentingan masing-masing kelompok yang terkait dengan sekolah. Dalam merumuskan misi, harus mempertimbangkan tugas pokok sekolah dan kelompok-kelompok kepenting yang terkait dengaan sekolah. Dengan kata lain, misi adalah bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya.
Misalnya, sebuah sekolah yang memiliki visi UNGGUL DALAM PRESTASI BERDASARKAN IMTAQ merumuskan misinya sebagai berikut :
Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara efektif, sehingga setiap siswa berkembang secara optimal,sessuai dengan potensi yang dimiliki.
Menumbuhkan semangat keunggulan secara intensif kepada seluruh warga sekolah.
Mendorong dan membantu setiap siswa untuk mengenali potensi dirinya,sehingga dapat dikmbangkan secara optimal.
Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran agama yang dianut dan juga budaya bangsa sehingga menjadi sumber kearifan dalam bertindak
Menerapkan manajemen partisiptif dengan melibatkan seluruh warga sekolah dan kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah (stakeholders).
c. Tujuan
Bertolak dari visi dan misi, selanjutnya sekolah merumuskan tujuan. Tujuan merupakan “apa” yang akan dicapai/dihasilkan oleh sekolah yang bersangkutan dan “kapan’ tujuan akan dicapai. Jika visi dan misi terkait dengan jangka waktu yang panjang, maka tujuan dikaitkan dengan jangka waktu 3-5 tahun. Dengan demikian tujuan pada dasarnya merupakan tahapan wujud sekolah menuju visi yang telah dicanangkan.
Jika visi merupakan gambaran sekolah di masa depan secara utuh (ideal), maka tujuan yang ingin dicapai dalam jangka waktu 3 tahun mungkin belum se ideal visi atau belum selengkap visi. Dengan kata lain, tujuan merupakan tahapan untuk mencapai visi. Sebagai contoh sebuah sekolah telah mendapatkan visi dengan indikator sebanyak 9 aspek, tetapi, tujuannya sampai tahun 2004 baru mencakup 5 aspek sebagai berikut :
Pada tahun 2004, gain score achievment (GSA) siswa meningkat +01.
Pada tahun 2004, proposal lulusan yang melanjutkan ke sekolah unggul minimal 40%.
Pada taghun 2004, memiliki kelompok KIR dan mampu menjadi finalis LKIR tingkat nasional.
Pada tahun 2004, memiliki tim olah raga minimal 3 cabang dan mampu menjadi finalis tingkat propinsi.
Pada tahun2004, memiliki tim kesenian yang mampu tampil pada acara setingkat kabupaten/kota.
d. Sasaran/Tujuan Situasional.
Setelah tujuan sekolah (tujuan jangka menengah) dirumuskan, maka langkah selanjutnya adalah memetapkan sasaran/target/tujuan situasional/tujuan jangka pendek. Sasaran adalah penjabaran yaitu sesuatu yang akan dihasilkan/dicapai oleh sekolah dalam jangka waktu lebih singkat dibandingkan tujuan sekolah. Rumusan sasaran harus selalu mengandung peningkatan, baik peningkatan kualitas, efektifitas, produktivitas, maupun efisiensi (bisa salah satu atau kombinasi). Agar sasaran dapat dicapai dengan efektif, maka sasaran harus dibuat spesifik, terukur, jelas kriterianya, dan disertai indikator-indikator yang rinci. Meskipun sasaran bersumber dari tujuan, namun dalam penentuan sasaran yang mana dan berapa besar kecilnya sasaran, tetap harus didasarkan atas tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah.
1) Mengindentifikasi Tantangan Nyata Sekolah
Pada tahap ini, sekolah melakukan analisis output sekolah yang hasilnya berupa identifikasi tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah. Tantangan adalah selisih (ketidak sesuaian) antara output sekolah saat ini dan output sekolah yang diharapkan di masa yang akan datang (tujuan sekolah). Besar kecilnya ketidak sesuaian antara output sekolah saat ini (kenyataan) dengan ouput sekolah yang diharapkan (idealnya) di masa yang akan datang memberitahukan besar kecilnya tantangan kualitas; misalnya, jika dalam tiga tahun ke depan dicanangkan tujuan untuk mencapai GSA sebesar +2, sementara saat ini baru mencapai +0,4, berarti tantangan nyata yang dihadapi sekolah adalah (+2)-(+04) = (+1,6). Misalnya lagi, juara lomba karya ilmiah remaja sekolah saat ini berperingkat nomor 4 se kabupaten dan diharapkan akan meningkat menjadi peringkat nomor 1, maka besarnya tantangan adalah 1-4 = -3 (kurang 3). Contoh tantangan efektifitas; dari 300 siswa yang ikut EBTANAS, yang lulus 270 siswa, sehingga tantangannya adalah 30 siswa atau 10 persen yaitu berasal dari 30 siswa dibagai 300 siswa.
Output sekolah saat ini dapat dengan mudah diidentifikasi, karena tersedia datanya. Akan tetapi bagaimanakah caranya mengindetifikasi output sekolah yang diharapkan, sehingga output yang diharapkan tersebut cukup realistis? Caranya, perlu dilakukan analisis prakiraan (forecasting) lengkap dengan asumsi-asumsinya untuk menemukan kecenderungan-kecenderungan yang diharapkan di masa depan.
Pada umumnya, tantangan sekolah bersumber dari output sekolah yang dapat dikategorikan menjadi empat yaitu kualitas, produktivitas, efektivitas, dan efesiensi.
Kualitas adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa, yang menunjukan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau tersirat. Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksud adalah kualitas output sekolah yang bersifat akademik (misal; NEM dan LKIR) dan non akademik (misal; olah raga dan kesenian). Mutu output sekolah dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input dan proses persekolahan.
Produktivitas adalah perbandingan antara output sekolah dibanding input sekolah. Baik output maupun input sekolah adalah dalam bentuk kuantitas. Kuantitas input sekolah, misalnya jumlah guru, model sekolah, bahan, dan energi. Kuantitas output sekolah, misalnya; jumlah siswa yang lulus sekolah setiap tahunnya. Contoh produktivitas, misalnya, jika tahun ini sebuah sekolah lebih banyak meluluskan siswanya dari pada tahun lalu dengan input yang sama (jumlah guru, fasilitas, dsb.), maka dapat dikatakan bahwa tahun ini sekolah tersebut lebih produktif dara pada tahun sebelumnya.
Efektifitas adalah ukuran yang menyatakan sejauhmana tujuan (kualitas, kuantitas, dan waktu) telah dicapai. Dalam bentuk persamaan, efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang diharapkan. Misalnya, NEM idealnya berjumlah 60, namun NEM yang diperoleh siswa hanya 45, maka efektivitasnya adalah 45 : 60 = 75%.
Efisiensi dapat diklarifikasikan menjadi dua yaitu efisiensi internal dan efesiensi eksternal. Efisiensi internal menunjuk kepada hubungan antara output sekolah (pencapaian prestasi belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan untuk memproses/menghasilkan output sekolah. Efesiensi internal biasanya diukur dengan biaya – efektivitas. Setiap penilaian biaya-efektifitas selalu memerlukan dua hal, yaitu penilaian ekonomik untuk mengukur biaya masukan (input) dan penilaian hasil pembelajaran (prestasi belajar, lama belajar, angka putus ekolah). Misanya jika dengan biya yang sama, tetapi NEM tahun ini lebih baik dari pada NEM tahun lalu, maka dapat dikatan bahwa tahun ini sekolah yang bersangkutan lebih efisien secara internal dari pada tahun lalu. Efesiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungn kumulatif (individual, sosial, ekonomik, dan non-ekonomik) yang didapat setelah pada kurun waktu yang panjang di luar sekolah. Analisis biaya-manfaat merupakan alat utama untuk mengukur efesiensi eksternal. Misalnya, dua sekolah SLTP 1 dan SLTP 2 dengan menggunakan biaya yang sama setiap tahunnya. Akan tetapi, lulusan SLTP 1 mendapat upah yang lebih besar dari pada lulusan SLTP 2 setelah mereka bekerja. Oleh karena itu dapat diktakan bahwa SLTP 1 lebih efisien secara eksternal dari pada SLTP 2.
2). Merumuskan Sasaran (Tujuan situasional)
Berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi sekolah, maka dirumuskanlah sasaran/tujuan situasional yang akan dicapai oleh sekolah. Meskipun sasaran dirumuskan berdasarkan atas tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah, namun perumusan sasaran tersebut harus tetap mengacu pada visi, misi dan tujuan sekolah merupakan sumber pengertian (sumber referensi) bagi perumusan sasaran sekolah. Karena itu, sebelum merumuskan sasaran sekolah yang akan dicapai, setiap sekolah harus memiliki visi, misi dan tujuan sekolah.
Sasaran sebaiknya hanya untuk waktu yang relatif pendek, misalnya untuk satu tahun ajaran. Dengan demikian sasaran (misalnya untuk 1 tahun) pada dasarnya merupakan tahapan untuk mencapai tujuan jangka menegah (misalnya untuk jangka 3 tahun). Ketika menentukan sasaran, prioritas harus dipertimbangkan sungguh- sungguh. Jika tujuan yang telah dicanangkan mencakup 5 aspek, apakah kelimanya akan digarap pada tahun pertama, atau hanya beberapa saja. Hal itu sangat tergantung kondisi sekolah. Sebagai contoh, sebuah sekolah memutuskan ingin menggarap kelima aspek yang tercantum dalam tujuan, meskipun baru pada awal. Oleh karena itu, sekolah tersebut menetapkan sasaran untuk tahun ajaran 2000/2001 sebagai berikut :
Gain score achievement siswa meningkat 0,1.
Jumlah lulusan yang melanjutkan ke sekolah unggul diatas minimal 25%.
Memilki kelompok KIP dan mampu menjadi juara LKIR setingkat kabupaten/kota.
Memiliki tim olah raga yang mampu menjadi finalis lomba stingkat kabupaten/kota.
Memiliki tim kesenian yang secara teratur mengadakan latihan dan pentas di sekolah.
3. Mengindentifikasi Fungsi-fungsi yang Diperlukan untuk Mencapai
Sasaran.
Setelah sasaran dipilih, maka langkah berikutnya adalah menindentifikasi fungs-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud, misalnya, fungsi proses belajar mengajar beserta fungsi-fungsi pendukungnya yaitu fungsi pengembangan kurikulum, fungsi perencanaan dan evaluasi, fungsi ketenagaan, fungsi keuangan, fungsi pelayanan kesiswaan, fungsi pengembangan iklim akademik sekolah, fungsi hubungan sekolah masyarakat, dan fungsi pengembangan fasilitas.
4. Melakukan Analisis SWOT
Setelah fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai sasaran diidentifikasi, maka langkah berikutnya adalah menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weakness, opportunity, and Threat)
Analisis SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya dicapai melalui membandingkan faktor dalam kondisi nyata dengan faktor dalam kriteria kesiapan. Yang dimaksud dengan kriteria kesiapan faktor adalah faktor yang memenuhi kriteria/standar untuk mencapai sasaran/tujuan situasional. Faktor yang memenuhi kriteria/standar ini ditemukan melalui perhitungan-perhitungan atau pertimbangan-pertimbangan yang bersumber pada pencapaian sasaran.
Berhubung tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor pada setiap fungsi yang berada di dalam kewenangan sekolah. Sedangkan yang dimaksud faktor eksternal adalah faktor pada setiap fungsi yang berada di luar kewenangan sekolah. Misalnya, fungsi proses belajar mengajar terdiri dari banyak faktor, satu diantaranya perilaku mengajar guru (faktor internal) dan satu lainnya kondisi lingkungan sosial masyarakat (faktor eksternal). Perilaku mengajar guru digolongkan faktor internal karena sekiranya perilaku tersebut perlu diubah, masih dalam kewenagan sekolah. Sebaliknya, kondisi lingkungan sosial masyarakat digolongkan sebagai faktor ekternal karena sekiranya kondisi tersebut ingin diubah, diluar kewenangan sekolah.
Tingkat kesiapan harus memadai, artinya, minimal memenuhi ukuran/kriteria sebagai; kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal; peluang, bagi faktor yang tergolong eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna; kelemahan, bagi faktor yang tergolong internal; ancaman, bagi faktor yang tergolong eksternal. Baik kelemahan maupun ancaman, sebagai faktor yang memiliki tingkat kesiapan kurang memadai, disebut persoalan. Untuk lebih jelasnya, lihat Tabel 2 : Analisis SWOT/Tingkat Kesiapan Fungsi dan Faktor-faktornya berikut :
Tabel 2 : Analisis SWOT/Tingkat Kesiapan Fungsi dan Faktor-faktornya
FUNGSI DAN FAKTORNYA
KRITERIA KESIAPAN KONDISI NYATA TINGKAT KESIAPAN FAKTOR
SIAP TIDAK SIAP
A. Fungsi ..............
1. Faktor Internal
a. ..............
b. ..............
c. ..............
a.. ..............
b.. ..............
c.. ..............
a.. ..............
b.. ..............
c.. ..............
Kekuatan
( Strength)
Kelemahan
( weakness)
2. Faktor Eksternal
a. ..............
b. ..............
c. ..............
a.. ..............
b.. ..............
c.. ..............
a.. ..............
b.. ..............
c.. ..............
Peluang
( Opportnity )
Ancaman
(Threat )
B. Fungsi ................
1. Faktor Internal
a. ..............
b. ..............
c. ..............
a.. ..............
b.. ..............
c.. ..............
a.. ..............
b.. ..............
c.. ..............
Kekuatan
( Strength)
Kelemahan
( weakness)
2. Faktor Eksternal
a. ..............
b. ..............
c. ..............
a.. ..............
b.. ..............
c.. ..............
a.. ..............
b.. ..............
c.. ..............
Peluang
( Opportnity )
Ancaman
(Threat )
Dst.
5. Alternatif Langkah Pemecahan Persoalan
Dari hasil analisis SWOT, maka langkah berikutnya adalah memilih langkah- langkah pemecahan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidak siapan fungsi, maka sasaran yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, agar sasaran tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidak siapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, agar menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.
6. Menyusun Rencana dan Program Peningkatan Mutu
Berdasarkan langkah-langkah pemecahan persoalan tersebut, sekolah bersama-sama dengan semua unsur-unsurnya membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan jangka panjang, beserta program-programnya untuk merealisasikan rencana tersebut. Sekolah tidak selalu memiliki sumberdaya yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan bagi pelaksanaan MPMBS, sehingga perlu dibuat skala prioritas untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.
Rencana yang dibuat harus menjelaskan secara detail dan lugas tentang aspek-aspek mutu yang ingin dicapai, kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, siapa yang harus melaksanakan, kapan dan dimana dilaksanakan, dan berapa biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini diperlukan untuk memudahkan sekolah dalam menjelaskan dan memperoleh dukungan dari pemerintah maupun dari orang tua, baik dukungan pemikiran, moral, material maupun finansial untuk melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan tersebut. Rencana yang dimaksud harus juga memuat rencana anggaran biaya (rencana biaya) yang diperlukan untuk merealisasikan rencana sekolah.
Hal pokok yang perlu diperhatikan oleh sekolah dalam penyusunan rencana adalah keterbukaan kepada semua pihak yang menjadi stekeholder pendidikan, khususnya orangtua siswa dan masyarakat (BP3/Komite Sekolah) pada umumnya. Dengan cara demikian akan diperoleh kejelasan, berapa kemampuan sekolah dan pemerintah untuk menanggung biaya rencana ini, dan berapa sisanya yang harus ditanggung oleh orang tua peserta didik dan masyarakat sekitar. Dengan keterbukaan rencana ini, maka kemungkinan kesulitan memperoleh sumber dana untuk melaksanakan rencana ini bisa dihindari.
Catatan : BP3 saat ini yang anggotanya hanya terdiri dari orang tua siswa perlu dimekarkan menjadi Komite sekolah yang anggotanya terdiri dari ; orang tua siswa, wakil dari siswa, wakil dari sekolah, wakil dari organisasi profesi, wakil dari pemerintah, dan wakil dari publik.
Jika rencana adalah merupakan deskripsi hasil yang diharapkan dan dapat digunakan untuk keperluan penyelenggaraan kegiatan sekolah, maka program adalah alokasi sumberdaya (sumber daya manusia dan sumberdaya selebihnya, misalnya, uang, bahan, peralatan, perlengkpan, perbekalan, dsb.) keadaan kegiatan-kegiatan, menurut jadwal dan waktu dan menunjukkan tatalaksana yang sinkron. Dengan kata lain, program adalah bentuk dokumen untuk menggambarkan lankah mewujudkan sinkronisasi dalam ketatalaksanaan.
Catatan : Pada gilirannya, analisis SWOT dapat digunakan untuk merevisi/ memperbaiki sassaran yang mungkin terlalu tinggi/rendah atau terlalu besar agar menjadi sasaran yang pas/realistik (wajar).
7. Melaksanakan Rencana Peningkatan Mutu
Dalam melaksanakan rencana peningkatan mutu pendidikan yang telah disetujui bersama antara sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat, maka sekolah perlu mengambil langkah proaktif untuk mewujudkan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Kepala sekolah dan guru hendaknya mendayagunakan sumberdaya pendidikan yang tersedia semaksimal mungkin, menggunakan pengalaman- pengalaman masa lalu yang dianggap efektif, dan menggunakan teori-teori yang terbukti mampu meningkatkan kualitas pembelajaran. Kepala sekolah dan guru bebas mengambil inisiatif dan kreatif dalam menjalankan program-program yang diproyeksikan dapat mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Karena itu, sekolah harus dapat membebaskan diri dari keterikatan-keterikatan birokrastis yang biasanya banyak menghambat penyelenggaraan pendidikan.
Dalam melaksanakan proses pembelajaran, sekolah hendaknya menerapkan konsep belajar tuntas (mastery learning). Konsep ini menekankan pentingnya siswa menguasai materi pelajaran secara utuh dan bertahap sebelum melanjutkan ke pembelajaran topik-topik yang lain. Dengan demikian siswa dapat menguasai suatu materi pelajaran secara tuntas sebagai prasyarat dan dasar yang kuat untuk mempelajari tahapan pelajaran berikutnya yang lebih luas dan mendalam.
Untuk menghindari penyimpangan, kepala sekolah perlu melakukan supervisi dan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan peningkatan mutu yang dilakukan di sekolah. Kepala sekolah sebagai manejer dan pimpinan pendidikan di sekolahnya berhak dan perlu memberikan arahan, bimbingan, dukungan, dan teguran kepada guru dan tenaga lainnya jika ada kegiatan yang tidak sesuai dengan jalur-jalur yang telah ditetapkan. Namun demikian, bimbingan dan arahan jangan sampai membuat guru dan tenaga lainnya menjadi amat terkekang dalam melaksanakan kegiatan, sehingga kegiatan tidak mencapai sasaran.
8. Melakukan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah perlu mengadakan evaluasi pelaksanan program, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Evaluasi jangka pendek dilakukan setiap akhir caturwulan untuk mengetahui keberhasilan program secara bertahap. Bilamana pada pada satu catur wulan dinilai adanya faktor-faktor yang tidak mendukung, maka sekolah harus dapat memperbaiki pelaksanaan program peningkatan mutu pada catur wulan berikutnya. Evaluasi jangka menengah dilakukan pada setiap akhir tahun, untuk mengetahui seberapa jauh program peningkatan mutu telah mencapai sasaran-sasaran mutu yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan evaluasi ini akan diketahui kekuatan dan kelemahan program untuk diperbaiki pada tahun-tahun berikutnya.
Dalam melaksanakan evaluasi, kepala sekolah harus mengikutsertakan setiap unsur yang terlibat dalam program, khusunya guru dan tenaga lainnya agar mereka dapat menjiwai setiap penilaian yang dilakukan dan memberikan alternatif pemecahan. Demikian pula, orang tua peserta didik dan masyarakat sebagai pihak eksternal harus dilibatkan untuk menilai keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Dengan demikian, sekolah mengetahui bagaimana sudut pandang pihak luar bila dibandingkan dengan hasil penilaian internal. Suatu hal yang bisa terjadi bahwa orang tua peserta didik dan masyarakat menilai suatu program gagal atau kurang berhasil, walaupun pihak sekolah menganggap cukup berhasil. Yang perlu disepakati adalah indikator apa saja yang perlu ditetapkan sebelum penilaian dilakukan. Untuk lebih detailnya tentang monitoring dan evaluasi MPMBS, lihat bab 4.
Hasil evaluasi pelaksanaan MPMBS perlu dibuat laporan yang terdiri dari laporan teknis dan keuangan. Laporan teknis menyangkut program pelaksanaan dan hasil MPMBS, sedang laporan keuangan meliputi penggunaan uang serta pertanggungjawabannya. Jika sekolah melakukan upaya-upaya penambahan pendapatan (income generating activities), maka pendapatan tambahan tersebut harus juga dilaporkan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban (akuntabilitas), maka laporan harus dikirim kepada Pengawas, Dinas Pendidikan Kabupaten, komite sekolah, orang Tua Siswa dan Yayasan (bagi sekolah swasta).
9. Merumuskan Sasaran Mutu Baru
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, terdahulu hasil evaluasi berguna untuk dijadikan alat bagi perbaikan kinerja program yang akan datang. Namun yang tidak kalah pentingnya, hasil evaluasi merupakan masukan bagi sekolah dan orang tua peserta didik untuk merumuskan sasaran mutu baru untuk tahun yang akan datang. Jika dianggap berhasil, sasaran mutu dapat ditingkatkan sesuai dengan kemampuan sumberdaya yang tersedia. Jika tidak, bisa saja sasaran mutu tetap seperti sediakala, namun dilakukan perbaikan strategi dan mekanisme pelaksanaan kegiatan. Namun tidak tertutup kemungkinan, bahwa sasaran mutu diturunkan, karena dianggap terlalu berat atau tidak sepadan dengan sumberdaya pendidikan yang ada (tenaga, sarana dan prasarana) yang tersedia.
Setelah sasaran baru ditetapkan, kemudian dilakukan analisis SWOT untuk mengetahui tingkat kesiapan masing-masing fungsi dalam sekolah, sehingga dapat diketahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Dengan informasi ini, maka langkah-langkah pemecahan persoalan segera dipilih untuk mengatasi faktor-faktor yang mengandung persoalan. Setelah ini, rencana peningkatan mutu baru dapat dibuat. Demikian seterusnya, caranya seperti urut-urutan nonor 2 sd nomor 8 diatas.
C. Tugas dan Fungsi Jajaran Birokrasi
Konsekwensi logis dari perubahan penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari pola manajemen lama (sentralistik) menuju ke pola manajemen baru (desentalistik), maka tugas dan fungsi jajaran birokrasi juga harus diubah.
Dari uraian konsep MPMBS disebutkan bahwa pola manjemen baru lebih menekankan pada pemandirian dan pemberdayaan sekolah. Ini memiliki arti bahwa sekolah merupakan unit utama kegiatan pendidikan sedang birokrasi dan unsur-unsur lainnya merupakan unit pelayanan pendukung .
Karena pola pikir manajemen lama yang lebih menekankan pada subordinasi, pengarahan, pengaturan, pengontrolan, dan one-man-show dalam pengambilan keputusan, sudah harus ditinggalkan dan diganti dengan pola pikir manajemen baru yang lebih menekankan pada pemberian otonomi, pemberian fasilitas, penumbuhan motivasi-diri sekolah, pemberian bantuan, dan pengembilan keputusan partisipatif.
Sambil menunggu tugas dan fungsi jajaran birokrasi Depdiknas yang definitif secara yuridiksi dalam kerangka Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, berikut disampaikan tugas dan fungsi tentatif masing-masing jajaran birokrasi Depdiknas dalam penyelenggaraan MPMBS.
1. Direktorat SLTP
Secara umum, Direktorat SLTP/Dikmenum mempunyai tugas dan fungsi menentukan kebijakan dan strategi pada tataran formulasi/penetapan kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan pada tingkat nasional, yaitu :
Pada tataran formulasi dan penetapan kebijakan, Depdiknas Pusat melalui Direktorat SLTP/Dikmenum mempunyai tugas dan fungsi memformulasi/menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan MPMBS melalui penyusunan dan penerbitan buku “Konsep dan Pelaksanaan MPMBS” beserta sejumlah buku “Pedoman Rintisan MPMBS”.
Menetapkan standar MPMBS sebagai patokan yang berlaku secara nasional.
Pada tataran implementasi kebijakan, Direktorat SLTP/Dikmenum mempunyai tugas dan fungsi mensosialisasikan MPMBS keseluruh Dinas Pendidikan Propinsi serta mengkoordinasikan seluruh jajaran Dinas Pendidikan Propinsi dalam melaksanakan MPMBS di tanah air.
Pada tataran evaluasi kebijakan, Direktorat SLTP/Dikmenum mempunyai tugas dan fungsi memonitor dan mengevaluasi penyelenggaraan MPMBS secara nasional, dan
Menerbitkan informasi secara berkala, baik secara elektronik dan atau non-elektronik tentang perkembangan konsep maupun hasil pelaksanaan MPMBS secara agregatif (nasional) dan secara disagregatif (perwilayah/daerah).
2. Dinas Pendidikan Propinsi
Secara umum, tugas dan fungsi Dinas Pendidikan Propinsi adalah menjabarkan kebijakan dan strategi MPMBS yang telah digariskan oleh Direktorat SLTP/Dikmenum untuk diberlakukan di Propinsi masing-masing, antara lain :
Menyusun petunjuk teknis pelaksanaan dan petunjuk teknis monitoring dan evaluasi berdasarkan pedoman yang ditetapkan pemerintah pusat.
Memberi pelatihan kepada para pengembang MPMBS di tingkat kabupaten.
Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanan MPMBS serta pengembangannya di Propinsi masing-masing, dan
Mengkoordinasikan dan menyerasikan pelaksanaan MPMBS lintas Kabupaten untuk menghindari penyimpangan MPMBS dan menghindari kesenjangan mutu pendidikan lintas Kabupaten.
3. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
Seiring dengan diberlakukannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, maka Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menjalankan tugas dan fungsi utama memberikan pelayanan dalam pengelolaan satuan pendidikan di Kabupaten/Kota masing-masingyang menjalankan MPMBS, lebih spesifiknya, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menjalankan tugas dan fungsinya sebagai berikut :
Memberikan pelayanan pengelolaan atas seluruh satuan pendidikan negeri dan swasta di Kabupaten/kota masing-masing berkaitan dengan pelaksanaan MPMBS.
Memberikan pelayanan terhadap sekolah dalam mengelola seluruh aset/sumberdaya pendidikan yang meliputi tenaga guru, prasarana dan sarana pendidikan, buku pelajaran, dana pendidikan, dan sebagainya.
Melaksanakan pembinaan dan pengurusan atas tenaga pendidik yang bertugas pada satuan pendidikan di Kabupaten/Kota berkaitan dengan pelaksanaan MPMBS, dan
Melaksanakan monitoring dan evaluasi atas tugas dan fungsi pokoknya sesuai dengan kebijakan umum yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan MPMBS.
4. Sekolah
Tugas dan fungsi utama sekolah adalah mengelola penyelenggaraan MPMBS di sekolah masing-masing. Mengingat sekolah merupakan unit utama dan terdepan dalam penyelenggaraan MPMBS, maka sekolah menjalankan tugas dan fungsinya sebagai berikut:
Menyusun rencana dan program pelaksanaan MPMBS dengan melibatkan kelompok-kelompok, antara lain; wakil sekolah (kepla sekolah, wakil kepala sekolah, guru, tata usaha), wakil siswa (OSIS), wakil orang tua siswa, wakil organisasi professi, wakil pemerintah, dan tokoh masyarakat.
Mengkoordinasikan dan menyerasikan segala sumberdaya yang ada di sekolah dan di luar sekolah untuk mencapai sasaran MPMBS yang telah ditetapkan :
Melaksanakan MPMBS secara efektif dan efisien dengan menerapkan prinsip-prinsip total quality management (fokus pada pelanggan, perbaikan secara terus-menerus, dan keterlibatan total warga sekolah dalam meningkatkan mutu sekolah) dan berfikir sistem (berfikir holistik/tidak parsial, saling terkait, dan terpadu).
Melaksanakan pengawasan dan pembimbingan dalam pelaksanaan MPMBS sehingga kejituan implementasi dapat dijamin untuk mencapai sasaran MPMBS.
Pada setiap akhir tahun ajaran melakukan evaluasi untuk menilai tingkat ketercapaian sasaran program MPMBS yang telah ditetapkan. Hasil evaluasi ini kemudian digunakan untuk menentukan sasaran baru program MPMBS tahun-tahun berikutnya.
Menyusun laporan penyelenggaraan MPMBS beserta hasilnya secara lengkap untuk disampaikan kepada pihak-pihak terkait yaitu Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Pengawas Sekolah, Komite Sekolah, dan yayasan (bagi sekolah swasta), dan
Mempertanggung jawabkan hasilpenyelenggaraan MPMBS kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan sekolah yaitu Dinas Pendidikan kabuapten/Kota, Komite Sekolah, dan yayasan (bagi sekolah swasta).
BAB IV
KONSEP MONITORING
A. Rasional dan Tujuan
Monitoring dan evaluasi merupakan bagian integral dari pengolahan pendidikan, baik di tingkat mikro (sekolah), meso (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi), maupun makro (Departemen). Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa dengan monitoring dan evaluasi, kita dapat mengukur tingkat kemajuan pendidikan pada tingkat Sekolah, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Departemen.
Tanpa pengukuran, tidak ada alasan untuk mengatakan apakah suatu sekolah mengalami kemajuan atau tidak, Monitoring dan evaluasi, pada umumnya, menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Karena itu, monitoring dan evaluasi yang bermanfaat adalah monitoring dan evaluasi yang menghasilkan informasi yang cepat, tepat, dan cukup untuk pengambilan keputusan.
Penerapan MPMBS juga memerlukan monitoring dan evaluasi secara intensif dan dilakukan secara terus-menerus. Dengan monitoring dan evaluasi, kita dapat menilai apakah MPMBS benar-benar mampu meningkatkan mutu pendidikan. Jika MPMBS kurang berhasil, apanya yang salah? Karena itu, dengan monitoring dan evaluasi, kita juga dapat memperbaiki konsep dan pelaksanaan MPMBS.
Adalah pada komponen proses MPMBS, baik menyangkut proses pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, maupun pengelolaan proses belajar mengajar. Sedang evaluasi merupakan suatu proses untuk mendapatkan informasi tentang hasil MPMBS. Jadi fokus evaluasi adalah pada hasil MPMBS. Informasi hasil ini kemudian dibandingkan dengan sasaran yang telah ditetapkan. Jadi hasil sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan, berarti MPMBS efektif. Sebaiknya hasil tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan, maka MPMBS dianggap tidak efektif (gagal). Oleh karena itu, sebaiknya setiap sekolah yang melaksanakan MPMBS diharapkan memiliki data-data tentang prestasi siswa sebelum dan sesudah MPMBS. Hal ini penting untuk dilakukan agar sekolah dengan mudah untuk membandingkan prsetasi siswa sebelum dan sesudah MPMBS ada peningkatan prestasi yang signifikan dibanding sebelum MPMBS, maka hal ini dapat diduga bahwa MPMBS cukup berhasil.
Monitoring dan evaluasi MPMBS bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Hasil monitoring dapat digunakan untuk memberi masukan (umpan balik) bagi perbaikan pelaksanaan MPMBS. Sedang hasil evaluasi dapat memberikan informasi yang dapat digunakan untuk memberi masukan terhadap keseluruhan komponen MPMBS, baik pada konteks, input, proses, ouput, maupun oucame-nya. Masukan-masukan dari hasil monitoring dan evaluasi akan digunakan untuk pengambilan keputusan.
B. Komponen-komponen MPMBS yang Dimonitor dan Dievaluasi
MPMBS sebagai sistem, memiliki komponen-komponen yang saling terkait secara sistematis satu sama lain, yaitu input, proses, output dan outcome.
Konteks adalah ekternallitas sekolah berupa demand and support (permintaan dan dukungan) yang mempengaruh pada input sekolah. Dalam istilah lain, konteks sama artinya dengan istilah kubutuhan. Dengan demikian, evaluasi konteks berarti evaluasi tentang kebutuhan (needs assessment).
Input adalah segala “sesuatu” yang harus tersedia dan siap karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud tidak harus berupa barang, tetapi juga dapat berupa perangkat-perangkat lunak dan harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Secara garis besar, input dapat diklarifikasikan menjadi tiga, yaitu harapan, sumberdaya, dan input manajemen. Harapan-harapan terdiri dari visi, misi, tujuan, sasaran. Sumberdaya dibagi menjadi dua yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan). Input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program, regulasi (ketentuan-ketentuan, limitasi, prosedur kerja, dan sebagainya), dan pengendalian atau tindakan turun tangan. Untuk lebih rincinya, lihat uraian input pada BAB II. Essensi evaluasi pada input adalah untuk mendapatkan informasi tentang ”ketersediaan dan kesiapan” input sebagai prasyarat untuk berlangsungnya proses.
Proses adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Dalam MPMBS sebagai sistem, proses terdiri dari; proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengolahan program, proses belajar mengajar, proses evaluasi sekolah, dan proses akuntanbilitas. Dengan demikian, fokus evaluasi pada proses adalah pemantauan (monitoring) implementasi MPMBS, sehingga dapat ditemukan informasi tentang konsistensi atau inkonsistensi antara rancangan/disain MPMBS semula dengan proses implementasi yang sebenarnya. Konsistensi antara rancangan dan proses pelaksanaan akan mendukung tercapainya sasaran, sedang inkonsistensi akan menjurus kepada kegagalan MPMBS. Dengan didapatkan informasi inkonsistensi tersebut, segera dapat dilakukan koreksi/pelurusan terhadap pelaksanaan.
Ouput adalah hasil nyata dari pelaksanaan MPMBS. Hasil nyata yang dimaksud dapat berupa prestasi akademik (academic achievement), misalnya, nilai EBTA, EBTANAS, dan peringkat lomba karya tulis, maupun prestasi non-akademik (non-academic achivement), misalnya IMTAQ, kejujuran, kedisiplinan, dan prestasi olah raga, jesenian, dan kerajinan. Fokus evaluasi pada output adalah mengevaluasi sejauh mana sasaran (immediate objectives) yang diharapkan (kualitas, kuantitas, waktu) telah dicapai oleh MPMBS. Dengan kata lain, sejauhmana “hasil nyata sesaat” sesuai dengan “hasil/sasaran yang diharapkan”. Tentunya makin besar kesesuaiannya, makin besar pula kesuksesan MPMBS.
Outcome adalah hasil MPMBS jangka panjang, yang berbeda dengan outcome yang hanya mengukur hasil MPMBS sesaat/jangka pendek. Karena itu, fokus evaluasi outcome adalah pada dampak MPMBS jangka panjang, baik dampak individual (tamatan SLTP), institusional (SLTP) dan sosial (masyarakat). Untuk melakukan evaluasi ini, pada umumnya digunakan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis).
C. Jenis Monitoring dan Evaluasi : Internal dan Eksternal
Ada dua jenis monitoring dan evaluasi sekolah, yaitu internal dan eksternal. Yang dimaksud monitoring dan evaluasi internal adalah monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh sekolah sendiri. Pada umumnya, pelaksana monitoring dan evaluasi internal adalah warga sekolah sendiri yaitu kepala sekolah, guru, siswa, orang tua siswa, guru bimbingan dan penyuluhan, dan warga sekolah lainnya. Tujuan utama monitoring dan evaluasi internal sekolah adalah untuk mengetahui tingkat kemajuan dirinya sendiri (sekolah) sehubungan dengan sasaran yang telah ditetapkan. Sedangkan yang dimaksud monitoring dan evaluasi eksternal adalah monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh pihak eksternal sekolah (extenal institution), misalnya Dinas Pendidikan, Pengawas, dan Perguruan Tinggi, atau gabungan dari ketiganya. Hasil monitoring dan evaluasi ekternal dapat digunakan untuk; rewards system terhadap individu sekolah, meningkatkan iklim kompetisi antar sekolah, kepentingan akuntabilitas publik, memperbaiki sistem yang ada secara keseluruhan, dan membantu sekolah dalam mengembangkan dirinya.
BAB V
PENUTUP
Berbagai kenyataan tidak optimalnya mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah manajemen pendidikan. Dalam kenyataan, manajemen pendidikan yang selama ini bersifat sentralistik telah menempatkan sekolah pada posisi marginal, kurang berdaya, kurang mandiri, dan bahkan terpasung kreativitasnya. Untuk itu, Depdiknas terdorong untuk melakukan reorientasi penyelenggaran pendidikan dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). Dengan MPMBS ini, Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Direktorat Pendidikan Menengah Umum berkemauan kuat dan bertekat bulat mengupayakan pengembangan SLTP/Dikmenum dapat terjadi dan mengakar di sekolah.
Pergeseran pendekatan manajemen ini jelas memerlukan penyesuaian-penyesuaian, baik secara teknis maupun kultural. Penyesuaian secara teknis dapat dilakukan melalui penataran, lokakaerya, seminar, dan diskusi tentang MPMBS. Sedang penyesuaian secara kultural dapat dilakukan melalui manajemen pemikiran, tindakan, kebiasaan, hingga sampai terbentuk karakter MPMBS kepada semua warga sekolah.
Konsep MPMBS ini merupakan ide baru dalam wacana manajemen pendidikan di Indonesia. Sebagai ide baru, tentu saja konsep MPMBS ini tidak secara otomatis sempurna. Oleh karena itu, masukan-masukan yang berhagra dan konstruktif dari para pembaca dan praktisi pendidikan sangat dibutuhkan dan dihargai.
PENDEKATAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (Study Kasus pada MI Muhammadiyah Program Khusus Kenteng Nogosari Boyolali Tahun Pelajaran 2007/2008)
Aminudin, Muhammad (2008) PENDEKATAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (Study Kasus pada MI Muhammadiyah Program Khusus Kenteng Nogosari Boyolali Tahun Pelajaran 2007/2008). Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
PDF - Repository staff only - Requires a PDF viewer such as GSview, Xpdf or Adobe Acrobat Reader
349Kb
Abstract
Manajemen Berbasis Sekolah adalah manajemen yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk mengolah semua sumber daya yang di miliki secara partisipatif dengan melibatkan langsung semua warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. MIM PK Kenteng Nogosari Boyolali adalah salah satu lembaga pendidikan setingkat sekolah dasar yang saat ini berusaha menjadi pioner di antara sekolah-sekolah lain di Nogosari Boyolali.Di antara usaha yang di laksanakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah mengubah performa pembelajaranya dari standar menjadi full day scholl, hal ini didasari dari partisipasi masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas alumnusnya. Dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti lembaga ini dengan tujuan untuk mengetahui pelaksanaan manajemen yang di terapkan ,sudah sesuaikah dengan konsep manajemen berbasis sekolah serta adakah faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan manajerialnya. Jenis penelitian ini termasuk penelitian lapangan, adapun pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan diskriptif kualitatif, dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode observasi, interview, dan dokumentasi,dalam menganalisis data penulis menggunakan metode diskriptif komparatif yaitu membuat generalisasi berdasar fakta dan peristiwa selanjutnya hasil dari analisis di bandingkan dengan konsep ilmiyah yang menjadi standar pendekatan dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah bahwasanya MIM PK Kenteng Nogosari Boyolali adalah lembaga pendidikan setingkat sekolah dasar yang berpola pembelajaran full day scholl dengan banyak menambah mata pelajaran islami, lembaga tersebut juga telah memiliki pola manajerial yang baik dan sesuai dengan konsep manajemen berbasis sekolah, hal ini di buktikan dengan adanya kelengkapan komponen-komponen manajemenya, dan juga konsep kepemimpinan yang terbuka dan demokratis karena lembaga ini berdiri dan berjalan atas partisipasi dan dukungan masyarakat. Hal ini terbukti dengan banyaknya animo masyarakat untuk memasukkan putra-putrinya agar menjadi siswa di lembaga tersebut, akibatnya jumlah siswa saat ini menjadi semakin membludak. Meskipun demikian dalam pelaksanaan manajerialnya terdapat beberapa kekurangan yang harus di perbaiki di antaranya adalah dalam manajemen Keuangan dan Humas, hal ini terkait dengan sumbangan SPP dan dana pengembangan yang terlalu tinggi, akibatnya masyarakat menengah yang juga ingin menikmati kelebihankelebihan lembaga tersebut menjadi sangat keberatan. Penyelesaian mengenai masalah ini adalah dengan memberikan perbedaan interval dalam pemberian sumbangan SPP dan dana pengembangan kepada orang tua/wali siswa, dalam hal ini hendaknya antara bagian Humas dan Keuangan mengadakan rapat secara kekeluargaan dan mengedepankan nilai-nilai sosial islami dengan menghasilkan mufakat yang adil dan memihak pada masyarakat menengah, untuk selanjutnya disosialisasikan secara transparan kepada semua elemen sekolah.
KAMIS, 2008 JUNI 05
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
DALAM UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
I. Landasan Yuridis
Secara yuridis Penerapan MBS Dijamin oleh Peraturan perundang – undangan sebagai berikut :
1. Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan. Nasional Pasal 51 ayat (1) “Pengelolaan satua pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbaisi sekolah/madrasah’’
2. Undang – Undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000 – 2004 pada Bab VII tentang bagian program pembangunan bidang pendoidikan khususnya sasaran (3) yaitu “terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis pada sekolah dan masyarakat (school/community based management)
3. Keputusan Mentri Pendidikan Nasional No.044 Tahun 2002 tentang Pembentukan Dewan Pendidikan Dan Komite Sekolah.
4. Kepmendiknas No.087 Tahun 2004 Tentang Standar Akreditasi Sekolah, khususnya tentang manajemen berbasis sekolah;
5. Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, khususnya Standar Pengelolaan Sekolag yaitu Manajemen Berbasis Sekolah.
II. Beberapa Alasan Penerapan MBS
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala sekolah,guru dan pengelola sistem pendidikan (administrator profesional). Untuk lebih kreatif dalam mengelola sekolah.
Oleh kafrena itu keberhasilan dalam mencapai kinerja unggul akan sangat ditentukan oleh faktor informasi, pengetahuan, keterampilan dan insentif yang berorientasi pada mutu, efisiensi dan kemandirian sekolah.
Dalam kerangka implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan, manajemen pendidikan berbasis sekolah merupakan alternatif pendekatan yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan .
Desentralisasi sistem pemerintahan daerah memberikan kebebasan yang luas bagi pemerintah daerah untuk memfasilitasi pengelolaan pendidikan akan tetap memperhatikan kebijakan – kebijakan umum dari pemerintah pusat. Ada beberpa dimensi – dimensi perubahan pola manajemen pendidikan dari pola lama kepada pola baru.
Selain dari ada beberapa alasan untuk menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dianataranya :
1. Dengan diberikannya otonomi yang lebih besar kepada sekolah, Maka Sekolah akan lebih inisiatif dan kreatif dalam meningkatkan mutu sekolah.
2. Sekolah lebih ,mengetahui kekuatan, kelemahan, ancaman dan tangan bagi sekolah, sehingga ia dapat mengotimalkan sumberdaya yang dimilikinya.
3. Dapat meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat terhadap peningkatan mutu sekolah.
4. Meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orangtua,pemerinha tentang mutu sekolah.
III.Karakteristik Sekolah Yang Menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah
Sekolah sebagai suatu sistem yang dari dari komponen konteks, input, proses, output dan outcame. Kesemuanya ini satu sama lainnya saling berpengaruh.
Konteks adalah eksternalitas yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan dan karenanya harus diitenalisasikan kedalam penyelenggaraan sekolah. Konteks ini meliputi kemajuan ipteks, kemajuan yang diharapkan oleh masyarakat, dukungan pemerintah dan masyarakat, kebijakan pemerintah, landasan yuridis, tuntutan otonomi,tuntan globalisasi dan tuntutan pengembangan diri. Semua ini harus diinternalisasi kedalam sekolah sehingga sekolah menjadi milik masyarakat.
Infut sekolah adalah sesuatu yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar.Input ini adalah siswa, visi,misitujuan, sasaran,kurkulum,tenaga pendidik dan kependidikan,sarana,administrasi sekolah.
Proses adalah kejadian berubahnya sesuatu menjadi yang lain. Dalam pendidikan proses adalah terjadinya interkasi anatara guru dan peserta didik. Proses ini sangatlah menentukan terhdap kualitas pendidikan yang dihasilkan . Oleh karena itu prilaku guru sebagai harus menjadi suri tauladan bagi peserta didiknya.
Output pendidikan adalah hasil belajar yang merefleksikan seberapa besar efektifnya proses belajar mengajar diselenggarakan.
Outcame adalah dampak jangka panjang dari output hasil belajar, baik dampak bagi individu tamatan maupun bagi masyarakat.
Bagi sekolah yang sudah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah semua komponen tersebut di atas akan dikelola secara baik sehingga berhasil guna dan berdaya guna. Lebih Jauh lagi Dr.Syaiful Sagala (2004 : 136) menyebutkan bahwa sekolah yang menerapkan MBS adalah sebagai berikut :
1. Memiliki output (prestasi pemebelajaran dan manajemen sekolah efektif)
2. Efektifitas proses belajar mengajar yang tinggi.
3. Peran kepala sekolah yang kuat dalam mengkordinasikan, menggerakkan dan menyesarikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia.
4. Lingkungan dan iklim belajar yang aman, tertib dan nyaman (enjoable learning) sehingga manajemen sekolah berjalan dengan efektif.
5. Analisis kebutuhan perencanaan,pengembangan, evaluasi kinerja,hubungan kerja dan imbal jasa tenaga kependidikan dan guru sehingga mereka menjalankan tugasnya denga baik.
6. Pertanggungjawaban sekolah kepada publik terhadap keberhasilan sekolah yang telah dilakukan
7. Pengelolaan dan penggunaan anggaran sesuai dengan kebutuhan riil.
IV. Implementasi MBS Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan
Secara umum Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model pengolahan yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah, dan mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Dari pespektif ini maka penerapan MBS dipandang strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan . Disini sekolah dapat menciptakan program – programnya yang lebih baik karena pemikiran dan sumber daya sekolah dapat diolah secara langusng sesuai dengan kebutuhan murid yang dilayani yang pada gilirannya akan lahir sekolah yang bermutu.
Sekolah dapat dikatan bermutu apabila prestasi sekolah, khususnya prestasi peserta didik menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam :
Ø Prestasi akademik
Ø Memiliki nailai – nilai kaqwaan. Kesopanan,
Ø Memiliki tanggung jawab yang tinggi dan kemampuan yang diwujudkan dalam keterampilan dasar sesuai dengan ilmu yang diterima di sekolahnya
Ada persyaratan untuk pelaksanaan manajemen berbasis sekolah sehingga menjadi sekolah yang bermutu yaitu :
1. adanya kebutuhan untuk berubah.
2. adanya redesain organisasi pendidikan dalam sistem pemilihan kepala sekolah dan guru mengacu pada profesionalisme
3. bentuk partisipasi masyarakat
4. dukungan lingkungan dan orangtua murid
5. kemampuan mengadakan dan mengelolaan dana
6. perolehan hasil belajar yang diukur standar evaluasi.
Diposkan oleh jenal blogger di 07:23
PERUMUSAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Oleh : Suyanto SMK 2 Wonosobo
A. Pendaluluan
Faktor keberhasilan pendidikan di SMK yang dapat dilihat secara umum
adalah:
1. Terserapnya tamatan di dunia kerja sesuai dengan kompetensi pada
program keahliannya.
2. Mampu mengembangkan diri dalam berwirausaha sehingga dapat
menciptakan lapangan kerja baru.
3. Mampu bersaing dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi.
Namun pada kenyataannya indikator keberhasilan tersbut tampaknya
belum dapat sepenuhnya diwujudkan oleh semua penyelenggara pendidikan
sekolah menengah kejuruan (SMK) sehingga memunculkan pernyataan yang
memvonis bahwa mutu pendidikan nasional masih rendah.
Pada penyelenggara pendidikan atau sekolah yang berhubungan langsung
terhadap output (mutu) kelulusan tidak dapat dituding sebagai lembaga yang
bertanggung jawab secara mutlak. Meskipun telah diupayakan berbagai langkah
oleh pemerintah dengan metode dan perumusan oleh pakar-pakar pendidikan
namun belum menghasilkan hasil yang menggembirakan. Terlalu komplek
permasalahan yang timbul yang harus ditangani secara menyeluruh dan bertahap.
Sebagian pendapat menganggap bahwa yang menjadikan mutu pendidikan tidak
mengalami peningkatan secara merata karena adanya beberapa faktor yang antara
lain :
1. Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional yang menggunakan
metode Educational Production Function Approach atau Input Output
Analysis Approach tidak dilaksanakan secara konsekuen.
2. Penyelengaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik
sentralistik, sehingga penyelenggara pendidikan sangat tergantung
birokrasi yang sangat panjang dan sering kebijakan yang seragam tersebut
tidak sesuai dengan kenutuhan sekolah.
3. Peran serta masyarakat, khususnya orang tua/wali siswa masih sangat
kurang dalam proses peyelenggaraan pendidikan.
B. Manajemen berbasis sekolah (MBS)
Howard M. Carlisle menyatakan : Management is the process by which
the element of a group are integrated, coordinated, and efficiently achieve
objective (Manajemen adalah proses pengintegrasian, pengkordiasian dan
pemanfaatan elemen-elemen suatu kelompok untuk mencapai tujuan secara
efisien).
Dengan demikian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan proses
pengintegrasian, pengkoordinasian dan pemanfaatan dengan melibatkan secara
menyeluruh elemen-elemen yang ada pada sekolah untuk mencapai tujuan (mutu
pendidikan) yang diharapkan secara efisien.
Atau dapat diartikan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah
model manajemen yang memberikan otonomi (kewenangan) yang lebih besar
kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan yang partisipatif yaitu
melibatkan semua warga sekolah berdasarkan kesepakatan bersama.
Dengan adanya otonomi (kewenangan) yang lebih besar diharapkan
sekolah memiliki kewenangan secara mandiri dalam mengelola sekolah dan
memilih strategi dalam meningkatkan mutu pendidikan serta dapat memilih
pengembangan program yang lebih sesuai dengan potensi kebutuhan daerah
dimana lulusannya akan diproyeksikan.
C. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Tujuan Umum MBS :
Memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian otonomi
kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan
secara partisipatif.
Tujuan Khusus MBS :
1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah
dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang ada.
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
3. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada masyarakat.
4. Meningkatkan persaingan yang sehat antar sekolah tentang mutu
pendidikan yang ingin dicapai.
D. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Konsep dasar Manajemen Berbasis Sekolah adalah manajemen yang
bernuansa otonomi, kemandirian dan demokratis.
1. Otonomi, mempunyai makna bahwa kewenangan sekolah untuk mengatur
dan mengurus kepentingan warga sekolah dalam mencapai tujuan sekolah
(mutu pendidikan) menurut prakarsa berdasarkan aspirasi dan partisipasi
warga sekolah dalam bingkai peraturan perundangan-undangan yang
berlaku.
2. Kemandirian, mempunyai makna bahwa dalam pengambilan keputusan
tidak tergantung pada birokrasi yang sentralistik dalam mengelola sumber
daya yang ada, mengambil kebijakan, memilih strategi dan metoda dalam
memecahkan persoalan yang ada, mampu menyesuaikan dengan kondisi
lingkungan serta peka dan dapat memanfaatkan peluang yang ada.
3. Demokratif, mempunyai makna seluruh elemen-elemen sekolah dilibatkan
dalam menetapkan, menyusun, melaksanakan dan mengevaluasi
pelaksanaan untuk mencapai tujuan sekolah (mutu pendidikan) sehingga
memungkinkan tercapainya pengambilan kebijakan yang mendapat
dukungan dari seluruh elemen-elemen warga sekolah.
E. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Karakterisitk Manajemen Barbasis Sekolah tentunya tidak terlepas dari
pendekatan Input, Proses, Output Pendidikan.
1. Input Pendidikan
a. Memiliki kebijakan, tujuan dan sasaran mutu yang jelas.
b. Tersedianya sumber daya yang kompetitif dan berdedikasi.
c. Memiliki harapan prestasi yang tinggi.
d. Komitmen pada pelanggan.
2. Proses Pendidikan
a. Efekttivitas dalam proses belajar mengajar tinggi.
b. Kepemimpinan yang kuat.
c. Lingkungan sekolah yang nyaman.
d. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif.
e. Tim kerja yang kompak dan dinamis.
f. Kemandirian, partisipatif dan keterbukaan (transparasi).
g. Evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan.
h. Responsif, antisipatif, komunikatif dan akuntabilitas.
3. Output yang diharapkan
Pada dasarnya output yang diharapkan merupakan tujuan utama dari
penyelenggaraan pendidikan secara umum.
F. Langkah-langkah Perumusan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Untuk merumuskan implementasi manajemen berbasis sekolah harus ada
tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Perencanaan
Pada langkah awal perumusan MBS, hal-hal yang perlu dilaksanakan
adalah :
a. Mengidentifikasi sistem, budaya dan sumber daya, mana yang perlu
dipertahankan dan mana yang harus dirubah dengan memperkenalkan
terlebih dahulu format yang baru dan tentunya lebih baik.
b. Membuat komitmen secara rinci yang diketahui oleh semua unsur yang
bertanggung jawab, jika terjadi perubahan sistem, budaya dan sumber
daya yang cukup mendasar.
c. Hadapilah penolakan terhadap perubahan dengan memberi pengertian
akan pentingnya perubahan demi mencapai tujuan bersama.
d. Berkerja dengan semua unsur sekolah dalam menjelaskan atau
memaparkan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana dan program-program
penyelenggaraan MBS.
e. Menggaris bawahi prioritas sistem, budaya dan sumber daya yang
belum ada dan sangat diperlukan.
2. Mengidentifikasi Tantangan Nyata Sekolah
Pada umumnya tantangan sekolah bersumber pada output (lulusan)
sekolah yang meliputi kualitas, produktifitas, efektibilitas dan efisiensi.
Maka sangat diperlukan identifikasi dari hasil analisis output untuk
mengetahui tingkat kualitas, produktifitas, efektibilitas dan efisiensi dari
output yang dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan.
3. Merumuskan visi, misi, tujuan sasaran sekolah yang dapat menjamin
kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah.
- Visi adalah gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah, agar
sekolah yang bersangkutan dapat menjamin kelangsungan hidup dan
perkembangannya.
- Misi adalah tindakan untuk mewujudkan atau merealisasikan visi
tersebut.
- Tujuan adalah apa yang ingin dicapai atau dihasilkan oleh sekolah
yang bersangkutan dan kapan tujuan itu mungkin dicapai.
- Sasaran adalah penjabaran tujuan yang akan dicapai oleh sekolah
dalam jangka waktu lebih pendek dibandingkan dengan tujuan sekolah.
Rumusannya harus berupa peningkatan yang spesifik, terukur, jelas
kriterianya dan disertai indicator yang rinci.
4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran.
Fungsi-fungsi yang dimaksud adalah unsur-unsur kegiatan beserta unsurunsur
pendukungnya yang saling berkaitan dan tidak dapat berdiri sendiri.
Sejauh mana kesiapan fungsi-fungsi tersebut terhadap kegiatan yang akan
dilaksanakan dalam mencapai sasaran.
5. Melakukan analisis potensi lingkungan (analisis SWOT)
Analisis SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali kesiapan
setiap fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan utnuk
mencapai sasaran yang telah ditetapkan.
Prinsip analisis SWOT adalah :
- Kekuatan-kekuatan apa yang kita miliki ?
Bagaimana memanfaatkannya ?
- Kelemahan-kelemahan apa yang kita miliki ?
Bagaimana meminimalkannya ?
- Peluang-peluang apa yang ada ?
Bagaimana memanfaatkannya ?
- Ancaman apa yang mungkin menghambat keberhasilan ?
Bagaimana mengatasinya ?
6. Memilih langkah-langkah alternatif pemecahan persoalan.
Dalam setiap kegiatan dimungkinkan adanya permasalahan yang timbul.
Hendaklah kita tidak menghindari masalah akan tetapi harus kita hadapi
dengan solusi pemecahan yang sudah kita rencanakan sebelumnya.
7. Menyusun Rencana Program Peningkatan Mutu.
Penyusunan program peningkatan mutu harus disertai langkah-langkah
pemecahanan persoalan yang mungkin terjadi. Fungsi yang terlibat beserta
unsur-unsurnya membuat rencana program untuk jangka pendek,
menengah dan jangka panjang serta bersama-sama merealisasikan rencana
program tersebut. (rencana program biasanya tertuang dalam renstra
sekolah).
8. Melaksanakan Rencana Program Peningkatan Mutu
Dalam melaksanakan rencana peningkatan mutu maka fungsi-dungsi
terkait hendaknya memanfaatkan sumber daya secara maksimal, efektif
dan efisien.
9. Melakukan Evaluasi Pelaksanaan
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah perlu
mengadakan evaluasi pelaksanaan program, baik program jangka pendek
maupun program jangka panjang.
10. Merumuskan Sasaran Peningkatan Mutu Baru.
Dari hasil evaluasi kita dapat memperoleh tingkat keberhasilan dan
kegagalannya sehingga dapat memperbaiki kinerja program yang akan
datang. Disamping itu evaluasi juga sangat berguna sebagai bahan
masukan bagi sekolah untuk merumuskan sasaran (tujuan) peningkatan
mutu untuk tahun yang akan datang.
G. Penutup.
Bahwa penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) akan menghasilkan
nilai positif bagi sekolah antara lain :
1. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
bagi sekolah yang bersangkutan sehingga sekolah dapat lebih
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada.
2. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan skala prioritas.
3. Pengambilan keputusan lebih partisipatif terutama dalam hal :
a. Menetapkan sasaran peningkatan mutu
b. Menyusun rencana peningkatan mutu
c. Melaksanakan rencana peningkatan mutu
d. Melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu.
4. Penggunaan dana lebih efektif dan efisien sesuai dengan skala prioritasnya
5. Keputusan bersama lebih menciptakan transparasi dan demokrasi
6. Dapat lebih meningkatkan rasa tanggung jawab.
7. Menumbuhkan persaingan sehat sehingga diharapkan adanya upaya
inovatif.
SUMBER PUSTAKA
1. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Direktorat Pendidikan
Menengah Umum Depdiknas.
2. Buku Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan Edisi 2004
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
BAB I
PENDAHULUAN
A . Latar Belakang
Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui pendekatan pemberdayaan sekolah dalam mengelola institusinya, telah dilakukan Depdiknas. Baik sebelum otonomi daerah maupun sesudah otonomi daerah. Pada era otonomi daerah muncul program pemberdayaan sekolah melalui Manajemen Berbasis Sekolah ( M B S ).
MBS akan terlaksana apabila didukung oleh sumber daya manusia ( SDM ) yang memiliki kemampuan, integritas dan kemauan yang tinggi. Salah satu unsur SDM dimaksud adalah guru, di mana guru merupakan faktor kunci keberhasilan peningkatan mutu pendidikan karena sebagai pengelola proses belajar mengajar bagi asiswa.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional khususnya pendidikan dasaar dan menengah pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan pewningkatan mutu manajemen sekolah. Namun berbagai indikator mewujudkan bahwa, mutu pendidikan masih belum meningkat secara signifikan. Sebagian kecil saja sekolah menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian besar lainnya masih memprehatinkan.
Dari berbagai pengamatan dan analisis, ada tiga hal pokok yang menyebabkan mutu pendidikan kita tidak mengalami peningkatan secara signifikan.
Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan yang menganggap bahwa apabila semua komponen pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainya terpenuhi, maka hasil pendidikan yang dikehendaki yaitu mutu pendidikan secara otomatis akan terwujud. Dan yang terjadi tidak demikian, karena hanya memusatkan pada masalah pendidikan dan tidak memperhatikan proses pendidikannya.
Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik- sentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan ayang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi setempat. Lebih parah lagi jika sekolah sendiri pasif dalam arti tidak punya kreativitas.
Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat pada umumnya lebih banyak bersifat dukungan dana, bukan pada proses pendidikan. Sekolah tidak mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu unsur yang berkepentingan dengan pendidikan.
B.Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah.
Manajemen Berbasis Sekolah adalah model manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan
bersama/partisipatif dari semua warga sekolah dan masyarakat. Untuk mengelola sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Otonomi yang demikian memberikan kebebasan sekolah untuk membuat program-program sesuai dengan kebutuhan sekolah. Pengambilan keputusan bersama dengan warga sekolah dan dedikasi tanggung jawab bersama untuk kemajuan sekolah. Dengan tidak mengurangi otonomi sekolah, demi kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok untuk menguasai sekolah tanpa partisipasi warga sekolah dan masyarakat.
C.Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam
mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama/partisipatif.
3. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua masyarakat dan pemerintah
tentang sekolahnya.
4. Meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang
akan dicapai.
BAB II
ANALISIS PEMBAHASAN
A. Paradigma Manajemen Berbasis Sekolah
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka sebagai konsekwensi logis bagi manajemen pendidikan di Indonesia adalah perlu dilakukannya penyesuaian terhadap manajemen paradigma lama menuju manajemen paradigma baru yang lebih bernuansa otonomi dan yang lebih demokratis Pergeseran paradigma pendidikan dasar dan menengah telah tercermin dalam visi pembangunan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN 1999 ” mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas guna mewujudkan bangsa yang berakhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas sehat, disiplian, bertanggung jawab, trampil, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.”Amanat GBHN ini menyiratkan suatu kekhawatiran yang mendalam dari berbagai komponen bangsa terhadap prestasi sistem pendidikan nasional yang kini tampak mulai menurun dalam mempersiapkan SDM yang tangguh dan mampu bersaing di era tanpa batas ke depan.
MBS bermaksud mengembalikan sekolah kepada pemiliknya dalam arti yang mengetahui perkembangan sekolah baik di bidang mutu maupun lainya tergantung pada sekolah dan masyarakat partisipannya. Kepala sekolah merupakan orang yang paling tahu tentang prestasi guru-gurunya, kekurangan buku, sarana-prasarana yang menyangkut proses pembelajaran. Untuk itu kepala sekolah dan guru-guru harus dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian serta analisis agar semakin peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekolahnya.
Salah satu cara menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demoktratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah guru, dan masyarakat adalah peran utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputuisan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi dari ketiga pihak. Masyarakat adalah stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan keberhasilan pendidikan di sekolah., karena mereka adalah pembayar pendidikan baik melalui uang sekolah maupun pajak sehingga sudah sewajarnya sekolah bertangggung jawab kepada masyararakat.Bentuk stakeholder masyarakat tersebut adalah Dewan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan di tingkat kota/kabupaten Kemandirian sekolah sangat diharapkan oleh pemerintah terutama pada kebijakan desentralisasi pendidikan.Namun untuk sampai pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan diperlukan program yang sistematis dengan melakukan ” capasity building ”Untuk melakukan kegiatan ” capasity building ” perlu tahapan-tahapan agar arahnya terarah dan terukur . Ada empat tahapan yang perlu dilalui untuk kegiatan tersebut . Masing-masing tahap pengembangan dilakukan terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang mempunyai karateristik yang setara. Capasity building dilakukan untuk meningkatkan ( up grade ) suatu kelompok satuan pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ke tahap berikutnya. Keempat tahap tersebut adalah:
Tahap Pra format, ialah tahap dimana satuan pendidkan belum memiliki standar formal pendidikan masih belum terpenuhi sebagai sumber-sumber pendidikan dan perlu ditingkatkan ke tahap berikutnya.
Tahap Formalitas, ialah sekolah yang sudah memiliki sumber-sumber pendidikan secara minimal. Satuan pendidikan tersebut sudah memiliki standar teknis minimal seperti kualifikasi guru, juimlah dan kualitas ruang kelas, kualitas buku serta j7umlah kualitas pendidikan lainnya. Dengan capasity building sekolah dapat meningkatkan kemampuan administratur dan pelaksanaan pendidikandan dapat meningkatkan pembelajarannya lebih kreatif dan inovatif. Jika satuan pendidikan tersebut sudah berhasil ditingkatkan lagi ke tingkat transsional. Keberhasilan tersebut dapat diukur dengan standar pelayanan minimum tingkat sekolah, terutama menyangkut output pendidikan seperti penurunan tingkat putus sekolah, mengulang kelas , kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah.
Tahap Transisional, ialah satuan pendidikan sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal. Meningkatkan kreativitan guru , pendayagunaan perpustakaan, sekolah secara optimal.
Tahap otonomi, pada tahap ini dapat dikatakan sekolah sudah mencapai tahap penyelesaian capasity building menuju profesionalisme pendidikan ke pelayanan pendidikan yang bermutu.Satuan pendidikan sudah dianggap dapat memberikan pelayanan di atas Standar Pelayanan Minimal dan bertanggung jawab terhadap klien serta stakeholder pendidikan lainnya.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa perubahan paradigma itu antara lain:
1. Melaksanakan program menjadi merumuskan/melaksanakan program.
2. Keputusan terpusat menjadi keputusan bersama/partisipatif.
3. Ruang gerak terbatas menjadi ruang gerak fleksibel.
4. Sentralistik menjadi desentralistik.
5. Individual menjadi kerjasama
6. Basis birokratik menjadi basis profesional
7. Diatur menjadi mandiri
8. Malregulasi menjadi deregulasi
9. Informasi terbatas menjadi informasi terbuka
10.Boros menjadi efisien
11.Pendelegasian menjadi pemberdayaan
12 Organisasi vertical menjadi organisasi horizontal
Pada paradigma lama, tugas dan fungsi sekolah hanya melaksanakan program dari pada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program yang dibuat sendiri oleh sekolah.
B. Konsep Dasar MBS
MBS adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara bersama/partisipatif. Untuk memenuhi kebutuhan sekolah atau untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional. Otonomi diartikan kemandirian, artinya otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kebutuhan warga sekolah yang didukung kemampuan tertentu sesuai dengan peraturan perundang
undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Pengambilan keputusan bersama merupakan cara pengambilan keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratis dimana warga sekolah langsung terlibat dalam pengambilan keputusan. Sekolah dapat memberdayakan warga sekolah berupa pemberian kewenangan, tanggung jawab, kebersamaan dalam pemecahan masalah serta pemberian kepercayaan dan penghargaan.
Manajemen Berbasis Sekolah memiliki karateristik yang harus dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya yang meliputi komponen pendidikan dan perlakuannya pada setiap tahap pendidikan input, prose dan outputnya.
Pada hasil pendidikan (output ) diharapkan mendapatkan prestasi akademik dan non akademik. Prestasi akademik misalnya NEM, lomba karya ilmiah, olympiade, siswa berprestasi. Sedangkan non akademin berupa kesenian, olah raga, kejujuran, kerajinan, pramuka dan lain-lain.
Pada proses pendidikan biasanya penekanannya pada :
1. Proses Belaja Mengajar yang efektifitasnya tinggi .
Proses belajar mengajar yang menekankan pada bekerja, belajar hidup bersama dan
belajar menjadi diri sendiri.
2. Kepemimpinan sekolah yang tangguh.
Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kepemimpinan yang tangguh , kuat dan
mampu meningkatkan mutu sekolah sesuai dengan visi, misi tujuan dan sasaran yang
telah ditetapkan.
3. Lingkungan sekolah yang tertib, aman, dan nyaman.
4. Pengelolaan tenaga pendidikan yang efektif .
Kebutuhan tenaga, analisis, perencanaan, pengembangan, evaluasi, hubungan kerja.
5. Sekolah memiliki budaya mutu.
Sekolah memiliki kualitas informasi untuk perbaikan hasil diikuti penghargaan atau
sanksi, warga merasa aman, warga sekolah merasa memiliki sekolah.
6. Sekolah memiliki kebersamaan yang kompak.
Sekolah memiliki budaya kerjasama antar individu tanpa adanya kelompok-kelompok
tertentu yang dapat menghambat kemajuan sekolah.
7. Sekolah memiliki kewenangan.
Kewenangan sekolah merupakan kesanggupan kerja dan tidak menggantungkan orang
lain . Kepala sekolah mempunyai kreatifitas yang tinggi untuk menuju sekolah yang
lebih baik.
8. Partisipasi warga sekolah dan masyarakat.
Hubungan antara sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupan sekolah yang
paling tinggi terutama di bidang non akademik dan akademik.
9. Keterbukaan ( transparasi ) manajemen.
Masalah manajemen perlu keterbukaan antara warga sekolah dan masyarakat terutama
komite sekolah.Apalagi manajemen tersebut menyangkut perencanaan anggaran
( RAPBS ) dan penggunaan uang sekolah. Komite sekolah harus tahu terutama
menyangkut anggaran sekolah. Contoh : DOP, BOS, Block Grant, dan anggaran rutin
sekolah .
10.Sekolah memiliki kemauan untuk berubah
Perubahan sekolah diharapkan menuju yang lebih baik. Perubahan tersebut dapat
berupa perubahan fisik sekolah, prestasi akademik dan non akademik.
11.Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan.
Evaluasi bukan sekedar untuk memenuhi daya serapp siswa menerima pelajaran.
Namun, evaluasi dapat dipakai tolak ukur untuk meningkatkan mutu sekolah pada
proses belajar mengajar selanjutnya. Sekolah harus selalu melaksanakan evaluasi
secara terus menerus baik berupa pengayaan dan perbaikan untuk siswa demi
peningkatan mutu di sekolah.
12.Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan.
Sekolah harus mampu mengantisipasi setiap kejadian yang adaa di sekolah terutama
menyangkut mutu sekolah. Sekolah tidak pasif melainkan anatisipatif mencari ke
sekolah – sekolah lain atau ke lembaga-lemabaga pendidikan dengan kata lain
menjemput bola demi kemajuan sekolah.
13.Sekolah memiliki komunikasi yang baik.
Sekolah memiliki komunikasi yang baik terutama antara warga sekolah.Kebersamaan
antar warga sekolah dapat mengantar sekolah ke hal-hal yang lebih bermutu. Contoh
Kelompok Kerja Guru di setiap Gugus Sekolah.
14.Sekolah memiliki Akuntabilitas.
Sekolah memiliki tanggung jawab atas keberhasilan pelaksanaan penyelenggaraan
program sekolah. Akuntabilitas berbentuk laporan prestasi yang harus dilaporkan
kepada pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program,
pemerintah dapat menilai apakah program MBS dapat mencapai tujuan atau tidak.
Jika mencapai tujuan maka diberi penghargaan atau sebaliknya jika tidak berhasil
perlu diberikan sanksi atau teguran atas kinerjanya yang tidak memenuhi syarat.
Sedangkan para orang tua murid dapat memberikan penilaian terhadap program MBS
yang dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya atau kinerja sekolahnya. Jika ber-
hasil orang tua dapat memberikan dorongan dan semangat kepada sekolah,atau se-
baliknya jika tidak berhasil orang tua dapat meminta pertanggung jawaban dan pen-
jelasan sekolah atas kegagalan yang telah dilakukan.
Pada input pendidikan,
1. Pendidikan memiliki kebijakan, tujuan dari sasaran program yang jelas.
Kebijakan tujuan dan sasaran sekolah harus disosialisasikan kepada semua warga
sekolah,sehingga tertanam pemikiran,tindakan,kebiasaan dan karakter yang kuat o- leh warga sekolah.
2. Sumber daya yang tersedia.
Sekolah harus memiliki sumberdaya yang kuat baik sumberdaya manusia maupun
sumberdaya lainnya berupa uang, peralatan, perlengkapan, bahan dan lain-lain.
3. Staf yang kompeten dan dedikasi tinggi.
4. Memiliki harapan prestasi yang tinggi.
Kepala sekolah memiliki komitmen dan dedikasi yang tinggi untuk mencapai prestasi
serta anak didik juga mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan diri untuk
berprestasi sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
5. Fokus pada pelanggan
Anak didik merupakan fokus utama semua kegiatan proses pembelajaran yang dikerah-
kan di sekolah dengan tujuan utama untuk meningkatkan mutu dan kepuasan siswa
6. Manajemen
Kelengkapan dan kejelasan manajemen yang dibutuhkan sekolah akan membantu
kepala sekolah mengelola sekolahnya dengan efektif.
C. Fungsi- fungsi Pendidikan yang Didesentralisasikan
Perencanaan dan Evaluasi
Pengelolaan kurikulum
Pengelolaan PBM
Pengelolaan Ketenagaan Proses Prestasi
Pengelolaan Keuangan Belajar Siswa dan
Pengelolaan layanan siswa Mengajar Tamatan
Pengelolaan hungan sekolah
dan Masyarakat
Pengelolaan iklim sekolah
Masukan pendidikan Proses pendidikan Hasil pendidikan
BAB III
PELAKSANAAN
A. Rasional
Pelaksanaan MBS disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan tiap-tiap sekolah. Ada empat halm pokok yang memerlukan perubahan dalam melaksanakan MBS
1. Peraturan perundang-undangan yang menetapkan sekolah bersifat otonom.
2. Kebiasaan berperilaku unsur-unsur sekolah perlu disesuaikan dengan tuntutan MBS.
3. Peran sekolah menjadi sekolah yang mandiri dan bermotivasi diri tinggi.
4. Struktur organisasi pendidikan perlu di tata kembali sesuai dengan tuntutan kebutuhan.
B. Tahap-tahap pelaksanaan MBS
1. Sosialisasi.
Sekolah mensosialisasikan konsep MBS kepada seluruh warga sekolah dan masyarakat
melalui berbagai kegiatan antara lain seminar, lokakarya, diskusi, rapat kerja.
Kegiatan mensosialisasi MBS dapat dilakukan dengan cara :
a. Melakukan identifikasi dan mengenalkan sistem, budaya, dan sumber daya yang
diperlukan untuk menyelenggarakan MBS.
b. Membuat komitmen secara rinci jika terjadi perubahan sistem, budaya, dan sumber
daya yang cukup mendasar.
c. Mengklarifikasikan visi,misi dan tujuan, sasaran rencana, dan program-program
penyelenggaraan MBS.
d. Memberikan penjelasan secara rinci mengapa diperlukan manajemen berbasis
sekolah.
e. Mendorong sistem, budaya, dan sumber daya manusia yang mendukung penerapan
MBS dan memberi penghargaan kepada warga sekolah yang menerapkannya.
f. Mengarahkan proses perubahan agar sesuai dengan visi, misi, tujuan, sasaran,
rencana, dan program-program sekolah.
2. Identifikasi Tatangan sekolah
Sekolah mengidentifikasi tantangan yang dihadapi oleh sekolah. Tantangan adalah selisih antara hasil yang diharapkan di masa yang akan datang, contoh hasil prestasi akademik dan non akademik . Tantangan sekolah bersumber dari hasil sekolah yang dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu kualiatas, produktivitas, efektivitas, dan efisien.
3. Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Sekolah.
V i s i
Setiap sekolah memiliki visi yang berisi tentang :
a. Wawasan yang menjadi sumber arahan bagi sekolah dan digunakan untuk memandu
perumusan misi sekolah.
b. Pandangan jauh ke depan kemana sekolah akan di bawa.
c. Gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah agar sekolah yang bersang-
kutan dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya.
Visi sekolah harus mengacu kebijakan pendidikan nasional tetapi sesuai dengan
butuhan peserta didik yang dilayani. Oleh karena itu, visi suatu sekolah tak harus sama dengan sekolah lainsepanjang tidak keluar dari ketentuan nasional yaitu tujuan pendidikan nasional. Visi sebaiknya dilengkapi dengan indikator sebagai penjelasan apa yang dimaksudkan oleh visi tersebut agar tidak menimbulkan aneka tafsir. Misalnya Unggul dalam prestasi berdasarkan iman dan taqwa.
M i s i
Misi adalah tindakan untuk mewujudkan/merealisasikan visi tersebut. Dalam merumuskan misi harus mempertimbangkan tugas pokok sekolah dan aspirasi semua warga sekolah yang terkait. Misi adalah bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya. Contoh Visi sekolah ” Unggul dalam prestasi berdasarkan iman dan taqwa dapat merumuskan misi sebagai berikut :
* Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara efektif, bagi siswa sesuai potensi
masing- masing.
* Menumbuhkan semangat keunggulan kepada seluruh warga sekolah.
* Mendorong dan membantu setiap siswa untuk mengenali potensi dirinya, sehingga
dapat dikembangkan secara optimal.
* Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran agama yanga dianut dan juga budaya
bangsa sehingga menjadi sumber kearifan dalam bertindak.
T u j u a n
Tujuan adalah apa yang akan dicapai dihasilkan oleh sekolah yang bersangkutan dan kapan tujuan tersebut akan dicapai. Tujuan pada dasarnya merupakan tahapan wujud sekolah menuju visi yang telah ditetapkan.
S a s a r a n
Sasaran adalah penjabaran tujuan : yaitu suatu yang akan dihasilkan/dicapai oleh sekolah dalam jangka waktu lebih singkat dibanading tujuan sekolah. Rumusan sasaran harus selalu mengandung peningkatan baik peningkatan kualitas, efektivitas, produktivitas, maupun efisiensi.Sasaran harus dibuat spesifik, terukur jelas kriterianya dan disertai indikator-indikator yang rinci, dan mengacu pada visi, misi, dan tujuan sekolah.
4. Identifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan
Fungsi-fungsi yanag digunakan untuk mencapai sasaran dan yang masih perlu tingkat kesiapannya, antara lain fungsi proses belajar mengajar, pengembangan kurikulum perencanaan dan evaluasi, ketenagaan, fungsi keuangan, fungsi pelayanan kesiswaan, pengembangan iklim akademik sekolah, fungsi hubungan sekolah masyarakat, dan fungsi pengembangan fasilitas.
5. Analisis SWOT
Analisis SWOT ( Strenht, Weakness, Opprtunity, Threat ) dilakukan untuk mengetahui
tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah untuk mencapai sasaran
yang ditetapkan, analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Fungsi yang memadai sebagai kekuatan dan fungsi yang kurang dinyatakan sebagai kelemahan, untuk faktor
internal dan ancaman.
6. Alternatif Pemecahan Masalah
Tindakan tersebut merupakan upaya untuk mengatasi kelemahan maupun ancaman, agar menjadi kekuatan atau peluang, yakni dengan memanfaatkan faktor lain yang menjadi kekuatan atau peluang.
7. Rencana dan Program Sekolah
Rencana harus menjelaskan secara detail aspek-aspek yang ingin dicapai, kegiatan yang harus dilakukan siapa, kapan dan dimana dilaksanakan, serta biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Program adalah bentuk dukumen untuk menggambarkan langkah dalam mewujudkan keterpaduan dlam pelaksanaan.
8. Implementasi Rencana dan Program Sekolah
Dalam kaitannya dengan implementasi Rencana dan Program sekolah kepala sekolah dan guru hendaknya mendayagunakan sumberdaya pendidikan yang tersedia semaksimal mungkin semata-mata untuk kualitas pembelajaran.
9. Evaluasi Pelaksanaan
Sekolah harus melakukan evaluasi pelaksanaan program, baik jangka pendek ( akhir semester ), jangka menengah ( satu tahun ), jangka panjang uantuk mengetahui seberapa jauh program sekolah memenuhi tuntutan pasar. Hasil evaluasi dibuat laporan meliputi laporan teknis yang menyangkut program pelaksanaan dan hasil MBS dan laporan keuangan tentang penggunaan uang serta pertanggungjawabannya.
10. Sasaran Baru
Hasil evaluasi untuk menentukan sasaran baru untuk tahun yang akan datang. Setelah sasaran baru ditetapkan, kemudian dilakukan analisis SWOT untuk mengetahui tingkat kesiapan masing-masing fungsi dalam sekolah.
C. Tugas dan Fungsi Sekolah
Tugas dan fungsi sekolah adalah mengelola penyelenggaraan MBS di sekolah masing-masing. Mengingat sekolah merupakan unit terdepan dalam penyelenggaraan MBS, maka sekolah menjalankan tugas dan fungsi sebagai berikut :
1. Menyusun rencana dan program pelaksanaan MBS dengan melibatkan semua unsur
sekolah
2. Mengkoordinasikan dan menyerasikan segala sumberdaya yang ada di sekolah dan di
luar sekolah untuk mencapai sasaran MBS yang telah ditetapkan.
3. Melaksanakan MBS secara efektif dan efisien
4. Melaksanakan pengawasan dan bimbingan dalam pelaksanaan MBS untuk mencapai
sasaran MBS
5. Pada setiap akhir tahun ajaran melakukan evaluasi untuk menilai tingkat ketercapaian
sasaran program MBS yang telah ditetapkan guna untuk menentukan sasaran baru pro-
gram MBS tahun-tahun berikutnya.
6. Menyusun laporan-laporan program MBS secara lengkap
7. Mempertanggungjawabkan hasil penyelenggaraan MBS kepada semua pihak yang
berkepentingan.
Berdasarkan uraian di atas dalam pelaksanaan MBS perla dilakukan monitoring dan evaluasi dengan tujuan dapat mengukur tingkat kemajuan pendidikan baik pada tingkat sekolah, dinas pendidikan tingkat kota/kabupaten, dinas propinsi maupun pusat.
Monitoring menghasilakn informasi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan.
Dengan monitoring sdan evaluasi kita dapat melihat apakah MBS benar-benar mampu menyelenggarakan sekolah dengan baik khususnya dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Monitoring hádala statu proses pemantauan untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan MBS. Fokus monitoring pada pelaksanaannya. Hasil monitoring dapat digunakan untuk memberi masukan ( umpan balik ) bagi perbaikan pelaksanaan MBS baik pada konteks, input, proses, output maupun dampaknya.
BAB IV
P E N U T U P
A. Kesimpulan.
1. MBS adalah model manajemen sekolah yang memberikan otonomi kepada sekolah dan
menekankan keputusan sekolah sbersama/ partisipatif dari semua warga sekoalh dalam
rangka meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
2. MBS memberikan kemungkinan sekolah memiliki kewenangan yang besar mengelola
sekolahnya agar lebih berdaya kreatif sehingga dapat mengembangkan program-
program yang lebih cocok dengan kebutuhan dan potensi sekolah.
3. Tahap pelaksanaan MBS meliputi sosialisasi merumuskan visi, misi, tujuan dan
sasaran sekolah, identifikasi fungsi-fungsi pendidikan/sekolah, analisis tingkat
kesiapan fungsi, pemecahan masalah, menyiapkan/ menyusun program, evaluasi dan
penyempurnaan.
4. MBS akan efektif apabila pelaksanaanya didukung oleh sumber daya manusia ( SDM )
Yang memilki kemauan,integritasyang tinggi,baik dijajaran sekolah,Dinas Pendidikan
Kabupate/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi maupun pusat
5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS adalah merupakan sistem dan bagian integral
pengelolaan pendidikan. Dengan ME dapat diketahui tingkat kemajuan pendidikan di
sekolah., dimana dari hasil ME ini dipakai sebagai bahan masukan untuk penyempurnaa
dalam penyelenggaraan sekolah.
B. Saran
1. Perubahan paradigma manajemen pendidikan dari manajemen sentralistik menuju
Manajemen Berbasis sekolah pperlu ditindak lanjuti dengan peraturan perundang
undangan.
2. MBS diharapkan tidak disalah gunakan dalam artian memberi peluang terhadap keinginan/ambisi baik individu maupun kelompok unttuk menguasai/mengelola sekolah menurut kemauannya sendiri tanpa memperhatikan dan mengakomodasi aspirasi dan partisipasi warga sekolah dan masyarakat.
Daftar Pustaka.
PPN dan Bank Dunia, 1999 School Based Management, Jakarta BPPN dan Bank
Dunia.
Depdiknas, 1999, Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan Menjelang Era Tinggal
Landas, Jakarta: Depdiknas.
Jalal,Fasil dan Supardi, Desi, 2001 Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi
Daerah, Yogjakarta, Adi Cita.
Toha, 1995 Kepemimpinan Dalam Manajemen, Jakarta: Rajawali.
Sidi Indrajati,2000 Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan
Bandung, UPI
Undang-undang No 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Direktorat Sekolah Lanjutan Pertama, 2001 Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah , Jakarta, Direktorat SLTP.
Suryadi,Ace, 2004, Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru,
Bandung , Genesindo.
Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
MBSmemiliki banyak pengertian,bergantung dari sudut pan dangorang yang mengartikannya. Nurkolis[2003:1], misalnya,menjelaskan bahwaManajemen Berbasis Sekolah terdiri dari tiga kata,yaitumanajemen, berbasis ,dan sekolah.
Pertama,istilah manajemen memiliki banyak arti.Secara umum manajemen dapat diartikan sebagai proses engelola sumber daya secara efektif untuk mencapai tujuan.Ditinjau dari aspek pendidikan , manajemenpendidikan diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapaitujuan yang tela ditetapkan ,baik jangka pendek ,menengah maupun jangka panjang.
Feiby Ismail
Volume 5 Januari - Juni 2008 IQRA’ 1
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH:
SOLUSI PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN
Oleh: Feiby Ismail*
Abstrak∗
Peningkatan kualitas pendidikan adalah pilihan sekaligus orientasi pengembangan
peradaban bangsa sebagai investasi masa depan pembangunan bangsa berjangka panjang. Orientasi
ini mutlak dilakukan oleh karena pendidikan diyakini sebagai sarana utama pengembangan kualitas
sumber daya manusia.
Dalam konteks itulah revitalisasi kebijakan pendidikan terus menjadi perhatian pemerintah.
Salah satu bentuk revitalisasi itu ialah kebijakan pengelolaan sistem pendidikan dari kebijakan yang
semula sentralistik berubah menjadi desentralistik. Sebagai konsekuensi logis dari bentuk
desentralisasi pendidikan ialah munculnya kebijakan pengelolaan pendidikan berbasis sekolah
(school based management).
Dengan sistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah tersebut diasumsikan kualitas
pendidikan dapat ditingkatkan dan juga peran serta masyarakat dan prakarsa lembaga pendidikan di
tingkat mikro (sekolah) akan lebih meningkat.
Kata Kunci:
manajemen berbasis sekolah,
kualitas pedidikan
Pendahuluan
Dewasa ini banyak upaya peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan oleh berbagai pihak.
Upaya-upaya tersebut dilandasi suatu kesadaran betapa pentingnya peranan pendidikan dalam
pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan watak bangsa (Nation Character Building)
untuk kemajuan masyarakat dan bangsa. Harkat dan martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh
kualitas pendidikannya. Dalam konteks bangsa Indonesia, peningkatan mutu pendidikan merupakan
sasaran pembangunan di bidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya
peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh.1
Seiring dengan era otonomi dengan asas desentralisasi, peningkatan kualitas pendidikan
menuntut partisipasi dan pemberdayaan seluruh komponen pendidikan dan penerapan konsep
pendidikan sebagai suatu sistem. Pendekatan peningkatan mutu pendidikan yang sesuai dengan
∗ Penulis adalah dosen tetap pada Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam
STAIN Manado, meraih gelar Magister Pendidikan dalam bidang Manajemen Pendidikan pada
Pascasarjana Universitas Negeri Manado.
1E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Menyukseskan MBS dan KBK
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 31.
Feiby Ismail
Volume 5 Januari - Juni 2008 IQRA’ 2
paradigma dan gagasan tersebut diatas adalah konsep School Based Management atau manajemen
berbasis sekolah.
Tulisan ini akan menguraikan tentang gagasan manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk
meningkatkan mutu pendidikan, model-model MBS, dan peran masing-masing pihak dalam MBS.
Manajemen Berbasis Sekolah untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan
1. Pengertian Kualitas Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mutu adalah berkaitan dengan baik buruk suatu
benda; kadar; atau derajat misalnya kepandaian, kecerdasan dan sebagainya.2 Secara umum kualitas
atau mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan
kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau tersirat.3
Mutu pendidikan dapat dilihat dalam dua hal, yakni mengacu pada proses pendidikan dan
hasil pendidikan. Proses pendidikan yang bermutu apabila seluruh komponen pendidikan terlibat
dalam proses pendidikan itu sendiri. Faktor-faktor dalam proses pendidikan adalah berbagai input,
seperti bahan ajar, metodologi, saran sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan
sumber daya lainnya serta penciptaan suasana kondusif. Sedangkan, mutu pendidikan dalam konteks
hasil pendidikan mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu.4
Pengertian kualitas atau mutu dapat dilihat juga dari konsep secara absolut dan relatif
(Edward & Sallis, 1993). Dalam konsep absolut sesuatu (barang) disebut berkualitas bila memenuhi
standar tertinggi dan sempurna. Artinya, barang tersebut sudah tidak ada yang memebihi. Bila
diterapkan dalam dunia pendidikan konsep kualitas absolut ini bersifat elitis karena hanya sedikit
lembaga pendidikan yang akan mampu menawarkan kualitas tertinggi kepada peserta didik dan hanya
sedikit siswa yang akan mampu membayarnya. Sedangkan, dalam konsep relatif, kualitas berarti
memenuhi spesifikasi yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan (fit for their purpose). Edward &
Sallis (1993) dalam Nurkolis5, mengemukakan kualitas dalam konsep relatif berhubungan dengan
produsen, maka kualitas berarti sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pelanggan.
Dalam konteks pendidikan, kualitas yang dimaksudkan adalah dalam konsep relatif,
terutama berhubungan dengan kepuasan pelanggan. Pelanggan pendidikan ada dua aspek, yaitu
pelanggan internal dan eksternal (Kamisa, 1997, dalam Nurkholis)6. Pendidikan berkualitas apabila :
a) Pelanggan internal (kepala sekolah, guru dan karyawan sekolah) berkembang baik fisik maupun
psikis. Secara fisik antara lain mendapatkan imbalan finansial. Sedangkan secara psikis adalah
bila mereka diberi kesempatan untuk terus belajar dan mengembangkan kemampuan, bakat dan
kreatifitasnya.
b) Pelanggan eksternal :
2Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 768.
3 Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Konsep Dasar (Jakarta:
Ditjend Pendidikan Dasar dan Menengah, 2002), hlm. 7.
4B. Suryosubroto, Manajemen Pendidikan di Sekolah (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004),
hlm. 210-211.
5 Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi (Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003), hlm. 68.
6 Ibid., hlm. 70-71; lihat juga J.F. Senduk, Isu dan Kebijakan Pendidikan Konsep dan
Aplikasinya (Tesis Program Pascasarjana Universitas Negeri Manado, 2006), hlm. 110.
Feiby Ismail
Volume 5 Januari - Juni 2008 IQRA’ 3
1. Eksternal primer (para siswa): menjadi pembelajar sepanjang hayat, komunikator yang baik
dalam bahasa nasional maupun internasional, punya keterampilan teknologi untuk lapangan
kerja dan kehidupan sehari-hari, inregritas pribadi, pemecahan masalah dan penciptaan
pengetahuan, menjadi warga negara yang bertanggungjawab (Phillip Hallinger, 1998, dalam
Nurkholis7). Para siswa menjadi manusia dewasa yang bertanggungjawab akan hidupnya8.
2. Eksternal sekunder (orang tua, para pemimpin pemerintahan dan perusahan); para lulusan
dapat memenuhi harapan orang tua, pemerintah dan pemimpin perusahan dalam hal
menjalankan tugas-tugas dan pekerjaan yang diberikan.
3. Eksternal tersier (pasar kerja dan masyarakat luas); para lulusan memiliki kompetensi dalam
dunia kerja dan dalam pengembangan masyarakat sehingga mempengaruhi pada
pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
2. Strategi Meningkatkan Kualitas Pendidikan
Kualitas pendidikan dapat ditingkatkan melalui beberapa cara, seperti 1) meningkatkan
ukuran prestasi akademik melalui ujian nasional atau ujian daerah yang menyangku kompetensi dan
pengetahuan, memperbaiki tes bakat (Scolastik Aptitude Test), sertifikasi kompetensi dan profil
portofolio (portofolio profile), 2) membentuk kelompok sebaya untuk meningkatkan gairah
pembelajaran melalui belajar secara kooperatif (coorperative learning), 3) menciptakan kesempatan
baru di sekolah dengan mengubah jam sekolah menjadi pusat belajar sepanjang hari dan tetap
membuka sekolah pada jam-jam libur, 4) meningkatkan pemahaman dan penghargaan belajar melalui
penguasaan materi (mastery learning) dan penghargaan atas pencapaian prestasi akademik, 5)
membantu siswa memperoleh pekerjaan dengan menawarkan kursus-kursus yang berkaitan dengan
keterampilan memperoleh pekerjaan (John Bishop, dalam Nurkholis9).
Upaya peningkatan kualitas pendidikan dapat ditempuh dalam menerapkan Total Quality
Management (TQM). TQM pertama kali dikemukakan dan dikembangkan oleh Edward Deming,
Paine, dkk tahun 1982.10 TQM dalam pendidikan adalah filosofi perbaikan terus-menerus dimana
lembaga pendidikan menyediakan seperangkat sarana atau alat untuk memenuhi bahkan melampaui
kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan saat ini dan dimasa yang akan datang. TQM merupakan
suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing
organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan.
Namun pendekatan TQM hanya dapat dicapai dengan memperhatikan karakteristiknya, yaitu:
1) fokus pada pelanggan baik internal maupun eksternal, 2) memiliki obsesi yang tinggi terhadap
kualitas, 3) menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah,
4) memiliki komitmen jangka panjang, 5) membutuihkan kerjasama tim, 6) memperbaiki proses
secara berkesinambungan, 7) menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, 8) memberikan kebebasan
yang terkendali, 9) memiliki kesatuan tujuan, dan 10) adanya keterlibatan dan pemberdayaan
karyawan.
3. Manajemen Berbasis Sekolah sebagai Alternatif Peningkatan Mutu Pendidikan
7 Nurkholis, op. cit., hlm. 71.
8 Kartini Kartono, Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hlm. 11.
9 Nurkholis, op. cit., hlm. 78-79.
10 Daniel C. Kambey, Landasan Teori Administrasi/Manajemen (Sebuah Intisari), (Manado:
Yayasan Tri Ganesha Nusantara, 2004), hlm. 34-45).
Feiby Ismail
Volume 5 Januari - Juni 2008 IQRA’ 4
Peningkatan kualitas pendidikan sangat menekankan pentingnya peranan sekolah sebagai
pelaku dasar utama yang otonom, dan peranan orang tua dan masyarakat dalam mengembangkan
pendidikan. Sekolah perlu diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri
sesuai dengan kondisi lingkungan dan dan kebutuhan pelanggan. Sekolah sebagai institusi otonom
diberikan peluang untuk mengelolah dalam proses koordinasi untuk mencapai tujuan-tujuan
pendidikan 11 . Konsep pemikiran tersebut telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni
pengelolaan peningkatan mutu yang berbasis sekolah. Pendekatan inilah yang dikenal dengan
manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school based quality management/school based
quality improvement).12
Konsep peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah muncul dalam kerangka pendekatan
manajemen berbasis sekolah. Pada hakekatnya MBS akan membawa kemajuan dalam dua area yang
saling tergantung, yaitu, pertama, kemajuan program pendidikan dan pelayanan kepada siswa-orang
tua, siswa dan masyarakat. Kedua, kualitas lingkungan kerja untuk semua anggota organisasi.13
Wohlstetter dalam Watson (1999) memberikan panduan yang komprehensif sebagai elemen
kunci reformasi MBS yang terdiri dari atas: 1) menetapkan secara jelas visi dan hasil yang
diharapkan, 2) menciptakan fokus tujuan nasional yang memerlukan perbaikan, 3) adanya panduan
kebijakan dari pusat yang berisi standar-standar kepada sekolah, 4) tingkat kepemimpinan yang kuat
dan dukungan politik serta dukungan kepemimpinan dari atas, 5) pembagunan kelembagaan
(capacity building) melalui pelatihan dan dukungan kepada kepala sekolah, para guru, dan anggota
dewan sekolah, 6) adanya keadilan dalam pendanaan atau pembiayaan pendidikan.14
Model-Model Manajemen Berbasis Sekolah: Suatu Perbandingan
1. Model MBS di Hongkong
Di Hongkong MBS disebut The School Management Initiative (SMI) atau manajemen
sekolah inisiatif. Problem pendidikan di Hongkong yang mendorong munculnya MBS adalah struktur
dan proses manajemen yang tidak memadai, peran dan tanggungjawab masing-masing pihak kurang
dijabarkan secara jelas dan inisiatif datang dari atas. Model MBS Hongkong menekankan pentingnya
inisiatif dari sumber daya di sekolah sebagai pengganti inisiatif dari atas yang selama itu diterapkan.
Inisiatif yang diberikan kepada sekolah harus dibarengi dengan diterapkannya transparansi dan
akuntabilitas dalam pengelolaan pendidikan. Transparansi di sini juga menuntut kejelasan tugas dan
tanggungjawab masing-masing pihak yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan di sekolah.
Transparansi dan akuntabilitas tidak hanya dituntut dalam penggunaan anggaran belanja sekolah,
tetapi juga dalam hal penentuan hasil belajar siswa serta pengukuran hasilnya.15
11 Soebagio Admodiwirio, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: Ardadizyajaya,
2000), hlm. 5-6.
12 Suryosubroto B, Manajemen Pendidikan di Sekolah (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004),
hlm. 204-205.
13 Nurkholis, op. cit., hlm. 81.
14 Nurkholis, op. cit., hlm. 81-82.
15 Ibid., hlm. 88.
Feiby Ismail
Volume 5 Januari - Juni 2008 IQRA’ 5
2. Model MBS di Kanada
Sebelum diterapkannya MBS di Kanada, kondisi awalnya adalah semua kebijakan
ditentukan dari pusat. Model MBS di Kanada disebut School – Site Decision Making (SSDM) atau
pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat sekolah. MBS di Kanada sudah dimulai sejak tahun
1970. Desentralisasi yang diberikan kepada sekolah adalah alokasi sumber daya bagi staf pengajar
dan administrasi, peralatan dan pelayanan. Menurut Sumgkowo (2002)16, ciri-ciri MBS di Kanada
sebagai berikut: penentuan alokasi sumber daya ditentukan oleh sekolah, alokasi anggaran
pendidikan dimasukkan kedalam anggaran sekolah, adanya program efektivitas guru dan adanya
program pengembangan profesionalisme tenaga kerja. Setiap tahun survey pendapat dilakukan oleh
para siswa, guru, kepala sekolah, staf kantor wilayah dan orang tua yang memungkinkan mereka
merangking tingkat kepuasan mereka tentang pengelolaan dab hasil pendidikan (Caldwell dan Spinks
(1992) dalam Ibtisam Abu Duhou (2002).17
3. Model MBS di Amerika Serikat
Sistem pendidikan di AS, mula-mula secara konstitusional pemerintah pusat (state)
bertanggunjawab terhadap pelaksanaan pendidikan. MBS di AS disebut Side-Based Management
(SBM) yang menekankan partisipasi dari berbagai pihak. Menurut Wirt (1991) yang dikutip oleh
Ibtisam Abu Duhou, model MBS di Amerika Serikat walaupun ada perbedaan di Negara-negara
federal, ada dua ciri utama reformasi pendidikan di Amerika Serikat sebagai implementasi dari MBS,
yakni :
a. Desentralisasi administratif : kantor pusat otoritas pendidikan menunjuk tugas-tugas tertentu
yang dilaksanakan oleh kepala sekolah dan guru di lingkungan sekolah. Kantor pusat
menyerahkan kewenangan ke bawah, tetapi sekolah local masih bertanggungjawab keatas.
b. Manajemen berbasis setempat (lokal), suatu struktur yang memberi wewenang kepada para
orang tua, guru dan kepala sekolah di masing-masing sekolah untuk menentukan prioritas,
mengalokasikan anggaran, menentukan kurikulum, serta menggaji dan memberhentikan staf.18
4. Model MBS di Inggris
Model MBS di Inggris disebut Grant Mainted School (GMS) atau manajemen dana
swakelola pada tingkat local. Ada enam perubahan structural guna memfasilitasi pelaksanaan MBS di
Inggris, yakni: 1) kurikulum nasional untuk mata pelajaran inti yang ditentukan oleh
pemerintah (Whitehall); 2) ada ujian nasional bagi siswa kelas 7, 11, 14 dan 16; 3) MBS dibentuk
untuk mengembangkan otoritas pendidikan local agar dapat memperoleh bantuan dana dari
pemerintah; 4) adanya pembentukan sekolah lanjutan teknik kejuruan; 5) kewenangan Inner London
Education dilimpahkan kepada tiga belas otoritas pemerintah; 6) skema manajemen sekolah local
dibentuk dengan melibatkan beberapa pihak terkait, seperti: a) peran serta secara terbuka pada
masing-masing sekolah dalam otoritas pendidikan local, b) alokasi sumber daya dirumuskan oleh
16 Nurkholis, op. cit., hlm. 89.
17 Abu Duhou Ibtisam, School based management (manajemen berbasis sekolah),
UNESCO, Penerjemah: Noryamin Aini, Suparto, Penyunting: Achmad Syahid, Abas Aljauhari
(Jakarta : Logos, 2002), hlm. 29-30.
18 Ibid., hlm. 41-42
Feiby Ismail
Volume 5 Januari - Juni 2008 IQRA’ 6
masing-masing sekolah, c) ditentukan prioritas oleh masing-masing sekolah dalam membiayai
kegiatnnya, d) memberdayakan badan pengelola pada masing-masing sekolah dalam menentukan
dana untuk guru dan staf, dan e) memberikan informasi kepada orangtua mengenai prestasi guru.19 Di
Inggris penerapan MBS dilindungi dan dikondisikan dengan adanya komitmen politik serta undangundang
pendidikan yang mengatur penetapan kurikulum, pelaksanaan ujian nasional, dan
pengelolaan pendidikan yang melibatkan berbagai unsur masyarakat luas.
5. Model MBs di Australia
Di Australia lebih seratus tahun sampai awal tahun 1970-an pengelolaan pendidikan diatur
oleh pemerintah pusat (sistem sentralistik). Terjadi perubahan pada awal tahun 1970-an dan berlanjut
sampai tahun 1980-an, khususnya dalam hal pengelolaan dana dan desentralisasi administratif.
Karakteristik MBS di Australia dapat dilihat dari aspek kewenangan sekolah yang meliputi: pertama,
menyusun dan mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil
belajar siswa. Kedua, melakukan pengelolaan sekolah dapat dipilih diantara tiga kemungkinan, yaitu
Standart Flexibility Option (SO), Enhanced Flexibility Option – (EO 1), dan Enhanced Flexibility
Option – (EO 2). Ketiga, membuat perencanaan, melaksanakan dan mempertanggungjawabkan.
Keempat, adanya akuntabilitas dalam pelaksanaan MBS. Kelima, menjamin dan mengusahakan
sumber daya manusia dan sumber daya keuangan. Keenam, adanya fleksibilitas dalam penggunaan
sumber daya sekolah20.
6. Model MBS di Perancis
Di Perancis, sebelum terjadi reformasi dalam pendidikan, sistem pengelolaan pendidikannya
sangat sentralistik. Terjadi perubahan mendasar pada tahun 1982-1984, dimana otoritas local
memiliki tanggungjawab terhadap dukungan financial. Kekuasaan badan pengelola sekolah
menengah atas diperluas ke beberapa area. Masing-masing sekolah menerima anggaran secara
langsung terhadap jam mengajar guru. Kepala sekolah menentukan jenis staf yang dibutuhkan untuk
program-program khusus yang dilaksanakan sekolah.21
7. Model MBS di Nikaragua
Model MBS di Nikaragua difokuskan pada mendesentralisasikan pengelolaan sekolah dan
aggaran sekolah yang keputusannya diserahkan kepada dewan sekolah (consenjos direvtivos).
Pelaksanaan MBS di Nikaragua didasarkan pada teori yang berpendapat bahwa sekolah otonom
(centros autonomos) harus dikelola secara mandiri yang diarahkan/ ditekankan pada keterlibatan
orantua siswa. Selain itu, sekolah memiliki kemampuan untuk menarik sumber daya dari masyarakat
lokal melalui biaya pendidikan (tuition fee) dan sumbangan tenaga. MBS sebagai bentuk
desentralisasi pendidikan di Nikaragua menyangkut empat tahapan penting, yaitu desentralisasi
kebijakan, perubahan organisasi sekolah, penyesuian gaji, memantapkan dan menarik sumbangan
pendidikan, pemilihan buku pelajaran dan melakukan evaluasi terhadap para guru. Dewan sekolah
19 Ibid., hlm. 34-35.
20 Nurkholis, op. cit., hlm. 95.
21 Ibid., hlm. 96-97.
Feiby Ismail
Volume 5 Januari - Juni 2008 IQRA’ 7
juga memiliki kewenangan untuk mengalokasikan dana, mengelola pendapatan sekolah, program
pelatihan dan dalam hal kurikulum yang dianggap sesuai.22
8. Model MBS di Selandia Baru
Di Selandia Baru sejak tahun 1970-an, perhatian masyarakat terhadap sekolah mulai
berkembang. Pada tahun 1989 di setiap sekolah memiliki dewan sekolah yang mayoritas anggotanya
terdiri dari orang tua siswa yang keanggotaannya disetujui oleh menteri. Dewan sekolah inilah yang
membuat kerangka kerja operasional sekolah. Lebih dari 90 % pembiayaan sekolah akan
didesentralisasikan ke masing-masing sekolah yang kemudian disebut School Based Budget (SBB).
Staf akan diseleksi dan diangkat oleh sekolah itu sendiri. Pada tahun 1989 dikeluarkan UU
Pendidikan (Education Act), dan pada tahun 1990 sistem pendidikan dijalankan secara desentralistik.
Di samping adanya dewan sekolah (komite sekolah ada juga dewan pendidikan provinsi yang
memiliki tanggungjawab untuk menentukan berbagai macam pekerjaan termasuk diantaranya
pemilihan uru-guru dan menentukan alokasi anggaran sekolah (grand). Kerangka kerja kurikulum
nasional masih akan berlaku namun masing-masing sekolah mengembangkan pendidikan khususnya
kepada siswa. Dukungan pendanaan di sekolah dijalankan dengan sistem quasi-free market di mana
sekolah akan membuat perencanaan dan keleluasaan pengelolaan dana sekolah.23
9. Model MBS di Elsalvador
Model MBS di Elsalvador disebut Community Mangred School Program (CMSP),
kemudian lebih dikenal dengan nama akronim Spanyol EDUCO (Education con Participation de la
Comunidad). Maksud dari model ini untuk mendesentralisasikan pengelolaan sekolah negeri dengan
cara meningkatkan keterlibatan orangtua di dalam tanggungjawab menjalankan sekolah. Filosofi dari
program EDUCO adalah pertama, bahwa orang-orang local dapat menjalankan sekolah didalam
komunitas mereka secara lebih efisien dan efektif daripada dijalankan oleh birokrasi yang sentralistik.
Kedua, perlunya para orantua siswa terlibat langsung didalam pendidikan anak-anaknya. Factor
penggerak dari program ini adalah sebuah grup yang anggotanya dipilih dari orangtua yang memiliki
tanggungjawab untuk pengadministasian sekolah.24
10. Model MBS di Madagaskar
Model MBS di Madagaskar difokuskan pada pelibatan masyarakat terhadap pengontrolan
pendidikan dasar (sekolah berbasis masyarakat) sejak tahun 1994. implementasi MBS diarahkan di
dalam kerangka dengan melibatkan masyarakat desa tidak hanya untuk merehabilitasi, membangun
dan memelihara sekolah-sekolah dasar, tetapi juga dilibatkan dalam pengelolaan dan pensupervisian
sekolah dasar. Peran utama pemerintah adalah mengurangi ketidakadilan pendidikan, mendefinisikan
standar dan mengembangkan kerangka kerja kebijakan dan penilaian pendidikan.25
10. Model MBS di Indonesia
22 Ibid., hlm. 99-100.
23 Ibid., hlm. 100-102; lihat juga Ibitisam Abu Duhou, op. cit., hlm. 37-40).
24 Lihat Nurkholis, op. cit., hlm. 105-107.
25 Lihat ibid., hlm. 105-107
Feiby Ismail
Volume 5 Januari - Juni 2008 IQRA’ 8
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih
besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga
sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. 26MPMBS merupakan bagian dari
manajemen berbasis sekolah (MBS).
Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan
warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Sedangkan pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk mengambil keputusan melalui
penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik dimana warga sekolah di dorong untuk terlibat
secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian
tujuan sekolah. Sehingga diharapkan sekolah akan menjadi mandiri dengan ciri-ciri sebagai berikut:
tingkat kemandirian tinggi, adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki kontrol yang kuat terhadap
input manajemen dan sumber dayanya, memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja, komitmen
yang tinggi pada dirinya dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
11. Model MBS yan Ideal
Menurut Lawyer (1986) keterlibatan tinggi dalam manajemen disektor swasta menyangkut
empat hal, yaitu: informasi, penghargaan, pengetahuan dan kekuasaan. Informasi memungkinkan
para individu berpartisipasi dan mempengaruhi pengambilan keputusan dengan memahami linkungan
organisasi, strategi, sistem kerja, persyaratan kerja dan tingkat kerja. Pengetahuan dan keterampilan
diperlukan untuk meningkatkan kinerja pekerjaan dan kontribusi efektif atas kesuksesan organisasi.
Penghargaan untuk menyatukan kepentingan pribadi karyawan dengan keberhasilan organisasi.
Kekuasaan diperlukan untuk mempengaruhi proses kerja, praktek keorganisasian, kebijakan dan
strategi. Dalam MBS menggambarkan pertukaran dua arah dalam empat hal tersebut. Alur dua arah
memberikan pengaruh yang saling menguntungkan secara terus menerus antara pemerintah daerah
dengan sekolah dan sebaliknya.27.
Kekuasaan
Informasi
Pengetahuan
Penghargaan
Daerah Sekolah
26Lihat ibid., hlm. 107; lihat juga Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah, Konsep Dasar, op. cit., hlm. 3.
27 Ibid., hlm. 110.
Feiby Ismail
Volume 5 Januari - Juni 2008 IQRA’ 9
Gambar 1. Model MBS dua arah yang saling menguntungkan
Gagasan lain tentang MBS yang ideal adalah menerapkan pada keseluruhan aspek
pendidikan melalui pendekatan sistem. Konsep ini didasarkan pada pendekatan manajemen sebagai
suatu sistem28. Seperti model ideal yang dikembangkan oleh Slamet P.H terdiri dari ouput, proses dan
input.29 Input sekolah antara lain visi, misi, tujuan, sasaran, struktur organisasi, input manajemen,
input sumber daya. Output sekolah diukur dengan kinerja sekolah, yaitu pencapaian atau prestasi
yang dihasilkan oleh proses sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari efektivitas, kualitas,
produktivitas, efisiensi, inovasi, moral kerja. Proses sekolah adalah proses pengambilan keputusan,
pengelolaan kelembagaan pengelolaan program, dan belajar mengajar. Model MBS ideal tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut :
Kualitas dan inovasi
Input Proses Output Outcome
Pengelolaan Efektivitas
Produktivitas
Efisiensi Internal
Efisiensi Eksternal
Gambar 2. Model MBS Sebagai Sistem
Peran Masing-Masing Pihak dalam MBS
Pihak-pihak yang dimaksud dalam manajemen berbasis sekolah adalah kantor pendidikan
pusat, kantor pendidikan daerah kabupaten atau kota, dewan sekolah, pengawas sekolah, kepala
sekolah, guru dan orang tua siswa, dan masyarakat luas.30
1. Peran Kantor Pendidikan Pusat dan Daerah
28 Kambey, op. cit., hlm. 23; Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2004), hlm. 23.
29 Nurkholis…, op. cit., hlm. 111.
30 Lihat uraian selengkapnya dalam Nurkholis, op. cit., hlm. 115-128.
Feiby Ismail
Volume 5 Januari - Juni 2008 IQRA’ 10
Peran dan fungsi Departemen Pendidikan di Indonesia di era otonomi daerah sesuai dengan
PP No.25 thn 2000 menyebutkan bahwa tugas pemerintah pusat antara lain menetapkan standar
kompetensi siswa dan warga, peraturan kurikulum nasional dan system penilaian hasil belajar,
penetapan pedoman pelaksanaan pendidikan, penetapan pedoman pembiayaan pendidikan, penetapan
persyaratan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa, menjaga kelangsungan
proses pendidikan yang bermutu, menjaga kesetaraan mutu antara daerah kabupaten/kota dan antara
daerah provinsi agar tidak terjadi kesenjangan yang mencolok, menjaga keberlangsungan
pembentunkan budi pekerti, semangat kebangsaan dan jiwa nasionalisme melalui program
pendidikan.
Peran pemerintah daerah adalah memfasilitasi dan membantu staf sekolah atas tindakannya
yang akan dilakukan sekolah, mengembangkan kinerja staf sekolah dan kinerja siswa dan seleksi
karyawan. Dalam kaitannya dengan kurikulum, menspesifikasi-kan tujuan, sasaran, dan hasil yang
diharapkan dan kemudian memberikan kesempatan kepada sekolah menentukan metode untuk
menghasilkan mutu pembelajaran. Pemerintah kabupaten/kota menjalankan tugas dan fungsi : 1)
Memberikan pelayanan pengelolaan atas seluruh satuan pendidikan negeri atau swasta; 2)
memberikan pelayanan terhadap sekolah dalam mengelola seluruh asset atau sumber daya pendidikan
yang meliputi tenaga guru, prasarana dan sarana pendidikan, buku pelajaran, dana pendidikan dan
sebagainya; 3) melaksanakan tugas pembinaan dan pengurusan atas tenaga pendidik yang bertugas
pada satuan pendidikan. Selain itu dinas kab/kota bertugas sebagai evaluator dan innovator,
motivator, standarisator, dan informan, delegator dan koordinator.
2. Peran Dewan Sekolah dan Pengawas Sekolah
Dewan sekolah (komite sekolah) memiliki peran: menetapkan kebijakan-kebijakan yang
lebih luas, menyatukan dan memperjelas visi baik untuk pemerintah daerah dan sekolah itu sendiri,
menentukan kebijakan sekolah, visi dan misi sekolah dengan mengacu kepada ketentuan nasional dan
daerah, menganalisis kebijakan pendidikan, melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat,
menyatukan seluruh komponen sekolah. Pengawas sekolah berperan sebagai fasilitator antara
kebijakan pemda kepada masing-masing sekolah antara lain menjelaskan tujuan akademik dan
anggarannya serta memberikan bantuan teknis ketika sekolah menghadapi masalah dalam
menerjemahkan visi pemda. Mereka memberikan kesempatan untuk mengembangkan
profesionalisme staf sekolah, melakukan eksperimen metode pengajaran, dan menciptakan jalur
komunikasi antara sekolah dan staf pemda.
3. Peran Kepala Sekolah
Pada tingkat sekolah, peran kepala sekolah sangat sentral. Untu itu peran kepala sekolah
adalah : sebagai evaluator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator.
Disamping enam fungsi diatas Wohlstetter dan Mohrman menyatakan bahwa kepala sekolah berperan
sebagai designer, motivator, fasilitator dan liasion31 (Nurkholis, 2003:119-122). Dari fungsi-fungsi
diatas Mulyasa (2005:97) menambahkan satu fungsi lagi, yakni sebagai educator (pendidik), yakni
mampu memberikan pembinaan (mental, moral, fisik dan artistik) kepada guru dan staf serta para
siswa.
31 Ibid., hlm. 119-122.
Feiby Ismail
Volume 5 Januari - Juni 2008 IQRA’ 11
4. Peran Para Guru
Pedagogi reflektif menunjuk tanggungjawab pokok pembentukan moral maupun intelektual
dalam sekolah terletak pada para guru. Karena dengan dan melalui peran para guru hubungan
personal autentik untuk penanaman nilai-nilai bagi para siswa berlangsung (Paul Suparno, dkk,
2002:61-62). Untuk itu guru yang profesional dalam kerangka pengembangan MBS perlu memiliki
kompetensi antara lain kompetensi kepribadian (integritas, moral, etika dan etos kerja), kompetensi
akademik (sertifikasi kependidikan, menguasai bidang tugasnya) dan kompetensi kinerja (terampil
dalam pengelolaan pembelajaran).
5. Peran Orang Tua dan Masyarakat
Karakteristik yang paling menonjol dalam konsep MBS adalah pemberdayaan partisipasi
para orangtua dan masyarakat. Sekolah memiliki fungsi subsider, fungsi primer pendidikan ada pada
orangtua.32
Menurut Cheng (1989) ada dua bentuk pendekatan untuk mengajak orangtua dan
masyarakat berpartisipasi aktif dalam pendidikan. Pertama, pendekatan school based dengan cara
mengajar orangtua siswa datang kesekolah melalui pertemuan-pertemuan, konferensi, diskusi guruorangtua
dan mengunjungi anaknya yang sedang belajar di sekolah. Kedua, pendekatan home based,
yaitu orangtua membantu anaknya belajar dirumah dan guru berkunjung ke rumah.33
Sedangkan, peran masyarakat bukan hanya dukungan finansial, tetapi juga dengan menjaga
dan menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib serta menjalankan kontrol sosial di
sekolah. Peran tokoh-tokoh masyarakat dengan jalan menjadi penggerak, informan dan penghubung,
koordinator dan pengusul.
Penutup
Beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan dari tulisan ini adalah :
1. Konsep kualitas pendidikan dapat dilihat dari beberapa sudut pandang:
a. Dilihat dari segi proses dan hasil pendidikan. Proses pendidikan yang bermutu apabila
seluruh komponen pendidikan terlibat dalam proses pendidikan itu sendiri. Sedangkan mutu
pendidikan dari segi hasil pendidikan mengacu pada tingkat keberhasilan yang dicapai oleh
sekolah pada setiap kurun waktu tertentu dalam berbagai bidang (akademik, keterampilan
dan suasana serta kondisi sekolah.
b. Mutu pendidikan juga dapat di telaah dalam konsep relatif, terutama berhubungan erat
dengan kepuasan pelanggan.
1) Pelanggan internal (kepala sekolah, guru dan staf kependidikan) berkembang baik fisik
maupun psikis.
2) Pelanggan eksternal :
• eksternal primer (para siswa) menjadi subjek yang madiri, kreatif dan
bertanggungjawab akan hidupnya dan perkembangan masyarakat.
32 Piet Go, Pastoral Sekolah, Malang: t.p., 2000), hlm. 46.
33 Nurkholis, op. cit. hlm. 126.
Feiby Ismail
Volume 5 Januari - Juni 2008 IQRA’ 12
• Eksternal sekunder (orangtua, para pemimpin pemerintahan dan perusahaan)
mendapatkan kontribusi dan sumbangan yang positif (outcomes) dari output
pendidikan.
• Eksternal tersier (pasar kerja dan masyarakat luas) memperoleh sumbangan
pendidikan dari output pendidikan sehingga masyarakat dapat berkembang.
2. Upaya peningkatan mutu pendidikan dapat dilakukan sistem Total Quality Management (TQM).
TQM dalam pendidikan adalah pendekatan pengelolaan peningkatan mutu secara menyeluruh
dengan mempergunakan dan memberdayakan sumber daya pendidikan yang tersedia.
3. Manajemen Berbasis Sekolah dapat menjadi alternatif peningkatan mutu pendidikan. Karena itu
MBS sudah diterapkan di banyak negara. Apabila dicermati MBS yang diterapkan di berbagai
negara, pada intinya :
a. Prinsip desentralisasi, yakni pelimpahan dan penyerahan wewenang kepada daerah dan
sekolah untuk mengelola pendidikannya secara otonom dalam kerangka pengembangan
pendidikan secara nasional.
b. Pemberdayaan semua sumber daya pendidikan, termasuk partisipasi dan pemberdayaan
orangtua dan masyarakat untuk mengembangkan pendidikan.
c. Adanya dewan sekolah (komite) sekolah yang mengorganisir penyediaan fasilitas dan
sumbangan pemikiran serta pengawasan dalam pengelolaan pendidikan.
d. MBS diterapkan dengan maksud utama untuk peningkatan mutu pendidikan.
4. MBS di beberapa negara muncul karena inisiatif dari masyarakat dan orangtua, sedangkan di
Indonesia inisiatifnya dari pemerintah.
5. Model MBS yang ideal adalah MBS dalam konsep sistem, yakni adanya pemberdayaan dan
sinergi semua aspek pendidikan dan berbagai sumber daya pendidikan pada tingkat sekolah,
secara efektif dan efisien dalam satu kesatuan yang utuh untuk mencapai produktivitas
pendidikan.
Daftar Pustaka
Abu Duhou Ibtisam, School based management (manajemen berbasis sekolah), UNESCO,
Penerjemah : Noryamin Aini, Suparto, Penyunting ; Achmad Syahid, Abas Aljauhari,
Jakarta: Logos.
Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Konsep
Dasar, Jakarta : Ditjend Pendidikan Dasar dan Menengah.
___________, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.
Edward dan Sallis, 2004, Manajemen Kualitas Total Dalam Pendidikan (Total Quality
Managementin Education) Penerjemah : Kambey Daniel C., Manado : Program Pascasarjana
Universitas Negeri Manado.
Kambey Daniel C., Landasan Teori Administrasi/Manajemen (Sebuah Intisari), Manado: Yayasan
Tri Ganesha Nusantara.
Feiby Ismail
Volume 5 Januari - Juni 2008 IQRA’ 13
Kartini Kartono, 1997, Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta : Pradnya Paramita.
Mulyasa E., Menjadi Kepala Sekolah Profesional, dalam Menyukseskan MBS dan KBK, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
__________, 2005, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi, Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya.
Nurkholis, 2003, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model dan Aplikasi, Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Pidarta Made, 2004, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Piet Go, 2000, Pastoral Sekolah, Malang : Malang.
Senduk, J.F., 2006, Isu dan Kebijakan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, Manado: Program
Pascasarjana Universitas Negeri Manado.
Soebagio Admodiwirio, 2000, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta : Ardadizyajaya.
Suparno Paul, dkk, 2002, Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi, Yokyakarta: Kanisius.
Suryosubroto B., 2004, Manajemen Pendidikan di Sekolah, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah(MBS)
oleh riwayat
Manajemen berbasis sekolah pada intinya adalah memberikan kewenangan terhadap sekolah untuk melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitassecara terus menerus. Dapat juga dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Tujuan MBS adalah untuk mewujudkan kemerdekaan pemerintah daerah dalam mengelola pendidikan. Dengan demikian peran pemerintah pusat akan berkurang. Sekolah diberi hak otonom untuk menentukan nasibnya sendiri. Paling tidak ada tiga tujuan dilaksanakannya MBS peningkatan efesiensi, peningkatan mutu, peningkatan pemerataan pendidikan. Dengan adanya MBS diharapkan akan memberi peluang dan kesempatan kepada kepala sekolah, guru dan siswa untuk melakukan inovasi pendidikan. Dengan adanya MBS maka ada beberapa keuntugan dalam pendidikan yaitu, kebijakan dan kewenangan sekolah mengarah langsung kepada siswa, orang tua dan guru, sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal, pembinaan peserta didik dapat dilakukan secara efektif, dapat mengajak semua pihak untuk memajukan dan meningkatkan pelaksanaan pendidikan.
Kurikulum Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP).
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kebijakan ini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Peraturan Menteri No. 22/2006 tentang Standar Isi
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada tahun 2010 seluruh
sekolah harus sudah melaksanakan KTSP. Pelaksananan KTSP secara penuh
diharapkan mulai tahun ajaran 2007.
Permendiknas KTSP ditandatangani pada 23 Mei 2006 dan berlaku bagi sekolah
standar nasional maupun sekolah nasional berstandar internasional. Perlu ditegaskan bahwasanya standar pendidikan tidak sama dengan kurikulum. Standar nasional itu meliputi delapan hal, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Kini masing-masing sekolah
bisa membuat silabus, kurikulum, dan indikator-indikatornya sendiri, bahkan kepala dinas tidak boleh ikut campur dalam pengembangan KTSP sekolah.
Beberapa ciri terpenting dari KTSP adalah sebagai berikut. Pertama, KTSP
menganut prinsip fleksibilitas. Setiap sekolah diberi kebebasan menambah empat jam pelajaran tambahan per minggu, yang bisa diisi dengan apa saja baik yang wajib atau muatan lokal. Namun fleksibilitas ini mesti diimbangi dengan potensi sekolah masingmasing serta pemenuhan standar isi seperti digariskan Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP). Standar adalah kualitas minimum yang mesti dicapai. Sementara itu, potensi adalah tersedianya SDM dan (pra)sarana yang memadai untuk menyelenggarakan pelajaran tambahan itu. Kedua, KTSP membutuhkan pemahaman dan keinginan sekolah untuk mengubah kebiasaan lama yakni kebergantungan pada birokrat. Peluang bagi sekolah untuk mengurus sendiri tidak hanya untuk manajemen sekolah, tetapi juga rutinitas akademis. Ini perlu waktu lama, karena selama ini sekolah
terbiasa diatur oleh pemerintah. KTSP dikembangkan melalui beberapa hal, antara lain sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, kondisi
sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik. Ketiga, guru kreatif dan siswa aktif. Kurikulum 1994 menghendaki guru lebih kreatif, namun aktivitas guru sebatas mengajarkan apa yang sudah ditetapkan dalam kurikulum. Sementara dalam Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), siswa dituntut lebih kreatif. Guru harus bisa “memaksa” siswa untuk memberi feedback dalam setiap pembelajaran. KTSP
menggabungkan keduanya. Wajar jika mereka yang belum sempat melaksanakan
KBK mendapat kesulitan dalam melaksanakan KTSP.
Keempat, KTSP dikembangkan dengan menganut prinsip diversifikasi. Artinya,
dalam kurikulum ini standar isi dan standar kompetensi lulusan yang dibuat
BSNP itu dijabarkan dengan memasukkan muatan lokal, yakni lokal provinsi,
lokal kabupaten/kota, dan lokal sekolah.Dengan demikian, sekolah akan
berperan sebagai makelar kearifan lokal. Kegagalan kurikulum selama ini
antara lain karena penyeragaman dari Sabang sampai Merauke, padahal
masing-masing daerah berbeda potensinya, sehingga kurikulum nasional tidak
operasional. Dengan kata lain, melalui KTSP diharapkan adanya keseimbangan
antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kelima, KTSP sejalan dengan konsep desentralisasi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah (school-based management). Komite sekolah kini harus bersama guru dalam mengembangkan kurikulum. Selama ini guru patuh pada petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang disiapkan oleh birokrat Depdiknas. Sekolah dapat bermitra dengan berbagai pemangku peran (stakeholders) pendidikan, seperti industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan, dan organisasi atau profesi lainnya. Para pemangku peran ini lazimnya lebih merasakan tantangan dunia sekitar yang memerlukan respon kurikuler.
Keenam, KTSP tanggap terhadap perkembangan iptek dan seni. Inilah tantangan abad sekarang ini. Tanpa antisipasi cerdas terhadap perkara ini,
kurikulum menjadi lunglai mengahadapi teknologi yang serba canggih ini. Walhasil, KTSP berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungan, relevan dengan kebutuhan dan kehidupan, menyeluruh dan berkesinambungan, dan mestinya sejalan dengan prinsip belajar sepanjang hayat.
Ketujuh, KTSP beragam dan terpadu. Walaupun sekolah diberi otonomi dalam pengembangannya, ujung-ujungnya ada ujian nasional(UN) juga. Seyogyanya
tidak ada persoalan bagi sekolah karena yang diujikan adalah kompetensi dasar. Dalam semangat desentralisasi pendidikan, UN penting demi pemetaan kemampuan, bukan penentu kelulusan siswa. Biarkan sekolah menentukan kriteria kelulusan masing-masing, yakni dengan menggabungkan hasil UN dengan ujian sekolah masing-masing.
Perlu ditegaskan bahwa ada sejumlah fungsi UN, antara lain: (1) diagnosis,
yakni untuk mengetahui ‘penyakit’ yang diderita anak didik untuk menentukan resep yang paling mujarab, (2) diferensiasi, yakni membeda-bedakan kelompok siswa demi penentuan kebijakan yang layak ditempuh, dan (3) uji kompetensi, yakni untuk mengetahui sejauh mana materi ajar dikuasai siswa. Fungsi pertama dan kedua selama ini belum betul-betul dilaksanakan dalam penyelenggaraan UN, sehingga selama ini
belum jelas langkah korektif pemerintah sebagai respons terhadap hasil UN
yang sangat beragam dari kota ke kota, bahkan dari sekolah ke sekolah. Niat pemerintah lewat BSNP memang luhur dan cerdas, namun berdasarkan
kenyataan di lapangan, tidaklah mudah untuk memberdayakan para guru lewat
KTSP ini. Ada anggapan bahwa apa pun kurikulumnya, selama guru, sekolah,
dan pengembang kurikulumnya berpikiran tradisional, kurikulum itu tidak
akan berdampak besar. Pengembang kurikulum menggonggong, guru-guru berlalu
dengan kulturnya. Aliran konstruktif menawarkan solusi untuk menyulap suasana belajar secara ‘berani’ dan mendobrak kejumudan kurikulum lewat tujuh ayat pendidikan sebagai berikut. Pertama, kurikulum disajikan secara utuh, yakni menekankan konsep besar, lalu diikuti konsep-konsep kecil. Artinya, guru berpegang pada tujuan instruksional umum atau TIU, dan tidak terjebak oleh hal-hal kecil, atau keterampilan-keterampilan dasar, atau tujuan instruksional khusus atau TIK.
Dalam konteks KTSP, pemahaman guru akan standar kompetensi dan standar isi adalah sebuah niscaya. Kedua, kegiatan kurikuler mengandalkan sumber-sumber data primer dan juga materi-materi buatan yang bermakna. Alam sekitar adalah data-data primer yang memiliki potensi untuk dibermaknakan. Dengan begitu, buku teks tidak lagi menjadi sumber utama sebagimana terbiasa pada kurikulum tradisional. Jadi wajar, jika KTSP tidak mesya ratkan adanya buku teks baru. Singkatnya, untuk KTSP, bukunya yang ada saja. Ketiga, siswa diperlakukan sebagai ‘pemikir’ muda yang belajar merumuskan teorinya sendiri ihwal dunia (baca: materi ajar). Keberanian siswa untuk bertanya dan berdebat adalah indikator keberhasilan belajar. Ini berbeda dengan kelas tradisional yang cenderung menempatkan siswa sebagai ‘botol kosong’ untuk diisi informasi oleh guru.
Keempat, guru mengajar secara interaktif, yakni antara lain dengan
kepandaian menerjemahkan lingkungan sekitar sehingga dapat dipahami siswa.
Ini berbeda dari guru tradisional yang cenderung berlagak didaktik dalam
menyebarkan informasi kepada siswa. Kebiasaan guru untuk mengejar target kurikuler sesuai dengan GBPP jelas tidak sejalan dengan prinsip konstruktif, sebab sebuah informasi belum tentu materi ajar yang bermakna (meaningful) dan terajarkan (teachable). Kelima, guru mencari tahu sudut pandang siswa untuk memahami kadar
pengetahuan siswa saat ini untuk dijadikan pijakan bagi pelajaran yang
akan datang. Ini berbeda dari kelas tradisional, di mana guru mencari jawaban yang benar untuk memvalidasi pembelajaran siswa. Pembelajaran konstruktivis membangun ketersambungan antara pelajaran sebelumnya dengan pelajaran selanjutnya. Dan ini hanya mungkin jika guru mengetahui sudut pandang siswa.
Keenam, siswa bekerja dalam kelompok. Ini berbeda dari kelas-kelas
tradisional di mana siswa belajar secara mandiri. Justru dalam kelompoklah mereka bersosialisasi dan berkolaborasi, sehingga secara kolektif memperoleh pencerahan lewat social reconstructivism. Bila siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, guru dan pengembang kurikulum pun berkolaborasi dengan para pemangku peran dalam merumuskan KTSP. Jadi, siswa, guru, bahkan manajemen sekolah mengamalkan ajaran social reconstructivism. Ketujuh, penilaian pembelajaran siswa dilakukan secara terintegrasi dalam pengajaran dan dilakukan lewat observasi guru terhadap proses belajar
siswa dalam kelompoknya dan dengan mencermati portofolio siswa. Mekanisme
ini berbeda dengan pendidikan tradisional yang memisahkan penilaian dari
pembelajaran, dan terlembaga secara formal lewat tes. Dengan demikian,
keberadaan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa memang tidak
relevan dengan semangat konstruktif.
Darai paparan tersebut jelaslah bahwa otonomi pendidikan, kemudian desentralisasi merupakan “embrio” untuk menuju otonomi pendidikan itu sendiri, embrio tersebut nantikan akan terjabar dalam konsep manajemen berbasis sekolah dan manajemen berbasis masyarakat, ridak itu “embrio” otonomi.desentralisasi akan menjadi “bayi” yang di sebut dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Dengan demikian KTSP marupakan akhir dari wujud desentralisasi pendidikan, dimana sekolah mempunyai wewenang yang besar dalam mengolah, mengelola dan memajukan sekolahnya sendiri. Sedangkan pemerintah tidak lagi banyak ikut campur daam urusan pendidikan di setiap daerah kabupaten dan kota.
Ditulis dalam Pendidikan | yang berkaitan Konsep Manajemen Berbasis Sekolah(MBS) | Tidak ada Komentar
Trackback URI | Komentar RSS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.
Berdasarkan masalah ini, maka berbagai pihak mempertanyakan apa yang salah dalam penyelenggaraan pendidikan kita?. Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak menagalami peningkatan secara marata.
Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education function atau input-output analisys yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya, dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi. Mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan educational production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
Faktor kedua, penyelenggaran pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggaraan pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Sekolah lebih merupakan subordinasi birokrasi diatasnya sehingga mereka kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas/inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.
Faktor ketiga, peranserta warga sekolah khususnya guru dan pranserta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering diabaikan, pada hal terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah sangat tergantung pada guru. Dikenalkan pembaruan apapun jika guru tidak berubah, maka tidak akan terjadi perubahan di sekolah tersebut. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya sebatas pada dukungan dana, sedang dukungan-dukungan lain seperti pemikiran, moral dan barag/jasa kurang diperhatikan. Akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat juga lemah. Sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggung jawabkan hasil pelaksnanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan (stakeholdir).
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut diatas, tentu saja perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.
B. Pengertian
Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb.) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku (Catatan : MPMBS tidak dubenarkan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku).
Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang tentu saja, lebih berdaya dalam mengembangkan dalam mengembangkan program-program yang, tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal. Demikian juga dengan partisipasi/ pelibatan warga sekolah dan masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan sekolah, maka rasa memiliki mereka terhadap selolah dapat ditingkatkan. Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab, dan peningkatan rasa tanggung jawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah dan masyarakat terhadap sekolah. Inilah esensi partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam pendidikan. Baik peningkatan otonomi sekolah, fleksibelitas pengelolaan sumberdaya sekolah maupun partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaran sekolah tersebut kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan peundang-undangan yang berlaku.
MPMBS merupakan bagian dari manajemen bebasis sekolah (MBS). Jika MBS bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efesiensi, inovasi, relevansi, dan pemeratan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa mutu pendidikan nasional kita saat ini sangat memprihatinkan sehingga memerlukan perhatian. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa mutu pendidikan nasional kita saat ini sangat memperhatinkan sehingga memerlukan perhatian yang lebih serius. Itulah sebabnya MPMBS lebih ditekankan dari pada MBS untuk saat ini. Pada satnya nanti MPMBS akan menjadi MBS.
C. Tujuan
MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Lebih rincinya, MPMBS bertujuan untuk :
Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibelitas, partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, sustainbilitas, dan inisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia.
Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya, dan
Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
D. Alasan Diterapkannya MPMBS
MPMBS diterapkan karena beberapa alasan berikut :
Dengan pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah, maka sekolah akan lebih inisiatif/kreatif dalam meningkatkan mutu sekolah.
Dengan pemberian fleksibelitas/keluesan-keluesan yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdayanya, maka sekolah akan lebih luwes dan lincah dalam mengadakan dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah.
Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.
Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya. Khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya.
Penggunaan sumberdaya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat.
Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.
Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga dia akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan.
Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat, dan
Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat.
ke halaman berikut ...
http://pakguruonline.pendidikan.net
Situs ini menampung sumbangan tulisan, berupa makalah, kajian, serta ciloteh para guru. Silahkan kirim tulisan kepada web master zfikri@telkom.net
Menyoal Manajemen Berbasis Sekolah
Oleh :
Kusmanto
Guru SMUN Wonosari-Klaten
Strategi dalam peningkatan mutu pendidikan, salah satunya dicoba dengan
pendekatan baru yakni manajemen mutu pendidikan berbasis sekolah (school based
quality management). Konsep yang diluncurkan oleh Depdiknas 1-2 tahun yang lalu
ini berpijak dari teori effective school dengan memfokuskan diri pada perbaikan
proses pendidikan.
Manajemen berbasis sekolah sendiri merupakan upaya adaptasi dari paradigma
pendidikan baru yang bersifat desentralisasi. Memberikan hak otonom pada
sekolah untuk mengembangkan prakarsa yang positif bagi dirinya sendiri.
MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) -- menurut Dr JC Tukiman Taruna, seorang pakar
pendidikan -- dalam implementasinya secara ideal mensyarakan beberapa hal,
yakni: a) Peningkatan Kualitas Manajemen sekolah yang terlihat melalui
transparansi keuangan, perencanaan partisipatif, dan tanggung-gugat
(akuntabilitas). b) Peningkatan pembelajaran melalui PAKEM (pembelajaran yang
aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan). c) Peningkatan peran serta
masyarakat melalui sering/banyaknya kepedulian masyarakat terhadap sekolah.
Untuk meningkatkan dimensi keberhasilan MBS ada beberapa indikator yang
diprasyaratkan, di antaranya adalah: 1) lingkungan sekolah yang aman dan
tertib. 2) Sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai. 3) Sekolah
memiliki kepemimpinan yang kuat. 4) Adanya harapan yang tinggi dari personel
sekolah untuk berprestasi. 5) Adanya pengembangan staf sekolah yang terus
menerus sesuai tuntutan iptek. 6) Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus
menerus terhadap berbagai aspek akademik, administratif, dan pemanfaatan
hasilnya untuk penyempurnaan dan perbaikan mutu. 7) Adanya komunikasi dan
dukungan intensif dari orang tua murid dan masyarakat.
Pendekatan MBS dipilih dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, yang
memungkinkan pengalihan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan
kanwil/kandep ke level sekolah. Di samping itu manajemen ini memberikan
kewenangan kontrol lebih luas bagi kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua
terhadap proses pendidikan di sekolah, melalui pemberian tanggung jawab untuk
membuat keputusan anggaran, personel, dan pelaksanaan kurikulum. Dengan
keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat yang lain dalam
pengambilan keputusan penting ini, menajemen ini dapat menciptakan lingkungan
pembelajaran yang lebih efektif bagi siswa (Wirawan, 2001).
Tujuan MBS sendiri diarahkan pada upaya mengefektifkan manajemen sekolah dengan
harapan: 1) Individu yang kompeten terlibat dalam pengambilan keputusan. 2)
Anggota komunitas sekolah punya hak suara. 3) Fokus pada pertanggungjawaban
(akuntabilitas). 4) Kreativitas pada perencanaan program. 5) Adanya pengaturan
ulang SDM. 6) Alokasi anggaran lebih realistis.
Drs Sugiaryo, MPd, dan Sulis Agung Nugroho -- pakar pendidikan dan pengembang
inisiatif kurikulum berbasis kompetensi (KBK) -- dalam sebuah esai akademik,
dalam jurnal Joglo Vol VI No 1, 2003, memberikan analisa mengapa MBS disebut
sebagai sebuah pembaruan dalam manajemen pendidikan. MBS memiliki tujuan yang
orientatif, di antaranya: 1) MBS sebagai media perubahan kultur dalam sekolah.
2) MBS sebagai media pemenuhan kebutuhan internal dan eksternal di sekolah. 3)
Fokus MBS ada pada pemberi dan penerima jasa. 4) MBS merupakan antisipasi
perubahan untuk menghadapi masa yang akan datang.
Namun tujuan MBS di atas tidak akan berhasil tanpa diiringi oleh
langkah-langkah strategis. MBS hanya akan menjadi wacana semata. Untuk
merealisasikan MBS memerlukan prasyarat kondisional yakni:
Pertama, perlu ada agenda strategis untuk pengembangan profesi dan diklat bagi
guru dan komponen sekolah lainnya tentang pengajaran, pengelolaan sekolah, dan
pemecahan masalah.
Kedua, perlu ada keterbukaan informasi tentang kinerja sekolah guna pemenuhan
kebutuhan orang tua dan masyarakat serta sumber daya sekolah guna membantu
komponen sekolah membuat keputusan yang jitu.
Ketiga, perlu sistem ganjaran (reward) sebagai pengakuan atas usaha
partisipatif dalam pengembangan dan peningkatan mutu/kinerja sekolah.
Keempat, ada kepemimpinan kepala sekolah yang cakap dan tersedianya pedoman
mekanisme untuk mengarahkan pelaksanaan kurikulum dan upaya instruksional
lainnya.
Kelima, dirumuskannya dan diwujudkannya visi, misi, tujuan, strategi, sasaran,
serta kegiatan pada sekolah tersebut.
Namun berbagai nilai/konsep ideal dalam pelaksanaan MBS sendiri tidak akan
berhasil optimal, manakala kendala struktural dan kultural belum bisa
diselesaikan melalui agenda tindakan oleh berbagai komponen pendukung proses
pembelajaran.
Kendala struktural adalah belum kuatnya goodwill dari pemegang otoritas
pendidikan di tingkat pusat/daerah/sekolah untuk mengembangkan iklim
demokratisasi dalam interaksi pendidikan dan birokrasi sekolah. Selama ini ada
realitas bahwa 'sekolah" menjadi sarang beragam praktik korupsi di dunia
pendidikan. Dan kepala sekolah yang memegang otoritas dan "kuasa" atas
kebijakan internal sekolah, merupakan kepanjangan tangan institusi/birokrasi
pendidikan di atasnya. Sehingga tidak menjadi "bagian" dari relasi bottom up
dengan komponen stakeholder sekolah yang lain.
Kendala kultural, yakni masih kuatnya budaya sekolah yang patronatif dan ewuh
pakewuh yang membuat proses pengambilan keputusan penting di sekolah bukan
ditentukan oleh komponen vital/penting sekolah. Namun oleh pemegang "kuasa"
birokrasi pendidikan.
Untuk menyelesaikan problem struktural dan kultural di atas, maka yang
diperlukan adalah penguatan peran dan fungsi "institusi" komunikasi
multi-stakeholder sekolah dalam mengontrol dan membantu kebutuhan sekolah.
Keberhasilan MBS sendiri tergantung dukungan dari masyarakat dan kepemimpinan
kepala sekolah yang profesional, berwibawa, dan akuntabel. Dukungan masyarakat
dalam operasionalisasi MBS bisa dilakukan melalui optimalisasi fungsi Komite
Sekolah dan Dewan Pendidikan. Komite Sekolah sebagai institusi non-birokrasi
yang berfungsi dalam mengartikulasikan aspirasi, mengkoordinasikan
rancang-tindak isu kebijakan dan monitoring dalam kinerja. Namun sayangnya
keberadaan Komite Sekolah atau Dewan Pendidikan belum optimal, karena masih
kuatnya kepentingan politik birokrasi pendidikan dalam berbagai intervensi
dalam pengambilan kebijakan mengenai sekolah dan proses belajar-mengajar di
sekolah.
Dalam merealisasikan MBS, Komite Sekolah diharapkan bisa memiliki inisiatif
kontinyu, dalam mendorong profesionalisme kepemimpinan kepala sekolah. Mau atau
tidak mau, komponen vital keberhasilan MBS adalah adanya optimalisasi
kepemimpinan kepala sekolah yang profesional, modernis, visionaris, dan
orientasi edukatif. Komite Sekolah setidaknya bisa mengawasi kinerja kepala
sekolah untuk bisa berperan optimal dalam menjalankan fungsi kepemimpinan MBS.
Karakter ideal kepemimpinan kepala sekolah sesuai dengan misi/visi MBS sendiri
adalah kepala sekolah setidaknya memiliki paradigma peningkatan mutu pendidikan
di tempat dia mengabdi. Kepala sekolah haruslah profesional -- yang memahami
tentang rencana strategi peningkatan mutu sekolah, merumuskan program mutu
pembelajaran, serta memiliki analisa SWOT (strengths, weaknesses,
opportunities, threats) yang aktual tentang lingkungan sekolah dan interaksi
belajar-mengajar di sekolah.
Beberapa waktu yang lalu, sempat terbetik isu tentang perlunya kepala sekolah
dipilih langsung oleh komunitas sekolah -- sebagai metode untuk menentukan
"sosok" kepala sekolah yang berkualitas. Upaya pemilihan langsung kepala
sekolah adalah untuk mengurangi ketergantungan dan praktik korupsi yang
berhubungan dengam birokrasi pendidikan. Dalam pemilihan kepala sekolah
langsung, diperlukan seleksi yang sifatnya administratif maupun intelektual.
Kepala sekolah diwajibkan memiliki "renstra" (rencana strategis) pengembangan
mutu sekolah. Namun sayangnya ide/wacana pemilihan kepala sekolah secara
langsung, terbentur oleh mekanisme hierarkhi "jabatan karier" dalam birokrasi
pendidikan, dan belum ada upaya "radikal" untuk mengubahnya.
Saat ini diperlukan kerja sama antar-berbagai pihak yang peduli terhadap dunia
pendidikan di level mikro (sekolah), untuk bisa mendukung kepemimpinan sekolah
yang berkualitas, dalam proses yang bertahap.
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Suprapto
Abstract
School-based management is a management model that offers wider autonomy to schools and encourages school components (teachers, students, headmaster, staff, parents and society) to participate in promoting school quality on the basis of national education policy.
Management itself is the empowerment of various resources including planning, organizing, coordinating, directing, controlling and supervising (Webster Dictionary, 1966.)
Characteristics of school-based management should represent a system based on input, process and output.
1. Latar Belakang dan Masalah
Manajemen adalah proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran (kamus besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, 1988). Didalam penggunaan sumber daya termasuk kegiatan perencanaan, mengor-ganisasi, koordinasi, pengarahan, pengendalian dan supervisi ( webster dictionary, 1966 ).
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang berarti. Berdasarkan masalah tersebut maka timbul pertanyaan apa yang salah dalam penyelenggaraan pendidikan kita?
Bila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) diharapkan secara otomatis akan terwujud. Dalam kenyataannya, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi. Mengapa? karena selama ini dalam menerapkan pendekatan educational production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian, sekolah kehilangan kemandirian, motivasi dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.
Di dalam era otonomi daerah, sekolah-sekolah diharapkan lebih mandiri sehingga penyelenggaraan program sekolah lebih luwes terutama dalam penggunaan sumber daya yang tersedia. Kemandirian suatu sekolah diperlukan seorang pemimpin yang berwibawa dan mampu melakukan koordinasi semua komponen sekolah baik tenaga teknis edukatif maupun administratif dengan tidak melupakan unsur kontrol dan supervisi.
Berkaitan dengan akuntabilitas, pada masa yang lalu sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan. Berdasarkan kenyataan- kenyataan tersebut diatas, tentu saja perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya adalah melakukan reorientasi penyelengga-raan pendidikan, yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.
2. Pengertian
Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua komponen sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program–program. Dengan pengam-bilan keputusan partisipatif, yaitu pelibatan warga sekolah secara langsung dalam pengambilan keputusan, maka rasa memiliki warga sekolah dapat meningkat. Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab, dan peningkatan rasa tanggung jawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah terhadap sekolahnya.
3. Tujuan
Manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan ( otonomi ) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah dalam penyelenggaraan program sekolah.
Meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah adalah peningkatan mutu pendidikan. Untuk mengkaji upaya peningkatan mutu pendidikan, perlu difahami lebih dahulu tentang makna dari mutu pendidikan itu sendiri.
Mutu pendidikan adalah kemampuan sistem pendidikan, baik secara manajerial maupun teknis profesional, untuk meningkatkan kemampuan belajar (Ace Suryadi, 1992)
Pendidikan dinyatakan sudah bermutu apabila seluruh peserta didik yang mengikuti suatu satuan program pendidikan pada jenis dan jenjang tertentu mencapai standar yang telah ditetapkan untuk satuan program tersebut (Jahja Umar, 1993)
Pada definisi mutu pendidikan yang kedua mengacu pada kualitas output pendidikan, dimana output tersebut ditentukan oleh input dan proses pendidikan.
4. Konsep Dasar
Bukti-bukti empirik lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional dan digulirkannya otonomi daerah, maka sebagai konsekwensi logis bagi manajemen pendidikan di Indonesia adalah perlu dilakukannya penyesuaian diri dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan yang bernuansa otonomi dan lebih demokratis.
Pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah lebih didorong oleh motivasi diri sekolah dari pada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari menmgontrol menjadi mem-pengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung. Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yag terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan – persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam pengambilan keputusan, maka yang bersangkutan akan mempunyai “ rasa memiliki” terhadap keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki: makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab: dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula dedikasinya.
Dengan pengertian diatas, maka sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetap-kan) sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu) dan partisipasi kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Jadi, sekolah merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit diatasnya (Dinas Pendidikan kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi) merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri, sebagai berikut; tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah ; bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus ; memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko) ; bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah ; memiliki kontrol yang kuat terhadap input manajemen dan sumberdaya ; memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja ; komitmen yang tinggi pada dirinya dan prestasi merupakan acuan utama.
Contoh tentang hal–hal yang dapat memandirikan/memberdaya-kan warga sekolah adalah: pemberian kewenangan, pemberian tanggung jawab, pekerjaan yang bermakna, pemecahan masalah sekolah secara “ teamwork”, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, menghargai ide-ide mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif.
Karakteristik manajemen berbasis sekolah merupakan sebuah sistem yang mendasarkan pada input, proses, dan output.
a. Input
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Input sumberdaya meliputi sumberdaya manusia (kepala sekolah, guru termasuk guru BP. Karyawan, siswa) dan sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, bahan, dsb). Input perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana, program, dsb. Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan, dan sasaran-saran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut.
Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan, dsb) dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan perserta didik. Kata memberdayakan mengandung arti bahwa peserta didik tidak sekedar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi pengetahuan tersebut juga telah menjadi muatan nurani peserta didik, dihayati, diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dan lebih penting lagi peserta didik tersebut mampu mengembang-kan dirinya.
1) Masukan mentah ( row input)
Yang dimaksud dengan masukan mentah adalah kemampuan dasar siswa pada waktu memasuki jenjang sekolah yang baru. Hal ini perlu dipertimbangkan karena kemampuan siswa sangat diperlukan di dalam proses belajar pembelajaran dan kegiatan belajar mengajar. Apabila kemampuan dasar siswa tidak memadai, maka siswa tadi akan mengalami kesulitan dan merupakan hambatan dalam proses belajar-mengajar, dan akibatnya output pendidikan tidak atau kurang berhasil. Oleh karena itu sekolah- sekolah sebaiknya melakukan seleksi masuk dengan melalui tes kemampuan akademik yang materinya berupa kemampuan dasar bagi mata pelajaran-mata pelajaran tertentu.
2) Input Instrumental
a) Kepemimpinan sekolah yang kuat
Pada sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah memiliki peran sangat penting dalam mengkoordinasikan, meng-gerakan, dan menyerasikan semua sumberdaya pendidi-kan yang tersedia. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolahnya melalui program–program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemim-pinan yang tangguh agar mampu mengambil keputu-san dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Secara umum, kepala sekolah harus memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya sekolah, terutama sumber-daya manusia, untuk mencapai tujuan sekolah.
Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah memiliki input manajemen yang memadai untuk menjalankan roda sekolah. Kepala sekolah dalam mengatur dan mengurus sekolahnya menggunakan sejumlah input manajemen. Kelengkapan dan kejelasan input manajemen akan membantu kepala sekolah mengelola sekolahnya dengan efektif. Input manajemen yang dimaksud meliputi: tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan-ketentuan (aturan main, yang jelas sebagai panutan bagi warga sekolahnya untuk bertindak, dan adanya sistem pengendalian mutu yang efektif dan efisien untuk meyakinkan agar sasaran yang telah disepakati dapat dicapai.
b) Pengelolaan Tenaga kependi-dikan yang Efektif
Tenaga kependidikan, ter-utama guru, merupakan jiwa sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah. Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah menyadari tentang hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi seorang kepala sekolah.
Terlebih-lebih pada pengem-bangan tenaga kependidikan ini harus dilakukan secara terus menerus mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment), kolaborasi dan sinergi, harus merupakan basis untuk kerjasama, warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya, atmosfer keadilan (fairness) harus ditanamkan, imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya, dan warga sekolah merasa memiliki sekolah.
c) Sekolah Memiliki “Teamwork “
Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang dituntut oleh manajemen berbasis sekolah, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu, kerjasama antara warga sekolah harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah. Untuk menjadi mandiri sekolah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugasnya.
d) Sekolah Memiliki Keter-bukaan (transparansi) mana-jemen
Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah. Keterbukaa / transparansi ini ditunjukan dalam pengam-bilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.
e) Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan
Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpentig adalah bagaimana meman-faatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar disekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat pentig dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus menerus.
f) Komunikasi yang Baik
Sekolah yang efektif umumya memiliki komunikasi yang baik, terutama antar warga sekolah, dan juga sekolah-masyarakat, sehingga kegiatan-kegiatan yang dila-kukan oleh masing-masing warga sekolah dapat diketahui. Dengan cara ini, maka keterpaduan semua kegiatan sekolah dapat diupayakan untuk mencapai tujuan dan sasaran sekolah yang telah ditentukan.
g) Sumberdaya yang Memadai
Sumberdaya merupakan input penting yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumberdaya yang memadai, proses pendidikan di sekolah tidak akan berlangsung secara memadai, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumberdaya dapat dikelom-pokan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (uang, peralatan, perleng-kapan, bahan dan sebagainya) dengan penegasaan bahwa sumberdaya selebihnay tidak mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa campur tangan sumberdaya manusia. Secara umum, sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah harus memiliki tingkat kesiapan sumberdaya yang memadai untuk menjalankan proses pendidikan. Artinya, segala sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan proses pendidikan harus tersedia dan dalam keadaan siap. Ini bukan berarti bahwa sumberdaya yang ada harus mahal, akan tetapi sekolah yang bersangkutan dapat memanfaatkan keberadaan sumberdaya yang ada di lingkungan sekolahnya. Karena itu, diperlukan kepala sekolah yang mampu memobilisasi sumberdaya yang ada disekitarnya.
h) Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi
Sekolah yang efektif pada umumya memiliki staf yang mampu (kompeter) dan berdedikasi tinggi terhadap sekolahnya. Implikasinya jelasm yaitu bagi sekolah yang ingin efektivitasnya tinggi, maka kepemilikan staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi merupakan keharusan.
i) Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan )
Pengelolaan fasilitas sesudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembagan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
j) Pengelolaan Kurikulum
Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum standar yang berlaku secara nasional. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam implementasinya, sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu, sekolaah diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.
k) Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/ penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan” (income genera-ting activities), sehinggaa sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
l) Sekolah Memiliki Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggung-jawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil mencapai tujuan yang dikehendaki atau tidak. Jika berhasil, maka pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan kinerja dimasa yang akan datang. Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka pemerintah perlu memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerjanya yang dianggap tidak memenuhi syarat.
Demikian pula, para orang tua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian program ini terutama kaitannya dengan peningkatan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja sekolah secaraa keseluruhan. Jika berhasil, maka orang tua peserta didik perlu meberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program yang akan datang. Jika kurang berhasil, maka orang tua siswa dan masyarakat berhak meminta pertanggung jawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan program tang telah dilakukan. Dengan cara ini, maka sekolah tidak akan main-main dalam melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan datang.
3) Input Lingkungan
a) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib
Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning). Karena itu, sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman, tertib melalui pengupayaan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut.
Iklim sekolah (fisik dan nonfisik) yang kondusif merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh iklim sebuah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah, sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstensif.
b) Partisipasi yang Tinggi dari Warga Sekolah dan Masyarakat
Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat pastisipasi, makin besar rasa memiliki, makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula tingkat dedikasinya.
Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah disentralisasi-kan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah-masyarakat.
b. Proses
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah kareakteristik proses sebagai berikut :
Proses Belajar Mengajar yang Efektivitasnya Tinggi
Siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan sekolah. Artinya semuaa input dan proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik. Sedang peserta didik juga mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan diri untuk berprestasi sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Harapan tinggi dari ketiga unsur sekolah ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sekolah selalu dinamis untuk selalu mnenjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah memiliki efektivitas proses belajar mengajar (PBM) yang tinggi. Ini ditujukan oleg sifat PBM yang menekankan pada aktivitas dan pemberdayaan peserta didik. PBm bukan sekedar memorisasi dan recall. Bukan sekedar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan sehari-hari oleh peserta didik (pathos). PBM yang efektif juga lebih menekankan pada belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri.
Pada proses pendidikan, guru merupakan komponen utama dalam peningkatan mutu pendidikan dari siswa, baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotor. Oleh karena itu dalam manajemen sekolah ini guru merupakan sumber daya yang perlu memperoleh perhatian utama, khususnya dalam proses belajar mengajar. Kepala sekolah perlu mencurahkan perhatiannya kepada hal-hal yang bersifat teknis edukatif, terutama dalam pemberdayaan kinerja guru. Kinerja guru dapat ditingkatkan dan dikem-bangkan dengan strategi tertentu, yaitu perlu adanya motivasi agar guru dengan kesadaran penuh mau melaksanakan kinerjanya dalam proses belajar mengajar dengan sasaran peningkatan mutu pendidi-kan siswa. Unsur teknis edukatif dan disiplin guru perlu adanya supervisi atau pengawasan dan bimbingan yang berkesinambungan. Dengan manajemen strategi tersebut diharapkan kinerja guru akan lebih efektif dan mutu output akan tercapai.
Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan pengaja-ran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakte-ristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya yang tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran dan pengaja-ran yang berpusat pada siswa (student centered) lebih mampu memberda-yakan pembelajaran siswa.
c. Output
Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dalam proses belajar mengajar yang dipengaruhi oleh raw input, instrumental input dan input lingkungan dari sekolah tersebut. Pada umumnya, output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu out put berupa prestasi akademik (academic achievement) dan output berupa prestasi non-akademik (non-academic achievement). Output prsetasi akademik diantaranya NEM, lomba karya ilmiah remaja, cara-cara berpikir (kritis, kreatif, nalar, rasional, induktif, deduktif, dan ilmiah). Output non akademik, diantaranya keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedisi-plinan, kerajinan, prestasi olah raga, kesenian dan kepramukaan.
Output pendidikan pada hakeketnyaa merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolag dapat diukur dari kualitasnya. Efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan mutu output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output sekolag dikatakan berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa menunjukan pencapaian yang tinggi dalam: (1) Prestasi akademik, berupa nilai ulangan umum, EBTA, EBTANAS, karya ilmiah, lomba-lomba akademik, dan (2) prestasi non-akademik, seperti misalnya kejujuran, kesopanan, olahraga, kesenian, keterampilan, dan kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan seperti misalnya perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
5. Penutup
Secara umum, pergeseran dimensi-simensi pendidikan dari manajemen berbasis sekolah telah diuraikan pada bagian depan. Sexara lebih spesifik, pertanyaannya adalah: fungsi-fungsi apa sajakah yang perlu didesentralisasikan ke sekolah? sampai saat ini belumn ada resep yang pasti tentang hal ini, karenma seperti kita ketahui, otonomi pendidikan sedang bergulir dan sedang mencari formatnya. Sementara menunggu “legal aspect” yang akan diberlakukan kelak, banyak fungsi-fungsi sekolah yang semula dikerjakan oleh Pemerintah Pusat/Kanwil/Kandep dapat dilakukan oleh sekolah secara profesional. Adapun aspek-aspek yang dapat digarap oleh sekolah dalam rangka manajemen berbasis sekolah ini meliputi: (1) perencanaan dan evaluasi program sekolah, (2) pengelolaan kurikulum, (3) pengelolaan proses belajar mengajar, (4) pengelolaan ketenagaan, (5) pengelolaan peralatan daan perlengkapan, (6) pengelolaan keuangan, (7) pelayanan siswa, (8) hubungan sekolah-masyarakat, daan (9) pengelolaan iklim sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Caillods, Francoise, 1989, The Prosepects for Educational Planning, UNESCO; International Institute for Educational Plannig, Imprimerie Gautheir-Villar, Paris.
2. Carol Kennedy, 1996, Managing With the Gurus, PT. Gramedia, Jakarta
3. H. D. Sudjana, 1992, Pengantar Pendidikan Luar Sekolah, Nusantara Press, Bandung
4. M. Soedomo, 1987, Sekitar Eksistensi Sekolah, P.T. Hanindita, Yogyakarta.
5. Ministry of Education and Culture, 1996, Education Development In Indonesia (a Country Report), Ministry of Education and Culture, Jakarta
6. Suprapto, 2002, Media Jarlit, Reproduksi dan publikasi Badan Penelitian dan pengem-bangan Pendidikan Nasional, Jakarta.
PENDAHULUAN
Keuangan dan pembiayaan merupakan salah satu sumber daya yang secara langsung menunjang efektifitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Hal tersebut lebih terasa lagi dalam implementasi MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), yang menuntut kemampuan sekolah untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi serta mempertanggungjawabkan pengelolaan dana secara transparan kepada masyarakat dan pemerintah.<
Dalam penyelenggaraan pendidikan, keuangan dan pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kajian manajemen pendidikan. Komponen keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan terlaksananya kegiatan belajar-mengajar di sekolah bersama dengan komponen-komponen yang lain. Dengan kata lain setiap kegiatan yang dilakukan sekolah memerlukan biaya, baik itu disadari maupun yang tidak disadari. Komponen keuangan dan pembiayaan ini perlu dikelola sebaik-baiknya, agar dana-dana yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan. Hal ini penting, terutama dalam rangka MBS, yang memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mencari dan memanfaatkan berbagai sumber dana sesuai dengan kebutuhan masing-masing sekolah karena pada umumnya dunia pendidikan selalu dihadapkan pada masalah keterbatasan dana, apa lagi dalam kondisi krisis pada sekarang ini.
PEMBAHASAN
Sumber keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah secara garis besar dapat dikelompokkan atas tiga sumber, yaitu
(1) pemerintah, baik pemerintah pusat, daerah maupun kedua-duanya, yang bersifat umum atau khusus dan diperuntukkan bagi kepentingan pendidikan;
(2) orang tua atau peserta didik;
(3) masyarakat, baik mengikat maupun tidak mengikat. Berkaitan dengan peneriman keuangan dari orang tua dan masyarakat ditegaskan dalam Undang-Undang no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa karena keterbatasan kemampuan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan dana pendidikan, tanggung jawab atas pemenuhan dana pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah,masyarakat dan orang tua. Adapun dimensi pengeluaran meliputin biaya rutin dan biaya pembangunan.
Biaya rutin adalah biaya yang harus dikeluarkan dari tahun ke tahun, seperti gaji pegawai (guru dan non guru), serta biaya operasional, biaya pemeliharaan gedung, fasilitas dan alat-alat pengajaran (barang-barang habis pakai). Sementara biaya pembangunan, misalnya, biaya pembelian atau pengembangan tanah, pembangunan gedung, perbaikan atau rehab gedung, penambahan furnitur, serta biaya atau pengeluaran lain unutk barang-barang yang tidak habis pakai. Dalam implementasi MBS, manajemen komponen keuangan harus dilaksanakan dengan baik dan teliti mulai dari tahap penyusunan anggaran, penggunaan, sampai pengawasan dan pertanggungjawaban sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar semua dana sekolah benar-benar dimanfaatkan secara efektif, efisien, tidak ada kebocoran-kebocoran, serta bebas dari penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme.
Komponen utama manajemen keuangan meliputi,
(1) prosedur anggaran;
(2) prosedur akuntansi keuangan;
(3) pembelajaran, pergudangan dan prosedur pendistribusian;
(4) prosedur investasi; dan
(5) prosedur pemeriksaan.
Dalam pelaksanaannya manajemen keuangan ini menganut azas pemisahan tugas antara fungsi otorisator, ordonator dan bendaharawan. Otorisator adalah pejabat yang diberi wewenang untuk mengambil tindakan yang mengakibatkan penerimaan dan pengeluaran anggaran. Ordonator adalah pejabat yang berwenang melakukan pengujian dan memerintahkan pembayaran atas segala tindakan yang dilakukan berdasarkan otorisasi yang telah ditetapkan. Adapun bendaharawan adalah pejabat yang berwenang melakukan penerimaan, penyimpanan dan pengeluaran uang atau surat-surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang serta diwajibkan membuat perhitungan dan pertanggungjawaban.
Kepala sekolah dalam hal ini, sebagai manajer, berfungsi sebagai otorisator, dan dilimpahi fungsi ordonator untuk memerintahkan pembayaran. Namun, tidak dibenarkan melaksanakan fungsi bendaharawan karena berkewajiban melakukan pengawasan kedalam. Bendaharawan, disamping mempunyai fungsi-fungsi bendaharawan, juga dilimpahi fungsi ordonator untuk menguji hak atas pembayaran.
Prinsip-prinsip Pengelolaan Keuangan Pendidikan
Penggunaan anggaran dan keuangan, dari sumber manapun, apakah itu dari pemerintah ataupun dari masyarakat perlu didasarkan prinsip-prinsip umum pengelolaan keuangan sebagai berikut:
1. Hemat, tidak mewah, efisien dan sesuai dengan kebutuhan teknis yang disyaratkan
2. Terarah dan terkendali sesuai dengan rencana, program/ kegiatan.
3. Terbuka dan transparan, dalam pengertian dari dan untuk apa keuangan lembaga tersebut perlu dicatat dan dipertanggung jawabkan serta disertai bukti penggunaannya.
4. Sedapat mungkin menggunakan kemampuan/ hasil produksi dalam negeri sejauh hal ini dimungkinkan
Rencana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Sekolah
Implementasi prinsip-prinsip keuangan diatas pada pendidikan, khususnya dilingkungan sekolah dan keserasian antara pendidikan dalam keluarga, dalam sekolah, sekolah dan dalam masyarakat, maka untuk sumber dana sekolah, sekolah itu tidak hanya diperoleh dari anggaran dan fasilitas dari pemerintah atau penyandang dana tetap saja, tetapi dari sumber dan dari ketiga komponen di atas.
Untuk itu disekolah sebenarnya juga perlu dibentuk organisasi orang tua siswa yang implementasinya dilakukan dengan membentuk komite sekolah. Komite tersebut beranggotakan wakil wali siswa, tokoh masyarakat, pengelola, wakil pemerintah dan wakil ilmuwan/ ulama diluar sekolah dan dapat juga memasukkan kalangan dunia usaha dan industri.
Selanjutnya pihak sekolah bersama komite atau majelis sekolah pada setiap awal tahun anggaran perlu bersama-sama merumuskan RAPBS sebagai acuan bagi pengelola sekolah dalam melaksanakan manajemen keuangan yang baik.
Pengertian RAPBS
Anggaran adalah rencana yang diformulasikan dalam bentuk rupiah dalam jangka waktu atau periode tertentu, serta alokasi sumber-sumber kepada setiap bagian kegiatan. Anggaran memiliki peran penting didalam perencanaan, pengendalian dan evaluasi kegiatan yang dilakukan sekolah. Maka seorang penanggung jawab program kegiatan disekolah harus mencatat anggaran serta melaporkan realisasinya sehingga dapat dibandingkan selisih antara anggaran dengan pelaksanaan serta melakukan tindak lanjut untuk perbaikan.
Ada dua bagian pokok anggaran yang harus diperhatikan dalam penyusunan RAPBS, yaitu:
a. Rencana sumber atau target penerimaan/ pendapatan dalam satu tahun yang bersangkutan, termasuk didalamnya keuangan bersumber dari:
a).kontribusi orang tua siswa,
b).sumbangan dari individu atau organisasi,
c).sumbangan dari pemerintah,
d).dari hasil usaha
b. Rencana penggunaan keuangan dalam satu tahun yang bersangkutan, semua penggunaan keuangan sekolah dalam satu tahun anggaran perlu direncanakan dengan baik agar kehidupan sekolah dapat berjalan dengan baik.
Langkah-langkah Penyusunan RAPBS
Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan RAPBS adalah harus menerapkan prinsip anggaran berimbang, artinya rencana pendapatan dan pengeluaran harus berimbang diupayakan tidak terjadi anggaran pendapatan minus. Dengan anggaran berimbang tersebut maka kehidupan sekolah akan menjadi solid dan benar-benar kokoh dalam hal keuangan, maka sentralisasi pengelolaan keuangan perlu difokuskan pada bendaharawan sekolah, dalam rangka untuk mempermudah pertanggung jawaban keuangan.
Penyusunannya hendaknya mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
a) Menginventarisasi rencana yang akan dilaksanakan
b) Menyusun rencana berdasarkan skala prioritas pelaksanaannya
c) Menentukan program kerja dan rincian program
d) Menetapkan kebutuhan untuk pelaksanaan rincian program
e) Menghitung dana yang dibutuhkan
f) Menentukan sumber dana untuk membiayai rencana
Rencana tersebut setelah dibahas dengan pengurus dan komite sekolah, maka selanjutnya ditetapkan sebagai anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS). Pada setiap anggaran yang disusun perlu dijelaskan apakah rencana anggaran yang akan dilaksanakan merupakan hal baru atau kelanjutan atas kegiatan yang telah dilaksanakan dalam periode sebelumnya dengan menyebut sumber dana sebelumnya.
Dalam setiap anggaran yang disusun untuk kegiatan-kegiatan dilingkungan sekolah, paling tidak harus memuat 6 hal atau informasi sebagai berikut:
a) Informasi rencana kegiatan: sasaran, uraian rencana kegiatan, penanggung jawab, rsencana baru atau lanjutan.
b) Uraian kegiatan program, program kerja, rincian program
c) Informasi kebutuhan: barang/ jasa yang dibutuhkan, volume kebutuhan
d) Data kebutuhan harga satuan, jumlah biaya yang dibutuhkan untuk seluruh volume kebutuhan
e) Jumlah anggaran: jumlah anggaran untuk masing-masing rincian program, program, rencana kegiatan, dan total anggaran untuk seluruh rencana kegiatan
f) Sumber dana: total sumber dana, masing-masing sumber dana yang mendukung pembiayaan program.
Realisasi APBS
Dalam pelaksanaan kegiatan, jumlah yang realisasikan bisa terjadi tidak sama dengan rencana anggarannya, bisa kurang atau lebih dari jumlah yang telah dianggarkan. Ini dapat terjadi karena beberapa sebab:
a. Adanya efisiensi atau inefisiensi pengeluaran
b. Terjadinya penghematan atau pemborosan
c. Pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan yang telah diprogramkan
d. Adanya perubahan harga yang tidak terantisipasi
e. Penyusunan anggaran yang kurang tepat
Pertanggung jawaban Keuangan Sekolah
Semua pengeluaran keuangan sekolah dari sumber manapun harus dipertanggung jawabkan, hal tersebut merupakan bentuk transparansi dalam pengelolaan keuangan. Namun demikian prinsip transparansi dan kejujuran dalam pertanggung jawaban tersebut harus tetap dijunjung tinggi. Dalam kaitan dengan pengelolaan keuangan tersebut, yang perlu diperhatikan oleh bendaharawan adalah:
1. Pada setiap akhir tahun anggaran, bendara harus membuat laporan keuangan kepada komite sekolah untuk dicocokkan dengan RAPBS
2. laporan keuangan tersebut harus dilampiri bukti-bukti pengeluaran yang ada
3. kwitansi atau bukti-bukti pembelian atau bukti penerimaan dan bukti pengeluaran lain
4. neraca keuangan juga harus ditunjukkan untuk diperiksa oleh tim pertanggung jawaban keuangan dari komite sekolah
DAFTAR PUSTAKA
Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah. 2007. Bandung. Remaja Rosda Karya.
Dimock, ME. Dimock, GO, Administrasi Negara. 1992. Jakarta. Rineka Cipta.
Sulthon, M. Khusnuridlo, M, Manajemen Sekolah Dalam Perspektif Global, 2006, Yogyakarta, laksBang PRESSindo.
MINGGU, 2008 AGUSTUS 17
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DI PEDESAAN
9
Era reformasi membawa perubahan yang sangat mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan yang dimaksud terutama menyangkut kehidupan sosial yang sentralistik ke desentralistik, tercermin dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah berkaitan dengan otonomi yang berbasis daerah kota/kabupaten dan desa. Implikasi langsung dari kebijakan ini adalah bahwa semua kebijakan publik harus berasal dari bawah/masyarakat (bottom-up) dan bukan lagi dari atas yaitu pemerintah (top-down). Keterlibatan masyarakat, baik sebagai pelaku dan subyek, dalam proses perencanaan dan pelaksanaan sampai pemanfaatan sesuatu yang berkait dengan publik harus demokratis dan sesuai dengan kebutuhan warga.
Diantara aspek yang diotonomikan adalah bidang pendidikan, seperti tercantum dalam pasal 11 dari undang-undang tersebut yang mengamanatkan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan kota mencakup semua bidang pemerintahan yaitu pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanian, koperasi serta tenaga kerja. Berkaitan dengan persoalan itu diperlukan rekonstruksi sektor pendidikan agar sesuai kebutuhan masyarakatnya, karena menurut Smith yang dikutip Syarif Hidayat (2000:11) diberlakukannya otonomi daerah mencakup sektor pendidikan dapat tercipta local capability, yakni meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperbaiki hak-hak komunitasnya. Menggarisbawahi pendapat smith tersebut, menurut Miftah Thoha (1999:1) pendidikan saat ini dan di masa depan harus berorientasi pada aspirasi masyarakat (putting costumer first) dengan cara need assessment di tingkat grassroot pada persoalana sistem pendidikan, macam kurikulum, dan persyaratan pengajarnya.
Secara operasional, Nuril Huda (1999:16) menawarkan tiga konsep desentralisasi pendidikan :
1. Site-Based Management atau School Based Management
2. Pengurangan administrasi pusat,
3. Inovasi kurikulum
Dari ketiga pendapat di atas, pemerintah saat ini sedang berupaya mengimplementasikan amanat otonomi daerah. Dalam bidang pendidikan upaya mengimplementasikannya dikuatkan dengan UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 terutama pada Bab Pembangunan Pendidikan, diantaranya berupaya mewujudkan kebijakan manajemen berbasis sekolah/masyarakat (MBS/M) yang berimplikasi manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS).
Konsep MBS pada hakekatnya bagus, tetapi masih banyak orang yang belum memahaminya dan menyadarinya, karena tidak mau terjebak pada persoalan nama sebelumnya, seperti kasus BP3 maupun yang sejenis. Kasus yang selama ini terjadi lebih banyak melibatkan orang tua dan masyarakat pada tataran pendanaan saja (berupa penarikan SPP, uang BP3, uang gedung, atau jenis pungutan yang lainnya) dan belum pada persoalan riil sekolah yang cakupannya tidak hanya sekedar pendanaan saja. Penerapan MBS di berbagai negara (Duke and Cannady, 1991:129-138) menunjukkan hal yang positif bagi pemecahan masalah yang dihadapi pendidikan secara makro di kabupaten/kota maupun mikro di tingkatan sekolah.
Berangkat dari pemikiran itulah, tulisan ini berupaya menggambarkan seluk beluk MBS yang mencakup pengertian MBS, Prinsip MBS, model MBS, dan strategi implementasinya di sekolah pedesaan.
A. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen berbasis sekolah merupakan istilah lain dari School Based Management atau Site Based Management (SBM). Dornseif (1996:2) menyatakan bahwa School Based Management describes a collection of practices in which more people at the school level make decisions for the school. Pendapat yang hampir sama yang agak operasional dikemukakan Marburger yang dikutip Brown (1990:90) mendefinisikan SBM sebagai one which explicitly include shared power with teachers, principals, parent, citizens, and students. SBM bermakna pembagian kekuasaan antara guru, kepala sekolah, orang tua, masyarakat, dan siswa. Pendapat lain dikemukakan Supriono S, dan Achmad Sapari (2001) yang menyatakan bahwa MBS sebagai formula pengelolaan pendidikan yang berupaya meningkatkan mutu pendidikan, efisiensi, dan pemerataan yang memungkinkan sekolah memiliki otonomi seluas-luasnya yang menuntut peran serta masyarakat secara optimal dan menjamin kebijakan nasional tidak terabaikan.
Ketiga pendapat itu dapat disimpulkan bahwa manajemen berbasis sekolah adalah model pengelolaan pendidikan yang memasukkan pembagian kekuasaan antar komponen sekolah (guru, kepala sekolah, orang tua, warga negara, dan siswa) agar terjadi peningkatan mutu, efisiensi, dan pemerataan.
Kosekuensi dari MBS berdasarkan pengertian di atas adalah kebutuhan keterlibatan (involvement) dan keikutsertaan (partisipation) antar semua komponen dalam pendidikan, baik langsung maupun tidak langsung.
Dua istilah itu kelihatannya sama, tetapi sebenarnya memiliki makna yang berbeda. Marsh (1996:194) menyebut involvement means very limited opportunities whereby parents undertake activities that have been designed and initiated by the school principal and staff. Keterlibatan (involvement) lebih bermakna orang tua siswa bersifat pasif karena inisiatif semuanya dari kepala sekolah dan stafnya. Sedangkan menurut pendapat Marsh menyebut partisipasi sebagai Participation is to do with sharing or influencing decisions on policy matters and includes an active decision making role in such areas as school policy, staffing, and profesional development of staff, budget, grounds and buildings, management of resources and the school curriculum. Partisipasi lebih bersifat aktif dalam mempengaruhi keputusan dari semua pihak dalam segala hal yang berkaitan dengan sekolah, baik kebijakan sekolah, formasi kepegawaian, pengembangan profesional staf, anggaran, tanah dan bangunan, pengelolaan sumber daya serta kurikulum sekolah. Kedua istilah ini sesuai pengertian Manajemen Berbasis Sekolah lebih sesuai dan cocok memakai istilah partisipasi, karena semangatnya seiring dan sejalan. Karena menurut konsep yang dikembangkan Depdiknas (2001:3) pada hakekatnya MBS merupakan pemberian otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua, dan masyrakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Dari semua pengertian di atas mengandung maksud bahwa MBS itu merupakan wahana untuk pemberdayaan sekolah, keluarga, dan masyarakat secara bersama-sama dalam meningkatkan mutu sekolah. Dengan demikian MBS disebut juga dengan istilah Shared Decision-Making (SDM) (Duke and Cannady, 1991:133), karena pembuatan keputusan atau kebijakan sekolah merupakan hasil keterlibatan semua pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dalam dunia pendidikan. Pengertian-pengertian di atas mengandung maksud bahwa MBS memiliki beberapa dimensi sebagai berikut :
Tabel 1. Perbandingan Pola Sentralisasi dengan Desentralisasi
Pola Lama (sentralisasi) Pola Baru (desentralisasi)
Subordinasi
Pengambilan keputusan terpusat
Ruang gerak kaku
Pendekatan birokratik
Sentralistik
Diatur
Overregulasi
Mengontrol
Mengarahkan
Menghindari resiko
Gunakan uang semuanya
Individual yang cerdas
Informasi terpribadi
Pendelegasian
Organisasi hirarkis. Otonomi
Pengambilan keputusan partisipatif
Ruang gerak luwes
Pendekatan profesional
Desentralistik
Motivasi diri
Deregulasi
Mempengaruhi
Memfasilitasi
Mengelola resiko
Menggunakan anggaran seefisien mungkin
Teamwork yang cerdas
Informasi terbagi
Pemberdayaan
Organisasi datar
(Depdiknas, 2001:7-8)
Tabel di atas menunjukkan bahwa MBS merupakan bentuk desentralisasi nyata (true decentralization), yang digambarkan Griffin dan Moorhead (1986:565) sebagai berikut:
Gambar 1. Perbandingan antara tipe dan partisipasi pembuatan keputusan
Decision Type
Programmed Nonprogrammed
Participation in
Decision Making Much
Litle Formalized Decentralization True
Decentralization
Centralization
Gambar tersebut menggambarkan tiga kemungkinan dalam memahami sebuah partisipasi dikaitkan dengan tipe keputusan yang dibuat. Kemungkinan pertama adalah bahwa partisipasi seluruh elemen dalam pengambilan keputusan sanagat kecil, maka struktur organisasi bersifat sentralisasi. Kemungkinan kedua adalah jika individu atau kelompok berpartisipasi secara luas dalam pembuatan keputusan tetapi hanya dalam keputusan terprogram (programmed decisions) disebut desentralisasi formal (formalized decentralization). Ketiga, jika yang terjadi adalah individu atau kelompok berpartisipasi secara luas dalam pembuatan keputusan tetapi hanya dalam keputusan tak terprogram (Nonprogrammed decisions) disebut desentralisasi nyata (True decentralization). Sekolah haruslah mengembangkan model ketiga dalam melaksanakan kebijakan MBS.
Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah memerlukan sebuah lembaga khusus dan mandiri di basis otonomi daerah dan setiap jenjang pendidikan, baik berupa dewan pendidikan/sekolah di Kabupaten/Kota, dan komite sekolah di tingkat satuan jenjang pendidikan. Lembaga ini merupakan lembaga independen sebagai mitra teknis bidang pendidikan dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan (Depdiknas, 2002:5).
Beberapa pengertian di atas, dapat ditarik beberapa prinsip MBS, diantaranya : Pertama. Sekolah diasumsikan yang paling tahu tentang sekolah dan siswanya, sehingga keputusan tentang sekolah dibuat oleh orang-orang yang terkait dengannya. Kedua. Sekolah adalah unit terbesar dalam efektifitas sekolah. Ketiga. Guru, orang tua siswa dan masyarakat (tokoh masyarakat atau profesi) dapat membantu dalam pembuatan keputusan tentang program pendidikan, kurikulum, pengelolaan sumber daya (keuangan, manusia, dan alam) dan pengembangan profesional staf (administrasi maupun fungsional : guru dan pustakanwan).
B. Model Manajemen Berbasis Sekolah
Tulisan Duke and Cannady (1991), Dornseif (1996), maupun Depdiknas (2002) memberikan gambaran tentang model MBS. Model itu memberikan kejelasan tentang perlunya Dewan Pendidikan/Sekolah di tingkat basis penerapan otonomi daerah dan Komite Sekolah di tingkat satuan jenjang pendidikan (SD/MI, SLTP/MTs, maupun Sekolah Menengah (SMU/SMK/MA). Tujuan dari pembentukan lembaga ini menurut Dornseif (1996:5) dan Depdiknas (2002:14 dan 27) adalah :
1. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi serta prakarsa masyarakat dalam kebijakan pendidikan di setiap satuannya.
2. Menetapkan visi dan tujuan sekolah
3. Mengembangkan rencana strategis dan peningkatan sekolah (transparansi, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan layanan pendidikan).
4. Menentukan prioritas tujuan sekolah
5. Memajukan kegiatan orang tua
6. Mengembangkan sebuah rencana untuk melibatkan masyarakat bisnis di sekolah.
7. Mengembangkan rencana untuk memajukan sekolah.
Tujuan tersebut mengndung maksud bahwa peningkatan kualitas sekolah tidak hanya berstatus involvement (keterlibatan) saja tetapi juga partisipation (keikutsertaan). Sebagai implikasinya keanggotaannyapun harus beragam, baik dari dalam maupun luar sekolah. Menurut Dornseif (1996:9) keanggotaanya bisa terdiri dari: Kepala Sekolah, Guru, Staf Sekolah, Orangtua, Masyarakat, dan siswa, sedangkan jumlahnya menyesuaikan kebutuhan masing-masing satuan jenjang pendidikan. Tabel berikut ini dapat dilihat komposisi keanggotaannya adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Perbandingan Keanggotaan Komite Sekolah
Komponen Jumlah Anggota
Tingkat SD Tingkat SLTP/SM
Kepala Sekolah 1 orang 1 orang
Guru 4 orang 5 - 6 orang
Staf Sekolah 1 orang 1 - 2 orang
Orang Tua 5 orang 4 - 5 orang
Masyarakat 1 orang 1 orang
Siswa - 2 – 3 orang
Tabel di atas memberikan gambaran bahwa jumlah guru dan siswa yang mewakili harus berbeda kelas, dan berbeda jurusan di tingkat Sekolah Menengah. Selain itu juga memperlihatkan bahwa di tingkat SD belum menyertakan siswanya dikarenakan mereka masih belum bisa dilibatkan dalam kegiatan yang bersifat pengambilan kebijakan yang rata-rata berfikir reflektif, antisipatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru yang dilibatkan dalam pembuatan kebijakan sekolah akan meningkatkan kualitas pengajaran dan pembelajarannya di sekolah (Duke dan Cannady, 1991:132). Begitu pula melibatkan siswa dalam pembuatan kebijakan sekolah dapat meningkatkan partisipasi mereka dalam pengembangan kebijakan disiplin sekolah, sehingga bisa mengurangi kekerasan dan sifat suka merusak di sekolah (Duke dan Cannady, 1991:133). Dengan demikian pelibatan mereka semua dalam Komite pendidikan ataupun sekolah merupakan langkah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas sekolah.
C. Implementasi MBS di Pedesaan
Pedesaan dilihat secara pesimis oleh Sutandyo Wignyosubroto (Dadang Yuliantara, 2000:30-33) yang menyatakan bahwa kehidupan pedesaan merupakan model kehidupan dari homo hierarchicus (tatanan diskriminatif antara Gusti dan kawula) yang sudah mendarah daging dalam masyarakat pedesaan Indonesia dan mulai akan diubah ke model kehidupan homoaequalis (yang memandang sesama manusia sebagai manusia sesama). Akan sangat sulit untuk menerapkan model ini dalam masyarakat seperti ini, tetapi dengan rencana tersengaja dan kontinuitas dari masyarakat sendiri tanpa harus ada intervensi pemerintah. Dilihat dari pendapat pesimis tersebut, maka implementasi MBS juga akan mengalami kesulitan karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk partisipasi semua kalangan di pedesaan.
Cara pandang yang berbeda dinyatakan Ryaas Rasyid (Dadang Yuliantara, 2000: 265) bahwa mendudukkan kembali posisi desa atau dengan nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum adat terendah yang memiliki asal usul dan otonomi asli yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi dasar pemikiran dalam rangka pengembangan model homoaequalis (yang memandang sesama manusia sebagai manusai sesama) rakyat. Pendapat ini memberikan rasa optimis dalam implementasi MBS, karena masyrakat biasa menggunakan kaidah “semuanya dapat dimusyawarahkan” (Jawa : ono rembug yo dirembug).
Dua pendapat esktrim ini bisa dijadikan titik perhatian bahwa tidak mudah mengimplementasikan MBS (sebagai perwujudan demokrasi dalam pelaksanaan pendidikan) di pedesaan, sehingga tidak terjadi over-estimated dengan diberlakukannya UU tentang otonomi daerah tersebut. Namun yang jelas dalam kehidupan tidak banyak sesuatu itu merupakan sebuah pewarisan begitu saja (taken for granted) tetapi lebih banyak harus dipelajari (learned) dan dipraktekkan secara sustainable. Contoh yang bisa dilihat adalah banyaknya potensi dalam mewujudkan partisipasi masyarakat - baik politik, ekonomi, maupun sosial lainnya, seperti rembug desa (wujud demokrasi politik dan sosial), lumbung desa (wujud demokrasi ekonomi), atau yang sejenis.
Apalagi dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 akan semakin mudah mengembangkan partispasi penduduk desa dalam semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Termasuk pemanfaatan struktur pemerintahan desa, baik parlemen desa (Badan Perwakilan Desa=BPD/BAPERDES) sebagai penguasa legislatif, dan kepala desa (lurah atau nama lain, sesuai budaya setempat) sebagai pemegang kekuasaan eksekutif (Pasal 94). Dalam mengupayakan pembuatan peraturan desa (perdes), dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) bersama kepala desa (Pasal 104) yang bisa menyeiringsejalankan pengembangan kualitas pendidikan di pedesaan melalui MBS..
Disinilah diperlukan sekolah di pedesaan mengem-bangkan komunikasi dengan lembaga BPD maupun Eksekutif desa. Terutama bagaimana mengembangkan kurikulum muatan lokal (dari inventarisasi sampai implementasi), bagaimana memanfaatkan potensi desa (peraturan, dana maupun manusia) untuk bisa meningkatkan kualitas sekolah melalui program MBS. Peraturan desa juga bisa diupayakan untuk mengatur kewajiban setiap warga yang punya keahlian dalam ketrampilan tertentu bisa atau wajib membantu mengajar ketrampilan di sekolah (sebagai bentuk perwujudan pengembangan kurikulum muatan lokal), bisa juga mengatur diperbolehkannya sekolah menggunakan sebagian tanah kas desa atau tanah milik penduduk untuk sumber belajar (by utility) atau laboratorium. Begitu pula Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APB Desa) juga harus mengalokasikan untuk sektor pendidikan di desa yang bersangkutan. Hal ini mengingat Amademen Terakhir UUD 1945 mengamanatkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Daerah sudah harus mengalokasikan 20%-nya untuk sektor pendidikan.
D. Penutup
Seiring dengan pemberlakuan Otnonomi daerah yang berbasis desa dan Kabupaten/kota, maka berimplikasi pada pendidikan karena termasuk salah satu bidang yang didesentralisasikan. Kebijakan yang dikembangkan dalam bidang ini sama persis dengan politik desentralisasi, yaitu pengembangan partisipasi semua komponen dalam pengambilan kebijakan pendidikan berupa Manajemen Berbasis Sekolah melalui wahan komite pendidikan atau komite sekolah.
Wilayah Pedesaan bisa berbuat lebih banyak karena bisa mengembangkan partisipasi dalam upaya penigkatan Manajemen Berbasis Sekolah melalui peraturan desa yang diputuskan melalaui Badan Perwakilan Desa dan kepala Desa. Peraturan yang bisa dituangkan untuk pengembangan MBS bisa berkait dengan penganggaran dalam APBDesa untuk alokasi pendidikan, Pengembangan kurikulum muatan lokal, dan yang lainnya.
Daftar Pustaka
Brown, Daniel J. 1990. Decentralization and School-Based Management. London : The Falmer Press.
Dadang Yuliantara. 2000. Arus Bawah Demokrasi : Otonomi dan Pemberdayaan Desa. Yogyakarta : LAPERA.
Depdiknas. 2002. Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Materi Pelatiha Terpadu Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Jakarta : Ditjen Dikdasmen Depdiknas.
Depdiknas. 2001. Manajemen PeningkatanMutu Berbasis Sekolah Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta : Ditjen Dikdasmen Depdiknas.
Duke, Daniel L. and Cannady, Robert Lynn. 1991. School Policy. New York : Mc. Graw-Hill.
Dornseif, Alain. 1996. Pocket Guide to School-Based Management. Virginia: Association of Supervision and Curriculum Development.
E. Mulyasa. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Erry Utomo, Sumiyati, dan Suwandi. 1997. Pokok-Pokok Pengertian Dan Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal. Jakarta : Depdikbud.
Griffin, Ricky W. & Moorhead, Gregory. 1986. Organizational Behavior. Boston : Houghton Mifflin Company.
Marsh, Colin. 1996. Handbook for Beginning Teachers. Melbourne : Longman.
Miftah Thoha. 1999. Desentralisasi Pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 Tahun ke-5 Juni 1999.
Nurhatati Fuad. 2001. Manajemen Berbasis Sekolah. Makalah. Jakarta: DMAP, Ditpenda Depag, dan PPSDM IAIN Jakarta.
Nuril Huda. 1999. Desentralisasi Pendidikan : Pelaksanaan dan Permasalahannya. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 Tahun ke-5 Juni 1999.
Supriono S. dan Achmad Sapar. 2001. Manajemen Berbasis Sekolah. Surabaya: SIC.
Syarif Hidayat. 2000. Otonomi Daerah vs Perjuangan Kepentingan Elite Lokal: Sebuah Kasus Realitas Otonomi Daerah. Jurnal Analisis Sosial vol. 5 No. 1 Jaunari 2000.
UU No. 22 Tahun 1999
UU No. 25 Tahun 1999
Amandemen Terakhir UUD 1945.
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
1. Pengantar
Telah banyak usaha peningkatan mutu pendidikan di tingkat pendidikan dasar tetapi hasilnya tidak begitu menggembirakan. Dari berbagai studi dan pengamatan langsung di lapangan, hasil analisis menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
1. Pertama, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi pada keluaran pendidikan (output) terlalu memusatkan pada masukan (input) dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan.
2. Kedua, penyelengaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan kepada keputusan birokrasi dan seringkali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang menyentuh atau kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Di samping itu segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggara sekolah kehilangan kemandirian, insiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan dan keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi.
3. Ketiga, peran serta masyarakat terutama orangtua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal peranserta mereka sangat penting di dalam proses-proses pendidikan antara lain pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas.
Atas dasar pertimbangan tersebut, perlu dilakukan reorientasi penyelengaraan pendidikan melalui Manajemen Berbasisi Sekolah (School Based Management).
2. Faktor Pendorong Perlunya Desentralisasi Pendidikan
Saat ini sedang berlangsung perubahan paradigma manajemen pemerintahan1. Beberapa perubahan tersebut antara lain,
1. Orientasi manajemen yang sarwa negara ke orientasi pasar. Aspirasi masyarakat menjadi pertimbangan pertama dalam mengolah dan menetapkan kebijaksanaan untuk mengatasi persoalan yang timbul.
2. Orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian ke demokrasi. Pendekatan kekuasaan bergeser ke sistem yang mengutamakan peranan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi pertimbangan utama dalam tatanan yang demokratis
3. Sentralisasi kekuasaan ke desentralisasi kewenangan. Kekuasaan tidak lagi terpusat di satu tangan melainkan dibagi ke beberapa pusat kekuasaan secara seimbang.
4. Sistem pemerintahan yang jelas batas dan aturannya seakan-akan menjadi negara yang sudah tidak jelas lagi batasnya (boundaryless organization) akibat pengaruh dari tata-aturan global. Keadaan ini membawa akibat tata-aturan yang hanya menekankan tata-aturan nasional saja kurang menguntungkan dalam percaturan global.
Fenomena ini berpengaruh terhadap dunia pendidikan sehingga desentralisasi pendidikan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tentu saja desentralisasi pendidikan bukan berkonotasi negatif, yaitu untuk mengurangi wewenang atau intervensi pejabat atau unit pusat melainkan lebih berwawasan keunggulan. Kebijakan umum yang ditetapkan oleh pusat sering tidak efektif karena kurang mempertimbangkan keragaman dan kekhasan daerah. Disamping itu membawa dampak ketergantungan sistem pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat (lokal), menghambat kreativitas, dan menciptakan budaya menunggu petunjuk dari atas. Dengan demikian desentralisasi pendidikan bertujuan untuk memberdayakan peranan unit bawah atau masyarakat dalam menangani persoalan pendidikan di lapangan. Banyak persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit tataran di bawah atau masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di kebanyakan negara. Faktor-faktor pendorong penerapan desentralisasi2 terinci sbb.:
• tuntutan orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan.
• anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
• ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beragam.
• penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat
• tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan.
Desentralisasi pendidikan, mencakup tiga hal, yaitu;
1. manajemen berbasis lokasi (site based management).
2. pendelegasian wewenang
3. inovasi kurikulum.
Pada dasarnya manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengurangan administrasi pusat adalah konsekwensi dari yang pertama dengan diikuti pendelegasian wewenang dan urusan pada sekolah. Inovasi kurikulum menekankan pada pembaharuan kurikulum sebesar-besarnya untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah. Pada kurikulum 2004 yang akan diberlakukan, pusat hanya akan menetapkan kompetensi-kompetensi lulusan dan materi-materi minimal. Daerah diberi keleluasaan untuk mengembangkan silabus (GBPP) nya yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan daerah. Pada umumnya program pendidikan yang tercermin dalam silabus sangat erat dengan program-program pembangunan daerah. Sebagai contoh, suatu daerah yang menetapkan untuk mengembangkan ekonomi daerahnya melalui bidang pertanian, implikasinya silabus IPA akan diperkaya dengan materi-materi biologi pertanian dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pertanian. Manajemen berbasis lokasi yang merujuk ke sekolah, akan meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada tenaga sekolah, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.
Berdasarkan hasil-hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, Site Based Management merupakan strategi penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan dalam anggaran, personalia, kurikulum dan penilaian. Studi yang dilakukan di El Savador, Meksiko, Nepal, dan Pakistan menunjukkan pemberian otonomi pada sekolah telah meningkatkan motivasi dan kehadiran guru. Tetapi desentralisasi pengelolaan guru tidak secara otomatis meningkatkan efesiensi operasional. Jika pengelola di tingkat daerah tidak memberikan dukungannya, pengelolaan semakin tidak efektif. Oleh karena itu, beberapa negara telah kembali ke sistem sentralisasi dalam hal pengelolaan ketenagaan, misalnya Kolombia, Meksiko, Nigeria, dan Zimbabwe3.
Misi desentralisasi pendidikan adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan pendayagunaan potensi daerah, terciptanya infrastruktur kelembagaan yang menunjang terselengaranya sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan jaman, antara lain terserapnya konsep globalisasi, humanisasi, dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan demokratisasi dilakukan dengan mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah setempat, masyarakat, dan orangtua dalam hubungan kemitraan dan menumbuhkan dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan lingkungan. Hal ini tercermin dengan adanya kurikulum lokal. Kurikulum juga harus mengembangkan kebudayaan daerah dalam rangka mengembangkan kebudayaan nasional.
Proses belajar mengajar menekankan terjadinya proses pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran lingkungan yaitu memanfaatkan lingkungan baik fisik maupun sosial sebagai media dan sumber belajar, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan alat pemersatu bangsa.4
3. Konsep Dasar MBS
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
4. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Apabila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada. Ciri-ciri MBS, bisa dilihat dari sudut sejauh mana sekolah tersebut dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, pengelolaan SDM, proses belajar-mengajar dan sumber daya sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut:
Ciri-ciri sekolah yang melaksanakan MBS
*) Pada dasarnya kepemimpinan transformasional mempunyai tiga komponen yang harus dimilikinya, yaitu:
• memiliki kharisma yang didalamnya termuat perasaan cinta antara KS dan staf secara timbal-balik sehingga memberikan rasa aman, percaya diri, dan saling percaya dalam bekerja
• memiliki kepekaan individual yang memberikan perhatian setiap staf berdasarkan minat dan kemampuan staf untuk pengembangan profesionalnya
• memiliki kemampuan dalam memberikan simulasi intelektual terhadap staf. KS mampu mempengaruhi staf untuk berfikir dan mengembangkan atau mencari berbagai alternatif baru.5
Dengan demikian, MBS yang akan dikembangkan merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai dengan adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi tapi masih dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Tetapi semua ini harus mengakibatkan peningkatan proses belajar mengajar. Sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip MBS adalah sekolah yang harus lebih bertanggungjawab (high responsibility), kreatif dalam bertindak dan mempunyai wewenang lebih (more authority) serta dapat dituntut pertanggungjawabannya oleh yang ber-kepentingan/tanggung gugat (public accountability by stake holders).
Secara ringkas perubahan pola manajemen pendidikan lama (konvensional) ke pola baru (MBS) dapat digambarkan sebagai berikut:
Diharapkan dengan menerapkan manajemen pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal berikut:
• menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut
• mengetahui sumberdaya yang dimiliki dan “input” pendidikan yang akan dikembangkan
• mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya
• bertanggungjawab terhadap orangtua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelengaraan sekolah
• persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif-inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan.
Hasil rumusan yang dihasilkan peserta kemungkinan sangat banyak dan bervariasi. Pada akhir diskusi, fasilitator bersama-sama peserta mencoba mengklasifikasi dan menggabungkan rumusan yang sejenis sehingga diperoleh ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah. Misalnya:
• Upaya meningkatkan peran serta Komite Sekolah, masyarakat, DUDI (dunia usaha dan dunia industri) untuk mendukung kinerja sekolah
• Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (kurikulum), bukan kepentingan administratif saja.
• Menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil dan fasilitas)
• Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan.
• Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat.
• Meningkatkan profesionalisme personil sekolah.
• Meningkatnya kemandirian sekolah di segala bidang.
• Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misal: KS, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat,dll).
• Adanya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah.
________________________________________
1Miftah Thoha, Ph.D. "Desentralisasi Pendidikan", Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.
2NCREL, 1995, "Decentralization: Why, How, and Toward What Ends?" NCREL’s Policy Briefs, report 1, 1993 dalam Nuril Huda "Desentralisasi Pendidikan: Pelaksanaan dan Permasalahannya", Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.
3Gaynor, Cathy (1998) "Decentralization of Education: Teacher management" Washington, DC: World Bank, dalam Nuril Huda "Desentralisasi Pendidikan: Pelaksanaan dan Permasalahannya", Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.
4Donoseputro, M (1997) "Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Upaya Pencapaian Tujuan Pendidikan: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Alat Pemersatu Bangsa", Suara Guru 4: 3-6.
5Burns, J.M (1978) Leadership Harper & Row, New York dalam Rumtini (1977) Transformational and Transactional Leadership Performance of Principals of Junior Secondary School in Indonesia, unpublished thesis.
DOKUMEN IMPLEMENTASI PROGRAM MBS
Latar Belakang
1. Program Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak (Creating Learning Communities for Children – CLCC) merupakan program kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan UNESCO dan UNICEF yang beroperasi di 42 kabupaten / kota. Pada awal implementasi, program ini merupakan satu dari sekian inisiatif untuk mendukung agenda reformasi pendidikan tingkat SD dalam konteks otonomi daerah, yang sekarang didefinisikan di dalam Undang-Undang Nomor 20/2003. NZAID (New Zealand Agency for International Development – Lembaga untuk Pembangunan Internasional di bawah Pemerintah Selandia Baru) mendukung program CLCC sejak tahun 2002 dengan dana $US3,7 juta, diimplementasikan selama 3 tahun. Pada tahun 2004, AusAID menambah dana untuk program ini sebesar $US??? Selama 2 tahun, yang berakibat diperluasnya progam ke beberapa kabupaten / kota. UNICEF juga mencari dana dari sumber lain dan memperluas program ke kabupaten / kota lain.
2. Tujuan program adalah meningkatkan mutu pendidikan SD melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM), Partisipasi Masyarakat (PM). Diharapkan program ini menghasilkan satu model praktik pendidikan yang baik, yang dapat direplikasi dan diperluas.
3. Evaluasi yang dilaksanakan tahun 2005 menunjukkan bahwa program mencapai tujuan dalam meningkatkan mutu pembelajaran, tetapi kurang berhasil dalam menciptakan dan mendiseminasikan model yang berkelanjutan (sustainable model); dan model dapat direplikasi bila ada komitmen yang kuat dari pemerintah daerah. Program berhasil dalam hal pencapaian belajar siswa, mengurangi angka putus sekolah, tinggal kelas, dan absen; meskipun MBS dan PM lebih berhasil ketimbang PAKEM. Ditemukan bahwa desain program tidak merinci bagaimana berbagai komponen program saling mendukung pencapaian hasil. Program juga kurang kerangka kerja monitoring, data awal tidak memadai, tidak ada tinjauan indikator secara berkala, analisis data monitor yang sentralistik, dan tidak ada rangkaian umpan-balik.
4. Pada Mei 2006, NZAID memberikan dana untuk mendesain fase berikut dari program CLCC. Satu Tim Desain dibentuk, dan setelah konsultasi dengan para pemangku kepentingan, dihasilkan satu Laporan Awal (Inception Report) dan Logical Framework, yang keudanya akan memandu pengembangan Project Implementation Document, atau Dokumen Implementasi Program (DIP) yang akan dipresentasikan di hadapan Panitia Pengarah.
5. Re-desain secara khusus juga membahas prioritas dan milestone pendidikan yang tertuang dalam Renstra 2005, dengan rujukan khusus pada dukungan terhadap sektor pendidikan dasar dan pengurangan kemiskinan di kabupaten kurang beruntung. DIP akan mengidentifikasi tujuan lima komponen pokok. Bila tujuan tercapai, DIP dapat mendukung replikasi praktik pendidikan yang baik, yang dapat diintitusionalisasi pada provinsi dan kabupaten / kota target program CLCC. Ada keterkaitan yang sangat kuat pada lima komponen tersebut. Setiap komponen memiliki syarat keluaran yang jelas, dengan indikator kunci dan cara verifikasi. Kelima komponen tersebut seperti di bawah ini. Program fase 2 mengantisipasi kemitraan yang kuat antara Depdiknas, UNICEF, UNESCO, NZAID dan donor lain yang potensial.
Komponen 1: Konsolidasi dan Pengembangan Kapasitas Sekolah, Kabupaten / Kota dan Provinsi
6. Tujuannya adalah mengembangkan kapasitas personel sistem di tingkat provinsi, kabupaten / kota, dan sekolah target program CLCC, agar peningkatan mutu proses belajar-mengajar yang berpusat pada anak dan MBS dapat mandiri dan berlanjut. Ini memerlukan konsolidasi 3 pilar CLCC: MBS, PAKEM, dan PM. Konsolidasi ini terutama tidak diarahkan pada meningkatkan prestasi sekolah secara individu, melainkan memberikan satu model praktik pendidikan yang terbukti baik untuk mendorong dan mendukung provinsi dan kabupaten / kota menuju transisi ke arah institusionalisasi MBS.
7. Jangka waktu untuk menyelesaikan komponen konsolidasi akan beragam, tergantung dari kemajuan yang dicapai dalam transisi ke arah institusionalisasi di tingkat kabupaten / kota. Penekanan akan diberikan pada sekolah dan kabupaten / kota yang kurang berhasil mengimplementasikan program CLCC. Bila kabupaten/kota tidak dapat menunjukkan dasar bagi pengembangan kapasitas, maka tidak akan ada transisi ke arah institusionalisasi.
8. Akan ada satu tinjauan, dan Rencana Konsolidasi bagi tiap-tiap kabupaten/kota akan memetakan pendekatan yang lebih strategis. Kegiatan CLCC akan diarahkan pada pencapaian kondisi dimana terdapat dasar yang kuat bagi transisi kepada institusionalisasi sebagai satu proses yang sistematik.
9. Ada perhatian yang lebih diarahkan pada mutu pelatihan bagi pelatih agar kemampuan personel ini dapat dimanfaatkan pada peningkatan kapasitas provinsi dan kabupaten/kota, sebagai bagian dari transisi ke arah institusionalisasi. Ada kebutuhan terhadap pelatihan tingkat tinggi seperti analisis kebutuhan pelatihan, perencanaan strategis, manajemen program, dan monitoring dan evaluasi.
10. Analisis Kebutuhan Pelatihan akan menghasilkan Rencana Pelatihan, dengan tujuan terukur, yang ditargetkan pada orang-orang yang akan memegang peran kepemimpinan dalam reformasi pendidikan. Juga terdapat penekanan yang kuat pada monitoring dan evaluasi keefektivan pelatihan.
11. Membangun hubungan kolaboratif antara lembaga pelatihan guru (PPPG, LPMP) dan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) akan meningkatkan keberlangsungan praktik pengajaran yang baik.
Komponen 2: Pengembangan Kapasitas Pemerintah Daerah dan Dinas Kabupaten/Kota
12. Tujuannya adalah menguatkan kapasitas dinas (terutama dinas kabupaten/kota), wakil pemerintah daerah dan lembaga di daerah yang dapat memberikan dukungan pada lembaga yang menangani pendidikan di daerah dan masyarakat setempat untuk merencanakan, menganggarkan, dan mengimplementasikan kegiatan yang mendukung pembelajaran berpusat pada siswa dan MBS. Hal ini akan terwujud apabila dinas dan pemerintah daerah menunjukkan kesungguhan terhadap MBS dan kerelaan bekerjasama dengan program CLCC.
13. Tim MBS Dinas Kabupaten/Kota, yang merupakan wakil dinas, akan dibentuk. Dengan bantuan CLCC, mereka akan mengembangkan rencana strategis dan rencana operasional, dan akan memainkan peran kepemimpinan dan koordinasi dalam mendukung institusionalisasi MBS. Rencana-rencana didasarkan pada penilaian kapasitas yang ada dan persyaratan lain untuk meningkatkan kapasitas.
14. Dinas, pemerintah daerah dan masyarakat akan mendapat dukungan dalam mengidentifikasi kebutuhan pelatihan untuk membangun kapasitas, dan CLCC dapat membantu memfasilitasi peluang pelatihan.
Komponen 3: Pengembangan Kapasitas di Tingkat Pusat
15. Komponen ini akan mengembangkan kapasitas struktur pendidikan di tingkat pusat untuk membantu dinas dan sekolah dalam mencapai 8 tujuan standar nasional pendidikan bagi SD. Dengan sumber daya yang terbatas, CLCC akan membantu mengembangkan kapasitas Direktorat TK-SD guna mengkoordinasikan dan mengelola program MBS. Tetapi sebagai langkah awal, dukungan ini hanya terbatas pada Depdiknas dan Depag terkait perannya dengan MBS dan koordinasi dengan program-program MBS lain di kabupaten yang sama. Keahlian yang dikembangkan melalui kegiatan ini akan berkontribusi pada pengembangan kapasitas di tingkat pusat.
16. UNESCO akan didanai untuk memberikan seorang Penasihat Teknis (Technical Adviser) kepada Direktur Pembinaan TK-SD. Orang ini akan memberikan saran dan masukan kebijakan kepada Direktur TK-SD dalam memenuhi persyaratan pengembangan kapasitas, pengembangan Sekretariat MBS, koordinasi dengan direktorat lain yang berperan dalam MBS, monitoring dan evaluasi kinerja program dan persyaratan pengembangan profesional staf.
17. Satu Rencana Tindakan Pengembangan Kapasitas (Capacity Action Plan) akan dikembangkan dan pengembangan profesional diberikan untuk meningkatkan kemampuan staf Depdiknas dan Depag terkait tugasnya di MBS memberikan dukungan pada dinas dan sekolah.
Komponen 4: Monitoring dan Evaluasi
18. Draf kerangka kerja monitoring dan evaluasi program CLCC dibangun berdasarkan inisiatif yang dilakukan pada program fase 1 dan prosesnya disederhanakan. Kerangka kerja tersebut didasarkan pada 4 prinsip pokok, yaitu:
• Kesederhanaan
• Partisipasi dan rasa memiliki
• Pengembangan kapasitas
• Kemandirian (sustainability) dan institusionalisasi
19. Kerangka kerja di atas memperhatikan satu mekanisme untuk memonitor dan mengelola resiko yang dikenali atau yang dipersepsi terkait dengan desain program, dengan dua tanggung jawab yang saling terkait apabila program pendidikan dimonitor dan dievaluasi. Dua tanggung jawab ini adalah:
• Dukungan bagi manajemen dan kinerja program
• Menafsirkan keluaran program pendidikan relatif terhadap implementasi program.
20. Kinerja program relatif terhadap manajemen program yang sedang berjalan akan ditunjukkan dalam bentuk laporan standar reguler kepada Panitia Pengarah Program. Kinerja pendidikan relatif terhadap implementasi program akan dilaporkan melalui Laporan Kemajuan Pendidikan Tahunan dan diukur terhadap indikator pendidikan yang pokok. Akan dilakukan misi monitoring tahunan oleh NZAID bekerja sama dengan Depdiknas. NZAID bekerjasama dengan Depdiknas akan melakukan reviu di akhir tahun kedua fase 2 untuk mengkonfirmasi kemungkinan pendanaan lanjutan.
21. Pelaporan akan dilakukan terhadap keluaran dan indikator yang jelas dan rinci seperti digariskan dalam Dokumen Desain Program. Seluruh pelaporan program bersifat kolaboratif dan terstruktur, sedemikian rupa sehingga kapasitas dan sistem setempat dikembangkan. Bilamana mungkin dan layak, lessons learned, struktur yang ada, organisasi dan lembaga akan dimanfaatkan untuk memfasilitasi kemandirian dan institusionalisasi proses monitoring dan evaluasi.
Komponen 5: Manajemen dan Koordinasi Program
22. Tujuannya adalah membangun satu sistem manajemen terpadu (unified) melalui “pendekatan satu program” dengan struktur manajemen dan governance yang membaik. Manajemen akan lebih strategis dalam pendekatannya.
23. Opsi bagi governance yang membaik terkait program CLCC adalah Panitia Pengarah Program yang lebih mapan, CLCC Trust Fund, dan Sekretariat MBS yang mantap.
24. UNICEF akan bertanggung jawab terhadap manajemen sehari-hari termasuk mempekerjakan staf lapangan. UNESCO memberikan bantuan teknis termasuk arahan kebijakan, evaluasi, penelitian dan advokasi di tingkat pusat dan dukungan atas masalah-masalah tersebut pada Tim MBS di tingkat provinsi dan kabupaten.
25. Akan dibentuk satu struktur manajemen baru dengan tanggung jawab yang jelas bagi anggota Tim, dan bertanggung jawab terhadap (accountable) pencapaian keluaran program.
26. Fungsi manajemen pokok akan ditinjau, seperti manajemen personil, monitoring dan evaluasi, pelaporan keuangan, dan pelaporan terhadap indikator pokok. Prosedur Operasi Standar akan dihasilkan.
Dukungan Donor
27. Prestasi CLCC dipandang sebagai efektif biaya. Dokumen Implementasi Program sangat mendorong (endorse) kelanjutan program CLCC yang akan meningkatkan program yang ada, dengan pendekatan yang lebih strategis dalam membangun kapasitas pendidikan di tingkat sekolah, kabupaten, provinsi dan pusat, agar dapat mendukung transisi kepada institusionalisasi di kabupaten target program CLCC. Untuk mencapai tujuan ini, terutama di kabupaten-kabupaten yang sangat minim sumber daya, memerlukan komitmen terhadap program hingga minimal tahun 2010. Manajemen yang lebih baik dan sharing sumber-sumber daya yang memadai akan memungkinkan terjadinya manajemen yang baik dengan akses pada personel yang sesuai dan sumber daya teknis agar mempu memberikan layanan pendidikan yang berkualitas pada Pemerintah Indonesia.
28. Agar program CLCC dapat terus beroperasi di 42 kabupaten dan mencapai tujuan yang telah ditentukan, diperkirakan perlu biaya sekitar $US ??? per tahun. Dengan total biaya sampai dengan Desember 2010 sebesar $US ???, UNICEF yakin ia dapat memperoleh dana sebesar $US ???
29. Sementara NZAID telah menunjukkan komitmen pada kelanjutan program CLCC, namum berapa besarnya, belum pasti. Komitmen potensial dari AusAID bahkan lebih tidak meyakinkan. Komitmen NZAID terhadap program CLCC berakhir pada 30 Juni 2006, AusAID berakhir pada 31 Desember 2006. Dirasa sangat perlu mengkonfirmasikan pendanaan mendatang. Mitra dan donor perlu memutuskan masalah ini untuk keberlangsungan arah program.
Hubungan antara Pemerintah Indonesia dengan Program-program MBS lainnya.
30. Terdapat sejumlah program MBS yang beroperasi dengan tujuan mendukung Pendidikan Dasar di tingkat SD. Program-program ini belum diharmonisasi, meskipun ada indikasi positif untuk harmonisasi, dan juga ada diskusi Pendekatan Berdasr Sektor (Sector Wide Approach). Diperlukan satu kerangka kerja operasional bagi kerjasama antara program CLCC dengan BE-SCSP (Basic Education- Sector Capcity Support System – program di Dit PSMP bantuan Uni Eropa) dan program-program MBS lainnya untu menghindari tumpang-tindih dan berupaya saling menguntungkan.
31. Pemerintah Indonesia juga sedang mengupayakan koordinasi dan harmonisasi program-program MBS, apakah didanai oleh donor, pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten. Pembentukan Sekretariat MBS merupakan perkembangan yang penting, dan dukungan berkelanjutan terhadap program CLCC merupakan satu fitur pokok dari Dokumen Implementasi Program.
32. Direktur Pembinaan TK-SD mengkonfirmasi bahwa peran penting komponen pengembangan kapasitas di tingkat pusat akan memperkuat kemampuan Direktorat mendukung MBS di tingkat pusat, provinsi, and kabupaten/kota.
Kesimpulan
33. Program CLCC patut didukung di masa depan, baik oleh mitra maupun donor. Melalui manajemen yang baik (sound), pendekatan strategis, tim yang terdiri dari orang yang berbakat dan bemotivasi, monitoring dan evaluasi yang efektif, dan telaah yang terus-menerus untuk meningkatkan kinerja yang bermutu, program akan memberikan kontribusi yang nyata dan mendalam bagi pengembangan keluaran pendidikan untuk siswa dan kesejahteraan nasional.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Diskusi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas - batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Disamping itu mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melaui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program - program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing - masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mendiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat.
2. Tujuan
Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan tujuan;
Mensosialisasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah khususnya kepada masyarakat.
Memperoleh masukan agar konsep manajemen ini dapat diimplentasikan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi lingkungan Indonesia yang memiliki keragaman kultural, sosio-ekonomi masyarakat dan kompleksitas geografisnya.
Menambah wawasan pengetahuan masyarakat khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli terhadap pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan.
Memotivasi masyarakat sekolah untuk terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/pada sekolah masing - masing.
Menggalang kesadaran masyarakat sekolah untuk ikut serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan peningkatan mutu pendidikan.
Memotivasi timbulnya pemikiran - pemikiran baru dalam mensukseskan pembangunan pendidikan dari individu dan masyarakat sekolah yang berada di garis paling depan dalam proses pembangunan tersebut.
Menggalang kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan (terus menerus) pada tataran sekolah.
Mempertajam wawasan bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan dengan jelas dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap tahun. 5 tahun,dst,sehingga tercapai misi sekolah kedepan.
Pengertian Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah.
Bervariasinya kebutuhan siswa akan belajar, beragamnya kebutuhan guru dan staf lain dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya lingkungan sekolah satu dengan lainnya dan ditambah dengan harapan orang tua/masyarakat akan pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenaga bermutu, berdampak kepada keharusan bagi setiap individu terutama pimpinan kelompok harus mampu merespon dan mengapresiasikan kondisi tersebut di dalam proses pengambilan keputusan. Ini memberi keyakinan bahwa di dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, perspektif dan kerangka acuan (framework) dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang memiliki kepedulian kepada pendidikan. Karena sekolah berada pada pada bagian terdepan dari pada proses pendidikan, maka diskusi ini memberi konsekwensi bahwa sekolah harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Sementara, masyarakat dituntut partisipasinya agar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan pendidikan.
Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai pengelolaan sekolah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat mendominasi proses pengambilan atau pembuatan keputusan pendidikan, yang bukan hanya kebijakan bersifat makro saja tetapi lebih jauh kepada hal-hal yang bersifat mikro; Sementara sekolah cenderung hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan Sekolah, dan harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah dengan kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah ini memperlihatkan suatu perubahan cara berpikir dari yang bersifat rasional, normatif dan pendekatan preskriptif di dalam pengambilan keputusan pandidikan kepada suatu kesadaran akan kompleksnya pengambilan keputusan di dalam sistem pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat diapresiasiakan secara utuh oleh birokrat pusat. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk beralih kepada konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sebagai pendekatan baru di Indonesia, yang merupakan bagian dari desentralisasi pendidikan yang tengah dikembangkan.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979). Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut; (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii) sekolah memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu, dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat. Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama - sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Ada empat hal yang terkait dengan prinsip - prinsip pengelolaan kualitas total yaitu; (i) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus - menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal - hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan - tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional.
Pengertian mutu
Dalam rangka umum mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ebta atau Ebtanas). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya : komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dsb.
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai . Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah ' terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya :NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.
Kerangka kerja dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah
Dalam manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini diharapkan sekolah dapat bekerja dalam koridor - koridor tertentu antara lain sebagai berikut ;
Sumber daya; sekolah harus mempunyai fleksibilitas dalam mengatur semua sumber daya sesuai dengan kebutuhan setempat. Selain pembiayaan operasional/administrasi, pengelolaan keuangan harus ditujukan untuk : (i) memperkuat sekolah dalam menentukan dan mengalolasikan dana sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan untuk proses peningkatan mutu, (ii) pemisahan antara biaya yang bersifat akademis dari proses pengadaannya, dan (iii) pengurangan kebutuhan birokrasi pusat.
Pertanggung-jawaban (accountability); sekolah dituntut untuk memilki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitment terhadap standar keberhasilan dan harapan/tuntutan orang tua/masyarakat. Pertanggung-jawaban (accountability) ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan jika mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan. Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggung-jawaban dan mengkomunikasikannya kepada orang tua/masyarakat dan pemerintah, dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu.
Kurikulum; berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini yaitu;
pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.
bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.
pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.
SELAMAT MEMBACA ARTIKEL ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar