Selasa, 23 Desember 2008

MAKALAH LANDASAN DAN PROBLEMATIKA PENDIDIKAN

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas, mampu bersaing, serta memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.

Selain itu, pendidikan juga memegang peranan kunci dalam pengembangan sumber daya manusia dan insan yang berkualitas. Secara kuantitas, kemajuan pendidikan di Indonesia cukup menggembirakan. Namun, secara kualitas perkembangannya masih belum merata. Untuk itu pendidikan di Indonesia harus mengacu pada pilar-pilar pendidikan dunia menurut UNESCO.

UNESCO (1996) dalam Syafruddin (2002:3) menyebutkan ada empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan dan perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal khususnya di Indonesia, yaitu: (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).

Masyarakat global, teknologis ataupun informasi bersifat terbuka, berubah sangat cepat dalam memberikan tuntutan, tantangan bahkan ancaman-ancaman baru. Pada abad sekarang ini, manusia-manusia dituntut untuk knowing much, doing much, being exellence, being sociable serta being morally.

Membicarakan mengenai kualitas pendidikan bukanlah hal yang mudah. Mutu dan kualitas pendidikan berkenaan dengan penilaian terhadap sejauh mana suatu produk memenuhi kriteria, standar atau rujukan tertentu. Dalam dunia pendidikan, standar ini dapat dirumuskan melalui hasil belajar pada matapelajaran skolastik yang dapat diukur secara kuantitatif dan pengamatan yang bersifat kualitatif.

Rumusan mutu pendidikan bersifat dinamis dan dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Kesepakatan tentang konsep mutu dan kualitas biasanya dikembalikan pada rumusan acuan atau rujukan yang ada, seperti kebijakan, proses belajar mengajar, kurikulum, sarana dan prasarana serta tenaga kependidikan. Dalam konteks sistem pendidikan nasional, mutu pendidikan tercermin pada sejauh mana tujuan pendidikan nasional dapat tercapai. Mutu pendidikan harus diupayakan untuk mencapai kemajuan dengan dilandasi oleh perubahan yang terencana. Program mutu sebenarnya berasal dari dunia bisnis.

Sementara dalam dunia pendidikan banyak permasalahan mengenai mutu, seperti mutu lulusan, mutu pengajaran, mutu bimbingan dan latihan dari guru serta mutu profesionalisme dan kinerja guru. Mutu-mutu tersebut terkait dengan mutu manajerial para pemimpin pendidikan, keterbatasan dana, sarana dan prasarana serta dukungan dari pihak terkait dengan pendidikan. Semua kelemahan mutu dari komponen-komponen pendidikan tersebut berujung pada rendahnya mutu lulusan.

Mutu lulusan yang rendah dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti lulusan tidak dapat melanjutkan studi, tidak dapat menyelesaikan studinya pada jenjang yang lebih tinggi, tidak dapat bekerja/tidak diterima di dunia kerja, walaupun bekerja tetapi tidak berprestasi, tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat, tidak produktif. Lulusan yang tidak produktif akan menjadi beban masyarakat.

Banyak tantangan dan permasalahan yang berkaitan dengan pendidikan di Indonesia di era globalisasi saat ini. Berbagai laporan dari lembaga pendidikan maupun lembaga survei menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih sangat rendah kualitasnya. Mulai dari pendidikan dasar sampai pada perguruan tinggi, tingkat pendidikan di Indonesia kurang menggembirakan. Sebagai contoh masih banyak peserta didik yang gagal sekolah, lamanya menyelesaikan studi, susuahnya mencari pekerjaan, banyak pengangguran dan rendahnya gaji para lulusan sekolah merupakan indikator betapa rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.

Mengacu pada temuan permasalahan tersebut di atas, makalah ini akan menggambarkan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia secara umum. Adapun batasan masalahnya pada peningkatan mutu dan kualitas pendidikan khusus di sekolah menengah. Untuk lebih jelas lagi mengenai mutu dan kualitas ini akan diuraikan dalam bab pembahasan.

I.2 Tujuan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia serta faktor-faktor penentu dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah menengah.

I.3 Manfaat

Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :

I.3.1 Dosen

1. Menjadi referensi tambahan mengenai mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia

2. Menguraikan dan membahas dengan rinci berbagai permasalahan pendidikan dan faktor-faktor peningkatan mutu pendidikan di sekolah menengah

3. Sebagai bahan masukan dalam pembelajaran matakuliah Landasan dan Problematika Pendidikan

I.3.2 Mahasiswa Teknologi Pendidikan

1. Menjadi brainstorming dalam membahas permasalahan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia

2. Bahan tambahan mengenai peningkatan mutu pendidikan di sekolah menengah

3. Dijadikan perbandingan mutu dan kualitas pendidikan di Indoensia

I.3.3 Penulis

1. Memberikan gambaran umum tentang permasalahan pendidikan di Indonesia dalam matakuliah Landasan dan Problematika Pendidikan

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan di khususnya sekolah menengah

3. Menambah pengetahuan dan wawasan akan materi yang berkenaan dengan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia.

BAB II

RUMUSAN MASALAH

Mutu dan kualitas pendidikan berkenaan dengan penilaian terhadap sejauhmana suatu produk memenuhi kriteria, standar atau rujukan tertentu. Dalam dunia pendidikan, standar ini dapat dirumuskan melalui hasil belajar baik yang bersifat kuantitatif dan pengamatan yang bersifat kualitatif. Rumusan mutu pendidikan juga bersifat dinamis dan dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Kesepakatan tentang konsep mutu dan kualitas biasanya dikembalikan pada rumusan acuan atau rujukan yang ada, seperti kebijakan, proses belajar mengajar, kurikulum, sarana dan prasarana serta tenaga kependidikan.

Dalam kaitan dengan strategi yang ditempuh oleh sistem pendidikan nasional, peningkatan mutu pendidikan sangat terkait dengan relevansi pendidikan dan penilaian berdasarkan kondisi aktual mutu pendidikan tersebut. Mutu pendidikan tidak saja ditentukan oleh sekolah sebagai lembaga pembelajaran, tetapi juga disesuaikan dengan apa yang menjadi pandangan dan harapan masyarakat.

Untuk menjawab tantangan tersebut, sekolah diharapkan senantiasa terus meningkatkan mutu lulusannya sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimanakah pencapaian mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia? serta faktor apasajakah yang mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan di sekolah menengah?

BAB III

PEMBAHASAN

III.1 Definisi Mutu dan Kualitas

Program mutu sebenarnya berasal dari dunia bisnis. Sementara dalam dunia pendidikan banyak permasalahan mengenai mutu, seperti mutu lulusan, mutu pengajaran, mutu bimbingan dan latihan dari guru serta mutu profesionalisme dan kinerja guru. Mutu-mutu tersebut terkait dengan mutu manajerial para pemimpin pendidikan, keterbatasan dana, sarana dan prasarana, fasilitas pendidikan, media, sumber belajar, alat dan bahan latihan, iklim sekolah, lingkungan pendidikan serta dukungan dari pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan.

Selanjutnya, mutu diartikan sebagai gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang dan jasa yang menunjukan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Sementara dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan.

III.1.1 Definisi Mutu

Mutu secara umum di definisikan sebagai paduan sifat-sifat barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pelanggan, baik kebutuhan yang dinyatakan maupun yang tersirat.

Goetsch dan Davis (1994, p. 4) membuat definisi mengenai mutu dalam artian yang luas. Menurut mereka mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.

J.M. Juran mengatakan bahwa mutu adalah kesesuaian dengan tujuan atau manfaatnya. Selain itu, pendapat David L. Goetsch dan Stanley Davis bahwa mutu adalah suatu kondisi dinamis yang berkaitan dengan produk, pelayanan, orang, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi apa yang diharapkan.

Dalam dunia bisnis definisi mutu menurut pembendaharaan istilah ISO 8402 dan standar nasional Indonesia (SNI 19-8402-1991), mutu adalah keseluruhan ciri dan karakteristik produk atau jasa yang kemampuannya dapat memuaskan kebutuhan, baik yang dinyatakan secara tegas maupun tersamar, sedangkan menurut M. N. Nasution bahwa mutu adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar.

III.1.2 Definisi Kualitas

Kualitas sangat penting bagi sebuah produk, baik berupa produk barang maupun jasa. Hal-hal yang sangat penting bagi produsen berkaitan dengan produk adalah kualitas, biaya dan produktivitas. Dengan demikian kualitas adalah satu-satunya hal yang paling penting bagi kedua belah pihak. Bagi pelanggan, kualitas berarti kenyamanan dalam penggunaan. Sementara bagi pabrikan, kualitas berarti sifat-sifat kuantitatif yang menjadi. Kegunaan produk bagi para pelanggan adalah kualitas dari produk. Jadi, pelanggan yang menentukan kualitas dari produk.

Definisi kualitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:1024) adalah tingkat, pencapaian sesuatu. Kualitas merupakan suatu kosakata di dalam kehidupan modern. Pendidikan tidak terlepas dari ungkapan berkualitas. Begitupun dengan pendidikan tidak terlepas dari ungkapan berkualitas. Lebih-lebih lagi di dalam dunia yang mengglobal dewasa ini dimana terjadinya persaingan dalam berbagai lapangan kehidupan. Istilah kualitas sudah merupakan suatu pengertian sehari-hari. Dimana orang selalu mencari produk yang berkualitas, servis yang berkualitas dan bahkan pendidikan yang berkualitas.

Di dalam kaitan ini kualitas dapat diukur dalam arti memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu. Kualitas tampaknya adalah sesuatu yang berbentuk atau tangible. Namun, kalau bicara mengenai kualitas pendidikan, maka sangat sulit untuk diukur apa yang dimaksudkan dengan kualitas.

III.2 Gambaran Mutu dan Kualitas Pendidikan di Indonesia

Pendidikan merupakan suatu proses yang bertujuan. Setiap proses yang bertujuan tentunya mempunyai ukuran atau ardstick sudah sampai dimana perjalanan kita di dalam mencapai tujuan tersebut. Berbeda dengan tujuan fisik seperti jarak suatu tempat atau target produksi, tujuan pendidikan merupakan suatu yang intangible dan terus menerus berubah dan meningkat. Tujuan pendidikan selalu bersifat sementara atau tujuan yang berlari. Hal ini berarti tujuan pendidikan setiap saat perlu direvisi dan disesuaikan dengan tuntutan perubahan. Dalam konteks pendidikan nasional Indonesia diperlukan standar yang perlu dicapai di dalam kurun waktu tertentu dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan.

Bagaimanakah profil pendidikan nasional di Indonesia dewasa ini? Di dalam berbagai survei dan penelitian menunjukkan bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia tergolong rendah. Tidak ada satu pun universitas di Indonesia yang masuk kelompok 100 universitas terbaik di Asia, apalagi tingkat dunia (Tilaar, 2007:77). Apabila kualitas pendidikan tingginya sudah demikian rendahnya apalagi pendidikan dasar dan menengahnya tentu kualitasnya tidak lebih baik. Memang sudah dijelaskan bahwa bukan berarti kualitas manusia Indonesia lebih buruk dibandingkan dengan kualitas bangsa lain. Kemenangan pada tingkat olympiade menunjukkan bagaimana siswa Indonesia dapat bersaing dengan siswa negara lain. Demikian juga dengan sarjana lulusan univeristas di Indonesia dapat membuat prestasi di negara asing.

Profil pendidikan di Indonesia ternyata sangat kompleks. Berbeda dengan pendidikan di negara yang kurang heterogen, sangat beragam oleh karena perbedaan yang mencolok antar daerah, khususnya antara pulau Jawa dengan pulau lain. Gambaran mengenai ranking pendidikan tinggi maupun pendidikan dasar dan menengah pada tataran internasional menunjukkan rendahnya mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia sekarang ini. Oleh sebab itu, pemerintah berupaya untuk menaikkan mutu dan kualitas pendidikan nasional antara lain dengan mengadakan Ujian Nasional. Namun, apakah penyelenggaraan Ujian Nasional telah memberikan manfaat terhadap peningkatan mutu dan kualitas pendidikan nasional? Ternyata pelaksanaan Ujian Nasional yang lalu hanya bertujuan sebagai pemuasan nafsu birokrat untuk menunjukkan bahwa mereka sibuk dengan pekerjaannya meskipun pekerjaan tersebut sia-sia belaka.

Mutu dan kualitas pendidikan berkenaan dengan penilaian suatu produk memenuhi kriteria, standar atau rujukan tertentu. Dalam dunia pendidikan, standar ini dapat dirumuskan melalui hasil belajar pada matapelajaran skolastik yang dapat diukur secara kuantitatif dan pengamatan yang bersifat kualitatif. Rumusan mutu pendidikan bersifat dinamis dan dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Kesepakatan tentang konsep mutu dan kualitas biasanya dikembalikan pada rumusan acuan atau rujukan yang ada, seperti kebijakan, proses belajar mengajar, kurikulum, sarana dan prasarana serta tenaga kependidikan.

Dalam konteks sistem pendidikan nasional, mutu pendidikan tercermin pada sejauh mana tujuan pendidikan nasional dapat tercapai. Mutu pendidikan harus diupayakan untuk mencapai kemajuan dengan dilandasi oleh perubahan yang terencana. Peningkatan mutu pendidikan dapat dicapai melalui dua strategi yaitu (a) peningkatan mutu pendidikan berorientasi pada keterampilan mental maupun fisik, (b) peningkatan mutu pendidikan yang lebih khusus berorientasi pada akademis.

Kaitan mutu dan kualitas dengan strategi yang ditempuh oleh sistem ini, peningkatan mutu pendidikan sangat terkait dengan relevansi pendidikan dan penilaian berdasarkan kondisi aktual mutu pendidikan tersebut. Mutu pendidikan tidak saja ditentukan oleh sekolah sebagai lembaga pembelajaran, tetapi juga disesuaikan dengan apa yang menjadi pandangan dan harapan masyarakat yang dilandasi tolok ukur norma ideal.

Strategi mutu pendidikan saat ini menjadi kebijakan mencakup apa yang disebut dengan pendidikan berbasis luas atau broad-based education dan mengembangkan keterampilan hidup atau life skills. Kompetensi ini harus diberi landasan akademis yang kuat.

Dalam rencana jangka panjang, strategi ke depan adalah berupa upaya meningkatkan mutu pendidikan dengan memobilisasi potensi seluruh individu dalam masyarakat yang ditempatkan dalam konteks kebutuhan lokal. Ini berarti bahwa upaya peningkatan prestasi skolastik harus diimbangi dengan kurikulum lokal yang disebut muatan lokal, yang gilirannya menuntutprakarsa lokal. Peningkatan mutu pendidikan, terutama pada era otonomi daerah sekarang, seharusnya merupakan prakarsa daerah dalam mengangkat potensi lokal dengan segala variasinya. Muatan lokal bisa menjadi bagian dari pendidikan formal maupun non-formal.

Indikator mutu harus diukur secara kuantitatif berdasarkan prestasi akademis. Menurut laporan Bank Dunia (1998) tentang hasil tes membaca murid kelas IV SD, Indonesia berada pada peringkat terendah di Asia Timur. Selain itu, berdasarkan temuan TIMMS-R pada tahun 1999, diantara 38 negara yang disurvei, prestasi siswa SMP kelas II di Indonesia pada urutan ke-32 untuk IPA dan ke-34 untuk MTK.

Faktor utama yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan adalah kondisi guru yang masih mismatch dalam dua hal, yakni (1) penempatan guru yang tidak merata, (2) kualifikasi akademik guru belum sesuai dengan yang disyaratkan. Pada saat ini, terdapat 62% guru SD dan 29% guru SMP yang tidak layak mengajar (SEAMEO, 2001). Sementara, guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya mencapai 31,1% (Balitbang Diknas, 2000:18). Dengan profil mutu pendidikan ini, dapat dimengerti betapa sulitnya SDM Indonesia memperoleh posisi terhormat dalam persaingan global. Masalah keterbatasan fasilitas selalu menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan, maka salah satu tantangan besar dalam sektor pendidikan prioritas anggaran pendidikan yang cukup.

Sebagaimana yang dilaporkan dalam Laporan Komisi Nasional Pendidikan (Depdiknas, 2001) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pencapaian mutu pendidikan di Indonesia, antara lain:

1) tersedianya guru berkualitas dan layak mengajar

2) manajemen sekolah dengan pimpinan sekolah yang baik

3) manajemen mutu pendidikan

4) kohesi sosial untuk pencapaian tujuan pendidikan

Kualitas pendidikan dapat kita ukur dari berbagai segi yakni segi ekonomis, sosial politis, sosial budaya, dari perspektif pendidikan itu sendiri dan dari perspektif proses globalisasi.

1. Perspektif Ekonomi

Kualitas pendidikan dihubungkan dengan prinsif efisiensi. Pendidikan yang berkualitas hanyalah pendidikan yang dialksanakan berdasarkan prinsif efisiensi. Pendidikan dianggap sebagai suatu bentuk investasi modal dan oleh sebab itu perlu dikelola secara efisien. Tokoh yang pertama kali mengenalkan tentang pentingnya efisiensi ini adalah Frederick Winslow Taylor (1991) dengan menerbitkan buku The Principels of Scientific Management dimana dia mengemukakan mengenai sistem manajemen kereta api. Scientific Management juga diterapkan dalam dunia pendidikan pada waktu itu.

Di dalam bukunya Education and the Cult of Efficincy Raymond Callahan (1962) melukiskan betaa sekolah-sekolah di Amerika pada waktu itu, khususnya sesuadah Perang Dunia I, menitikberatkan kepada pelaporan dan efisiensi.

Pemujaan terhadap efisiensi dalam pendidikan baru dapat digantikan oleh lahirnya filsafat pendidikan yang baru dari John Dewey dan Kilppatrick pada tahun 1930-an. Kedua ahli pendidikan tersebut mengganti paham manajerialisme dengan rekonstruksi sekolah-sekolah di Amerika berdasarkan nilai-nilai pendidikan demokratis.

Saat ini terjadi suatu kehidupan kembali dari aliran manajerialisme dalam pendidikan. Manajerialisme saat ini identik dengan kualitas. Dalam rangka untuk memperoleh kualitas pendidikan yang tinggi, lembaga-lembaga pendidikan haruslan melaksanakan prinsif-prinsif manajerial modern yaitu dengan menentukan tujuan, perencanaan, peninjauan kembali, monitorng internal dan laporan eksternal.

Dalam pelaksanaan prinsif-prinsif tersebut perumusan kebijakan dan kegiatan operasional haruslah dippisahkan. Selanjutnya governance, majajemen, operasi, masing-masing mempunyai peranan yang berbeda. Oleh sebab itu, kualitas pendidikan direduksikan dalam indikator-indikator performance yang dapat diukur serta dilaporkan.prinsif manajerialisme sekarang dilaksanakan dengan jelas s ebagai aliran baru yakni neoliberalisme.

2. Perspektif Sosial Politik

Dilihat dari segi sosial politik, manajerialisme merupakan suatu bahaya trust di dalam masyarakat. Francis Fukuyama dalam bukunya Trust;The SOCIAL Virtues and the Creation of Presperity (1995) menunjukkan bahaya-bahaya yang dikandung dari kehidupan modern yang tidak memupuk trust di dalm masyarakat.

3. Perspektif Sosial Budaya

Dilihat dari segi sosial budaya, konsep kualitas pendidian seperti di atas menggerogoti terbentuknya nation-state yang meminta kohesi sosial yang tinggi.

4. Perspektif Proses Globalisasi

Dilihat dari perspektif globalisasi, kehiduan ditandai oleh sifat yang kompetitif. Sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan global menjadi kompetisi sebagai sarana untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan kualitas pendidikan.

Dari uraian di atas kelihatan dengan jelas betapa masalah kualitas pendidikan berkaitan erat dengan tujuan pendidikan. Apakah tujuan pendidikan ditekankan kepada kebutuhan ekonomi, sosial politik, sosial budaya ataukah diarahkan kepada kebutuhan peserta didik seutuhnya.

Uraian selanjutnya mengenai bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia dalam berbagai era perkembangan. Dari refleksi atas perkembangan kaulitas pendidikan tersebut dapat dijadikan bahan dalam merumuskan kualitas pendidikan yang diinginkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia di era reformasi saat ini.

Perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia telah berlangsung dalam empat era yaitu (1) Era kolonial, (2) Era Orde Lama, (3) Era Orde Baru (4) Era Reformasi.

1. Era Kolonial

Siapakah yang meragukan mutu dan kualitas pendidikan dalam masa kolonial? Pada zaman kolonial pendidikan hanya diberikan kepada para penguasa serta kaum feodal. Pendidikan rakyat cukup diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar penguasa kolonial. Pendidikan diberikan hanya terbatas kepada rakyat di sekolah-sekolah kelas 2 atau ongko loro tidak diragukan mutunya. Sungguhpun standar yang dipakai untuk mengukur kualitas rakyat pada waktu itu diragukan karena sebagian besar rakyat tidak memperoleh pendidikan, namun demikian apa yang diperoleh pendidikan seperti pendidikan rakyat 3 tahun, pendidikan rakyat 5 tahun, telah menghasilkan pemimpin masyarakat bahkan menghasilkan pemimpin-pemimpin gerakan nasional.

Pendidikan kolonial untuk golongan bangsawan serta penguasa tidak diragukan lagi mutunya. Para pemimpin nasional kita kebanyakan memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah kolonial bahkan beberapa mahasiswa yang dapat melanjutkan di Universitas terkenal di Eropa.

Dalam sejarah pendidikan kita dapat katakana bahwa intelegensi bangsa Indonesia tidak kalah dengan kaum penjajah. Masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kekurangan kesempatan yang sama yang diberikan kepada semua anak bangsa. Oleh sebab itu di dalam Undang Undang Dasar 1945 dinyatakan dengan tegas bahwa pemerintah akan menyusun suatu sistem pendidikaan nasional untuk rakyat, untuk semua bangsa.

2. Era Orde Lama

Masa revolusi pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Pada masa revolusi sangat terasa serba terbatas, tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang Undang Pendidikan No. 4/1950 junto no. 12/ 1954. Kita dapat membangun sistem pendidikan yang tidak kalah mutunya. Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas. Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi masa pancaroba seperti rongrongan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sayang sekali pada akhir era ini pendidikan kemudian dimasuki oleh politik praktis atau mulai dijadikan kendaraan politik. Pada masa itu dimulai pendidikan indoktrinasi yaitu menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan Orde Lama.

Pada Orde Lama sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan sistem kolonial yang serba ketat tetapi tetap jujur dan mempertahankan kualitas. Hal ini didukung karena jumlah sekolah belum begitu banyak dan guru-guru yang ditempa pada zaman kolonial. Pada zaman itu siswa dan guru dituntut disiplin tinggi. Guru belum berorientasi kepada yang material tetapi kepada yang ideal. Citra guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang diciptakaan era Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan pada Orde Lama.

Kebijakan yang diambil pada Orde Lama dalam bidang pendidikan tinggi yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini bertujuan untuk lebih memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Pada waktu itu pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di Pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB, UGM, dan UNAIR, sedangkan di provinsi-provinsi karena kurangnya persiapan dosen dan keterbatasaan sarana dan prasarana mengakibatkan kemerosotan mutu pendidikan tinggi.

3. Era Orde Baru

Dalam era ini dikenal sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya INPRES Pendidikan Dasar. Tetapi sayang sekali INPRES Pendidikan Dasar belum ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas tetapi baru kuantitas. Selain itu sistem ujian negara (EBTANAS) telah berubah menjadi bumerang yaitu penentuan kelulusan siswa menurut rumus-rumus tertentu. Akhirnya di tiap-tiap lembaga pendidikan sekolah berusaha untuk meluluskan siswanya 100%. Hal ini berakibat pada suatu pembohongan publik dan dirinya sendiri dalam masyarakat. Oleh sebab itu era Orde Baru pendidikan telah dijadikan sebagai indikator palsu mengenai keberhasilan pemerintah dalam pembangunan.

Dalam era pembangunan nasional selama lima Rencana Pembangunan Lima Tahun yang ditekankan ialah pembangunan ekonomi sebagai salah satu dari Trilogi Pembangunan, maka kemerosotan pendidikan nasional telah berlangsung.

Dari hasil manipulasi ujian nasional sekolah dasar kemudian meningkat ke sekolah menengah dan kemudian meningkat ke sekolah menengah tingkat atas dan selanjutnya berpengaruh pada mutu pendidikan tinggi. Walaupun pada waktu itu pendidikan tinggi memiliki otonomi dengan mengadakan ujian masuk melalui UMPTN, tetapi hal tersebut tidak menolong. Pada akhirnya hasil EBTANAS juga dijadikan indikator penerimaan di perguruan tinggi. Untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi maka pendidikan tinggi negeri mulai mengadakan penelusuran minat dari para siswa SMA yang berpotensi. Cara tersebut kemudian diikuti oleh pendidikan tinggi lainnya.

Di samping perkembangan pendidikan tinggi dengan usahanya untuk mempertahankan dan meningkatkan mutunya pada masa Orde Baru muncul gejala yaitu tumbuhnya perguruan tinggi swasta dalam berbagai bentuk. Hal ini berdampak pada mutu perguruan semakin menurun walaupun dibentuk Kopertis-Kopertis sebagai bentuk birokrasi baru.

4. Era Reformasi

Indonesia sejak tahun 1998 merupakan era transisi dengan tumbuhnya proses demokrasi. Demokrasi juga telah memasuki dunia pendidikan nasional antara lain dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam bidang pendidikan bukan lagi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada tanggung jawab pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, hanya beberapa fungsi saja yang tetap berada di tangan pemerintah pusat. Perubahan dari sistem yang sentralisasi ke desentralisasi akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang jauh di dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.

Selain perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi yang membawa banyak perubahan juga bagaimana untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam menghadapi persaingan bebas abad ke-21. Kebutuhan ini ditampung dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta pentingnya tenaga guru dan dosen sebagai ujung tombak dari reformasi pendidikan nasional.

Sistem Pendidikan Nasional Era Reformasi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 diuraikan dalam indikator-indikator akan keberhasilan atau kegagalannya, maka lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian dijelaskan dalam Permendiknas Republik Indonesia.

Di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini muncul banyak kritikan baik dari praktisi pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan mengenai pendidikan nasional yang tidak mempunyai arah yang jelas. Dunia pendidikan sekarang ini bukan merupakan pemersatu bangsa tetapi merupakan suatu ajang pertikaian dan persemaian manusia-manusia yang berdiri sendiri dalam arti yang sempit, mementingkan diri dan kelompok.

Menurut H.A.R. Tilaar, hal tersebut disebabkan adanya dua kekuatan besar yaitu kekuatan politik dan kekuatan ekonomi.

a. Kekuatan Politik

Pendidikan masuk dalam subordinasi dari kekuatan-kekuatan politik praktis, yang berarti pendidikan telah dimasukkan ke dalam perebutan kekuasaan partai-partai politik, untuk kepentingan kekuatan golongannya. Pandangan politik ditentukan oleh dua paradigma yaitu paradigma teknologi dan paradigma ekonomi. Paradigma teknologi mengedepankan pembangunan fisik yang menjamin kenyaman hidup manusia. Paradigma ekonomi lebih mengedepankan pencapaian kehidupan modern dalam arti pemenuhan-pemenuhan kehidupan materiil dan mengesampingkan kebutuhan non materiil duniawi, contoh pengembangan dana 20 %.

b. Kekuatan Ekonomi

Manusia Indonesia tidak terlepas dari modernisasi seperti teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Neoliberalisme pendidikan membawa dampak positif dan negatif. Positifnya yaitu pendidikan menunjang perbaikan hidup dan nilai negatifnya yaitu mempersempit tujuan pendidikan atas pertimbangan efisiensi, produksi, dan menghasilkan manusia-manusia yang dapat bersaing, yaitu pada profit orientit yang mencari keuntungan sebesar-besarnya terhadap investasi yang dilaksanakan dalam bidang pendidikan.

Demi mencapai efisiensi dan kualitas pendidikan maka disusunlah beberapa upaya standardisasi. Untuk usaha tersebut maka muncul konsep-konsep seperti Ujian Nasional. Dalam menyusun Rencana Strategi Departemen Pendidikan Nasional tahun 2005-2009 lebih menekankan pada manajemen dan kepemeimpinan bukan masalah pokok yaitu pengembangan anak Indonesia. Anak Indonesia dijadikan obyek, anak Indonesia bukan merupakan suatu proses humanisasi atau pemanusiaan. Anak Indonesia dijadikan alat untuk menggulirkan suatu tujuan ekonomis yaitu pertumbuhan, keterampilan, penguasaan skill yang dituntut dalam pertumbuhan ekonomi.

Kualitas pendidikan Indonesia dianggap oleh banyak kalangan masih rendah. Hal ini bisa dilihat dari beberapa indikator. Pertama, lulusan dari sekolah atau perguruan tinggi yang belum siap Memasuki dunia kerja karena minimnya kompetensi yang dimiliki.

Menurut pengamat ekonomi Dr. Berry Priyono, bekal kecakapan yang diperoleh dari lembaga pendidikan tidak memadai untuk dipergunakan secara mandiri, karena yang dipelajari di lembaga pendidikan sering kali hanya terpaku pada teori, sehingga peserta didik kurang inovatif dan kreatif (Kompas, 4 Desember 2004). Kedua, peringkat Human Development Index (HDI) Indonesia yang masih rendah (tahun 2004 peringkat 111 dari 117 negara dan tahun 2005 peringkat 110 di bawah Vietnam dengan peringkat 108). Ketiga, laporan International Educational Achievement (IFA) bahwa kemampuan membaca siswa SD Indonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang disurvei.

Keempat, mutu aka­demik antarbangsa melalui Programme for International Student Assessment (PISA) 2003 menunjukkan bahwa dari 41 negara yang disurvei untuk bidang IPA, Indonesia menempati peringkat ke-38, sementara untuk bidang Matematika dan kemampuan membaca menempati peringkat ke-39. Jika dibandingkan dengan Korea Selatan, peringkatnya sangat jauh, untuk bidang IPA me­nempati peringkat ke-8, membaca peringkat ke-7 dan Matematika peringkat ke-3. Kelima, laporan World Competitiveness Yearbook tahun 2000, daya saing SDM Indonesia berada pada posisi 46 dari.47 negara yang disurvei. Keenam, posisi Perguruan Tinggi Indonesia yang dianggap favorit, seperti Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada hanya berada pada posisi ke-61 dan 68 dari 77 perguruan tinggi di Asia (Asiaweeh, 2000). Ketujuh, ketertinggalan bangsa Indonesia dalam bidang IPTEK dibanding­kan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.

Indikator rendahnya kualitas pendidikan Indonesia di atas lebih memerhatinkan lagi dengan data Kementerian Pemuda dan Olahraga yang menyatakan bahwa sebanyak 37,06 persen pemuda Indonesia hanya lulus Sekolah Dasar (SD). Dari 217 juta penduduk Indonesia jumlah pemuda diperkirakan 97 juta orang. Diasumsikan pemuda adalah mereka yang berusia 15-35 tahun. Dengan kondisi tersebut sulit mengharapkan mereka menjadi agen perubahan sosial, sebagaimana yang diharapkan masyarakat luas (Media Indonesia, 22-12-2005).

Lebih lanjut diketahui bahwa kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia UNESCO kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia.

Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia diperparah lagi dengan maraknya jual beli gelar yang menghasilkan gelar clan ijazah palsu. Yang lebih ironis lagi penjual dan pembeli gelar palsu dilakukan oleh orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan dan orang-orang yang selama ini dianggap sebagai tokoh masyarakat. Gelar tersebut diperoleh tanpa melalui proses pendidikan yang sebenarnya. Di satu sisi, orang dengan susah payah berusaha mendapatkan gelar, di sisi lain gelar itu diobral. Sungguh suatu ketidakadilan yang sangat nyata.

Pernyataan Budirahayu (2002:56) memperjelas masalah ini bahwa maraknya pasar gelar yang dilakukan oleh dunia pendidikan tinggi yang ticlak bertanggung jawab seakan memfasilitasi keinginan masyarakat yang malas bersusah payah menempuh pendidikan, namun mereka memiliki uang dan ingin dipandang atau dihormati dengan gelar yang disandangnya. jangan heran kalau di negara kita banyak orang yang memiliki gelar, tetapi tidak siap pakai, apalagi mampu menciptakan lapangan kerja.

Dalam rangka mengantisifasi dan mengurangi kelemahan-kelemahan pendidikan perlu adanya solusi untuk meningkatkan mutu dan kualitas. Peningkatan mutu dan kualitas serta pemerataan pendidikan dapat ditem­puh melalui program dan kebijakan berikut:

1. Meningkatkan pelaksanaan wajib belajar dua belas tahun yang bermutu;

2. Memberikan akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat terjangkau oleh layanan pendidikan, seperti daerah terpencil;

3. Meningkatkan penyediaan pendidikan keterampilan dan kewira­usahaan atau pendidikan nonformal yang bermutu;

4. Meningkatkan penyediaan dan pemerataan sarana prasarana pendidikan;

5. Meningkatkan kualifikasi, kompetensi dan profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan;

6. Meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik dan kependidikan;

7. Menyempurnakan manajemen pendidikan dan mening­katkan partisipasi dalam proses perbaikan mutu pendidikan;

8. Meningkatkan kualitas kurikulum dan pelaksanaan yang bertujuan membentuk karakter dan kecakapan hidup (life skill), sehingga peserta didik mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan secara kreatif dan menjadi manusia yang inovatif serta produktif.

III.3 Mutu dan Kualitas Pendidikan di Sekolah Menengah

III.3.1 Gambaran Umum

Pendidikan memegang peranan kunci dalam pengembangan sumber daya manusia dan insan yang berkualitas. Hal ini berdasarkan hasil penelitian pengendalian mutu pendidikan. Secara kuantitas, kemajuan pendidikan di Indonesia cukup menggembirakan. Namun, secara kualitas perkembangannya masih belum merata.

III.3.2 Tantangan dan Kebutuhan Pendidikan Bermutu

Masyarakat global, masyarakat teknologis ataupun masyarakat informasi yang bersifat terbuka, berubah sangat cepat dalam memberikan tuntutan, tantangan bahkan ancaman-ancaman baru. Pada abad sekarang ini, manusia-manusia dituntut berusaha tahu banyak knowing much, berbuat banyak doing much, mencapai keunggulan being exellence, menjalin hubungan dan kerjasama dengan orang lain being sociable serta berusaha memegang teguh nilai-nilai moral being morally.

III.3.3 Faktor-Faktor dalam Pengembangan Mutu Pendidikan

Faktor-faktor yang terlibat dalam pengembangan mutu pendidikan secara sistemik dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1

Peta Komponen Pendidikan Sebagai Sistem



Instrumental Input :

  • Kebijakan pendidikan
  • Program pendidikan-kurikulum
  • Personil (KS, guru, staf TU)
  • Sarana prasarana dan fasilitas
  • Media dan biaya





Environmental Input :

  • Lingkungan sekolah
  • Lingkungan keluarga
  • Masyarakat
  • Lembaga sosial
  • Unit kerja


Mutu pendidikan atau mutu sekolah tertuju pada mutu lulusan. Dalam hal sesuatu hal yang mustahil, pendidikan atau sekolah menghasilkan lulusan yang bermutu, jika tidak melalui proses pendidikan yang bermutu pula. Selain itu, harus didukung boleh faktor-faktor penunjang proses pendidikan yang bermutu pula. Proses pendidikan yang bermutu harus didukung oleh personalia, seperti administrator, guru, konselor dan tata usaha yang bermutu dan profesional.

Kemudian, faktor pendukung selanjutnya adalah sarana dan prasarana, fasilitas dan media pendidikan serta sumber belajar yang memadai, baik mutu maupun jumlahnya dan biaya yang mencukupi, manajemen yang tepat serta lingkungan yang sesuai.

Mutu pendidikan bersifat menyeluruh, menyangkut semua komponen, pelaksana dan kegiatan pendidikan atau disebut dengan mutu total atau Total Quality. Maksud dari Total Quality adalah sesuatu yang tidak mungkin, hasil pendidikan yang bermutu dapat dicapai hanya dengan satu komponen atau kegiatan yang bermutu, sebab kegiatan pendidikan begitu kompleks antar komponen dan lainnya.

Secara fakta memang pendidikan di Indonesia kualitasnya memang masih sangat rendah. Namun, hal itu sebaiknya diterima dengan lapang dada untuk instropeksi dan dilakukan evaluasi. Demikian pula faktor-faktor yang menyebabkan mutu dan kualitas pendidikan nasional rendah perlu dikurangi. Berdasarkan laporan Bank Dunia (Jalal dan Supriyadi, 2001) dalam Syafruddin (2002:12) ada empat faktor penghambat potensial mutu pendidikan di Indonesia, antara lain:

1) kompleksitas pengorganisasian pendidikan

2) praktik manajemen yang sentralistik

3) praktik pengangguran yang terpecah dan kaku

4) manajemen sekolah yang tidak efektif

Keempat faktor tersebut merupakan temuan pada sekolah. Secara umum, menurut Edward Sallis (1984) dalam Syafruddin (2002:14) terdapat faktor-faktor lain yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, yaitu:

1) miskinnya perancangan kurikulum

2) ketidakcocokan pengelolaan gedung

3) lingkungan kerja yang tidak kondusif

4) ketidaksesuaian sistem dan prosedur atau manajemen pendidikan

5) tidak cukupnya jam pelajaran

6) kurangnya sumber daya manusia dan pengembangan staf

Jika ingin mencermati dan mengkaji secara mendalam faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia sebenarnya terletak pada unsur-unsur dari sistem pendidikan itu sendiri (faktor internal), yakni paling tidak pada faktor kurikulum, sumber daya ketenagaan, sarana dan prasarana, manajemen sekolah, pembiayaan pendidikan, dan krisis kepemimpinan. Disamping itu juga, terdapat faktor eksternal berupa partisifasi politik rendah, ekonomi tak berpihak terhadap pendidikan, sosial budaya, rendahnya pemanfaatan sains dan teknologi juga mempengaruhi mutu pendidikan.

III.3.4 Permasalahan Mutu Pendidikan

Program mutu sebenarnya berasal dari dunia bisnis. Sementara dalam dunia pendidikan banyak permasalahan mengenai mutu, seperti mutu lulusan, mutu pengajaran, mutu bimbingan dan latihan dari guru serta mutu profesionalisme dan kinerja guru. Mutu-mutu tersebut terkait dengan mutu manajerial para pemimpin pendidikan, keterbatasan dana, sarana dan prasarana, fasilitas pendidikan, media, sumber belajar, alat dan bahan latihan, iklim sekolah, lingkungan pendidikan serta dukungan dari pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan. Semua kelemahan mutu dari komponen pendidikan tersebut berujung pada rendahnya mutu lulusan.

Mutu lulusan yang rendah dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti lulusan tidak dapat melanjutkan studi, tidak dapat menyelesaikan studinya pada jenjang yang lebih tinggi, tidak dapat bekerja/tidak diterima di dunia kerja, walaupun bekerja tetapi tidak berprestasi, tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat, tidak produktif. Lulusan yang tidak produktif akan menjadi beban masyarakat, menambah biaya kehidupan dan kesejahteraan masyarakat serta memungkinkan menjadi warga yang tersisih dari masyarakat.

III.3.5 Dasar-Dasar Program Mutu Pendidikan

Banyak masalah yang diakibatkan oleh lulusan pendidikan yang tidak bernutu, program mutu atau upaya-upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan merupakan hal yang teramat penting. Untuk melaksanakan program mutu diperlukan beberapa dasar yang kuat, sebagai berikut :

a. komitmen pada perubahan

Pemimpin atau kelompok yang ingin menerapkan program mutu harus memiliki komitmen atau tekad untuk berubah.

b. pemahaman yang jelas tentang kondisi yang ada

Banyak kegagalan dalam melaksanakan perubahan karena melakukan sesuatu sebelum ada kejelasan.

c. mempunyai visi yang jelas terhadap masa depan

Perubahan yang akan dilakukan berdasarkan visi tentang perkembangan, tantangan, kebutuhan, masalah dan peluang yang akan dihadapi pada masa yang akan datang.

d. mempunyai rencana yang jelas

Mengacu pada visi, sebuah tim menyusun rencana dengan jelas. Rencana menjadi pegangan dalam proses pelaksanaan program mutu. Program mutu merefleksikan lingkungan pendidikan dimana pun ia berada.

III.3.6 Peningkatan Mutu Pendidikan

Kualitas lulusan pendidikan kurang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja dan pembangunan, baik indutri, perbankan, telekomunikasi, maupun pasar tenaga sektor lainnya yang senderung menggugat eksistensi sekolah. Bahkan SDM yang disiapkan melalui pendidikan sebagai generasi penerus belum sepenuhnya memuaskan bila dilihat dari segi akhlaq, moral, dan jati diri bangsa dalam kemajemukan budaya bangsa.

Kondisi tersebut menyebabkan sebagaian masyarakat menjadi pesimis terhadap sekolah. Ada anggapan bahwa pendidikan tidak lagi mampu menciptkan mobilitas sosial mereka secara vertikal, karena sekolah tidak menjanjikan pekerjaan yang layak. Sementara, dikatakan bahwa perubahan paradigma baru pendidikan kepada mutu (quality oriented) merupakan salah satu strategi untuk mencapai pembinaan keunggulan pribadi anak.

Otonomi pendidikan adalah suatu bentuk reformasi yang perlu dijalankan dengan baik. Dengan reformasi, perbaikan kualitas pendidikan menuntut tingginya kinnerja lembaga pendidikan dengan mengacu pada perbaikan mutu yang berkelanjutan, kreativitas dan produktivitas pegawai atau guru.

Kualitas bukan hanya pada unsur masukan (input) tetapi juga unsur proses, terutama pada unsur keluaran/lulusan (output). Agar dapat memuaskan masyarakat sebagai pelanggan pendidikan. Sesuai dengan konsep sistem, maka input, proses dan output memiliki hubungan yang saling mempengaruhi untuk mencapai kepuasan pelanggan atau sesuai dengan harapan masyarakat.

Para Kepala Sekolah sebagai manajer sudah saatnya mengoptimalkan mutu kegiatan pembelajaran untuk memenuhi harapan pelanggan pendidikan. Sekolah berfungsi untuk membina SDM yang kreatif dan inovatif, sehingga lulusannya memenuhi kebutuhan masyarakat, baik pasar tenaga kerja sektor formal maupun informal. Para manajer pendidikan dituntut untuk mencari dan menerapkan suatu strategi manajemen baru yang diciptakan dapat mendorong perbaikan mutu di skeolah-sekolah saat ini.

Dalam realitasnya, tantangan krusial yang dihadapi oleh manajer, perancang, dan pengelola lembaga pendidikan di Indonesia adalah bagaimana upaya mengelola sekolah, akademi dan universitas agar dapat berkembang dan berkualitas. Institusi pendidikan perlu dikelola untuk mencapai hasil yang optimal. Disini hasil optimal itu ditandai dari mutu lulusan yang andal dan sesuai dengan harrapan masyarakat. Hal ini penting dan strategis sebab peranan pendidikan terkait dengan masa depan suatu bangsa, termasuk Indonesia.

Sallis (1984) dalam Syafruddin (2002: 24) berpendapat bahwa manajemen mutu terpadu atau total quality management adalah menjamin mutu dan standar dalam pendidikan. TQM memberikan suatu filosofi sebagai suatu perangkat alat untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan dengan mengutamakan minat dan kebutuhan pelanggan.

Kegagalan dalam perbaikan mutu pendidikan akibat manjemen yang lemah akan menimbulkan kegagalan generasi baik dalam dimensi mikro maupun makro. Secara mikro, lembaga pendidikan tidak bermutu, SDM yang dihasilkan adalah generasi yang lemah dalam bidang IMTAQ, IPTEK, Keterampilan dan Kreativitas. Sedangkan secara makro, terjadinya dominasi kebudayaan asing, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sains, dan teknologi terhadap bangsa. Akhirnya, akan mengakibatkan lost generation atau kehilangan generasi.

Untuk menjawab kegagalan di atas paling tidak solusi yang ditawarkan adalah memperbaiki manajemen pendidikan itu sendiri. Selama ini, manajemen pendidikan bersifat sentralistik yang mengakibatkan kelumpuhan bagi lembaga pendidikan dan sekolah-sekolah di daerah, perbaikan pendidikan yang tambal sulam dan berorientasi pada proyek. Situasi dan stabilitas politik yang tidak menentu menyebabkan kurang berpihak pada pendidikan yang bermutu. Hampir belum ditemukan kesungguhan pemberdayaan tenaga kependidikan suatu penyelenggaraan pendidikan bermutu. Oleh karena itu, perlu perubahan manajmen pendidikan nasional, termasuk manajemen sekolah demi perbaikan dan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan nasional.

III.3.7 Prinsif-Prinsif Peningkatan Mutu Pendidikan

Ada beberapa prinsip yang perlu dipegang dalam menerapkan program mutu pendidikan diantaranya sebagai berikut :

a. peningkatan mutu menuntut kepemimpinan profesional dalam bidang pendidikan

b. kesulitan para profesional pendidikan adalah ketidakmampuan menghadapi kegagalan sistem

c. peningkatan mutu pendidikan harus melalui loncatan-loncatan

d. uang bukan kunci utama dalam usaha peningkatan mutu, kunci utamanya adalah komitmen pada perubahan

e. banyak profesional di bidang pendidikan yang kurang memiliki pengetahuan dan keahlian

f. program peningkatan mutu dalam bidang komersial tidak dapat dipakai secarta langsung dalam pendidikan

g. sistem pengukuran berperan penting dalam program peningkatan mutu pendidikan

h. masyarakat dan manajemen pendidikan harus menjauhkan diri dari kebiasaan menggunakan program singkat

III.3.8 Sekolah dengan Manajemen Mutu Total

MMT merupakan suatu metodologi yang dapat membantu para profesional pendidikan mengatasi lingkungan yang terus berubah. Manajemen total digunakan sebagai alat untuk membentuk ikatan sekolah, dunia bisnis dan pemerintah.

Visi MMT dipusatkan pada menemukan kebutuhan para penggunaan lulusan (customer) persipan melibatkan masyarakat secara menyeluruh dalam program peningkatan mutu, mengembangkan sistem untuk mengukur nilai tambah dari pendidikan, sistem dukungan yang memungkinkan guru, staf administrasi dan siswa dalam mengelola perubahan dan melakukan penyempurnaan yang berkelanjutan dengan tujuan agar produk sekolah menuju arah yang lebih baik.

Sekolah yang menerapkan MMT berpegang teguh pada prinsip berikut :

1. berfokus pada pengguna

setiap orang di sekolah harus memahami produk pendidikan punya pengguna.

2. keterlibatan menyeluruh

semua orang harus terlibat dalam transformasi mutu.

3. pengukuran

pendekatan baru pendidikan harus belajar mengukur mutu pendidikan dari kemampuan dan kinerja lulusan

4. pendidikan sebagai sistem

peningkatan mutu pendidikan berdasarkan konsep dan pemahaman pendidikan sebagai sistem, meliputi sejumlah komponen seperti siswa, guru, kurikulum

5. perbaikan yang berkelanjutan

setiap proses perlu selalu diperbaiki dan disempurnakan.

Menurut Jerome S. Arcaro (1995) dalam Sukmadinata (2007:13-14) sekolah yang menerapkan mutu total ditopang oleh lima pilar yaitu :

1) berfokus pada pengguna

2) keterlibatan secara total semua anggota

3) melakukan pengukuran

4) komitmen pada perubahan, dan

5) penyempurnaan secara terus menerus

Gambar 2

Model Sekolah Mutu Total

Isosceles Triangle: SEKOLAH MUTU TOTAL












Berpusat pada kustomer


Keterlibatan total


Pengukuran


Komitmen pada perubahan


Perbaikan berkelanjutan

Kepercayaan dan Nilai

Visi Tujuan umum dan khusus

Misi Faktor-faktor keberhasilan kritis


Pengembangan sekolah menengah yang bermutu merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar lagi dalam rangka menyukseskan pembangunan serta menghadapi era globalisasi. Hal ini sesuai dengan fungsi utama sekolah menengah yaitu menyiapkan para lulusan agar dapat hidup wajar di lingkungan masyarakat dan sukses belajar di sekolah yang lebih tinggi. Agar dapat dihasilkan lulusan yang bermutu, sebagai produk dari proses pendidikan yang bermutu, dibutuhkan pengendalian mutu yang efektif dan efisien.

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

IV.1 Simpulan

Berdasarkan uraian dalam pembahasan dapat disimpulkan bahwa secara garis besar, pencapaian pendidikan nasional masih jauh dari harapan. Apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada tingkat global. Secara kuantitatif dan kualitatif pendidikan nasional masih memiliki banyak kelemahan mendasar. Diantaranya pendidikan nasional belum mampu membentuk karakter dan kepribadian nasional serta masih rendahnya mutu dan kualitas pendidikan nasional menyebabkan keterpurukan bangsa Indonesia.

Mengenai mutu dan kualitas pendidikan selalu terkait dengan input, proses dan output. Ketiganya saling berhubungan satu sama lain dan sangat berperan dalam penentuan mutu dan kualitas pendidikan di suatu negara. Input dapat berupa peserta didik yang mengalami proses dalam dunia pendidikan. Proses dilaksanakan baik di lingkungan formal maupun non formal. Sementara output berupa keluaran atau lulusan dari suatu lembaga pendidikan, misalnya sekolah menengah.

Gambaran umum tentang mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah dan memprihatinkan dari negara lain. Mulai dari pendidikan dasar sampai pada perguruan tinggi. Hal ini sesuai dengan laporan Bank dunia dan lembaga-lembaga survei lainnya tentang permasalahan pendidikan di Indonesia. Permasalahan pendidikan nasional antara lain (1) kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas, (2) kebijakan pendidikan nasional yang masih sentralistik, (3) pendanaan yang belum memadai, (4) akuntabilitas pengembangan dan pemeliharaan sistem dan kualitas pendidikan, (5) minimnya profesionalisme pendidikan dan tenaga kependidikan, (6) relevansi yang tumpang tindih, serta permasalahan lainnya yang berkaitan dengan mutu lulusan sekolah.

Masih rendahnya mutu dan kualitas pendidikan di sekolah menengah disebabkan oleh faktor kompleksitas pengorganisasian pendidikan, praktik manajemen yang sentralistik, praktik pengangguran yang terpecah dan kaku dan manajemen sekolah yang tidak efektif.

Untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di sekolah menengah perlu adanya pengembangan akan komitmen pada perubahan, pemahaman yang jelas tentang kondisi yang ada, mempunyai visi yang jelas terhadap masa depan, serta mempunyai rencana jelas.

IV.2 Saran

Dalam kesempatan ini penulis memberikan saran kepada :

IV.2.1 Departemen Pendidikan Nasional

1. Agar memberikan perhatian khusus terhadap pemerataan kesempatan pendidikan

2. Mengatasi berbagai permasalahan pendidikan dengan bijak, cepat dan tepat sasaran

3. Berusaha memperbaiki dan meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan nasional

IV.2.2 Sekolah

1. Membantu pelaksanaan program pendidikan yang telah dirancang oleh Depdiknas

2. Senantiasa melaksanakan proses pendidikan sebaik-baiknya

3. Menciptakan lulusan yang terampil, kreatif, mampu bersaing dan dapat diandalkan

IV.2.3 Umum

1. Mendukung program yang terkait dengan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan

2. Menghindari tindakan dan praktek curang yang merugikan pendidikan nasional

3. Berkomitmen untuk memberikan pendidikan yang cukup bagi semua anak bangsa

IV.2.4 Penulis

1. Belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh sehingga mampu berprestasi

2. Berperan aktif dan bekerjasama dalam perbaikan dunia pendidikan

3. Memahami dan mencari solusi untuk pemecahan masalah serta peningkatan mutu dan kualitas pendidikan nasional

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2003. Guru di Indonesia. Jakarta : Depdiknas.

Freire, Paulo. 2000. Politik Pendidikan ; Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta : ReaD (Research, Education and Dialogue).

Kunandar. 2007. Guru Profesional;Implementasi KTSP dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Natawidjaja, Rohman dkk (Ed). 2007. Rujukan Filsafat, Teori dan Praktis Ilmu Pendidikan. Bandung : UPI Press.

Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan (Konsep, Strategi dan Aplikasi). Jakarta : Grasindo.

Sukmadinata, Nana. S. dkk. 2007. Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah (Konsep, Prinsip, dan Instrumen). Bandung : refika ADITAMA.

Tilaar, H.AR. 1995. 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995. Jakarta : Grasindo.

Tilaar, H.AR. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional ; Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta : Rineka Cipta.

www. depdiknas.co.id. (Jardiknas). Diakses tanggal 20 September 2008.

www.google.co.id. Blogger Nurkholis. Diakses tanggal 20September 2008.

Tidak ada komentar: